Filsafat ada awalnya kali pertama ketika manusia belum mengenal - TopicsExpress



          

Filsafat ada awalnya kali pertama ketika manusia belum mengenal dirinya sendiri,filsafat juga telah ada mendahului ketika Tuhan belum menamakan diriNya sebagai Tuhan ataupun menamakan filsafat sebagai filsafat,manusia belum mengenal dirinya sebagai manusia,manusia bahkan belum ada ketika keduanya ada,Tuhan,alam dan filsafat adalah satu kesatuan dan pada dasarnya manusia memiliki kebebasan untuk bersama ketiganya atau hanya sebatas manusia semata tanpa terikat pada ketiganya selain dirinya sendiri sebagai manusia (subjektivitas),,elalui subjektivitas yang ada pada dirnya sebagai sebuah kebebasan kemudian manusia dihadapkan pada sebuah ketidakbebasan (anibbana) sebagai sebuah kesadaran dari adanya yang lain selain dirinya sebagai subjektivitas (keakuan),kebutuhan naluri manusia (instinktual needs) akan sesuatu yang bukan dirinya kemudian menjadi sebuah hasrat (kehendak) sebagaimana Tuhan pada awalnya memiliki adanya yang lain selain diriNya,meskipun hal ini bukan sebuah kemutlakkan,namun hal ini kemudian menjadi sisi lain dari setiap relativitas (anicca) yang ada pada dirinya (Nya) sebagai sebuah kebebasan Tuhan ataupun manusia yang lalu kemudian dihadapkan pada pilihan untuk mengadakan (being) ataupun meniadakan (having) ,dimana ketidakadaan pilihan kemudian menjadi sebuah pilihan dari sebuah otoritas (wewenang) yang adalah sebuah misteri bagi manusia. Hal ini kemudian menjadi awal dari adanya pengakuan (legitimasi) bagi kehadiran yang lain selain manusia ataupun Tuhan,sebagaimana Tuhan menciptakan manusia,manusiapun demikian halnya,bahwa kemudian manusia juga identik dengan Tuhan yang terutama,dan salah satunya adalah dalam hal penciptaan,suatu penciptaan ada ketika manusia tercukupi sebagai dirinya sendiri sebagaimana juga halnya Tuhan pada diriNya,kebebasan (nibbana) kemudian menjadi kehendak bagi yang lain (liyan) karena subjektivitas tak dapat disebut demikian ketika tiada ada sesuatu yang lain selain dirinya,subjektivitas akhirnya dihadapkan pada sebuah kebutuhan akan adanya sebuah legitimasi (afirmasi) dari apapun yang bukan dirinya karena tanpa adanya yang lain,maka manusia ataupun Tuhan tak akan pernah disebut demikian,manusia adalah sebaimana halnya Tuhan memiliki banyak nama (rupa) dan sebutan (shankara) ketika ada yang lain selain keberadaan keduanya sebagai objek (signified) dari setiap segala apapun yang tengah diciptakan oleh keduanya sebagai ada (exist),kekosongan (emptyness) adalah subjektivitas tertinggi (prima extensa) dari segala apapun yang dapat menjadikan sesuatu menjadi objek dari sebuah ketiadaan (kekosongan) selain menjadi hal itu sendiri,manusia menciptakan Tuhan bersamaan (being for the others) dengan penciptaan manusia atas Tuhan itu sendiri. Tuhan (manusia) pada dasarnya adalah sebuah kenyataan yang lain bagi sebuah kekosongan,kekosongan (ketiadaan) selah membutuhkan keduanNya untuk mengisi ruang tiada batasan,agar dibatasi oleh apa yang pantas membatasinya agar kebebasan (freedom) dapat disebut kebebasan (nothingless) ketika awal (alfa) dari kehendak membentukNya menjadi kebebasan (ketiadaan) yang sebenarnya.,Tuhan adalah merupakan kebebasan sekaligus ketiadaan (atheia) bilamana kehendak manusia tiada padaNya,Tuhan adalah merupakan sebuah misteri (tacit),dimana diriNya tak melekat pada manusia sementara manusia melekat padaNya,hubungan antara manusia dengan Tuhan hanya merupakan hubungan legitimasi yang searah dalam ruang lingkup diriNya,artinya hanya manusia yang melegitimasikan Tuhan,namun Tuhan tak melegitimasikan manusia selain manusia pada diriNya,hubungan manusia dengan Tuhan adalah hubungan antar ciptaan (inter creation) berdasarkan kehendakNya,namun sebagian manusia menciptakan Tuhan meskipun Tuhan tak perlu dicipta,selain senantiasa menciptakan diriNya untuk diciptakan oleh sebagian manusia tersebut,manusia diciptakan untuk menciptakan Tuhan agar Tuhan menjadi bagian pada diriNya sebagai manusia dengan diriNya (theia). Hukum Tuhan (ius nocturnal) ada ketika kebebasan Tuhan ada pada Tuhan dmana dengan kebebasan diriNya sebagai otoritas utama (prime competence) menjadikan Tuhan mampu berkehendak atas apapun dalam relativitas kehendak dan absoluditas dari kebebasan diriNya,hukum (ius) lahir dari kebebasan yang berkehendak,hingga terdapat antitesis (conter) atas adanya kebebasan berkehendak atas apapun,hukum menjadi hukum ketika ada pelanggaran atas sebuah kehendak dimana kebebasan kemudian dihadapkan pada kebebasan diriNya (parinibbana) sebagai sebuah sanksi bagi suatu penciptaan hukum karena kebebasan diriNya,hukum (lex) kemudian menjebak kebebasan pada ketidakbebasan (unfreedom),yang mana akhirnya sanksi ada tak hanya pada pencipta hukum,namun juga bagi pelanggarNya sebagai sebuah nestapa (dukha),hingga akhirnya kemudian hukum memberi fungsi keadilan (function of justice),tak hanya kepada mereka yang terjalin dengan hukum semata,namun juga mereka yang tak terlibat pada hukum yang berlaku ataupun diciptakan,yang salah satunya adalah hukum Tuhan atas manusia,yang bukan hukum bagi yang lain. Namun hukum Tuhan (lex theia) bagi manusia kemudian memberi dampak atas yang lain,tak terkecuali alam dengan kebebasan yang sama dengan manusia ataupun Tuhan selain karena sebuah kebebasan yang menjadikan kebebasan (freedom) ada karena sebuah kehendak ,maka demikian pula halnya dengan ketidakbebasan,ketidakbebasan ada (upadana) ketika kehendak (wil),ada pada sebuah kebebasan,alam (semesta) adalah apa yang sebagian (particulum) serta sekaligus adalah apa yang menyeluruh (universum) serta mencakup keteraturan (kosmos) ataupun ketidakteraturan (khaos) sekaligus,selain itu adalah sebuah misteri belaka dari ketidaktahuan (ketidakpahaman) apapun atas Apapun sebagai segala sesuatu yang mencakup segalaNya sebagai hukum,sebagai wujud representasi Tuhan (taboo),sebagai sebuah otoritas semesta dan dunia,yang tiada lepas dari awal dari segala sesuatu sebagai akhiran itu sendiri yang tanpa keduanya selain Kita (Dia). Dalam filsafat Tuhan senantiasa berkehendak atas kehidupan di aras keduniaan (mundanitas) dan bahwa kehidupan pada aras tersebut adalah merupakan kehidupan yang identik dengan kematian (lebenwelt),kemudian adalah bahwa kehidupan dunia identik dengan kematian dapat diartikan bahwa setiap aras keduniaan (mondial) tak lepas dari berbagai aspek paradoksal yang berlawanan (biner oposisi),sebagaimana kosmos (order) dan khaos,dalam perspektif kesemestaan (cosmology),dunia adalah sebuah kenyataan kosmik,namun dalam perspektif keduniaan (nomology),semesta adalah khaotik (randomness),namun dalam kenyataannya keduanya adalah satu kesatuan yang diharapkan hingga akhirnya,hal ini sempat diperkatakan sebagai benturan antar paradoksikalitas sebagai dua sisi yang sebenarnya saling melekat dan satu,meskipyn ketiadaan salah satu diantaranya bisa menjadi,bahwa yang lain adalah tetap,ataupun ketiadaan,keduanya sama sekali dalam sebuah proses interderminasi (resiprokalitas) yang merupakan sebuah rekontruksi dari terbangunkanya kembali sebuah keberadaan (pembalikkan),kehidupan di dunia adalah kematian di dunia,sebuah paradoksikalitas yang hanya dapat dicapai oleh ilmu semata (mundan science) yang sama sekali tak dapat mencapai aras kosmik (kosmos) dengan segala keberpenuhan (totality) hanya karena adanya kematian,namun demikian hal ini dapat menjadi tercapai ketika manusia mengalami kematian dimana segala ketiada-batasan (unlimit) menjadi terbatas oleh realitas yang ada pada ilmu sebagai sebuah pengetahuan semata (connaissance),dimana segala sesuatunya adalah tiada batas sama sekali,tak terkecuali adalah paradoksikalitas itu sendiri sebagai sebuah misteri yang berpasangan dengan kebersatuan (monistik) antara apa yang terkekang (liminal) dengan apa yang bebas. Apa yang dapat menjadi ataupun apa yang dapat memiliki,dan bahwa memiliki ilmu tak berarti menjadi pada ilmu (savoir) ataupun sebaliknya,bahwa meenjadi pengetahuan tak berarti bahwa manusia memiliki pengetahuan tersebut,dalam pemikiran (kognisi) paska-strukturalis (post-structuralist)Michael Foucoult,bahwa apa yang disebut filsafat (philosophy) adalah apa yang mencakup aspek genealogi ke-Tuhanan (strukturasi),teknologi alamiah (keilmuan) serta adalah arkeologi kebudayaan (pengetahuan),setelah adanya struktur,maka struktur terbentuk kembali (post-structualism),dimana pengetahuan (kebudayaan) menjadi dasar adanya ilmu yang identik dengan teknologi (peradaban),yang mana diantara keduanya diposisikan kemudian sebagai sebuah realitas ataupun harapan yang saling berpasangan (oposisi biner),yaitu antara ilmu dan pengetahuan sebagai hubungan antara manusia dengan dunia ataupun hubungan semesta dengan manusia yang memunculkan keberacakan (randomic),yaitu kebebasan yang tak sistematik ataupun metodologis (sistematism) dalam rasionalitasnya,hal ini kemudian dikatakan Michael Polanyi sebagai segi yang tak terungkap (tacire) dari apa yang disebut dengan ilmu,yang dapat diartikan sebagai pengetahuan (kontruksi) menuju ilmu (dekontruksi) yang menjadikan adanya peradaban (civillization),dan kemudian adalah menjadi sebuah proses kultural (kulturalisasi) berdasarkan sejarah (historitas),ataupun berdasarkan berbagai penemuan (discovery) yang berpangkal mula dari kegaiban inspirasional (insight),dimana sejarah yang otentik berawal dari padaNya,sebagai sumber dari apapun tak terkecuali pengetahuan manusia atas sejarah yang menjadikan sejarah kemudian disejarahkan menjadi ilmu yang terikat pada ruang (sein) ataupun waktu (sollen) sebagai aspek keilmuan yang menjadikan sejarah terikat pada sejarah lainya sebagai sebuah multidimensionalitas (matra ganda) yang dialektis baik sebagai revolusi (sakagami) ataupun evolusi (anagami). Keterkaitan sejarah pada berbagai kisi (ruas) antara ruang ataupun juga waktu pada dulu (alam),kini (budaya) dan nanti (peradaban) sebagai pelampauan manusia melalui sejarah manusia (antropo-historisitas) atas berbagai paradoksikalitas (dualitas) yang ada, tiada terkecuali adalah ruang (kepemilikan) ataupun waktu (kemenjadian),Tuhan (theia) dengan Iblis (diabolia),dimana manusia menjadi antara atas keduniaan diantara harapan (utopianitas) dan kenyataan dirinya sebagai mahluk transenden (makrifat) ataupun juga adalah imanen (syariat) pada eksistensi yang lain pada diriNya sebagai dirinya yang kompromis ataupun konfliktual dalam relativitas kebebasan diriNya (Kenisbian) dan kemutlakkan dari segala apa yang menjadi kehendakNya,pengetahuan (connaissance) adalah setiap sisi negatif (negativitas) ataupun positif (positiviras),yang didapat manusia dari pengalaman dirinya sebagai bagian dari sejarah dirinya sebagai manusia yang tak semata menyangkut keburukan (evil) ataupun kebaikan (good),namun adalah juga menyangkut tentang apa yang merupakan kebenaran (truth) ataupun kesalahan (false) dari segala apa yang tersirat (eksplisit) ataupun tersurat (impilisit) yang melampaui perbedaan tulisan (sastra) ataupun lisan (gending) pada irasionalitas maupun rasionalitas manusia ataupun bahkan,adalah juga pada ilmu sekalipun,dan bahwa apa yang ada pada pengetahuan (arche) adalah tak selamanya ada pada ilmu (savoir) adalah sebuah kebenaran (ultimate truth),meskipun adalah tidak untuk kebalikan atasnya. Bahwa apa yang ada pada pengetahuan senantiasa ada pada ilmu,hal ini dikarenakan bahwa pengetahuan ada terlebih,dulu dan menjadi,titik awal dari adanya ilmu,meski kemudian ilmu kerap menjadi pengetahuan,namun definisi ilmu (techne) tak memungkinkan untuk mewakili pengetahuan,demikian juga halnya posisi keduanya pada berbagai disiplin pengetahuan (knowledge) yang kemudian disebut dengan ilmu (science),atau disiplin ilmu yang kemudian menjadi disiplin ilmu pengetahuan (ilmu pengetahuan),ilmu pengetahuan adalah produk dari sejarah (historical product),terutama adalah peradaban,sebab ilmu adalah pengetahuan ketika keduanya dipersandingkan pada kebudayaan yang diawali oleh pengetahuan sebagai akhir dari sejarah (genealogy) yang mana justru sekaligus adalah awal darimana pengetahuan tersebut dimulai,terutama ketika sejarah kemudian menjadi ilmu dan adalah sekaligus juga pengetahuan (ilmu pengetahuan),sejarah tak lepas dari ruang (tubuh) ataupun waktu (rasa) baik sebagai mitos (jiwa) ataupun fakta (pikiran),namun dalam kenyataanya sejarah kemudian mencakup setiap aspek secara keseluruhan,bahwa kemudian manusia adalah merupakan sejarah itu sendiri (homo historicus) yang diawali pengetahuan dirinya bahwa,dirinya tak lepas dari sejarah,termasuk sejarah liyan (OtherS),hingga akhirnya ilmu ada dan memposisikan manusia menuju sejarahnya sebagai mahluk berkesejarahan,yang tak lepas dari sejarah kebernantian (futuritas) ataupun keberlaluan(kesebeluman),atau kekinian (kesudahan) sebagai sebuah relasi antar paradoksikalitas (inter-paradoxical) nan disiplin pada porosnya,yaitu samsara. “Kehendak” (“Cetana”),adalah awal (axis) dari adanya kedengkian (envy),dendam,seduksi (rayuan),pelanggaran,ataupun sanksi (dukha) dan hukum (ius),hukum adalah merupakan lahan genealogi sejarah (historical genealogy) atas struktur hukum yang lain sebagai pengetahuan,yang kemudian menjadi ilmu hukum yang tak lepas dari kebudayaan (culture) sebagai kesatuan atas pengetahuan hukum,hukum pada akhirnya adalah sebuah integrasi (fusi) bagi segala harmoni ke-Tuhanan sebagai ilmu pengteahuan yang tak lepas imanensi realitas (hosisontalitas),ataupun transendensi harapan manusia (vertikalitas) dalam dirinya sendiri,pada manusia ataupun di atas manusia yang menjadi sebuah rekontruksi strukturalitas genealogi kekinian (kebarusan) hingga adanya Tuhan yang belum bernama (nirguna),melalui dosa Kehendak,yang melahirkan dosa kehendak sebagai citraan (mime),hingga kemudian filsafat menyebut apapun sebagai “imago dei”,citraan Tuhan yang tiada batasan (enigma) yang hanya ada pada medan pengetahuan manusia belaka dalam menyadari kebebasan dirinya melalui kehendak pada dirinya (pour soi),menjadi Tuhan melalui ilmu yang diawali pelanggaran manusia atas sebuah kehendak,hingga sanksi menjadikan adanya hukum (lex) dari sebuah “Kehendak” (“ius”) karena sebuah Kehendak (will of risk) yang memposisikan kehendak dan kebebasan sebagai dialektika dilematik antara pengetahuan sebagai ilmu ataupun ilmu sebagai pengetahuan. Kemudian adalah bahwa ketika segala sesuatu menjadi ada pada ketiadaan (konteks) dan tiada pada keberadaan (teks),maka hal ini kemudian merupakan sebuah tautologi (dilemasi),yang kemudian disebut sebagai absurditalitas Tuhan atas Tuhan (nothing),sebagai sebuah korespondensi (causaliteit) antar hukum (statuta),baik sebagai kehendak (teknologi) ataupun sebagai kebebasan (arkeologi) yang menjadikan kebudayaan ataupun peradaban ada menjadi sejarah ataupun memilikinya,sebagai kembalinya yang abadi (perenialitas) pada kefanaanNya (paska-Tuhan),hingga kemudian ilmu pengetahuan,hukum dihadapkan pada sebuah dinamika relativitas (kemayaan) yang ada pada hukum itu sendiri sebagai keutamaan Tuhan (virtu nocturnal) legitimasi diriNya sebagai Kehendak (Will) di atas kehendak,dimana kemudian hukum dihadapkan pada sebuah struktur genealogi hukum yang dimulai dari Kebebasan menjadi (being) sebuah kehendak (cetana) melalui Kehendak pembebasan hukum melalui sanksi (akibat),terutama ketika hukum membebaskan hukum karena hukum (opressed)),yaitu adalah kehendak (niat) yang ada pada arena (medan) ilmu (l ‘ revolution) ataupun kebebasan (nibbana) yang ada pada arena pengetahuan (l’evolution) sebagai sebuah dialektika (dialectic) yang menjadikan hukum (Tuhan) tetap senantiasa pada keabadian-Nya sebagai sanksi (nestapa) atas segala sebab ataupun akibat,selain pada,dalam ataupun atas Kebebasan sebagai Dia yang adalah Tuhan belaka,maka sebuah KEHENDAK .adalah Absolud. Pada awalnya adalah sebuah ketiadaan (nothingless),sebuah kekosongan yang merupakan kebebasan sama sekali (paska-kebebasan),hingga kemudian ketiadaan (kekosongan) yang merupakan kebebasan mutlak (absolud ego) dihadapkan pada sebuah kehendak ,bahwa sebuah kebebasan yang sempurna telah dianggap terlampau berkecukupan dan sempurna untuk sebuah kehendak bagi kebercukupanNya sendiri,sebuah kesempurnaan yang tetap akan sempurna meskipun itu tak lagi dikehendaki,namun hal itu tetap menjadi kehendak (kehendak) untuk tetap ada,yaitu kebebasan sempurna adanya ketiadaan (kebebasan) kekosongan,kebebasan yang awali sekaligus akhir yang kerap senantiasa bebas untuk disebut awal kebebasan (unde libertum) ataupun paska kebebasan (post-freedom),karena kedua kata tersebut adalah kebebasan yang tak terikat (asat) bahkan oleh kata kebebasan itu sendiri (nibbana),hingga kemudian apa yang telah dikehendaki ada sebagai sebuah kekosongan (ketiadaan) dihadapkan pada diriNya sendiri yang liyan (other) bahwa ternyata dalam ketidakberkehendakan,keberlampauan yang tiada sampai (ketidak-kinian),yang terdapat kehendak (cetana) yang mengada pada diriNya atau pada segala apapun yang merupakan sebuah ketiadaan (kebebasan),maka kehendak (wil) lalu menjadi (being) pada kehendakNya sendiri,hingga keberadaan ada dengan sendirinya sebagai,sekaligus adalah suatu kekosongan (emptyness). Aku (subjek) yang berpikir (res cogitan),dan aku ada (res extensa) ,diawali oleh kebebasan,sebuah kekosongan (being) ataupun ketiadaan (nothilngless) dari sesuatu yang pada awalnya tak dapat dipikirkan oleh apapun,selain oleh kebebasan yang kosong (satori) dan tiada sebagai pikiran itu sendiri (wu wei),sesuatu yang kemudian dirasakan sebagai sebuah kebenaran (truth),menjadi satu dengan jiwa (psike) hingga kemudian disadari tubuh (raga) sebagai sebuah keberbatasan oleh dirinya,hingga lalu tubuh (body) menjadi awal dari sebuah kesadaran (consioussness),bahwa kesadaran kemudian menjadikan ada atau tak adanya sebuah kebebasan (freedom),atau ketidakbebasan (escape),tubuh (materi) dapat berarti sebuah kebebasan (being it self) ,ataupun juga adalah ketidakbebasan (being out self) ,ataupun keduanya secara bersamaan (being for the others),atau berada diantara ketiganya (being in the middle self),kebebasan manusia adalah kebebasan Tuhan,kebebasan kehendak dan kehendak kebebasan,dua kontradiksi yang mesti ada pada lajur keberantaraan (purgatorio),ataupun kebersamaan,sesuatu yang mesti diatasi ataupun dilampaui sebagai ketiadaan yang bebas,yang dapat merupakan hal yang ini “atau” yang itu,keduanya,ataupun bukan secara keseluruhan,selain sesuatu yang senantiasa menjadi (particulum),sebuah misteri bahwa segala sesuatunya berubah (anicca) dengan setiap segala kebebasan yang ada pada dirinya. Bahwa dalam kenyataanya,sebagaimanapun hukum apapun,tak ada satupun yang dapat mendefinisikan kebebasan dan bahkan kebebasan itu sendiri sebagai sebuah kata yang mesti terjelaskan,karena bahkan kata kebebasan itu sendiri tak pernah cukup memberikan penjelasan bagi dirinya sendiri untuk menjadi tiada bebas,bahwa setiap apapun menjadi bukan kebebasan bilamana hal tersebut dihadapkan pada sebuah rasionalitas subjektivitas (on decontruction) ,selain menjadi pada kebebasan sebagai subjektivitas (subjectivity) pada dirinya sendiri (intersubjektivitas),namun kemudian peradaban (techne) membawa banyak hal pada aras (arena) sistematisasi (reconstruct) yang diharapkan sejalan dengan rotasi kebebasan ke-Tuhanan,termasuk pada alam (samsara),hingga kemudian struktur kebebasan (structure of freedom) yang ada karena kehendak kebebasan menciptakan sebuah struktur setelah adanya sistem yang berkebebasan (system of freedom),metodologi lalu muncul sebagai produk mimetik (peniruan) ,penciptaan Tuhan karena kebebasanNya dalam berkehendak menciptakan sebuah struktur. Hingga kemudian peradaban menjadikan wacana (sawala) ilmu membawa manusia pada sebuah kondisi paska strukturalitas (post-structuralism),sebuah produk tiruan (copy cat) manusia atas penciptaan kebebasan Tuhan (sistem),terhadap kehendakNya yang berkebebasan,hingga apa yang menjadi sebuah kebebasan (sistem) kemudian menyatu dengan apa yang merupakan sebuah kehendak (struktur),sebuah sistem (pengetahuan) lalu menyatu dengan apa yang disebut ilmu (struktur),dimana kemudian menjadi sebuah kontruksi paradoksikalitas (dualitas) antara berbagai apapun yang ada pada segala fenomena (fur mich) kehidupan (civillization) ataupun noumenalitas (an sich) kematian (culture) yang secara hakiki (esse) adalah sebuah kebersamaan,sebagai sebuah ke-tunggalan (singularity) ataupun keberpenuhan (totality),yaitu kebebasan (nibbana) yang ada pada setiap dualitas (paradoksikalitas) sebagai sebuah totalitas,keberpenuhan (monisitas) kebebasan (nibbana) atas kehendak (cetana) yang berkebebasan (parinibbana),yaitu ke-Tuhanan atas apapun tak terkecuali ketiadaan kata (nirguna) yang mewakili kebebasan (guna) sebagai ketiada-bebasan (saguna). Dengan adanya suatu kebebasan (dukha),maka sebuah kehendakpun ada,sebuah kehendak yang awali adalah juga merupakan kebebasan yang awali,segala sesuatu yang menjadi awal senantiasa bermula dari Kehendak,Tuhan adalah kebebasan dan kehendak (Kehendak), sebuah keberpenuhan (atomic) dan kebersatuan nan sempurna (holistic),dan terlengkapi,kebebasan awal ataupun kehendak awal adalah juga awal dari adanya sebuah sistem struktural,sebuah kedaulatan awal (arche-souvereign) yang terutama (primum) dan tertinggi (nocturnal) yang telah dikuatkan oleh sejarah sebagai sebuah kebenaran yang mutlak (ultim),kekuasaan yang mutlak dan sekaligus hukum yang mutlak dalam relativitasnya (penisbian) yang berkebebasan,suatu hukum Tuhan (ius theia) yang adalah Tuhan itu sendiri yang memberikan kebebasan (liberte) setelah adanya ketidakbebasan (unfreedom) dimana keduanya berawal dari padaNya,hukum (iuris) memiliki sifat yang membebaskan sekaligus menjadikan adanya ketidakbebasan (ke-ikatan) yang semata karena adanya ikatan antara kebebasan (ius) ataupun kehendak (lex) sebagai sebuah pilihan yang bagi manusia merupakan kausalitas (statuta),namun tidak bagi sebuah kebebasan (authority) dengan segala kekuasaan diriNya atas segala kebebasan yang lain (hegemoni) karena kebebasan diriNya (Kehendak). Tuhan,,manusia,alam,hukum (order) kemudian dikehendaki untuk ada (ius),menjadikan segala sesuatu menjadi ada pada kebebasanNya (lex),hukum manapun kemudian tak lepas dari adanya sebab akibat,yaitu adaNya Tuhan,kehendak dan kebebasan dimana hukum (statuta) membatasi ketigaNya sebagai sebuah akibat,sanksi (fati) ataupun adalah sebuah resiko (risk) bagi setiap ketidakmenjadian (kepemilikan) ,yang justru menjadikan ketiadaan yang mengada,yang berarti adalah ketidakbebasan (upadana) apapun atas ketidakmenjadian (ketidakpahaman),karena ketidakpahaman (ideotic) identik dengan ketidakmampuan ketiadaan (unlawness) ) untuk memahami keadaan dirinya sebagai kekosongan (avidya),dan hal tersebut dapat berarti keterkekangan (asylum) apapun atas apapun yang merupakan sebuah materi (tubuh) sebagai bukan untuk dirinya sendiri,pada dirinya,dalam dirinya,atas dirinya (selbs) ataupun yang dari dan bagi liyan (others) ,materi kemudian adalah materi itu sendiri yang mempertanyakan Tuhan (a) sekaligus menjadi Tuhan (A),semata hanya karena ketidakpahaman atas Tuhan (AKU) sebagai ketidakbebasan,ketidakberkehendakan ataupun ketidakber-Tuhanan sebagai hukum manapun dari atas kebebasan selain manusia dan bahasa dirinya atau kematian. Kemudian keberadaan adalah merupakan tandingan (pasangan) dari apa yang disebut dengan ketiadaan,apa yang ada senantiasa bersangkat paut dengan tiada,ada ataupun tiada adalah sebuah kesatuan yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan dunia (lebenwelt),meskipun apa yang merupakan kehidupan pada semesta tak selamanya berkaitan dengan setiap apa yang berpasangan,bersandingan ataupun berlawanan (oposisi biner),dengan kata lain kehidupan dunia identik dengan paradoksikalitas (konflik) serta dualitas (harmoni),namun tidak demikian halnya dengan kehidupan semesta yang belum usai untuk terlampau dini disebut sebagai kesamaan kehidupan dengan dunia (mundus),terutama menyangkut apa yang merupakan ketiadaan (nothingless) ,serta apa yang merupakan keberadaan (being),hubungan antara keberadaan (anaklitik) dengan ketiadaan (narsistik),disebut dengan eksistensi yang pada umumnya menyangkut hubungan objek dengan subjek yang kerap kali ditengahi oleh hubungan intersubjektivitas (interobjektibitas) yang sederajat (equal) dimana terjadi ketiadaan subjektivitas (objektivitas) ketika terjadi keberadaan subjektvitas (objektivitas) lain sebagai sebuah faktisitas . Maka hal semacam ini akhirnya disebut oleh Jean Paul Sartre,sebagai intersubjektivitas (interobjektivitas),dimana hubungan antara subjek ataupun objek menjadi serta memiliki hubungan yang setara sebagaimana dalam wacana semiotika (semiology),dimana subjek (penanda) objek (petanda) menjadi lebur (hanyut) dalam keberadaan yang lain (liyan) dari akibat adanya ketiadaan hubungan pada antar dualitas eksistensial (l’existence) menjadi keberadaan baru yang sebenarnya lebih merupakan esensi (having) daripada eksistensi,yaitu: omnisubjektivitas (omniobjektivitas) yang identik dengan keberadaan “LIYAN” (Tuhan),yang berbeda dengan liyan (objek) ataupun Liyan (subjek),kemudian hal ini memunculkan oleh apa yang disebut oleh Jean Paul Sartre sebagai “being in the middle self” (mitsein),yang sekaligus adalah juga “being for the others”, dimana setiap status ada ataupun tiada lebur menjadi satu pada satu monisitas “LIYAN” (OTHER) yang membentuk adanya dunia (other) ataupun adanya semesta (others) dalam keberadaan (implosi) ataupun ketiadaan AdaNya (explosi),sebagai kesatuan dari segala multiparadoksikalitas yang ada pada satu titik ke-Tuhanan (God spot). Pada masa kejayaan Yunani (helenistik),termasuk adanya eksistensialitas Socrates dan Plato,kerap diperdebatkan,bahwa antara ada (fenomena) ataupun tiada (noumnea) sebagai materi dengan roh (geist) adalah merupakan sebagai sebuah kesatuan dialogis,namun mereka juga memperdebatkan antara pemikiran dan perasaan juga sebagai hal yang dialogial,meskipun ini kemudian menjadi sebuah polemik antara Jean Paul Sartre dengan Imanuel Kant,ataupun antara Friedrich Hegel dengan Karl Marx,sebagaimana halnya juga terjadi pada Rene Descartes dengan David Hume,atau bahkan juga pada sisi benar (bonum) ataupun salah (malum) yang menyangkut juga kebaikan (good) serta keburukan (evil) pada aras nilai dan makna dari setiap fungsi potensi manusia atas alam serta Tuhan,dimana kesadaran manusia ditempatkan sebagai intermediasi dari segala konfliktual yang polemis (dualistis) ataupun harmoni dialogis (monisitis) antara apa yang imanen (celesrtrial) dengan apa yang transenden (terrestrial) ataupun antara harapan (sollen) baik sebagai utopia ,ataupun ideologi diantara realitas (sein) yang ada pada setiap medan (arena) kehidupan apapun yang pada dasarnya tak kenal kematian (tod),selain keabadian dari rohaniah manusia (elan perennis) karena kesadaran yang ada padaNya,meskipun manusia tak dapat sepenuhnya menjadi pada diriNya dengan segala apapun. Pada wacana umum apa yang disebut keberadaan identik dengan eksistensi,meskipun sebenarnya apa yang disebut dengan eksistensi sama sekali tak menyangkut semata pengertian eksistensi sebagai sebuah keberadaan semata,namun juga menyangkut lawan kata dari keberadaan,yaitu ketiadaan (I) atau keberadaan (U),menyangkut pikiran ataupun tubuh (matter) yang kemudian disebut oleh Imanuel Kant ,sebagai sebuah fenomena (en soi),berbalikan dengan perasaan serta jiwa yang dikatakan sebagai noumena (pour soi),sesuatu yang sebenarnya melampaui (beyond) apa yang disebut sebagai objek (petanda) atau subjek belaka (penanda) tapi mencakup keduanya sebagai “omnimena” atau layak disebut dengan omnijektivitas (omnijectivity) yang menyangkut hubungan antar fenomena (en soi) dengan hubungan antar noumena (pour soi) sebagai sebuah hubungan yang harmoni (dialogial) ketimbang polemisasi (konfliktual),meskipun pada hubungan keduanya tetap akan menghasilkan tujuan (zweck) yang sama pada sebuah totalitas kesadaran yang hanya dimiliki oleh manusia yang menyadari setiap potensi kesadaran pada dirinya,yaitu,ataspotensi tubuh (shakta) dan jiwa (shakti) serta pikiran (tantra) serta perasaan (mantra) yang menjadikan manusia menyadari setiap potensi yang ada padanya sebagai sebuah modal kebebasan (nibbana) dalam berkehendak,terutama dalam mencapai kesadaran tertentu selain naluri yang ada pada dirinya sendiri sebagai kenyataan potensial dari sisi kebinatangan (minotaur),namun bukan sepenuhnya sebuah humanitas ketika manusia tak menyadari setiap keberpenuhan (totality) segala potensi yang ada pada dirinya,terhubung dengan eksistensi alam serta Tuhan sebagai keberadaan yang berkebebasan untuk meniada,justru ketika segala apapun ada setelah suatu kemenjadian sebagai lahan kepemilikan. Dalam kisi perseptual rohaniah,keberadaan menyangkut kemenjadian (diakronial) sementara ketiadaan menyangkut kepemilikan (sinkronial),namun adalah sebaliknya bilamana manusia meninjau dari visi (perspektif) material,bahwa karena ada sesuatu dapat memiliki namun tak berarti hal tersebut adalah sebuah kemenjadian (beingness),namun sebuah kemenjadian kerap kali merupakan kepemilikan,keberadaan disebut keberadaan pada umumnya bilamana dapat dindrai sebagai sesuatu yang nampak,sedangkan apa yang merupakan ketiadaan adalah sebaliknya,namun demikian sebagaimana yang absolud (ajeg) senantiasa dihadapkan pada sebuah relativitas bahwa apa yang ada ataupun apa yang tak ada dapat berubah ataupun tetap,tergantung pada kadar rohaniah (SQ) yang ada pada sesuatu sebagai sesuatu yang telah dikehendaki sebagaimana adanya sesuatu sebagai sesuatu itu sendiri dan bagi yang lain sehingga sebuah kehendak kemudian menjadi sebuah kebersamaan (being in the moddle self) ketimbang memiliki sebuah kebersamaan sebagai sebuah determinasi (being for the others),sesuatu dikatakan adalah keberadaan bilamana keberadaan lain (liyan) terikat padanya (them),sementara keberadaan tersebut tak terikat pada apapun (ich),sehingga sebuah keberadaan menjadi pada sebuah absoluditas dan senantiasa adalah determinasi atasnya serta merupakan kepemilikan atas dirinya sebagai sebuah relativitas (anicca) yang tak merubah sama sekali sebuah absoluditas dari sebuah tatanan,terutama ketika sebuah keberadaan menyangkut keseimbangan dirinya atas ketiadaan (nothingless),yang juga ada pada dirinya sebagai sebuah kesadaran akan keduanya sekaligus sebagai manusia (patisandhi vinana).ataupun sebuah kekitaaan yang alamiah sekaligus berke-Tuhanan. Adalah sebuah keseimbangan (sadomasokisitas) yang menjadikan adanya eksistensialitas (bad faith) ,yang menyangkut keberadaan (kemenjadian) ataupun ketiadaan (kepemilikan) sebagai sebuah totalitas yang deterministik pada diriNya (AUM),sebuah otoritas atas kebebasan yang ada pada diriNya sendiri sebagai apapun,yang terutama adalah sebuah kehendak yang menjadi cikal bakal dari segala apapun (ontos),termasuk hukum Tuhan,hukum alam (natural law) ataupun hukum yang liyan,termasuk hukum pada manusia ataupun hukum manusia yang berkait dengan segala apapun yang ada ataupun tak ada sebagai hukum itu sendiri yang tak lepas dari paradoksikalitas,namun merupakan monisitas dalam sebuah kehendak yang berkebebasan untuk menjadi ataupun tak menjadi (masoch) ataupun memiliki (sadoch) ataupun tak memiliki sesuatu sebagai sebuah eksistensi,termasuk adalah diriNya sendiri sebagai Tuhan atau apapun,selain kebebasan dirinya sebagai pengada atas ketiadaan (signifier) atau peniada atas keberadaan (signified),namun demikian kebebasan (eksistensi) menjadikan kehendak (esensi) memungkinkan untuk adanya sebuah keberadaan atau bahkan tidak sama sekali selain dirinya sendiri sebagai sebuah otoritas pada diriNya yang tak lepas dari hukum Tuhan (ius theia) sebagai kebebasan, sekaligus merupakan kehendak bagi apapun untuk ada (S) atau tiada (Z) sebagai eksistensi dengan segala kemungkinan atas segala apa yang disebut dengan sebuah absurditas atau sebuah pengharapan pada eksistensi dari sebuah kontruksi nan babaru (post-contruction). Arthur Schopenhauer menyebutkan bahwa kehidupan manusia di dunia (lebenwelt) ,adalah sebuah representasi ke-Tuhanan manusia atas Tuhan (representation),manusia yang dianggap secitra dengan Tuhan (mago dei) melalukan peniruan (mimesis) atas apa yang merupakan kesamaan antara manusia dengan Tuhan,terutama dalam hal kehendak,sebuah kehendak (will) berawal dari sebuah kebebasan,hingga kemudian adanya sebuah penciptaan bagi yang lain,Tuhan dengan kebebasan diriNya telah menciptakan tak hanya sebuah eksistensi (existence) apapun dengan kesenantiaaan (continuity) diriNya,namun juga menciptakan kebebasan (nibbana) dengan kebebasan diriNya melalui kehendak yang ada pada diriNya,kebebasan kemudian memunculkan kebebasan sebagaimana kehendak memunculkan adanya kehendak (cetana),sebuah dialektika yang mungkin juga disebut sebagai sebuah “mimesis” ,namun dialektika tak akan ada tanpa adanya empirisitas (pengalaman) yang muncul dari sebuah proses pengamatan yang belajar (pedagogial),dimana manusia kemudian dihadapkan pada sebuah kesadaran (aware) yang mencerahkan diriNya,bahwa terdapat sebuah kebebasan (nibbana) yang mampu berkehendak karena kebebasan (freedom) yang menjadikan segala sesuatu ada dengan kebebasannya (Nya). Kehendak (will) kemudian memunculkan adanya kebebasan.dimana kebebasan tersebut kemudian juga berkehendak karena kebebasan yang tercipta padanya,apa yang disebut dengan dialektika kebebasan,dialektika kehendak,ataupun sebuah peniruan (mimesis) adalah sebuah representasi,artinya adalah sebuah penghadiran kembali (anagami) atas apa yang pernah terjadi (rehistorisasi) untuk mengembalikan segala sesuatu pada sesuatu yang dapat berakhiran ataupun berawalan (cupidity) atau bahkan tak berawal dan berakhir sama sekali (carity) hanya karena semata sebuah kebebasan (sinkronisitas) ataupun sebuah kehendak (diakronisitas),apa yang merupakan representasi (penghadiran ulang),adalah apa yang disebut Friedrich Nietzche sebagai fakta dari adanya “eternal return”:,atau bilamana kita mau mengutip apa yang dikatakan Mircea Elliade ,hal ini kemudian dikatakan sebagai sebuah “mith of eternal return”,kembalinya mitos (connaissance) ataupun fakta (savoir) adalah sekaligus ketidakembalian atas keduanya sebagai sebuah kebebasan yang merupakan misteri (tacire) sebagaimana layaknya sebuah kehendak,selain sebuah penciptaan (creatio) yang berkesenantiasaan dan tiada tepian batas selain sebuah disiplin Tuhan dari adanya sebuah rutinitas nan teratur (order thing) ,dan harmoni (kosmos) antara kebebasan (pengetahuan) dengan kehendak (ilmu) sebagai sebuah otoritas (competence) yang tiada berkeputusaan akhir dalam kesatuan yang sempurna,dimana kemudian manusia memposisikan kebebasan sebagai sebab dan kehendak sebagai sebuah akibat (causa) bagi setiap kausalitas (korespondensialitas) atas setiap apapun, termasuk salah satunya adalah Tuhan. Pada masa kejayaan Yunani (hellenistic),kehendak adalah merupakan akibat dari adanya kebebasan,termasuk pada manusia,manusia yang tak lepas dari keberadaan tubuh (matter) dan jiwa (spirit) serta pikiran (cognition) dan perasaan (afection) dihadapkan pada naluri dirinya serta kesadaran dirinya bahwa manusia tak lepas dari pemuasan atas setiap hasrat naluriah yang ada pada dirinya (orgiastic),yang pada dasarnya tak beda dengan binatang dalam hal adanya naluri pada keduanya,namun demikian manusia (zoon politicon) dihadapkan pada potensi lain pada dirinya ketika manusia dihadapkan pada pemuasaan atas hasrat naluri pada dirinya,yaitu adalah sebuah kehendak dalam memenuhi tak hanya semata naluri dirinya semata (desiree) ,namun juga adalah pemenuhan atas apa yang merupakan kehendak dirinya yang lebih identik dengan pemenuhan perasaan manusia (l’emotion ), sebagai mahluk yang tak lepas dari kebutuhan dirinya atas segala apapun yang diperlukan oleh tubuhnya,tubuh yang identik dengan materi,dihadapkan pada setiap sisi alamiah yang ada pada diri manusia,termasuk pemenuhan manusia atas makanan,udara ataupun air,yang dapat merupakan sebuah sarana bagi kehidupan manusia dalam menjalani segala sesuatu menyangkut kehidupan manusia,setiap kebutuhan manusia,dalam pemenuhan kehendak materi (causa material) identik dengan kebutuhan manusia atas pemenuhan bagi ruang perasaan dirinya yang kerap kali malahan bukan sebuah kebutuhan yang utama (causa prima) yang kerap merupakan kebutuhan yang justru tak disadari oleh manusia bahkan oleh naluri yang ada pada dirinya sendiri sebagai mahluk yang berkehidupan,kehendak materi pada manusia adalah sebuah sarana yang kerap dijadikan sebuah tujuan (zweck),manusia meraih materi sebagai sebuah kehendak,bersangkut paut dengan kebutuhan egoisitas manusia semata (ahamkara),terutama ketika manusia dihadapkan pada manusia lain serta dirinya sendiri sebagai mahluk sosial dalam kehidupan sosialitas manusia. Pada masa kejayaan Romawi (Roma),mahluk hidup dianggap tak selamanya memiliki kesadaran,meskipun beberapa mahluk memiliki kesadaran,namun kerap kali ketidaksadaran (consiousness) menjadi demikian dominan,terutama ketika ketamakan manusia lebih menguasai manusia dalam pemenuhan hasrat (naluri) ketimbang kehendak (perasaan),apa yang merupakan kehendak utama manusia (causa prima) kerap malahan tak disadari oleh manusia sebagai sebuah kebutuhan yang mendasar bagi manusia,kebutuhan manusia akan adanya kesehatan dan keseimbangan kerap dilupakan manusia karena adanya dominasi naluri manusia (human instink) atas manusia ataupun dominasi peralihan kebutuhan lain pada diri manusia sebagai sebuah kehendak yang pada dasarnya bukan sebuah kehendak yang utama (prime),bilamana manusia menyadari dari setiap hasrat (desiree) ataupun kehendak lain yang ada pada dirinya,maka manusia dihadapkan pada keberadaan dirinya yang tak seimbang (dis-equilibrialitas) ataupun berada dalam kesakitan (ketidaksehatan),apalagi ketika manusia melupakan esensi dasar kebutuhan hidupnya yang utama atas alam (naturalitas),ketidaksadaran bahwa manusia tak dapat hidup tanpa udara,air ataupun makanan pada kebanyakan manusia kerap menjadikan manusia melupakan juga hakekat dirinya sebagai manusia yang tak lepas dari alam ataupun Tuhan. Perkembangan sejarah manusia kemudian membawa manusia yang pada akhirnya telah melupakan kebutuhan manusia (human needs) atas segala apa yang ada pada alam yang pada dasarnya mengikat manusia dalam menjalani setiap pola perilaku kehidupan dirinya di dunia (mundan),ketidaksadaran manusia atas kebutuhan utama (causa prima),justru kerap tak dikehendaki oleh dirinya dalam ketidaksadaran (unconsiousness),hal ini kerap kali memposisikan manusia pada ketidakseimbangan (disharmoni) serta kesakitan (dukha) ataupun ketidaksehatan,manusia kerap melupakan dan tak menyadari segala kisi dari ketidaksadaran dirinya yang pada dasarnya adalah sebuah kehendak yang melampaui naluri (hasrat) ataupun bahkan kehendaknya sendiri,dimana setiap potensi eksistensialitas manusia determinan atas setiap instrumen dari kehidupan manusia meskipun dalam ketidaksadaran,ketiadaan hasrat ataupun kehendak,kebutuhan utama manusia sebagai sebuah sebab utama (causa prima) yang tak disadari oleh dirinya kemudian menjadikan manusia semakin jauh dengan hubungan dirinya dengan alam serta dirinya sendiri sebagai manusia yang tak lepas dari sebuah Kehendak yang merintis strukturalitas manapun. Pada masa abad pertengahan (skolastik),manusia dan kesadaran dirinya kemudian dikondisikan oleh ruang (templum) dan waktu (temphus) untuk menyikapi setiap kekurangan yang ada pada dirinya,pikiran manusia kemudian mengesampingkan segala apapun yang menyangkut kehendak serta hasrat yang ada pada dirinya,penekanan manusia (repression) pada pikiran (cognition) kemudian mengesampingkan kehendak (cetana) yang dianggapnya tak terlampau diperlukan oleh dirinya,penekanan manusia atas pikiran (tantra) sebagai sebuah intrumen dalam mencapai sebuah tujuan (kehendak) lalu dihadapkan pada sebuah selektivitas manusia (human selectivity) atas beberapa kehendak,hasrat (desiree) dan kehendak (will) kemudian di-eliminasikan oleh sebuah efisiensi manusia dalam meraih sebuah akibat (kehendak efisien),pikiran manusia sebagai sebuah modal (instrumentasi) memposisikan manusia pada sebuah keseimbangan (harmonium),dimana berbagai kebutuhan manusia atas tubuh,perasaan,pikiran serta jiwanya menjalani sebuah proses selektivikasi oleh manusia melalui pemikiran dirinya atas segala sesuatu yang dianggapnya sebagai sebuah fungsi (utilitas) sebagai sebuah keutamaan (virtu) bagi dirinya,kehendak kemudian dihadapkan pada status ataupun fungsi manusia dengan segala keunikan yang ada pada dirinya sebagai sebuah eksistensi (ideosinretisity)_yang memiliki kebebasan serta kehendak pada dirinya untuk menjalani tak hanya sebuah seleksi alamiah (natural selectivity),namun adalah juga sebuah seleksi hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri (samskara) sebagai sebuah sebab yang utama (anthropos),manusia kemudian dihadaplan pada kebutuhan dirinya atas fungsi pikiran dirinya dalam mengatasi setiap kebutuhan (kehendak) lain menyangkut apapun yang berada di luar pemikiran dirinya sebagai manusia yang sarat dengan ragam kehendak ataupun naluri yang ada pada setiap potensi yang ada pada manusia yang menjadikan dirinya ada dalam pemikiran dan menjalani sebuah laku kehidupan yang efisien sebagai suatu sebab (causa efisien) bagi yang liyan. Setelah masuknya masa fajar budi (age of reason),ketika manusia telah memenuhi sebagian besar apa yang menjadi kehendak dirinya,manusia kemudian diposisikan pada sebuah kesadaran pada dirinya sendiri,bahwa manusia yang tak lepas dari berbagai macam kehendak senantiasa dihadapkan pada kehendak lain,kehendak senantiasa menjadikan adanya kehendak lain,kesadaran semacam ini menjadikan manusia melekat (upadana) pada banyak kehendak (cetana) yang tiada berpenghabisan (berkesudahan) dan merupakan sebuah kefanaan (anicca),sekaligus sebuah relativitas (kenisbian) sehingga manusia kemudian menyadari ketidakbebasan dirinya,karena adanya kehendak pada dirinya,manusia kemudian menyadari setiap keterikatan (upadana) dirinya dengan segala potensi (elan vital) yang ada pada dirinya,termasuk pikiran manusia (res cogitans).sebagai instrumen pemenuhan segala kehendak yang ada pada diri manusia,manusia kemudian tak hanya menggunakan pikiran dalam berkehendak,namun segala keberpenuhan yang ada pada setiap potensi dirinya. Akhirnya kesadaran manusia akan setiap keterbatasan yang ada pada dirinya (liminality) menjadikan manusia dihadapkan pada sebuah kehendak dari segala kehendak yang ada pada dirinya sebagai sebuah Kehendak (Tuhan) yang kemudian mesti dikehendaki oleh manusia,manusia kemudian dihadapkan pada kesadaran dirinya,bahwa kehendak dirinya meniadakan sebagian besar kebebasan dirinya,hingga kemudian manusia mencari kembali kebebasan dirinya dimana setiap kehendak berawal padaNya,hingga kemudian manusia menghendaki dirinya untuk sebuah kehendak ke-Tuhanan karena sebuah kesadaran akan adanya sebuah kehendak (will) yang mampu meniadakan ataupun sekaligus memenuhi setiap segala apa yang menjadi kehendak dirinya sebagai manusia,yaitu kehendak Tuhan (causa finalis) yang merupakan kehendak (Kehendak) yang ada pada dirinya (Nya) sebagai suatu kemutlakkan (absoluditas) dari segala apapun menyangkut kebebasan (keabadian) ataupun kehendak dari segala apapun (KEHENDAK),baik sebagai sebab (sankara) ataupun akibat (sankata),keduanya (saguna),atau bukan keduanya sama sekali (nirguna),selain Arhat menuju totalitas dirinya melalui “Atheia”sebagai sebuah paradigma.atau sebagaimana dikatakan albert Camus,“Theocide”. Ketika Tuhan membutuhkan diriNya sendiri,manusia kemudian melakukan penciptaan sebagai perwujudan dirinya akan sebuah kebutuhan ke-Tuhanan pada diriNya,setiap mahluk kemudian dihadapkan pada sebuah legitimasi pada diriNya dimana kemudian hukum Tuhan adalah hukum alam dengan segala misteri penciptaan yang berkesenantiasaan,meski tak berarti bahwa hukum manusia mewakili kedua hukum tersebut,hukum yang merupakan juga kehendak Tuhan atas hukum yang lain adalah sebuah kreasi ke-Tuhanan yang kemudian menjadikan manusia ada ataupun diciptakan sebagai bagian dari suatu struktur ke-Tuhanan,manusia adalah sedikit dari sekian banyak ciptaan (mahluk) yang dikaruniai kesadaran,sebuah kesadaran bahwa manusia sama sekali bukan mahluk yang paling sempurna ataupun paling termuliakan sebagaimanabanyak dikatakan melalui banyak agama,beberapa dokrin filsafat kerap mengatakan bahwa manusia dianggap ada jika manusia berpikir,pikiran kemudian diangungkan sebagai suatu potensi yang menjadikan manusia dianggap sempurna dan termuliakan semata melalui perpsepsi manusia sendiri,bilamana manusia sempurna atau mulia karena adanya pikiran sebagai sebuah potensi eksistensial,maka manusia adalah sempurna dan mulia karena potensi perasaan,jiwa ataupun tubuh yang ada pada dirinya sebagai sebuah potensi eksistensialitas. Namun dalam realitas yang ada baik dalam agama ataupun flsafat kerap hanya dikatakan bahwa manusia memiliki kesempurnaan yang termuliakan hanya sebatas pada iman ataupun kebebasan dirinya atas setiap apapun yang bukan dirinya,hukum Tuhan bukan hukum agama,hukum alam bukan hukum filsafat dan hukum manusia bukan hukum mahluk liyan,hukum adalah sebuah keterpilahan (polaritas) namun merupakan sistem karena adanya hukum alam,serta merupakan sebuah struktur karena tak lepas dari hukum Tuhan,kebutuhan manusia adalah sebuah harapan akan adanya sebuah realitas dimana manusia tak lepas dari hubungan antara dirinya dengan manusia lain,alam serta Tuhan sebagai sebuah keseimbangan yang bukan berarti adalah sebuah kesempurnaan ataupun sebuah kemuliaan semata karena memiliki ataupun menjadi pada setiap potensi yang ada pada dirinya hanya sebatas manusia belaka,kesadaran manusia atas eksistensi yang senantiasa tak berkepenuhan adalah awal dari pengenalan manusia pada dirinya sendiri,kesadaran manusia pada dasarnya adalah kebutuhan manusia yang utama dala mengenal dirinya sendiri sebagai manusia dengan segala kelebihan ataupun kekurangan talenta pada dirinya sebagai sebuah ciptaan (monad),sebagaimana ciptaan Tuhan yang liyan. Adalah bahwa tak semua mahluk memiliki serta dapat menjadi dalam kesadaran dirinya untuk menyadari,mengenali serta memahami potensi yang ada pada dirinya adalah bukan sebuah kemuliaan ataupun kesempurnaan,namun adalah sebuah keunikan,keunikan manusia dibandingkan mahluk lain hanya karena manusia memiliki kesadaran (consiousness) bahwa dirinya bukan mahluk yang sempurna ataupun termuliakan,keunikan manusia adalah kesadaran manusia atas setiap kekurangan ataupun kelebihan pada apa yang dipikirkan sebagai tubuh,perasaan ataupun pikiran (tantra),mampu merasakan apa yang dirasakan perasaan atas pikiran,tubuh serta jiwa (mantra),dapat menjiwai apa yang dapat terjiwai dari tubuh,perasaan,serta pikiran (shakti )serta menyadari bahwa secara keseluruhan ada pada tubuhnya (shakta) sebagai apa yang mampu dipikirkan,apa yang mampu dirasakan serta dijiwai semata karena manusia memiliki tubuh serta menjadi pada setiap potensi yang ada pada totalitas (keberpenuhan) yang ada pada masing-masing sebagai suatu keunikan (ideosinkretisitas)yang ada pada manusia dibandingkan keunikan yang ada pada ciptaan Tuhan yang liyan (others). Tuhan pada diriNya sendiri dengan segala kebebasan ataupun kehendak yang kemudian menjadi pada manusia,dalam nasib dan kodrat manusia ataupun pada takdir yang ada pada dirinya sebagai sebuah eksistensialitas dari sebuah fakta akan adanya sebuah ada yang “Lain” (faktisitas) serta adalah merupakan bagian yang melekat dari sebuah faktisitas manusia akan diriNya sebagai Tuhan dimana kemudian manusia terikat pada berbagai macam kebutuhan yang terkait pada setiap potensi eksistensialitas dirinya menyangkut tubuh,pikiran ataupun perasaan ataupun jiwa yang ada pada dirinya,manusia membutuhkan tubuh,memerlukan jiwa,pikiran ataupun perasaan (afection) sebagai sarana eksistensialitas pada dirinya,setiap potensi yang ada pada manusia adalah sebuah sarana (instrumen) bagi sebuah pencapaian manusia atas eksistensialitas terbaik bagi dirinya menyangkut pemahaman ataupun pengenalan diri manusia atas dirinya sendiri,terutama ketika setiap potensi tersebut menjadi sebuah sarana bagi tercapainya kesadaran manusia dalam kebersatuan dirinya ataupun harmoni antara dirinya dengan alam (naturalia) ataupun Tuhan yang tak lepas dari sebuah kenyataan hukum yang ada pada ketiganya,yaitu hukum pada manusia ataupun alam yang didasarkan oleh adanya hukum Tuhan,sebagai kebutuhan dasariah (elemental needs) bagi hukum lain,termasuk keberadaan hukum atas manusia sebagai sebuah sarana bagi harmonisasi antara dirinya,alam dan Tuhan sebagai sebuah kebutuhan tak hanya bagi tubuhnya,namun juga pikiran dan perasaan,termasuk jiwa manusia sebagai sebuah bagian dari salah satu sisi dari kesejatian (perrenis) yang ada pada manusia dalam mencapai sebuah kesadaran manusia yang diawali dari dirinya sendiri sebagai sebuah paradigma awali. Ada terdapat banyak ahli psikologi yang mendefinisikan berbagai definisi perihal kesadaran manusia,namun secara prinsipil apa yang disebut sebagai kesadaran adalah kesadaran manusia akan setiap potensi eksistensial yang ada pada dirinya menyangkut apa yang ada di pikiran dirinya,pada perasaanya,serta adalah apa yang ada pada jiwa serta tubuhnya berkaitan dengan eksistensi lain selain dirinya yang terkait erat dengan kebersatuan dirinya dengan alam serta Tuhan,dan terutama adalah dirinya sendiri sebagai manusia,Sigmund Freud menyebutkan bahwa kontruksi kesadaran manusia (consiusness),terkait pada apa yang disebut dengan “ego” (keakuan),”id” (naluri) serta “superego” (keputusan),”ego” (egoisitas),adalah setiap sisi manusia menyangkut identitas ataupun jati dirinya sendiri,yang disebut Carl Gustav Jung sebagai diri (self),sedangkan “id” yang identik dengan naluri (instink),terkait dengan gairah (energi) manusia (libido),terkait pada gairah (keinginan) hidup (elan vital) yang merupakan energi pembangun (eros) serta gairah mematikan (destruction)),yang disebut dengan “thanatos”,”eros” (psike) ataupun “thanatos” (shadow),terkait erat dengan “anima” ataupun “animus”,yang adalah merupakan bisikan hati (nurani) yang muncul dari sisi keperempuanan (anima) ataupun sisi kelaki-lakian (animus) dalam memutuskan apa yang menurut egoisitas (self) dan “id” sebagai “superego” yang merupakan keputusan dari setiap pertimbangan manusia atas segala potensi yang ada pada dirinya sebagai eksistensi,apa yang merupakan keputusan dari “superego” adalah sebuah pertimbangan dari berbagai keterkaitan antara diri manusia (self) dengan yang setiap aspek liyan (others) yang juga tak lepas dari berbagai potensi berkesadaran yang terbedakan berdasarkan berbagai ragam keunikan (different) yang ada pada manusia yang membedakan juga beragam keunikan dari kesadaran yang ada pada diri (self) pada setiap manusia. Kesadaran (consiousness) adalah keputusan manusia dalam meraih sebuah tingkat kepentingan (kebutuhan) menyangkut apa yang paling benar (truth) ataupun apa yang paling salah (false) berdasarkan keterkaitan dirinya pada setiap apapun yang berkaitan dengan diri manusia yang tak semata sebagai individu belaka,namun juga sebagai mahluk sosial (homo socious),mahluk alamiah (homo naturalis) serta yang mengutama adalah sebagai mahluk yang berke-Tuhanan (homo theia).meskipun terdapat barometer makna (meaning) ataupun nilai aksiologis (aksio-value) yang berbeda pada diri setiap manusia,kelompok sosial (group) ataupun masyarakat (society) mengenai apa yang merupakan kebaikan (good) ataupun keburukan (evil),sebagaimana keduanya terbedakan atas mana yang merupakan kebenaran (bonum) ataupun mana yang merupakan kesalahan (malum),namun pertimbangan manusia sebagai otoritas subjektif (individual) menyangkut pada berbagai kepentingan dan pertimbangan berbeda dari setiap manusia yang berkaitan pada keunikan yang ada pada dirinya (ideosinkretisitas),sehingga dapat dikatakan,bahwa kesadaran manusia berada pada berbagai keunikan ataupun perbedaan hanya karena tak ada manusia yang memiliki kesamaan (equalitas) ketika manusia dihadapkan pada berbagai kebutuhan yang menyangkut apa yang menjadi pilihan bagi setiap laku eksistensialitas yang ada pada dirinya. Namun secara mendasar dapat dikatakan bahwa,kesadaran menyangkut segala tindakan yang merupakan keputusan serta pertimbangan dari setiap makna (meaning) ataupun nilai (value) yang tak hanya baik ataupun benar berdasarkan subjektivitas dirinya semata,namun juga baik ataupun benar berdasarkan manusia,yang terkait pada keberadaan eksistensialitas yang lain,selain manusia,yaitu apa yang ada pada alam (naturalitas) serta apa yang merupakan suatu kehendak dari kekuasaan dari otoritas lain dari keseluruhan yang terkait pada dirinya sebagai manusia,yaitu,termasuk salah satunya adalah Tuhan yang menjadikan manusia mengalami proses penyadaran (konsientasi) pada dirinya dalam mendapatkan penyempurnaan pada diri manusia itu sendiri dalam meraih kebenaran (kebaikan) sejati dan yang utama (virtu) dari segala kebenaran ataupun kebaikan yang ada pada PenciptaNya,sebagai awal (alfa) ataupun akhir (omega) dari segala kehendak apapun,pertimbangan ataupun keputusan menyangkut kesadaran manusia atas dirinya sebagai manusia yang berkaitan dengan alam serta Tuhan serta tak lepas dari hukum pada yang ada pada aras ketiganya,sebuah landasan (paradigm) bagi setiap pertimbangan kehendak manusia melalui otoritas yang ada pada dirinya sebagai sebab lain,selain apa yang merupakan kehendak Tuhan atas dirinya dan juga adalah sebagai aspek yang ada di luar eksistensialitas manusia,dan sebuah akibat sekaligus sebab dari setiap resiko (risk) yang ada pada pertanggungjawaban dirinya sebagai manusia pada Tuhan,hal ini menjadi cikal bakal (unde) dari setiap kesadaran dirinya akan adanya kekuasaan lain selain dirinya sebagai sebuah pencerahan (aletheia) bagi manusia dalam setiap laju eksistensialitas (existence) yang ada pada dirinya sebagai manusia yang tak lepas dari segala paradoksikalitas di dalam dan di luar dirinya.
Posted on: Thu, 28 Nov 2013 08:54:24 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015