Humaniora Untuk Masyarakat Transisi Prof. Dr. I. Bambang - TopicsExpress



          

Humaniora Untuk Masyarakat Transisi Prof. Dr. I. Bambang Sugiharto (Makalah ini dibawakan pada seminar “Strategi Pendidikan Humaniora untuk Masyarakat Transisi”, 2 November 2002, STSI Bandung.) Milenium ketiga adalah perubahan paradigma di segala lini. Masyarakat di mana pun juga mengalami situasi transisi. Di Indonesia perubahan-perubahan itu tumpang tindih sangat rumit. Demikian banyak kekacauan dan ketidakpastian. Membahas ulang peran Humaniora dalam situasi ini memang penting. Pembahasan macam itu dengan sendirinya akan memperjelas mana persoalan-persoalan terdalam peradaban kita, dan apa yang perlu dilakukan dalam pendidikan Humaniora untuk membenahinya. Permasalahan Dasar Peradaban 1. Kaburnya Identitas. • Setelah tumbangnya rezim Soeharto, setiap individu dan kelompok, yang tadinya anonim, tanpa identitas, mendapat peluang untuk tampil. Akibatnya: overacting, saling terancam satu sama lain, dan makin jelas kenyataan bahwa individu Indonesia sebenarnya mentah, kosong dan naif. • Kohesi kelompok menjadi rapuh. Identitas kolektif kebangsaan dan kesatuan kehilangan dasar. Berbagai gerakan separatis mengisyaratkan, bahwa nasionalisme Indonesia selama ini adalah suatu ikatan yang artifisial, bahkan manipulatif, sehingga karenanya rentan. Orang kini menyadari ironi, bahwa konsep “kesatuan” selama ini dipupuk justru melalui berbagai strategi konflik horisontal yang tak habis-habisnya. Akibatnya, kesatuan justru dialami sebagai traumatik, opresif dan eksploitatif. Pluralisme menjadi potensi konflik yang laten dan menyimpan tumpukan dendam. • Dalam perspektif akademis global pun konsep tentang “identitas” dan “kedirian” (self) memang sedang berubah dan dirumuskan ulang. Ada kecenderungan kuat untuk melihat diri dan identitas sebagai plural, nomadik, dan berupa proses, alih-alih berupa sistem tunggal dengan integritas dan konsistensinya ( R. Jay Lifton, Kenneth Gergen, James Hillman, Gilees Deleuze, dsb.) 2. Ambruknya sistem-sistem Gambaran Dunia yang tunggal. • Akibat intensitas interaksi dan komunikasi, tak ada lagi sistem gambaran-dunia (Worldview) yang sungguh murni dan steril. Tiap sistem saling mengadopsi dari sistem lainnya, sering terpaksa membongkar dirinya sendiri, dan mesti menghadapi keragaman tafsir yang kerap sangat dekonstruktif, liar dan tak terduga. Maka sistem baku gambaran-dunia di mana pun kini tak lagi sangat meyakinkan. Mereka adalah kolase hibrida berbagai unsur yang cenderung membingungkan. Berbagai bentuk fundamentalisme dan gerakan radikal adalah reaksi-reaksi panik yang tak mampu mengelola gejala itu secara proporsional. • Centang-perenang gambaran-dunia itu menyebabkan jembatan antara dunia-dalam (inner-self) dan dunia-luar (outer world) menjadi kabur juga. Nilai dan norma menjadi tak jelas. Tak jelas bagaimana seharusnya individu berperilaku dalam dunia ini. Tak jelas lagi kini kapan ia boleh merasa sukses atau gagal; kapan harus merasa bersalah, berdosa atau merasa mulia; kepada apa ia harus setia dan kapan ia harus disebut penghianat, dsb. Bagi banyak orang yang cukup reflektif kini norma-norma yang ada tidaklah memadai untuk menjawabnya. Sering norma-norma itu sendirilah yang justru merupakan persoalan. • Kendati persoalan ini serius, orang cenderung mengelak dari tuntutan berat itu dengan cara: menenggelamkan diri dalam kerja, menikmati materi semaksimal mungkin (pentingkan having, bukan being), mengasyikkan diri di permukaan (pentingkan tubuh, penampilan, status, gosip dan nikmati banyak fun), melupakan diri dalam bentuk-bentuk kemabukan (alkohol, psikotropika), dsb. 3. Ambivalensi “kebangkitan agama”. • Kekaburan identitas, ambruknya sistem gambaran-dunia yang tunggal, tapi juga kerasnya kehidupan dan masalah-masalah ketidakadilan, menyebabkan manusia merasa tak lagi mampu mengontrol hidup dan dunia ini. Perasaan tak aman, kepanikan tapi juga kekosongan menjadikan agama hari-hari ini tiba-tiba menjadi primadona peradaban: suatu instansi yang diharapkan membawa pencerahan. • Namun yang terjadi ternyata sebuah disilusi. Agama-agama dipeluk kembali dan dirayakan hanya sebagai benteng identitas yang egosentris dan kekanak-kanakan, sering malah sebagai senjata untuk memicu peperangan, atau kadang sebagai obat bius macam psikotropika: memberi ketenangan batin kedalam, namun keluarnya memporakporandakan dengan liar segala kaidah dan tatanan. • Sayangnya tendensi itu memang dilegitimasi juga oleh agama-agama sebagai institusi maupun sebagai pola spiritualitas. Sebagai institusi agama cenderung mempertegas in-group dan out-group yang selalu memudahkan timbulnya pertentangan. Sebagai institusi agama pun berkecenderungan kuat meraih kekuasaan, terutama bila sakralitas dikaitkan dengan masalah identitas dan ketidakadilan. Tapi kekuasaan pulalah yang justru mudah membuat agama itu kehilangan wibawa dan kehormatan. Sedang sebagai pola spiritualitas, pola tradisional yang menekankan ketakutan, dosa dan hukuman dalam agama-agama pun membuat agama-agama itu selalu saja bertendensi agresif dan akrab dengan kekerasan. • Masalah lain adalah: di hadapan kesadaran sekular modern dan postmodern yang reflektivitasnya sangat canggih, seringkali agama tak mampu mengimbanginya dengan kecanggihan sepadan. Agama malah tampak sebagai kenaifan dan keterbelakangan. Posisi Humaniora • Humaniora adalah bidang-bidang keilmuan yang fokus utamanya adalah manusia itu sendiri, yang idealnya bermaksud menjadikan manusia lebih manusiawi: lebih mampu memahami diri serta mewujudkan martabat dan idealismenya yang tinggi. Secara tradisional ia terdiri dari: Filsafat, Seni, ilmu-ilmu agama, dan ilmu sejarah. • Sebenarnya Humaniora itu sendirilah, khususnya Filsafat dan Seni Postmodern (bersama kiprah keilmuan dan dinamika postmodernitas umumnya), yang telah mendekonstruksi dan menjungkirbalikkan segala pemahaman kita tentang realitas hari ini, melahirkan banyak kebingungan, dan sekaligus mengubah paradigma dasar pemahaman. • Masalahnya adalah kita kini sedang berada dalam masa transisi. Terlalu dini untuk bisa menunjuk dengan cepat suatu sistem baru yang menawarkan re-konstruksi setelah segalanya terdekonstruksi. Tapi juga problematikanya terlalu kompleks untuk dijawab oleh satu sistem saja. Belum lagi, pola berpikir sistemik itu sendiri pun kini berubah (menjadi pola network, misalnya). • Meskipun tendensi postmodern dalam Filsafat dan Seni kadang memang berlebihan dan ekstrim, satu hal jelas: sejak kemunculan kritik-kritik mendasar itu cara kita memandang realitas tidak bisa sama lagi seperti dahulu. Postmodernisme dalam berbagai sisi memang bisa terasa laknat dan brutal, relativis anarkis, nihilistik depresif. Meskipun demikian, sebetulnya ia lahir justru akibat intensitas reflektivitasnya. Dari sudut ini, segala pembongkaran, disilusi dan disorientasi yang dimunculkannya adalah justru merupakan tahap kearifan baru: tahap ketika kesadaran manusia menyadari produk dan cara kerja sang kesadaran itu sendiri (ibarat orang memperkarakan kacamata yang lama dipakainya tanpa pernah ia pertanyakan). Tahap ketika manusia menyadari bahwa segala klaim tentang realitas adalah buatannya sendiri, bukan cermin “objektif” realitas di luar sana; bahwa berbagai kerangka pandang yang dahulu digunakannya kurang strategis untuk memahami kompleksitas kenyataan hari ini. Ini adalah semacam evolusi kesadaran yang membawa lompatan kualitatif agak radikal. Mengabaikan kenyataan ini karena panik dan hanya demi rasa aman yang dangkal adalah sikap kekanak-kanakan. • Pendidikan Humaniora yang baik untuk saat ini, karenanya, adalah yang mampu membukakan kompleksitas persoalan manusia hari ini, bukan yang justru menutup-nutupinya atas nama dogmatisme akademis (pengutamaan aliran pemikiran tertentu saja), dogmatisme kultural (pengutamaan “budaya asli kita sendiri”), dogmatisme religius (yang biasanya sangat moralistis), apalagi dogmatisme administratif (hormati senior, jangan banyak mengkritik, prosedur harus tepat, dsb.). Hanya bila kompleksitas itu dibukakan maka reflektivitas kemanusiaan kita diperdalam dan dimatangkan. Tantangan baru Humaniora • Lebih spesifik, sehubungan dengan berbagai persoalan dasar peradaban, beberapa arah konstruktif bisa dibayangkan dan perlu dihadapi oleh Humaniora sebagai tantangan baru. • Tentang Identitas. Di Indonesia, kebebasan individu yang dibukakan saat ini sebetulnya membutuhkan kedalaman persepsi dan kemampuan bertanggung jawab yang otonom. Dan ini hanya terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang sering ambigu. Karya filsafat dan seni yang serius dan mendalam biasanya mampu mengungkapkan ambiguitas pengalaman eksistensial yang penting itu, meski karenanya mereka bisa terasa brutal dan mengejutkan. Humaniora perlu merangkul dan mengekspos karya-karya macam itu dengan besar hati, kendatipun mungkin menggoncangkan kita. Kohesi nasional yang rapuh dan kohesi lokal yang dibuat-buat (neotribalisme), agaknya membutuhkan kerangka pandang baru tentang hidup bersama. Adalah “kodrat” generasi sekarang bahwa bagi mereka konsep nasionalisme tak membawa bobot emosional dan historis. Bagi mereka nasionalisme adalah tantangan bagi proyek masa depan yang konteksnya sama sekali baru, karenanya biarkan mereka mencari sendiri pertimbangan-pertimbangan baru tentangnya. Yang perlu bagi Humaniora adalah bagaimana mematangkan kemampuan mereka dalam berpikir dan mengambil keputusan, tapi juga dalam mengembangkan solidaritas etis dengan manusia lain. Tantangan berat agaknya menyangkut identitas yang kini dilihat sebagai plural. Kita telah terbiasa menghayati identitas pada satu sisi saja: sisi konsistensi, sisi integritas sistemik dan stabilitasnya. Maka identitas berganda kita anggap sebuah penyakit atau permainan topeng yang palsu. Kini orang cenderung melihat sisi lainnya: sisi inkonsistensi, sisi rhizomatik (network) dan sisi nomadiknya. Di sini permainan peran, perubahan sikap atau permainan topeng-topeng tidak dilihat sebagai kemunafikan, kepalsuan ataupun penyakit jiwa, melainkan sebagai berbagai cara tersingkapnya potensi-potensi dan misteri kedirian. Identitas adalah sesuatu yang relasional-kontekstual, bukan substansial. Humaniora perlu menggali kompleksitas persoalan ini. • Tentang gambaran-dunia yang hibrida. Interaksi semua dengan semua serta keliaran tafsir menafsir adalah kenyataan yang tak lagi bisa dielakkan. Dari sisi ini, relativitas dan relasionalitas pandangan adalah justru salah satu ciri kearifan. Bersikukuh meyakini “kemurnian” atau “keaslian” adalah kenaifan dan kedangkalan yang bisa berbahaya. Humaniora perlu menyajikan keberagaman pandangan sungguh-sungguh “sebagai rahmat”, namun sekaligus memperlihatkan proses pengaruh-mempengaruhi sebagai “kodrat”. Perlu pula diperlihatkan bahwa tendensi-tendensi memutlakan kemurnian (ras, agama, ideologi) sepanjang sejarah terus menerus telah melahirkan demikian banyak kekerasan massal. Barangkali ada bagusnya bila “seni” digunakan sebagai paradigma dasar Humaniora dalam arti: segala produk peradaban manusia dilihat sebagai semacam karya seni yang lahir dari proses kreatif manusia dalam rangka membentuk dunia-maknanya sendiri (autopoiesis) yang kian mendalam, selalu baru dan makin kaya. Berbagai pemikiran tentang peradaban manusia, bahkan dari wilayah fisika sekalipun (Capra, Prygogine, Bohm) sedang mengarah ke cara pandang ini. Dalam perspektif ini gambaran-gambaran dunia dan sistem nilai akhirnya mesti dibentuk sendiri oleh tiap pribadi bagai seorang pelukis membuat karya kolase. Tentu itu dibentuk melalui interaksi dengan “liyan”. • Tentang ambivalensi agama. Kemunculan agama-agama besar sesungguhnya adalah peluang besar ke arah lompatan kualitatif yang signifikan dalam evolusi manusia. Pertama, agama-agama besar berpotensi sangat besar untuk mematahkan rantai kekerasan dalam evolusi. Hukum rimba yang mencanangkan saling memakan sebagai kunci survival dipatahkan oleh agama-agama itu, dan diganti dengan belas kasih dan kerahiman sebagai nilai tertinggi. Balas dendam diganti dengan maaf yang tak kenal batas. Kemuliaan bukanlah terletak pada pemilikan kekuasaan, melainkan pada kepedulian kita terhadap kaum dhuafa, mereka yang lemah dan tak punya kekuasaan. Keselamatan tergantung lebih pada kebajikan yang kita lakukan kepada sesama, dan bukan terus menerus memusatkan perhatian pada keselamatan pribadi, dst. Namun ternyata rupanya idealisme ini sangatlah sulit untuk terwujud sebab ia menuntut kedalaman dan kematangan pribadi. Sementara kehidupan beragama terus menerus dimotivasi perkara identitas, egosentrisme, insecurity dan infantilisme yang selalu menganggap penting kategori, batasan-batasan dan simbol, yang menyulitkan orang memasuki wilayah esensial tadi. Maka ironi hidup beragama tak pernah hilang juga. Idealnya ia membawa damai, kenyataannya selalu saja agama menjadi pemicu dahsyat peperangan. Idealnya mendewasakan, kenyataannya melestarikan kekanak-kanakan, dst. Kedua, agama-agama besar juga berpotensi sangat kuat untuk menyebarkan universalitas sebagai konsep dan nilai, serta mendobrak berbagai sekat yang memisahkan manusia. Keyakinan bahwa semua manusia adalah sama-sama ciptaan Tuhan yang luhur dan bermartabat sesungguhnya berpeluang sangat besar untuk mematahkan ikatan-ikatan etnis, ras dan ideologis yang terus-menerus telah merusakan dunia manusia. Sayang, kebutuhan akan identitas yang superficial selalu saja menghambat terwujudnya idealisme ini. Agaknya di masa depan Agama hanya akan dianggap bernilai sejauh mampu mewujudkan idealisme yang luhur itu. Untuk itu Humaniora adalah sparing partner yang bagus baginya. Tidak sepenuhnya benar bila dikatakan bahwa yang salah adalah manusianya dan bukan agamanya. Berbagai persoalan sekitar agama sebagiannya timbul akibat aspek-aspek tertentu yang inheren dalam konstruksi agama itu sendiri. Pisau tidak bisa dipakai untuk menusuk kalau bentuk pisau itu sendiri tidak lancip dan tajam. Beberapa aspek dalam konstruksi agama adalah buatan manusia, karenanya tidak mutlak, bisa berubah. Dan agama bukanlah Tuhan. Agama itu relatif, yang mutlak adalah Tuhan. Memutlakan yang relatif sering berarti merelatifkan yang mutlak, mengkerdilkan Tuhan. Relativitas tidak perlu menakutkan, sebab ia adalah peluang pengkayaan dan pendalaman, meskipun membuat ego kita tidak aman dan nyaman. Bentuk-bentuk pemutlakan memang membuat ego kita aman dan nyaman, namun juga kerdil. Kebenaran mutlak hanya ada pada Tuhan sendiri. Kebenaran kita tidak mungkin tidak relatif, sebab kebenaran kita adalah batas kemampuan penalaran kita sendiri. Humaniora, khususnya Filsafat dan Seni, acapkali justru mampu melukiskan aspek misterius alam semesta, kehidupan dan manusia secara lebih mendalam dan pelik daripada yang sempat diungkapkan oleh ajaran agama. Pada titik ini agama justru bisa terasa memiskinkan pemahaman kita tentang Tuhan, manusia dan kehidupan, sementara Humaniora malah memperkaya: membukakan kebesaran, kerumitan dan ketakterdugaan Sang Mahasegala. Bila dikelola dengan baik, Filsafat dan Seni adalah bidang-bidang yang paling berpotensi mendobrak penyempitan-penyempitan dan pembekuan persepsi religius dan setiap kali membetot religiusitas itu kembali ke esensi dan idealisme dasarnya. Hidup religius yang baik membutuhkan Humaniora, terutama Humaniora yang eksplorasinya justru tidak dibatasi segala kaidah agama. Menafikan Humaniora, agama akan mudah terjerumus dalam segala praksis yang bisa menggerogoti kehormatan, sakralitas dan adaptabilitasnya sendiri. Maka Filsafat perlu dihadirkan sejak dini, sejak pendidikan dasar, bukan sebagai mata pelajaran, melainkan sebagai pola-pola berpikir kritis di balik segala proses pembelajaran. Seni perlu dihadirkan pula di sana, bukan sekadar sebagai urusan berindah-indah atau keterampilan teknis, melainkan sebagai: pemupukan keterampilan merumuskan kedalaman pengalaman dalam medan bentuk, serta kemampuan reflektif melalui perasaan dan imajinasi.
Posted on: Thu, 15 Aug 2013 23:48:03 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015