IF I LOVE YOU TOO? (PART 17) By: Rieyo Dengan sekuat tenaga, aku - TopicsExpress



          

IF I LOVE YOU TOO? (PART 17) By: Rieyo Dengan sekuat tenaga, aku mendorong tubuh William yang memang lebih besar dariku. Dia kehilangan keseimbangan, dan terjatuh dari atas bangku. Aku lekas berdiri sambil menormalkan nafasku. William menatap tajam padaku. Dia pasti sangat kesal. “Gue gak mau ngeladenin kelakuan konyol lo!” kataku, sebelum dia sempat mengatakan apapun. “Tapi barusan lu—“ “Ok, gue khilaf! Tapi itu gak akan jadi apa-apa. Lo jangan sekalipun berpikir, kalo gue bakal maen curang di belakang Levi” “Lu udah maen curang, Niel” Shit. “Lu udah mengkhianati dia. Udah terlanjur, kenapa gak lu terusin? Ayolah, gak usah munafik. Gua juga tau kalo lu bisa suka sama gua. Lu suka sama ciuman gua…” lanjutnya, begitu percaya diri. Hell no. Ciuman dia emang lumayan, tapi buatku, masih ciuman Levi yang terbaik. William berdiri dan masih menatap tajam padaku. “Sekarang, gua pengen tau berapa besar sayang lu sama Leviandra…” Aku mengernyitkan kening, merasa akan ada hal berbahaya lainnya. “Lu pilih gua gangguin Leviandra, atau lu yang nyerahin diri sama gua?” Kerutan di keningku memudar. Tubuhku merinding lagi, dengan lebih tak nyaman. Wajahku terasa dingin, karena pasti sudah memucat. Astaga. Dia mengajukan pilihan yang sama sekali tidak ada enaknya buatku. Demi Tuhan, apa salahku? Apa salahku?! “Hm?” dia menaikkan kedua alisnya, meminta jawabanku. Aku mencoba balik menatap tajam padanya. “Jangan sekalipun lo nyentuh Levi” desis ku, agak mengancamnya. William tersenyum puas. Dia paham kalau maksud perkataanku itu berarti adalah aku memilih menyerahkan diri padanya. Sial! “Fine” katanya, tampak girang. Dia kemudian melingkarkan tangannya di badanku dan memelukku. Jemari tangannya mengusap-usap kepalaku. Aku hanya bisa berdiri pasrah dalam pelukannya. Kenapa semuanya jadi begini? WHY ME?! - - - - - “Will…” panggilan Harlan, menghentikan kegiatan William yang sedang membereskan tas nya sambil bersiul-siul. “Hey Lan…” sapa cowok ganteng itu. Harlan mendekat sambil samar mengerutkan keningnya. “Lu lagi seneng ya?” tanyanya, jadi ingin tau. “Hm” William hanya menjawab dengan gumaman dan senyuman sumringah di wajahnya. Jelas sekali kalau dia sedang senang. Harlan memandangnya beberapa detik, berpikir, apa dia harus mengatakan dengan jujur apa yang sudah dilihatnya di ruang ganti tadi siang – atau jangan. “Lu udah beres? Kita pulang bareng sekarang, gua mau traktir makan” kata William lagi, benar-benar tampak sedang gembira. “Ehm, Will, lu abis ngapain Adniel?” tanya Harlan akhirnya, karena penasaran. Dia pikir, tingkah kegirangan William ini mungkin ada hubungannya dengan apa yang sudah dia lihat. William memudarkan senyumannya perlahan, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling, beruntung tak ada teman mereka yang sedang memperhatikan. “Maksud lu?” William pura-pura tak paham. “Gue liat lu meluk dia di ruang ganti tadi siang” jawab Harlan, jujur. William agak melebarkan matanya. Namun dalam hati dia bersyukur karena teman baiknya ini yang melihat. “Itu—“ “Lu lagi ngerencanain apa?” “Nggak kok. Gua cuma…” Harlan memandang William lebih lekat, menunggu penjelasan dari sahabatnya itu. William menghela nafas pelan, kemudian balas memandang Harlan. Tadinya dia berpikir mau sedikit mengelak, tapi rasanya lebih baik kalau dia jujur saja. “Lama-lama, gua ngerasa dia mirip Gilang, Lan…” kata William. “Hah?” William mengangguk. Lalu agak mendekat pada Harlan untuk berbisik. “Gua suka sama dia, dan gua mau nyoba nebus kesalahan gua ke Gilang melalui dia” Kali ini Harlan yang melebarkan matanya. “Lu gila? Dia udah punya pacar” desisnya. William tersenyum. “Gua tau, dan itu udah gua urus” Harlan menggelengkan kepalanya, dia tak bisa melakukan apapun. William dan apa yang diinginkannya, tak pernah bisa Harlan tentang. Lagipula, it’s been a long time melihat lagi senyuman gembira William yang seperti itu. = = = = = “Heh, makan yang bener lu!” teguran Mbak Lidya, menghentikan aku yang sedang mengaduk-aduk nasi diatas piring sambil berpikir tak karuan. Aku memandang pada kakak sepupu ku yang duduk di depanku sambil mengupas buah mangga. Dia memang jarang makan malam-malam dan biasa makan buah. Maklum perempuan, hobi sekali diet. “Kenapa? Gak suka sama masakan gue?” tanyanya pula. “Lu mau makan apa terserah deh, asal jangan gak makan. Bisa didamprat emak lu entar gue” “Ehm nggak kok Mbak…” sahutku cepat. “Gue suka masakan lo, cuma gue agak gak selera makan” Mbak Lidya memandangku, lalu kemudian mengulurkan tangan kanannya yang tadi memegang pisau untuk mengecek suhu tubuh melalui keningku. “Lu sakit? Agak panas euy” ujarnya, jadi memandang cemas ke arahku. “Masa sih?” aku ikut-ikutan memegang keningku, tapi tak merasakan apapun. “Gak akan kerasa kalo sama lu sendiri” kata Mbak Lidya. “Yaudah, cepet abisin makannya, terus minum obat” Aku pun hanya bisa menurut. Sepertinya aku baru sadar kalau badanku memang sedikit tak enak. Situasi beberapa hari belakangan ini memang cukup menguras pikiran dan tenagaku, belum lagi, mungkin agak mengganggu bathin ku. I think I’m stress. Gimana tidak? Aku menyembunyikan rahasia besar pada Levi, padahal aku sudah janji pada diriku sendiri, kalau aku tak akan pernah mau mempunyai sedikitpun rahasia darinya. Aku harus menceritakan semua. Tapi kondisi sangat tidak memungkinkan. Ini semua gara-gara William. Bagaimana aku akan menjadi pacar yang baik, kalau seperti ini caranya?! Rasanya aku mau mati saja. ~ “Hallo?” aku menjawab telepon dengan malas. “Hey beib” Aku memutarkan bola mata ku. Panggilan William itu, terus terang malah membuatku merinding dengan tak nyaman. “Mau apa Will?” tanya ku akhirnya, datar saja. “Gua kangen. Tadi sore kenapa lu gak latihan?” “Gue gak enak badan” “Lu sakit?” “Hm” “Rumah lu dimana sih, Niel? Gua mau nengok” “Gak usah kali, Will” tolak ku tanpa basa-basi. William tampak terdiam beberapa detik. “Besok, gua boleh pulang bareng lu gak?” tanya nya tiba-tiba. “Gue gak tau” “Lu pasti harus pulang bareng Leviandra ya?” Udah tau nanya, gerutuku dalam hati. “Tapi lu bisa bilang sama dia kalo besok lu ada latihan sampe malem kan? Jadi gua bisa pulang bareng lu” kata William lagi. Ck. “Harus ya?” “Iya. Atau lu mau gua gangguin dia?” Anjrit. Dia mulai lagi dengan ancaman yang pasti tidak bisa aku abaikan. “Iya, iya. Besok gue usahain” kata ku akhirnya. “Jangan kepaksa gitu dong. Besok kita emang ada latihan, match nya bakalan seru ngelawan anak- anak kampus laen” “Hm” lagi-lagi aku hanya menggumam. William tampak tertawa pelan disana. “Ya udah, istirahat sana. Sampe besok” “Bye” Klik. Aku langsung mematikan handphone-ku lebih dulu. Kepala ku rasanya pusing dan badanku pegal-pegal tak jelas. Aku memang tidak meminum obat yang Mbak Lidya kasih, karena tak biasa minum obat kalau belum terasa parah. Mungkin kalau aku tidur cepat, besok pagi badanku akan kembali segar. Mana besok ada match. Aku cukup excited, hanya saja mengingat keberadaan William, membuat mood ku jadi drop. Aku mengambil lagi handphone-ku dan mencari nama Levi. Mungkin setelah mendengar suaranya aku akan menjadi lebih baik dan bisa tidur nyenyak. “Niel?” “Sayang…” Levi tertawa pelan. “Iya, kenapa?” sahutnya. Kalau saat di situasi private dan hanya berduaan seperti ini, Levi memang tak akan segan untuk menanggapi panggilan sayang dan manja dariku. “Kamu lagi apa?” “Beresin proposal” “Proposal lagi?” “Iya Niel” Aku menggumam pelan. “Kamu kok belum tidur?” tanya Levi pula. “Kangen kamu” Levi tampak diam, tapi aku bisa menduga kalau dia sedang tersenyum. “Gue serius” kata ku lagi. “Emang siapa yang bilang kamu gak serius!?” Aku tertawa pendek. “Gue beneran kangen kamu, Lev” “Kita kan baru ketemu tadi sore, dan besok juga pasti ketemu lagi” “Gue pengen peluk kamu sekarang” “Hm, anggap aja aku ada disitu lagi meluk kamu…” Aku tersenyum. Seperti yang aku duga, kata-kata dan suara Levi pasti akan lebih menenangkanku. Mengingat besok aku terpaksa akan di dominasi oleh William, membuatku jadi merasa bersalah. Aku harus melakukan kebohongan yang kesekian. It’s not a dirty little secret anymore… it’s a pure cheating. Oh God. “Niel? Masih disitu?” “Ehm iya… lagi bayangin kamu meluk gue” “Haha, parah kamu. Ya udah, tidur sana. Besok kamu banyak kegiatan lagi, kan?” “Ya, kamu juga, jangan maenin proposal terus” ujarku, sengaja memakai nada cemburu di suaraku. Levi tertawa lagi. “Gak usah cemburu sama kerjaan dong, Niel” “Gue gak mau kamu kecapean, Lev” “Iya, iya. Tidur gih—“ “Eh Lev…” “Hm?” Aku terdiam beberapa detik, mengumpulkan keberanianku. “Aku…” “Ya, Niel? Tumben pake aku” komentar Levi sambil tertawa lagi. Aku tak menggubris tawanya. Menarik nafas dan menelan ludah perlahan, untuk menghilangkan gugup. “Aku sayang kamu, Levi” Tawa Levi menghilang dan sekarang aku hanya mendengar suara nafasnya. Dia pasti membeku gara-gara kalimat yang jarang aku sebutkan itu. “Aku juga sayang kamu, Niel” tapi akhirnya dia bisa membalas juga, meski kami sempat terdiam selama beberapa saat. Aku memejamkan mataku, merasakan suara dan kalimat yang dia ucapkan untukku, merasuk ke dalam benak dan perasaanku. This is all that I need. Aku cuma mau Levi dan aku tak butuh orang lain, cewek lain apalagi cowok lain. Keadaanku dengan William, semata-mata karena aku ingin melindungi Levi – itu jelas. Aku tidak mungkin menikmati kecurangan yang aku lakukan di belakangnya, bukan? It’s not interesting, Niel. Berhenti berpikir kalau ini menarik. Aku hanya harus bertahan, sampai William bosan dan berhenti bermain-main seperti ini. Yang penting dia tidak mengganggu Levi-ku. Karena Levi pernah bilang, dia tak akan suka kalau aku menduakannya dengan cowok lagi, mungkin lebih baik kalau aku tidak jujur. Just for now, I’m cheating for good. Meski rasanya memang tidak ada berkhianat demi kebaikan. Argh, kepalaku serasa mau pecah. “Aku sayang kamu Lev… sayang kamu, sayang banget…” gumamku akhirnya, masih sambil memejamkan mata ku. Levi tertawa lembut disana. “Aku tau Niel, aku juga sayang kamu” balasnya lagi. Damn. But exactly, he knows nothing… yet. I’m sorry, my dear Leviandra. = = = = = A/N : hehe, kerumitan lainnya bwt Adniel & Levi. thanks & see u A/N: holla. makasih semuanya yg udah mampir. makasih bwt komen2nya. u guys r awesome ini lanjutannya, enjoy! [#9 – An Angel] Masih belum terlalu sore ketika aku tiba di ruang ganti. Masih sepi, karena sepertinya anak-anak masih ada yang kuliah. Aku menghela nafas dan menyimpan tas ransel ku di atas bangku. Badanku rasanya tak enak dari sejak tadi pagi, begitu juga saat sedang menyimak semua mata kuliah. Untung Levi duduk di sebelahku dan seperti biasa mau membagi catatannya. Beberapa saat aku malah duduk melamun disana, sambil mengamati sekeliling ruang ganti yang belakangan ini jadi seperti tempat yang menyebalkan bagiku. Mengingatkan aku pada kecurangan yang sudah aku lakukan di belakang Levi. Tapi walau begitu, aku tetap tak bisa meninggalkan tempat ini. Selain karena sekarang aku adalah wakil kapten tim basket kampus, aku juga memang sangat mencintai basket. Aku tak mau, masalah sepele dan konyol yang sudah dibuat William, harus membuatku mengorbankan apa yang aku sukai. Ahk, c’mon… where is that strong Adniel Prawira that I used to know!? Aku menggerutu sendiri sambil mengacak-ngacak rambut spike-ku, lalu beranjak berdiri untuk mengganti pakaian saja dengan baju basket. It’s not the time to feel gloomy. Daripada aku hanya meratap dan malah semakin pusing, lebih baik aku menunjukkan diriku yang seperti biasanya. Aku cowok, dan ini hanya masalah kecil! Selesai mengganti baju, aku melakukan stretching- stre tching kecil untuk menghilangkan pegal di badanku. Tadi pagi Mbak Lidya menanyakan apa aku sudah baikan, karena menurutnya, semalam aku agak sakit. Tapi aku tidak bilang, kalau sebenarnya badanku memang masih tidak enak. Aku rasa, kalau dipakai berolahraga, aku pasti akan lebih segar lagi. Tidak puas hanya dengan stretching, aku melanjutkan dengan push-up. Sudah lama rasanya aku tidak melatih otot tangan dan kaki ku dengan cara seperti ini. Seperti biasa, aku berhasil melakukan push-up sampai hitungan 50, meski memang, ada yang agak berbeda – kali ini rasanya sedikit lebih lambat dan aku seperti sedikit bersusah payah. Damn, is there really something wrong with my body!? “Argh” aku mengerang pelan sambil ambruk ke atas lantai. Beberapa saat aku terbaring dengan tertelungkup disana, rasanya cukup nyaman. Mungkin, aku memang butuh istirahat… Baru saja aku seperti akan tertidur, tiba-tiba badanku dibalik oleh seseorang. Aku tersentak, sudah nyaris akan melawan – tapi tidak jadi, ketika aku melihat siapa yang sedang menjebak tubuhku disana. “Levi…” gumamku, nyaris mendesah. Levi yang tengah berada di atas tubuhku, tersenyum lembut. Rasanya seperti mimpi. Aku tidak mendengar dia datang barusan, jangan- jangan ini memang hanya halusinasi ku. Aku mengerjapkan mata berkali-kali, berpikir Levi mungkin akan menghilang, tapi ternyata tidak. “Kenapa tiduran di lantai, Niel?” tanyanya sambil membelai kepalaku, selembut senyumannya. “Ng- nggak… gue abis push-up” jawabku setelah beberapa detik meyakinkan diri kalau yang aku lihat ini nyata. “Kok kamu bisa ada disini? Kapan masuk?” Levi tertawa pelan. “Tadi. Kamu gak nyadar aja, keenakan tiduran” katanya. Aku menghela nafas lega di dalam hati, it’s not only a dream anyway. LIKE DAN KOMENT
Posted on: Fri, 19 Jul 2013 08:40:17 +0000

© 2015