Jakarta - Selama sepekan ini pasar keuangan Indonesia mengalami - TopicsExpress



          

Jakarta - Selama sepekan ini pasar keuangan Indonesia mengalami guncangan yang cukup dahsyat. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok dalam-dalam. Sementara nilai rupiah sempat menembus Rp 11 ribu per dolar Amerika Serikat. Iwan Jaya Azis, Ekonom Bank Pembangunan Asia (ADB), mengatakan tekanan tersebut merupakan dampak dari dua faktor, yaitu eksternal dan internal. Di sisi eksternal, pelaku pasar global masih menantikan kejelasan seputar stimulus moneter di AS. Jika stimulus pembelian obligasi yang sering disebut sebagai quantitative easing ini dihentikan, maka dikhawatirkan aliran likuiditas bakal mengering. Akibat ketidakpastian ini, kata Iwan, investor global cenderung mencari instrumen paling aman yaitu yang berbasis dolar AS. Inilah yang membuat dolar AS perkasa dan melemahkan mata uang negara-negara lain. Iwan bilang, yang paling merasakan dampaknya adalah negara-negara berkembang. Dalam situasi normal, negara berkembang seakan menjadi darling-nya investor karena menjanjikan prospek pertumbuhan ekonomi dan daya beli yang kuat. Aliran modal pun deras mengucur ke negara-negara seperti India, Brasil, Filipina, Turki, termasuk Indonesia. Namun dalam situasi tak normal, dana yang kali pertama ditarik oleh investor adalah dana di negara berkembang pula. Negara macam begini dinilai masih berisiko yang tinggi. "Jadi Indonesia tidak sendirian, negara-negara lain juga kena. Bahkan untuk nilai tukar, rupee India lebih parah dibandingkan rupiah," kata Iwan di Jakarta kemarin. Masalahnya, di Indonesia, selain faktor eksternal masih ada risiko domestik yang juga menjadi kekhawatiran investor. Risiko yang terbesar adalah defisit transaksi berjalan alias current account. Komponen dalam transaksi berjalan adalah neraca perdagangan (ekspor dikurangi impor), neraca jasa, neraca pendapatan, dan transfer berjalan. Dapat dikatakan bahwa transaksi berjalan merangkum interaksi antar mata uang satu negara dengan negara lain. Jika transaksi berjalan defisit, maka artinya arus dana yang diterima suatu negara lebih kecil dibandingkan aliran yang keluar. Pada kuartal II-2013, transaksi berjalan mencapai US$ 9,8 miliar atau 4,4 persen dari produk domestik bruto (PDB). Meningkat dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar US$ 5,8 miliar atau 2,6 persen terhadap PDB. Pembengkakan defisit transaksi berjalan utamanya disebabkan oleh tingginya impor, lebih rinci lagi impor migas, lebih rinci lagi impor produk turunan minyak mentah, lebih rinci lagi bahan bakar minyak (BBM). "Pertumbuhan konsumsi BBM di Indonesia rata-rata tumbuh sekitar 8 persen per tahun sementara produksi dalam negeri belum memadai sehingga harus impor," kata Komaidi Notonegoro, pengamat energi ReforMiner Institute. Menurut data Pertamina, kebutuhan BBM nasional sekitar 1,4 juta kiloliter per hari sementara produksi minyak (lifting) nasional hanya 840 ribu barel per hari. Dengan kondisi tersebut, dalam sehari Pertamina membutuhkan dana sekitar US$ 150 juta untuk mengimpor BBM. Kombinasi faktor eksternal dan internal tersebut menjadi penyebab tekanan yang terjadi di Indonesia saat ini. Lalu sampai kapan tekanan akan berlangsung? "Risiko eksternal tergantung pada kebijakan di Amerika karena semua bersumber dari sana," ujar Iwan. Sementara untuk risiko internal, Komaidi menilai perlu pembenahan jangka menengah-panjang. "Kita masih menjual BBM dengan harga nonkeekonomian, padahal itu barang impor. Artinya ada masalah dalam struktur ekonomi, dan sulit untuk memperbaikinya dalam jangka pendek," tuturnya.
Posted on: Wed, 28 Aug 2013 11:43:58 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015