Jaksa Paksakan Pasal “Pilek” dan “Illicit enrichment”, LHI - TopicsExpress



          

Jaksa Paksakan Pasal “Pilek” dan “Illicit enrichment”, LHI Eksepsi? OPINI | 21 June 2013 Apa saja isi dakwaan jaksa penuntut umum terhadap LHI ?. Berikut ini hasil intipan Liputan6, Rabu (19/6/2013) atas surat dakwaan bernomor 38/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST tersebut. LHI bersama-sama Ahmad Fathanah dituduh menerima hadiah berupa uang sejumah Rp 1,3 miliar dari Maria Elizabeth Liman selaku Dirut PT Indoguna Utama. Atas tindakan itu, Luthfi didakwa dengan Pasal 12 huruf a UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dia juga diganjar dengan Pasal 5 ayat (2) Jo Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Luthfi juga diganjar dengan Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Selain kasus suap, LHI juga dijerat dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Alasannya, pada saat Luthfi menjabat sebagai anggota DPR, dia memiliki harta Rp 381.110.000. Namun diketahui ada beberapa transaksi yang dilakukan Luthfi. Antara lain mentransfer sejumlah uang ke rekening koran bank BCA nomor 2721291539, rekening koran bank BCA nomor 2721400991, dan rekening giro bank BCA nomor 0053494541. Uang untuk pembelian kendaraan bermotor dan properti berupa 1 unit mobil Nissan Frontier bernopol B 9051 QI, satu bidang tanah dan rumah di Cipanas, Jawa Barat, serta 5 bidang tanah di Leuwiliang, Bogor, Jawa Barat. Luthfi juga diketahui menerima pentransferan uang sejumlah Rp 1.761.772.380 dan menerimah hibah atau pemberian 1 mobil Mitshubishi Pajero Sport tahun pembuatan 2009 senilai Rp 445 juta. Penerimaan hibah tersebut merupakan gratifikasi yang menurut UU wajib dilaporkan. Atas tindakan itu, Luthfi Hasan dijerat dengan Pasal 3 ayat (1) huruf a, b, dan c UU TPPU jo pasal 65 ayat 1 KUHP. Selain itu, Luthfi juga dijerat dengan Pasal 6 ayat (1) huruf b dan c UU TPPU. Serta Pasal 3 dan Pasal 5 UU TPPU jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat 1 KUHP. (Ary/Sss) **** Jaksa Penuntut Umum dituntut untuk menyusun surat dakwaan tindak pidana secara cermat, terutama menyangkut perumusan delik dalam pasal pidana yang didakwakan. Jika terdapat kekeliruan, pihak terdakwa dan penasehat hukumnya bisa melakukan eksepsi. Berikut ini beberapa catatan ketidaklaziman surat dakwaan tersebut. 1. Penggunaan UU Tipikor Penjelasan pasal-pasal UU tersebut telah dipaparkan secara gamblang oleh Handoyo Sudrajat PLT Deputi Bidang Pencegahan KPK dalam makalah yang disampaikan pada RakerKementerian Perindustrian, 2 FEBRUARI 2012, sebagai berikut. a. Pasal 12 huruf a: “pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; “ Menurut Handoyo, terjadinya tindak pidana korupsi pada Pasal 12 huruf a harus memenuhi unsur sbb: 1. Pegawai negeri atau penyelenggaran negara 2. Menerima hadiah atau janji 3. Diketahui atau patut diduga 4. Untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan 5. Sesuatu dalam jabatannya 6. Bertentangan dengan kewajibannya b. Pasal 5 ayat 1a “memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; “ Handoyo menjelaskan Pasal 5 ayat 1a harus memenuhi unsur sbb: 1. Setiap orang 2. Memberi atau menjanjikan sesuatu 3. Pegawai negeri atau penyelenggara negara 4. Dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya 5. Bertentangan dengan kewajibannya rocana.kemenperin.go.id/index.php?option=com_phocadownload&view=category&download=349%3A15-p&id=36%3A2012&Itemid=192&start=20 c. Pasal 11 Pasal ini mempertegas keharusan adanya keterkaitan antara jabatan (penyelenggara negara) dengan kekuasaan/kewenangan, berikut ini bunyinya: “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya. “ Sebagaimana dinyatakan dua saksi ahli di persidangan, maupun banyak pakar hukum, kasus LHI tidak terkait dengan jabatannya di komisi I DPR. Sementara itu jabatan LHI yang ketika itu sebagai presiden PKS, tidak termasuk penyelenggara negara. Artinya Pasal 12 huruf a dan Pasal 5 ayat (2) maupun Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak mengena untuk LHI. KPK tentunya bukan tidak menyadari hal itu, buktinya adalah makalah Handoyo pejabat KPK tersebut. Namun KPK tampaknya sedang mencoba-coba menggunakan delik “trading in influence”, ketentuan yang diplesetkan sebagai pasal “influenza” atau pasal “pilek”. Padahal sebagaimana diungkap para pakar hukum, ketentuan “trading in influence” belum ada undang-undang pemberlakuan yang memiliki kekuatan mengikat terhadap perkara korupsi. 2. Misteri Mobil Pajero, tuduhan Gratifikasi tanpa pasal gratifikasi LHI didakwa menerimah hibah atau pemberian berupa satu buah mobil. Hal yang mengherankan, jaksa tidak menuntut dengan delik gratifikasi yakni Pasal 12 huruf b UU Tipikor No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001, yang berbunyi sebagai berikut. “pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;” Pada kolom tanya jawab di website KPK, secara gamblang dijelaskan tentang gratifikasi, sebagai berikut: “Apabila dicermati penjelasan pasal 12B ayat (1) tersebut, kalimat yang termasuk definisi gratifikasi adalah sebatas kalimat : pemberian dalam arti luas, sedangkan kalimat setelah itu merupakan bentuk-bentuk gratifikasi. Dari penjelasan pasal 12B Ayat (1) juga dapat dilihat bahwa pengertian gratifikasi mempunya makna yang netral, artinya tidak terdapat makna tercela atau negatif. Apabila penjelasan ini dihubungkan dengan rumusan padal 12B dapat dipahami bahwa tidak semua gratifikasi itu bertentangan dengan hukum, melainkan hanya gratifikasi yang memenuhi kriteria pada unsur 12B saja. “ kpk.go.id/gratifikasi/index.php/informasi-gratifikasi/tanya-jawab-gratifikasi Jika KPK tidak menggunakan pasal 12b terhadap LHI, maka bisa disimpulkan bahwa KPK beranggapan mobil tersebut bukan termasuk gratifikasi yang terlarang. 3. Penerapan Pasal TPPU untuk “hadiah” mobil Pasal 2 UU TPPU menyebutkan sebagai berikut: Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang berjumlah Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau nilai yang setara, yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan: a. korupsi; b. penyuapan; c. penyelundupan barang; d. penyelundupan tenaga kerja; e. penyelundupan imigran; f. perbankan; g. narkotika; h. psikotropika; i. perdagangan budak, wanita, dan anak; j. perdagangan senjata gelap; k. penculikan; l. terorisme; m. pencurian; n. penggelapan; o. penipuan, yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan kejahatan tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Pasal 6 (1) Setiap orang yang menerima atau menguasai: a. penempatan; b. pentransferan; c. pembayaran; d. hibah; e. sumbangan; f. penitipan; g. penukaran, Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah). Jika KPK tidak menggunakan UU Tipikor tapi UU TPPU, maka penerimaan mobil oleh LHI tersebut berarti dianggap sebagai penyuapan (pasal 2 b) atau hibah yang berasal dari sebuah hasil tindak pidana (pasal 6 d). Jika demikian, tentu harus jelas siapa penyuapnya atau siapa pelaku pidana TPPU yang menghibahkan mobil tersebut kepada LHI. Pemberi mobil tersebut tentunya mesti dijadikan tersangka pula oleh KPK. Padahal sejauh ini belum diketahui siapa pemberi mobil pada tahun 2009 tersebut, belum ada pemanggilan oleh KPK terhadap pihak yang memberikan mobil, baik sebagai saksi maupun tersangka. 4. Penerapan Pasal TPPU tanpa “predicate crime” KPK tampaknya gamang menjerat LHI hanya dengan pasal-pasal UU Tipikor, sehingga membuat dakwaan berlapis dengan menggunakan pasal TPPU. Luthfi Hasan dijerat dengan Pasal 3 ayat (1) huruf a, b, dan c UU TPPU; Pasal 6 ayat (1) huruf b dan c UU TPPU. Serta Pasal 3 dan Pasal 5 UU TPPU. Namun penggunaan pasal TPPU oleh KPK masih dipertanyakan kejelasan pidana asalnya (predicate crime). Walhasil persis seperti yang disinyalir Prof. Romli Atmasasmita, bahwa KPK menerapkan terlebih dahulu TPPU, lalu berupaya mencari kesalahan tersangka, hal mana yang menurut beliau, tidak boleh. Kuat dugaan KPK sebenarnya mencoba menjajal ketentuan dalam Konvensi PBB tahun 2003 yang memuat tentang “illicit enrichment” (kekayaan yang diperoleh secara tidak sah) dan “reversal of burden of proof” (pembuktian terbalik). Namun bagaimana semestinya aplikasinya, telah dijelaskan dengan gamblang oleh Prof. Romli Atmasasmita, Guru Besar Emeritus Hukum Internasional dalam sebuah tulisan berjudul “Aplikasi UNCAC ke sistem hukum pidana nasional” di harian Sindo (14/6/2013). Berikut ini kutipan penjelasan beliau. UNCAC atau Konvensi PBB Antikorupsi (2003) telah diratifikasi dengan UU RI Nomor 7 Tahun 2006, sehingga dalam sistem hukum pidana Indonesia masih diperlukan UU Pemberlakuannya baik bersifat perubahan terhadap UU RI Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001, maupun UU baru yang menggantikan seluruh ketentuan dalam UU tersebut. UU pemberlakuan tersebut diperlukan karena ketentuan Pasal 11 UUD 1945 hanya bersifat pengesahan atas UNCAC bukan bersifat pemberlakuan ketentuan suatu tindak pidana. Selain itu, juga karena sistem hukum pidana Indonesia mengakui asas legalitas (Pasal 1 ayat 1 KUHP) yang menegaskan tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan perundang- undangan pidana (Indonesia) yang telah ada. Artinya sistem hukum pidana Indonesia mengakui asas non-retroaktif sepanjang mengenai perbuatan yang dapat dipidana (hukum pidana materiil) menurut Undang-Undang Pidana. Kekuatan perundangundangan pidana (Indonesia) yang telah ada yang mengatur tentang tindak pidana korupsi, adalah UU sebagaimana disebutkan di atas. Konvensi PBB Antikorupsi merupakan “nonself executing treaty” sekalipun memuat ketentuan seperti, “illicit enrichment” , “trading in influence”, ”bribery in the private sector”, dan “abuse of function” sehingga masih memerlukan UU Pemberlakuannya, yaitu perubahan terhadap UU Tipikor yang telah berlaku. Atas dasar uraian di atas, jelas bahwa adalah keliru jika ada pendapat ahli hukum pidana yang mengemukakan bahwa, UNCAC atau Konvensi PBB Antikorupsi 2003 serta-merta berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat dan dapat diterapkan dalam perkara korupsi di Indonesia dengan alasan telah diratifikasi. Kita harus membedakan antara UU Pengesahan dan UU Pemberlakuan dalam konteks kekuatan mengikat suatu undangundang terhadap perkara korupsi. **** KPK tampaknya mengabaikan pendapat para ahli hukum dan nekad menabrak Pasal 1 ayat 1 KUHP. Bisa jadi hal ini untuk menutupi kegagalan KPK membuktikan pemberian uang Rp. 1,3 milyar dari PT. Indoguna yang didakwakan sebagai suap untuk LHI. Sejauh ini belum ada bukti LHI menerima atau terhalang untuk menerima uang tersebut. Pledoi Arya dan Juard, menegaskan bahwa uang itu tidak sampai ke LHI dan beliau merasa ditipu oleh Ahmad Fathanah yang menjual nama LHI namun memanfaatkan uang tersebut untuk pribadinya. Bagaimana ujung kasus ini, semoga tidak menjadi “Prahara KPK”. hukum.kompasiana/2013/06/21/jaksa-paksakan-pasal-pilek-dan-illicit-enrichment-akankah-lhi-eksepsi--570798.html
Posted on: Fri, 21 Jun 2013 13:26:33 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015