Jika Tuhan menunggu waktu yang tepat mengulurkan tangan-Nya kepada - TopicsExpress



          

Jika Tuhan menunggu waktu yang tepat mengulurkan tangan-Nya kepada kita, maka kita pun harus bersabar menunggu pertolongan-Nya. Pernahkah anda mendengar cerita tentang orang kaya yang harus jatuh miskin hanya dalam satu malam? Padahal tidak ada seorang pun yang menduga ia akan mengalami kebangkrutan yang demikian menyesakkan. Penyebabnya bisa sepele; kebakaran, tertimpa bencana alam atau pun yang lain. Bisa jadi, perubahan nasib itu bersifat gradual, tetapi sering kali tidak masuk akal. Seorang pengusaha yang bertahun-tahun mengumpulkan harta, entah lewat jalan halal atau haram, harus menghadapi hari tua dengan kemiskinan yang menyengsarakan karena uang harus terkuras habis untuk mengobati matanya yang berlahan-lahan jadi buta. Di ujung hidupnya ia kesepian, buta jatuh miskin dan tinggal anak dan isterinya. Atau barangkali Anda pernah mendengar cerita-cerita happy ending bak Cinderella, seorang yang begitu miskin nyaris tak punya harapan harus mengalami revolusi luar biasa, menjadi manusia kaya raya dalam sekejap. Jalannya bisa banyak, entah karena menang undian, menang kuis berhadiah milyaran seperti dalam film Slumdog Millionaire, di peristri seorang raja atau Milyuner, atau sebab-sebab lain. Dan anehnya, semua benar-benar terjadi. Apa yang bisa kita baca dari kejadian-kejadian yang menyentak dan mungkin bagi sebagan orang terasa aneh dan tidak masuk akal itu? Apakah itu menunjukkan bahwa takdir sebagian hak mutlak Tuhan untuk menentukan hitam putihnya manusia benar-benar ada, rigid dan tidak bisa ditawar? Ataukah itu merupakan buah atau balasan baik berupa reward maupun punishment yang akhirnya dipetik oleh manusia karena kebaikan atau kesalahan? Jika kita memilih pendapat pertama kita akan terjebak kepada paham fatalis, yang menganggap manusia hanyalah wayang-wayang yang segala gerak bahkan helaan nafasnya telah ditentukan oleh Allah, Sang Pencipta. Pada titik ini, manusia pada akhirnya harus selalu kalah dan menyerah kepada kehendak Tuhan, tanpa bisa menawar. Paham seperti ini pada titik tertentu mampu membantu orang-orang yang jatuh pada takdir terburuk dalam hidupnya untuk bersabar, pasrah dan mampu menghibur diri atas kejatuhannya, ia bisa menghibur diri dengan menunjukkan Tuhan sebagai penentu nasibnya. Tetapi pada titik lain, paham seperti itu hanya membuat manusia berjiwa kerdil, mudah menyerah, malas bangkit dan takut terjatuh lagi.paham inilah yang banyak membuat manusia terlena dalam dekapan kemiskinan yang disandangnya tidak lain dari kehendak Tuhan yang tidak bisa ditawar lagi. Sementara itu, jika kita memahami perputaran nasib manusia sebagai buah dari kebaikan dan kesalahan yang telah diperbuatnya, maka kita pun harus rela menghadapi kenyataan yang sangat idealis, dimana begitu banyak orang-orang yang dalam kacamata awm begitu keji dan bejatnya, tetapi kita tidak pernah melihatnya mendapat kesengsaraan hidup. Sebaliknya, betapa banyak manusia nyaris tanpa cela yang harus menerima takdir dalam penderitaan yang menyakitkan. Tuhan Tahu, Tapi Menunggu Tetapi jika kita menengok cerita-cerita para nabi, kita bisa membaca riwayat hidup manusia hanya dengan kacamata hitam putih: manusia suci dan baik – meskipun harus mengalami banyak kesusahan hidup pada akhirnya akan selalu diselamatkan Tuhan, dan si kafir yang arogan akan ditenggelam Tuhan bersama para pengikutnya dan harta kekuasaan yang dibanggakannya. Kita tentu pernah mendengar cerita (Al-Quran) bagaimana perjuangan Nabi Ibrahim A.S menghadapi kezaliman dan arogansi seorang penguasa bernama Namrud. Demikan pula cerita tentang Musa yang harus berhadpan vis a vis dengan ayah angkatnya sendiri, Fir’aun penguasa tertinggi mesir pada masanya. Demikian pula dengan para nabi dan orang seleh lainnya dalam berhadapan dengan para penguasa atau kaumnya sendiri yang zalim dan kufur. Al-Quran tentu saja tidak banyak mengupas bagaimana susah dan beratnya cobaan dan perjuangan yang harus dialami oleh Nabi Ibrahim AS dan juga Musa AS karena Al-Quran sebagai kitab suci tentu saja membatasi diri dri penjelasan-penjelasan yang berpanjang lebar, apalagi detail. Kitab suci mungkin hanya menjelaskan sedikit saja penggalan kesulitan hidup dari manusia-manusia suci itu, sebelum akhirnya menutup cerita hidup dengan happy ending yang mungkin sudah bisa kita tebak logikanya. Akan tetapi, kita tentu bisa membayangkan bagaimana beratnya beban hidup dan pederitaaan yang harus mereka alami, baik sendiri maupun bersama para pengikutnya dalam menegakkan kebenaran yang meeka yakiniddan menghadapi kezaliman para penguasa yang kufur dan korup. Kita bisa membayangkan bagaimana beratnya cobaan hidup yang harus dialami Ibrahim AS yang harus terusir daru keluarganya dan dianggap tidak waras oleh kaumnya karena melawan mainstream budya kaumnya yang paganis. Apalagi menghadapi arogansi Namrud yang begitu berkuasanya. Kita juga bisa bayangkan bagaimana Musa AS dengan berani meniggalkan kemewahan istana Fir’aun untuk membela kaumnya, Bani Israel, yang menjadi budak dan buruh kasar di Mesir pada waktu itu. Ia harus rela menukar nasib dari penghuni istana termegah pada masanya menjadi seorang buron kelas wahid yang paling dicari. Jadi, meskipun pada akhirnya semua kesulitan hidup itu berakhir dengan happy ending, tetapi ada proses panjang berupa kesulitan dan cobaan hidup yang harus mereka lalui. Bisa jadi, keulitan hidup itu mencapai puncaknya sampai-sampai mereka hampir kehilangan harapan dari rahmat Allah SWT, sebagaimana Yunus AS yang karena tidak kuat menahan beban dan tekanan dari kaumnya lari meninggalkan kaumnya justru pada titik-titik kritis dari penderitaaannya. Padahal, tidak berapa lama setelah kepergian Yunus AS, kaumnya diberi peringatan oleh Allah SWT berupa bencana hawa panas yang membuat kulit mereka terasa terbakar dan beubah. Pada saat itulah mereka mencari Yunus AS untuk bertaubat. Dan sebagai seorang Rasul, Yunus sendiri akhirnys di ingatkan oleh Allah SWT untuk kembali kaumnya dengan cara dibuang dari kapal dan diselamatkan oleh seekor ikan paus. Demikian juga kepada manusia biasa. Penderitaan hidup itu boleh jadi terasa begitu berat, sulit dan menghinakan, sampai-sampai kita kehilangan kepercayaan akan besarnya rahmat Allah SWT. Kita menganggap Tuhan sudah melupakan kita, Tuhan sudah tidak mendengar kita, Tuhan sudah tidak melihat doa-doa kita,shadaqah kita, dan tahajjud kita di malam buta berurai air matahingga akhirnya kita menyerah dan berhenti unutk berusaha. Kita anggap semua yang sudah kita lakukan hanya kesia-siaan yang tidak akan mengubah apa-apa. Kita melihat apa yang kita punya, dan kita merasa, bahwa mustahil nasib kita berubah. Kita mungkin berfikir, bagaimana mungkin Tuhan bisa mengangkat kita dari keterpurukan yang tampaknya yang mustahil untuk diperbaiki. Padahal, Tuhan selalu punya cara, sebagaimana Ia telah menyelamatkan NAbi Musa, Yunus, Ibrahim dan orang-orang soleh dari kezaliman para penguasa dan kaumnya. Dalam logika manusia pad waktu itu, mustahil rasanya Nabi Ibrahim AS dan Musa AS keluar dari kesulitan hidup berhadpan dengan Namrud dan Fir’aun. Sebaliknya, rasanya mustahil Namrud dan Fir’aun yang memiliki kekuasaan yang begitu besarnya haru kehilangan segalanya. Di situlah, Tuhan selalu punya cara. Demikian pula dengan penderitaan dan kesulitan hidupyang kita alami. Seringkali penderitaan yang berat membuat kita putus asa, sehingga kita tidak mau lagi berharap akan rahmat Allah, kerana kita merasa Tuhan sudah tidak mau lagi melihat dan mendengar doa-doa kita. Padahal, bisa jadi yang kita butuhkan hanya sedikit kesabaran lagi sebelum happy ending itu kita raih. Bisa jadi saat-saat paling kritis dalam keterpurukan kita justru merupakan titik balik pertolongan Allah SWT kepada kita, sebagaimana titik kritis yang dialami Nabi Yunus AS. Sya beranggapan benar apa yang dikatakan Sastrawan Leo Tolstoy: “Tuhan tahu, tapi menunggu”. Jika Tuhan menunggu waktu yang tepat mengulurka tangan –Nya kepada kita, maka kita pun harus bersabar menunggu pertolongan –Nya. Kita mungkin tidak tahu, mengapa kita harus menunggu namun yakinlah, Tuhan pasti memilihkan takdir terbaik bagi kita. Hanya saja, kita sebagainya mahkluknya, tidak bisa membaca kebaikan dari rencana Tuhan atas diri kita. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. ( QS. Al-Baqarah : 216 ). Sumber : M.H
Posted on: Sun, 30 Jun 2013 07:35:43 +0000

Trending Topics




© 2015