Jilbab Galau by hikmahua ⋅ Mungkin, apa yang saya lihat juga - TopicsExpress



          

Jilbab Galau by hikmahua ⋅ Mungkin, apa yang saya lihat juga sering teman-teman saksikan di jejaring sosial, terutama Facebook. Di sana, banyak orang memajang foto-foto mereka. Tidak terkecuali mereka yang—dalam istilah orang Indonesia—berjilbab, yaitu mengenakan kerudung yang menutup kepala hingga dada kecuali muka, serta pakaian longgar dan tak transparan yang menutup seluruh tubuh kecuali telapak tangan. Di beberapa negara, mereka sering menyebutnya sebagai hijab. Nah, beberapa di antara mereka kerap membuat saya, bisa jadi teman-teman juga, bertanya-tanya, ”Sebenarnya mereka ini berjilbab atau tidak, sih?” Seorang yang berjilbab biasanya mafhum bahwa jilbabnya hanya boleh dibuka jika semua orang yang ada di dekatnya adalah muhrim. “Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita…” (An-Nur:31). Namun, entah karena kurang pengetahuan atau ingin memperlihatkan tampilan asli tanpa jilbab atau merasa lebih menarik tanpa jilbab atau hal lain, banyak yang tidak sungkan mengunggah foto tanpa jilbab dan bahkan menjadikan foto tersebut sebagai foto profil. Padahal mereka pasti tahu dong, memasukkan sesuatu ke jejaring sosial seperti Facebook itu berarti menyiarkannya ke seluruh dunia. Semua yang menggunakan Facebook dan jejaring sosial lain pastilah tahu bahwa jejaring sosial itu adalah tempat umum (public space). Artinya, di sana tak hanya ada keluarga kita, tapi juga orang lain yang tak kita kenal. Orang baik atau jahat, semua ada di sana. Mengunggah foto tanpa jilbab dan membiarkannya dilihat banyak orang sama saja dengan membuka jilbab di depan umum alias tidak berjilbab. Fenomena lainnya adalah mengunggah sendiri foto kenangan masa lalu yang tanpa jilbab. Kalau itu foto waktu masih bayi atau belum akil baligh masih bisa diterima karena dalam usia tersebut seorang perempuan belum diwajibkan berhijab. Nanti, jika kita sudah tua renta, sudah tak menarik lagi, bolehlah kita mengunggah foto tanpa jilbab. Ya, karena perempuan lansia tak wajib berjilbab. “Hai Asma’! Sesungguhnya apabila wanita telah mencapai umur haid, maka tidak patut lagi terlihat darinya selain ini dan ini. Lalu Nabi menunjuk kepada muka dan kedua telapak tangannya.” (H.R. Abu Daud dari ’Aisyah) Atau, jika foto itu diunggah oleh seorang teman atau kenalan tanpa sepengetahuan kita, masih bisa dimaklumi. Tapi, yang banyak terjadi adalah, sebagai contoh nih, para perempuan berjilbab itu menggunggah sendiri foto pernikahan beberapa tahun lalu yang tanpa jilbab. Kalau sekadar ingin memberitahu orang lain kita sudah menikah, cukup ditulis di bagian status atau ditautkan ke pasangan kita, tidak perlu mengunggah foto yang malah membuka aib kita. Logikanya, sesuatu yang harus ditutup itu adalah aib. Nah, membuka aib sendiri akan mengundang orang lain untuk menggunjing atau mengganggu kita. Ada 1001 cara untuk memproklamirkan diri sudah menikah di jejaring sosial. Mempertahankan jilbab dan menutup aurat itu wajib hukumnya, sementara berjejaring sosial itu hukumnya hanya mubah. Dan kalau menggunakan jejaring sosial membuat kita memajang foto tanpa hijab alias membuka jilbab, di sinilah hukum berjejaring sosial bisa menjadi haram. Yang membuat prihatin, suami mereka juga cuek saja saat di-tag oleh istri mereka di Facebook dan membiarkan istri mereka mengunggah foto-foto tak berjilbab itu. (Satu pelajaran di sini: pasangan kita adalah cerminan diri kita). Anehnya lagi, si suami suka ribut menyarankan orang lain atau kerabatnya berjilbab. Nah loooh. Hal menggelitik lainnya adalah foto dengan kerudung ala Benazir Bhutto alias menutupi sebagian rambut dengan poni muncul di depan. Kita lupa bahwa berjilbab itu menutup seluruh rambut di kepala, bukan sebagian. Jilbab dengan sebagian rambut tampak bukanlah jilbab, bukan hijab. Jika foto ini yang kita tampilkan dan mengaku berjilbab, kita salah besar. Atau lainnya, foto dengan bagian kepala berkerudung, tapi sebagian lengan atau betis terlihat. Ooow. That’s sooo bad. Berjilbab itu harus ikhlas. Berhijablah karena Allah, bukan karena memenuhi permintaan pacar, suami, ayah, ibu, karena mode atau lainnya. Jika berjilbab karena Allah, kita akan berusaha mengikuti apa yang Allah dan Rasul-Nya ajarkan dalam berjilbab. Yaitu, tidak membukanya di depan orang yang bukan muhrim di mana pun dan kapan pun, di dunia nyata atau di dunia maya, serta menutupi apa yang harus ditutupi meski hanya sehelai rambut. Lelah berjilbab tapi tanpa keikhlasan, hanya akan menimbulkan kesia-siaan. Kalau mengaku berjilbab, tapi masih mengumbar foto-foto tanpa jilbab atau foto berponi, jilbab kita tentulah menimbulkan pertanyaan. Ikhlas atau tidaknya seseorang berjilbab bisa terlihat dari foto diri yang ia unggah. Kita harus tahu, menjaga jilbab diri sendiri sama dengan menjaga kehormatan jilbaber lain. Kegemaran kita mengunggah foto tanpa jilbab akan membuat orang berpikir bahwa mengunggah foto tanpa hijab seorang jilbaber, misalnya, sebagai hal yang sah-sah saja. Untuk yang memiliki istri, saudara, atau teman yang telah berjilbab, kewajiban kita adalah turut menjaga jilbab mereka di dunia maya. Saya banyak melihat suami-suami yang mengunggah foto istri tanpa jilbab atau membiarkan istri mereka mengunggah foto tanpa jilbab, sementara si suami sibuk menyarankan orang lain berjilbab, istrinya sendiri tak terkontrol. Bagaimana ini? Menjaga jilbab istri, saudara perempuan, atau teman di dunia maya sama dengan menjaga kehormatan mereka karena hakikat jilbab itu adalah untuk menjaga kehormatan seorang perempuan. Kalau sebagai suami, saudara, atau teman kita malah membiarkan atau bahkan mengunggah foto tanpa jilbab mereka, sesungguhnya itu berarti kita tidak menyayangi mereka. Ya, mungkin kita bangga memiliki teman atau kekasih yang cantik dan ingin pamer di dunia maya. Tapi, apa manfaatnya untuk hidup kita? Dan kalau orang-orang sudah terpesona dengan kecantikannya, kita mau apa? Ada yang berkilah, “Mungkin baru berjilbab.” Mungkin. Tapi, banyak yang sudah lebih dari satu dua tahun berjilbab melakukan hal ini. Menurut saya, ini masalah logika dan keinginan untuk berjilbab dan belajar berjilbab dengan baik saja, bukan masalah baru atau lama berjilbab. Bukan juga masalah dia keluaran institusi pendidikan Islam atau jebolan pesantren, yang sudah kenyang dan hapal dasar-dasar Islam. Itu bukan sebuah jaminan seseorang akan berjilbab dengan baik di dunia maya. Teman kantor saya baru dua tahun berjilbab. Dia lahir dari ayah Katholik yang saat menikah masuk Islam. TK hingga SMA ia jalani di sebuah sekolah Katholik terkemuka di Yogya. Saat mulai berumahtangga, ia masih sering dugem. Tapi, ketika mulai berjilbab, ia paham bahwa foto tanpa jilbabnya tak boleh muncul di jejaring sosial. Masalahnya, ia mengaku sedikit gagap teknologi. Kesungguhannya terlihat ketika suatu hari dia meminta saya menghapus foto tanpa jilbab yang pernah dia unggah sebelum berjilbab. Dan saya melihat, sejak berjilbab dia tak pernah mengunggah foto tanpa jilbab di akun Facebook-nya. Dia juga resah memikirkan foto-foto sebelum berjilbab yang diunggah oleh teman-temannya. Padahal, dalam kacamata umum, foto-foto itu sopan, kok. Oh, satu lagi. Teman saya ini tidak ikut pengajian apa pun. Tidak ada yang mengajari dan menceramahi. See? Yang seperti ini tak perlu kecerdasan tingkat tinggi dan membaca kitab-kitab agama nan canggih. Hanya perlu kesungguhan dan keikhlasan. Sebagai penutup saya kutip rangkaian kata dari akun Facebook Women In Islam dengan tambahan satu kalimat terakhir dari saya: Hijab with 5 layers of makeup is NOT hijab. Hijab with tight clothes on is NOT hijab. Hijab with hair on the side is NOT hijab. Hijab with a bad attitude is NOT hijab. And Hijab with photo without hijab on social network is NOT hijab. Berjilbablah dengan tegas. Jangan gamang.
Posted on: Wed, 04 Sep 2013 04:53:40 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015