KEGADUHAN DEMOKRASI INDONESIA !!! Politik itu selalu gaduh dan - TopicsExpress



          

KEGADUHAN DEMOKRASI INDONESIA !!! Politik itu selalu gaduh dan menegangkan. Terlebih dalam sistem demokrasi bagi sebuah masyarakat yang besar dan plural seperti Indonesia. Terdapat 34 provinsi, 409 kabupaten, dan 93 kota. Kalau saja pilkada tidak dilaksanakan serentak, hampir setiap hari ada pilkada untuk memilih gubernur, bupati, dan wali kota. Betapa gaduh, meriah, dan menegangkan. Belum lagi pemilu di tingkat nasional untuk memilih anggota DPR dan pasangan capres-cawapres. Kita tidak tahu persis, berapa triliun uang beredar untuk biaya kompetisi pesta perebutan kursi jabatan itu. Sungguh mahal menyelenggarakan pemilu dan pilkada di negara dengan jumlah pulau 17.504, jumlah kecamatan 6.519, dan pemerintahan desa/kelurahan 76.510. Bisa dibayangkan persiapannya sejak rapat internal partai, membuat survei politik, melakukan analisis, kemudian persuasi massa dan kampanye dengan berbagai cara dan langkah. Yang itu semua kadang dilakukan berulang kali. Spanduk dengan potret tokoh bermunculan di sana-sini. Tidak cukup hanya modal spanduk, para calon dan tim sukses mereka juga melakukan silaturahmi ke berbagai tokoh masyarakat, membagi uang dan kaus, ikut kerja bakti sosial, dan sebagainya. Stasiun televisi tidak mau ketinggalan menangkap lahan bisnis ini sehingga berbagai iklan kampanye dan debat para calon bermunculan di TV dengan biaya yang fantastis. Pesta dan festival demokrasi dilaksanakan tidak semata untuk mencari pemimpin yang baik, tapi pesta dan kompetisi itu juga hiburan yang mengasyikkan. Maka itu, demokrasi itu selalu menyajikan kegaduhan dan kemeriahan yang mahal, menegangkan, sekaligus juga menghibur rakyat. Kompetisi yang masih sulit ditebak siapa calon pemenangnya akan seru diikuti dan ditonton. Sekarang ini pun begitu keadaannya ketika kita membahas siapa yang bakal jadi presiden pada Pemilu 2014, masih sulit ditentukan dibanding pemilu pada era Orde Baru. Para pengamat beradu data dan argumentasi, namun berakhir dengan open ended, belum bisa memberi pilihan yang mantap, serbahipotetis dan dugaan sementara. Kegaduhan berdemokrasi itu merata se-Indonesia. Maka itu, logis jika para pengamat asing kagum dan tertarik dengan eksperimentasi demokrasi di Indonesia. Bangsa ini sibuk dengan berbagai seremoni dan pesta salah satunya penyelenggaraan pilkada dari ujung Sumatera sampai ujung Papua. Setelah usai pilkada yang unggul mengadakan pesta kemenangan. Yang kalah kadang heboh melakukan protes dan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Lalu para pendukungnya ada yang terlibat bentrok menambah kegaduhan masyarakat. Belum lagi peran para advokat ketika terjadi perselisihan. Semua semakin membuat panggung politik seru dan gaduh ketika ditangkap media sosial. Meskipun paling senang heboh, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, partai politik itu hanyalah salah satu pilar dari pilar-pilar yang lain seperti pilar pendidikan, ekonomi, birokrasi, pertahanan, kebudayaan, dan sebagainya. Hanya, pilar politik ini begitu berkuasa memengaruhi dan mengatur pilar yang lain. Yang repot adalah ketika pilar politik diisi oleh orang-orang yang kualitas ilmu dan moralnya di bawah pilar yang lain. Dalam jajaran birokrasi misalnya, banyak tenaga profesional yang paham betul bidang garap dan tanggung jawabnya, namun tiba-tiba dihadapkan pada menteri yang tidak cukup paham terhadap departemen yang dipimpinnya karena jadi menteri semata alasan politik koalisi. Di sini pilar politik telah menggerogoti pilar yang lain, padahal mestinya memperkokoh. Cukup menyedihkan, sekitar 291 kepala daerah terlibat korupsi, belum lagi yang menimpa anggota DPR. Kalau saja gaduh dan heboh layaknya kompetisi sepak bola dunia, itu sangat menghibur. Tapi, yang terjadi selalu saja kehebohan yang berkaitan dengan skandal korupsi. Sudah saatnya kita semua melakukan evaluasi perjalanan reformasi yang ditandai terutama oleh kebebasan berekspresi, desentralisasi pemerintahan, pemilihan langsung kepala daerah dan presiden. Parpol yang begitu menonjol perannya dalam membuat kegaduhan politik dan sosial harus merenung dan menyampaikan pertanggungjawabannya pada bangsa dan rakyat atas prestasi dan kegagalan mereka dalam mengurus pemerintahan. Sementara peran parpol kedodoran, pilar-pilar bernegara yang lain mesti diperkuat sehingga keributan (noisy) yang menimpa parpol tidak memperlemah pilar lain, terutama pendidikan, ekonomi, birokrasi, keamanan, dan penegakan hukum. Biarlah teman-teman di parlemen sibuk berdebat, mengingat kata parlemen sendiri memang berasal dari bahasa Prancis yang berarti berdebat, berbicara dan berwacana. ------------------- De-Parpolisasi dan Krisis Representasi 2014 !!! PEMBERITAAN kasus korupsi yang dilakukan segolongan elite partai politik (parpol) di negeri ini akan menghasilkan gelombang apatisme publik pada Pemilu 2014. Masyarakat telah jemu dengan sikap para elite politik yang saban hari hanya diisi dengan kasus korupsi maupun skandal negatif lainnya. Boleh dibilang, kini banyak anggota masyarakat tidak memercayai parpol apa pun ideologi mereka, baik itu nasionalis, agamais, reformis, bahkan pragmatis sekalipun. Adapun yang ada dalam benak masyarakat kontemporer, pemilu hanya menjadi ajang menyenangkan elite, tetapi tidak menyenangkan masyarakat. Idiom yang paling terkenal di masyarakat sekarang ini ialah memilih hanya membuat orang lain tambah kaya jika nasib sendiri tidak berubah. Adanya keterbukaan informasi yang begitu me luas menjadikan masyarakat kian peka dengan persoalan politik. Maka, strategi klasik kampanye seperti pemberian janji populis ataupun ajang pembagian sembako gratis belum tentu akan diikuti elemen masyarakat untuk memilih figur dan parpol yang bersangkutan. Oleh karena itulah, pilihan menjadi golongan putih pada ajang Pemilu 2014 merupakan pilihan logis, sekaligus penghukuman dari masyarakat selaku pemegang mandat tertinggi kekuasaan negara terhadap para elite yang tidak peduli dengan mereka. Tidaklah mengherankan kalau stigma deparpolisasi akan secara kontinu menguat seiring dengan semakin terbukanya kasus korupsi yang dilakukan elite parpol di tahun politik ini. Indikasi deparpolisasi menuju pilihan golongan putih kian menguat menjelang Pemilu 2014. Hal tersebut dapat disimak dengan terjadinya penurunan tingkat pemilih semenjak Pemilu 1999, dengan 93%. Pemilu 2004 berada di angka 84,9%, sedangkan di Pemilu 2009 voter turnout-nya berada di angka 70,99%. Bahkan pada Pemilu Kada Jabar 2013, tingkat voter turnout mencapai 55%. Itu bisa dibaca bahwa masyarakat kian apatis dengan pemilu serta parpol dan memilih jadi golongan pasif saja. Kehilangan afeksi !!! Deparpolisasi secara harfiah dapat diartikan sebagai matinya parpol di ranah masyarakat yang disebabkan ketiadaan afiliasi massa terhadap partai dan minimnya aksesibilitas masyarakat kepada partai (Muhtadi, 2012). Artinya masyarakat kini telah hilang rasa afeksi dan rasa afinitas kepada parpol yang dirasa semakin menjauh dari masyarakat. Minimnya kedua rasa tersebut merupakan manifestasi kegagalan parpol untuk menyeimbangkan fungsi mereka dalam tiga ranah. Fungsi ranah partai menurut Richard Katz dan Peter Mair dalam The Evolution of Party Organizations in Europe: Three Faces of Party Organization (1994) ada tiga macam; party in public office, party in the ground, dan party in the central office. Partai bekerja dalam ranah kekuasaan publik (public office) guna memastikan berjalannya aspirasi publik yang masuk ke tubuh parpol. Partai memainkan fungsi sebagai pengejar kekuasaan (power seeker) guna menjabat sebagai pengatur jalannya pemerintahan dan kekuasaan negara. Adapun partai dalam ranah kekuasaan formal berarti menjalankan fungsi sebagai pelaksana kekuasaan legislatif dan eksekutif baik sebagai menteri, presiden, maupun anggota parlemen di tingkat nasional dan lokal. Meski demikian, seiring dengan lamanya parpol berada dalam kekuasaan, baik kekuasaan publik (public office) maupun kekuasaan formal (central office), partai kemudian melupakan dimensi keseimbangan fungsi ranah ketiga, yakni partai dalam ranah masyarakat (party in the ground). Kondisi tersebut menyebabkan partai terbajak oleh elite sehingga menjadikan orientasi berpartai dan berideologi untuk menyeimbangkan fungsi di ketiga ranah tersebut menjadi hilang. Pencarian menuju kekuasaan abadi menjadi nilai baru sekaligus distorsi fungsi parpol. Masyarakat pun diperlakukan sebagai objek pasif yang dicekoki janji populis dan bukan diperlakukan sebagai subjek aktif yang berperan sebagai pengawas jalannya partai menuju kekuasaan. Modal kampanye !!! Harus diakui, hubungan partai dan masyarakat saat ini tidak lebih dari sekadar hubung an ekonomi belaka dan bukan didasari hubungan demokrasi. Kebijakan populis partai yang dikenal sebagai pork barrel policy seperti pemberian bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) menjelang pemilu ataupun kebijakan populis lainnya sebenarnya tidak lebih dari sekadar uang semir dari partai kepada masyarakat agar terus memilih mereka pada pemilu nanti. Adanya logika ekonomi dalam hubungan partaimasyarakat menjadikan hukum supply-demand berlaku dalam manajemen kampanye seperti money politics yang tujuannya membeli suara dan hak masyarakat secara ekonomi pasif. Jika sudah demikian, tidaklah mengherankan kalau aspirasi masyarakat tidak lebih sekadar komoditas ekonomi bagi partai dan bukan dimaknai komoditas modal sosial yang perlu diperjuangkan parpol. Maka menjelang Pemilu 2014 ini, pilihan menjadi golongan putih merupakan implikasi ketiadaan representasi dari masyarakat. Partai gagal menjalankan peran sebagai representasi substantif ataupun representasi deskriptif yang tujuannya menjadikan parpol bertindak dari (acts for) masyarakat. Parpol lebih suka berperan sebagai representasi pemodal daripada rakyat. Dalam suasana kehidupan politik yang serbaekonomi-materialistis seperti saat ini, representasi masyarakat sebagai demos menjadi hilang sama sekali. Jiwa demos dari masyarakat kini telah tergadai oleh jiwa oikos yang diberikan partai politik yang lebih memaknai hubungan partai dan masyarakat tidak lebih dari sekadar hubungan ekonomi. ---------------- koran-sindo/node/333402...
Posted on: Sat, 28 Sep 2013 06:16:30 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015