KISAH DALAM TRADISI ISLAM Oleh Pak Al. (Sebuah tulisan lama, - TopicsExpress



          

KISAH DALAM TRADISI ISLAM Oleh Pak Al. (Sebuah tulisan lama, yang beberapa kali saya coba kirim ke media massa, namun selalu mendapat jawaban: Kami tertarik memuat tulisan ini, namun bisakah Anda lebih merampingkannya lagi jadi 4 halaman? Saya tidak sanggup lagi merampingkan tulisan ini, bahkan semestinya tulisan ini berupa sebuah artikel panjang atau malah buku. [Guru saya, yang mengajarkan hikmah ini kepada saya, pernah ingin menuliskannya, namun beliau sangat sibuk dengan urusan akademiknya sebagai dosen, semoga suatu saat nanti beliau bisa menuliskannya sendiri.] Setidaknya, dengan membaca tulisan ini, Anda bisa tahu kenapa saya mengumpulkan dan membaca semua kitab dari Yudaisme dan Kristen, yang kanonik, apokrif mau pun yang pseudepigraf...) “Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah yang dengannya Kami teguhkan fu‘ad-mu…” (QS Huud [11]: 120) “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran (ibrah) bagi orang-orang yang mempunyai lubb (ulil albab)…” (QS Yusuf [12]: 111) Kebanyakan manusia tidak suka digurui. Lihat bagaimana buku psikologi populer hingga keagamaan memberikan petuah melalui kisah. Kisah membuat pembaca merasa tidak digurui, bisa dimaknai secara personal, dan secara swalayan mereka mengambil pelajarannya. Berbeda apabila yang disampaikan berupa petuah gamblang, yang muncul bukannya kesadaran, tetapi respons dari hawa nafsu. Hawa nafsu itu cenderung menyeru kepada diri sendiri, tertutup, tidak mau dikritik, cinta disanjung, mudah patah dan berbagai hasrat imaterial lainnya. Selain itu, AL-Quran pun menegaskan bahwa kisah berfungsi untuk meneguhkan fu‘ad juga pemberi ibrah. Ibrah dan Hikmah Zamzam A.J.T. pernah menguraikan perbedaan ibrah dan hikmah. Secara bahasa, ibrah berasal dari abara yang artinya menyeberangkan atau menembus (seperti jarum). Sementara hikmah berasal dari hakama yang artinya (meng)hukum(i). Dikatakan bahwa kisah para nabi mempunyai ibrah, maksudnya, ada pelajaran tersembunyi yang harus diambil dengan cara “ditembus”. Sementara hikmah lebih merupakan hukum yang, bisa dikatakan, menunjukkan keberpolaan hukum. Menyerupai rotasi elektron mengelilingi proton dan netron hingga rotasi planet mengitari matahari. Namun, baik ibrah maupun hikmah itu hanya bisa diperoleh oleh mereka yang mempunyai lubb atau ulil albab (QS Al-Baqarah [2]: 269.) Apa itu lubb? Imam Tirmidzi menjelaskan bahwa qalb merupakan istilah yang mencakup shadr (dada), qalb, fu‘ad dan lubb. Seperti halnya istilah mata yang mencakup bagian putih, hitam, kornea dan penglihatan. Kemudian, lebih detail lagi, Zamzam menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan lubb itu bukanlah akal jasadiah manusia (otak dan nalarnya), tetapi akal nafs (jiwa, bukan hawa nafsu atau psikis, sebagaimana sering disalahpahami). Jasad manusia terbuat dari unsur bumi, sementara nafs dari nur ilahi. Keduanya memiliki keserupaan, dengan pengecualian bahwa nafs itu lebih sempurna ketimbang jasad dalam berbagai hal. Yang merupakan diri manusia sejati itu adalah nafs, bukan jasad. Nafs sudah Allah ciptakan jauh sebelum jasad (QS Al-Insan [76]: 1 dan QS Al-A‘raf [7]: 172). Jasad merupakan “ciptaan baru” saat ruh (beserta nafs) akan ditiupkan ke mauthin rahim. Ia adalah wahana (markab) untuk nafs di mauthin dunia ini. Ketika mati, jasad tidak meneruskan perjalanan ke mauthin barzakh seperti nafs. Pertemuan antara nafs dan jasad menghasilkan psikis (yang banyak ditelaah oleh para psikolog Barat, dan sering disalahpahami sebagai padanan nafs oleh para psikolog muslim). Psikis itu tak ubahnya pertemuan lautan (nafs) dengan pantai (jasad) yang menghasilkan bunyi deburan keras. Psikis memiliki sejarah pembentukannya melalui faktor keluarga, sosial dan budaya. Sementara nafs itu lebih azali ketimbang psikis, dan bukan bentukan. Ketika terlahir ke mauthin dunia, manusia dianugerahi pendengaran, penglihatan dan fu‘ad (QS An-Nahl [16]: 78). Zamzam menjelaskan bahwa fu‘ad itu merupakan bentuk primitif dari lubb. Ketika jasad tumbuh membesar, fu‘ad membentuk pikiran (mind). Selain itu, psikis pun mulai terbentuk menjadi kepribadian. Psikis, secara sederhana, bisa disamakan dengan shadr (dada), namun konsep shadr dalam Islam lebih lengkap ketimbang konsep psikis Barat. Di sisi jasad, manusia memiliki otak yang bisa menalar, berimajinasi, mengingat dan sebagainya. Otak bisa diasah melalui pendidikan. Sementara, di sisi nafs, manusia mempunyai lubb yang fungsinya melampaui otak karena mampu memahami perkara-perkara agama dan keilahian yang tak terpahami oleh otak. Namun, lubb tidak bisa diasah oleh pendidikan ala otak. Ia hanya bisa berfungsi melalui hakikat ubudiyyah dan ketakwaan. (QS Al-Baqarah [2]: 1, 2, 282) Dengan demikian, ibrah dan hikmah kisah kenabian hanya bisa “ditembus” dan dihikmati oleh ulil albab. Namun, gelar ulil albab itu bukan dinisbatkan kepada mereka yang beruntung bisa mengenyam pendidikan (seberapa pun tingginya). Rasulullah Saw, meskipun buta huruf, adalah seorang ulil albab. Gelar ini lebih merupakan penisbatan kepada mereka yang dianugrahi ilmu karena ketakwaannya (QS Al-Ankabut [29]: 49). Kisah Kenabian Belakangan ini, Indonesia dihebohkan dengan fenomena kemunculan aliran keagamaan yang dituding sesat. Dalam beberapa hal, tidak bisa dipungkiri bahwa gerakan sempalan tersebut memperlihatkan sekian aktivitas dan keyakinan yang bisa dikategorikan sesat. Namun, selain sekian keganjilan yang ditampakkan tersebut, apakah memang mudah untuk memastikan antara yang sesat dan yang benar? Cobalah menoleh ribuan tahun ke belakang ke kehidupan para nabi. Bayangkan seorang lelaki yang sehari-hari tampak biasa saja. Dia menyeru kaumnya bertaubat kepada Allah. Namun, tampaknya dia tidak pernah memperlihatkan mukjizat apa pun. Tak ada yang istimewa. Memang ada segelintir yang mengikutinya. Namun, para pengikut tersebut secara sosial dipandang sebagai golongan lemah, bodoh dan mudah percaya. Ketidakpercayaan kaumnya semakin diperparah oleh perbuatan ganjil sang lelaki penyeru, yaitu, sekian tahun membuat perahu di kaki bukit (bukan di tepi pantai). Dia menubuatkan bahwa perahu itu dibuatnya atas perintah Allah, karena mereka akan ditenggelamkan. Itulah nabi Nuh. Bagaimana kalau kita hidup sezaman dengannya? Akankah kita dengan mudah mengimaninya? Beralih ke beberapa ribu tahun sesudahnya. Seorang bapak meminta kesediaan anak lelakinya untuk disembelih, karena dalam tidurnya sang bapak telah mendapat perintah seperti itu tiga kali. Bukannya menganggap sang ayah gila, sang anak malah bersedia melakoni perintah Allah tersebut. Begitu ibunya, yang malah mendukung niatan sang ayah. Peristiwa tersebut terjadi di keluarga nabi Ibrahim. Itulah asal mula Idul Adha. Seandainya kita hidup sezaman dengan keluarga itu, dan mengetahui niat tersebut, akankah kita mempercayai bahwa mereka benar? Bukan hanya itu. Seorang perempuan suci lahir dari keluarga terbaik sepanjang masa. Bahkan Al-Quran mengabadikan nama keluarga tersebut sebagai nama surat. Ketika lahir, dia telah dinazarkan ibunya untuk Allah. Perempuan suci itu dibesarkan di dalam mihrab. Dia mendapatkan makanan langsung dari Allah. Bahkan dia tidak pernah disentuh lelaki. Saking sucinya, mungkin masyarakat di sekitarnya berpikiran bahwa dia seorang nabiah (nabi perempuan). Namun, tiba-tiba saja terkuak bahwa dia hamil tanpa menikah. Seandainya kita pun hidup sezaman dengannya, bisakah kita terlepas dari prasangka bahwa dia telah berzina? Ternyata, sampai hari ini, Maryam binti Imran dipandang sebagai perawan suci yang diberi mukjizat oleh Allah untuk mengandung bayi Isa tanpa proses reproduksi. Belum lagi kisah Khidir yang membunuh anak kecil di hadapan Musa sang penerima Taurat. Atau ujian yang Allah timpakan kepada Ayub oleh orang sekelilingnya lebih dipandang sebagai tulah (yang berarti menganggap Ayub itu pendosa). Atau sekian musibah yang menimpa Yusuf sehingga hidupnya terkesan seperti pecundang ketimbang sebagai tempaan dan penghantaran Allah kepada posisinya sebagai wazir. Betapa tidak liniernya dan ganjilnya kehidupan para nabi tersebut. Hal ini semakin menegaskan bahwa tidaklah mudah untuk mengenali kebenaran. Kisah kenabian menyimpan ibrah dan hikmah yang kaya. Bahkan Ibn ’Arabi pun dianugrahi kitab Fushush Al-Hikam yang menguak hikmah dari kisah kenabian tersebut. Zamzam pun pernah mengungkapkan bahwa kisah para nabi itu merepresentasikan perjalanan setiap nafs manusia dalam menuju Allah. Dimulai dari kejatuhan manusia ke dalam dosa (nabi Adam) hingga berhasil menemukan misi hidupnya dan beramal shalih dalam misi hidup tersebut (Rasulullah Saw). Masih banyak lagi ibrah dan hikmah dari kisah kenabian yang pernah diuraikan oleh para ulama besar Islam. Kisah Pasca Kenabian Setelah ditutupnya masa kenabian, bukan berarti tidak ada lagi kisah yang memiliki ibrah dan hikmah. Salah satu tradisi kisah yang paling menonjol adalah dalam sastra suluk karya para sufi. Dalam sastra suluk, kisah disampaikan melalui berbagai bentuk, misalnya anekdot. Atau hagiografi Tadzkiratul Awliyya dan fabel Mantiqul Thayr karya Fariduddin ‘Attar, roman Layla Majnun karya Nizami, puisi Matsnawi dan prosa Fihi Ma Fihi karya Rumi, atau aforisme seperti Nahjul Balaghah, dan banyak lagi. Inspirasi sastra suluk ini mengalir dari proses ma‘rifatun nafs-ma‘rifatullah yang dilakoni salik. Inilah khazanah autentik seorang insan. Ini berbeda dengan pemikiran Barat yang meyakini bahwa manusia tidak memiliki cetak biru primordial dan sepenuhnya hasil bentukan. Khazanah nafs ini mengalir dari berbagai perangkat pendukungnya, seperti qalb, lubb, nur ilmu (yang datang dari luar nafs), ilmu tasawwur (yang keluar dari dalam nafs), hasanah, hikmah, ibrah, dan terutama ruh. Khazanah ini merepresentasikan pengetahuan batiniah para ‘arifin yang berbeda satu sama lain. Terkait sastra suluk—yang lahir dari proses di atas—kisah yang disampaikannya tidak dibungkus dengan bahasa yang rumit. Penggunaan alegori, metafora, simbol, tamsil dan hal sejenisnya sangat mendominasi sastra suluk. Namun, siapa pun bisa menikmati dan menafsirkan sesuai pengetahuannya. Akan tetapi, memang ada beberapa rahasia ilahiah yang berpotensi dipahami secara kontroversial oleh yang belum mengerti—sehingga memunculkan label pengkafiran—sehingga dikodekan sedemikian rupa yang diperuntukkan bagi yang mencari dan memahami. Namun, dalam sastra suluk jelas terlihat bahwa kedalaman tidak selalu harus identik dengan kerumitan bahasa. Sementara sastra profetik bukanlah sastra yang lahir dari proses suluk. Itu lebih merupakan pengejawantahan keimanan melalui upaya sastrawi untuk melihat dan memaknai kehidupan lebih daripada yang sekadar bisa dilogikakan atau dirasionalkan. Dengan demikian, sastra profetik merepresentasikan watak umum umat muslim yang enggan menjadi rasionalis murni ala pemikiran Barat serta sekulerisme. Keberagamaan itu bukan semata penalaran rasional, tetapi juga pengimanan akan segala hal yang tak ternalar secara rasional. Namun, dalam proses kreatifnya, sastra profetik tidak lahir dari khazanah nafs, tetapi dari khazanah jasadiah. Fakultas utamanya adalah otak dan shadr (katakanlah, psikis) yang menghasilkan imajinasi, fantasi, logika untuk bercerita, serta pengimanan dan penghayatan. Karenanya, wajar apabila salah satu permasalahan dalam sastra profetik adalah kedangkalan berkisah. Di tingkatan psikis, manusia memang menyerupai tanah liat yang mudah dibentuk. Misalnya, budaya massa dan tontonan klise lagi dangkal (ala sinetron) tanpa disadari bisa meresap dalam ketaksadaran, merembes dalam proses kreasi. Namun, melalui latihan, perluasan wawasan, perenungan panjang, keterbukaan terhadap berbagai masukan, maka kedalaman tersebut bisa diasah. Adalah bermanfaat untuk berbicara menggunakan ungkapan yang bisa dimengerti khalayak banyak. Namun, bukan berarti harus mengikuti selera dan mimpi khas budaya massa (QS Al-An‘am [6]: 116). Maka, wajar pula apabila muncul kritik terhadap kisah dengan tokoh yang keterlaluan beruntungnya dalam hidup dan pernikahan, begitu pandai dan sempurna, diobsesikan sekian perempuan (yang pastilah cantik), serta berbagai ketidakrealistisan kisah realis tersebut. Kritik bukanlah representasi sikap anti, dan seharusnya bisa diterima secara lapang dada. Namun, entah kenapa masyarakat Islam kini memiliki tradisi anti kritik—terutama otokritik. Amatlah disayangkan apabila yang berkembang di kalangan umat muslim adalah sikap menyeru kepada diri sendiri, tertutup, tidak mau dikritik, cinta disanjung, mudah patah dan lain sebagainya. Mendukung berkembangnya tradisi literasi adalah satu hal. Namun, mengkritik isi sebuah karya sastra adalah hal lain, dan itu bukan berarti anti kemajuan literasi. Karenanya, bukanlah sebuah sikap permusuhan apabila di sebuah blog tertulis: “Ada yang positif muncul dari dalam diri saya seselesainya membaca: saya semakin rindu kesejatian, dengan makna dan perenungan; dan saya semakin tak suka saja dengan kepalsuan dan atribut tempelan.”[]
Posted on: Wed, 20 Nov 2013 23:09:38 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015