Kasus Freeport dan Pelajaran bagi MP3EI dan MIFEE - TopicsExpress



          

Kasus Freeport dan Pelajaran bagi MP3EI dan MIFEE 1. Tentang Tumpang Tindih Pola Klasik dan Pola Baru Internasionalisasi modal kini sedang menghadapi tiga tantangan sekaligus, yang itu berupa krisis keuangan, krisis pangan dan krisis energi. Isu krisis ini juga berdampingan dengan isu perubahan iklim. Internasionalisasi modal yang membutuhkan konektivitas secara internasional, regional dan nasional melahirkan agenda proyek-proyek infrastruktur dan krisis pangan, krisis energi serta perubahan iklim melahirkan agenda penguasaan skala besar tanah oleh swasta untuk perkebunanan dan hutan konservasi, dan kesemuannya itu akan menuju ke Tanah Papua, dalam konteks tersebut lahirlah MP3EI dan MIFEE serta progam-progam lainnya terkait mitigasi perubahan iklim. Kawasan hutan di Indonesia kemudian menimbulkan konflik agraria jenis baru. Penyebab konflik dapat dilihat dari penguasaan negara atas kawasan hutan, lalu memberikan izin pengusahaan kepada swasta, tanpa memperhatikan klaim kepemilikan masyarakat adat atau lahan garapan petani di kawasan tersebut. Padahal banyak kasus, petani menggarap lahan di kawasan hutan karena hutan ditelantarkan perusahaan penerima izin pengushaan dari Kementerian Kehutanan. Namun petani kesulitan untuk mendapatkan legalitas penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan dari negara. Dengan alasan konservasi hutan, sebagai bagian dari kebijakan negara tentang mitigasi perubahan iklim yang didanai internasional, negara kemudian memberikan kepada perusahaan, konsensi untuk konservasi. Sayangnya negara tak pernah belajar dari banyak kasus kerusakan hutan oleh perusahaan. Justru petani dan masyarakat adat yang terbukti bisa memadukan kedaulatan pangan dan kelestarian hutan. Namun pemerintah lebih memilih kebijakan mitigasi perubahan iklim yang sarat modal dan melibatkan perusahaan swasta serta funding internasional. Pemerintah enggan memilih adaptasi perubahan iklim, di mana petani dan nelayan harus berkreasi dalam merespons perubahan iklim. Justru petani pemulia benih yang berkreasi menciptakan benih yang pro-ekosistem dan murah didiskriminasikan dan dikriminalkan dengan Undang-Undang Sistem Budidaya Tanaman, demi melindungi perusahaan benih. Yang kemudian terjadi adalah kebijakan mitigasi perubahan iklim melahirkan pola baru perampasan tanah, air, dan benih di atas pola klasik konflik agraria di wilayah hutan. Artinya dalam konteks Papua, kebijakan mitigasi perubahan iklim, MP3EI dan MIFEE yang mendorong ekspansi infrastruktur dan perkebunan serta isu konservasi yang merupakan isu dan pola baru konflik agraria akan bertemu dengan pola klasik konflik di Tanah Papua. Padahal Pemerintah Indonesia seperti tidak punya momentum guna penyelesaian damai, demokratis dan berkeadilan,konflik Papua. Selama ini pemerintah Indonesia lebih banyak merespon momentum peringatan tanggal yang oleh pemerintah disebut sebagai gerakan separatisme, sehingga yang muncul adalah pergelaran pasukan keamanan. Dana otonomi khusus (otsus) jelas tidak membawa dampak baik ketika tidak jelas arah pembangunan di Tanah Papua dan Pemerintah gagal memberantas korupsi. Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) juga tidak akan mampu menyelesaikan kontradiksi pembangunan di Tanah Papua ketika percepatan pembangunan itu berupa perluasan kapital untuk diintegrasikan dengan modal internasional karena hanya memperluas konflik agraria dan pelanggaran hak ulayat Faktor-faktor tersebut yang kemudian menjadi konflik di tanah Papua menjadi konflik sosial tahan lama. Belajar dari kasus Freeport, penguasaan lahan terlalu luas dan jangka waktu yang terlalu lama telah mengakibatkan tidak bisa ditegakannya Hak Menguasai Negara atas kekayaan alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, lemahnya pengakuan atas tanah ulayat dan sulitnya pemulihan hak-hak masyarakat adat. Di sisi lain juga menimbulkan ekses-ekses negatif berupa pelanggaran HAM, suap, kerusakan lingkungan dan lain-lain 2. Pertanyaan Bagi Hak Menguasai Negara Dari Presiden, DPR, dan Menteri, muncul keinginan untuk melakukan renegosiasi kontrak karya pertambangan, termasuk renegosiasi Kontrak Karya Freeport. Tetapi sesungguhnya jauh hari sebelumnya, pada Juni 2011, adalah Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan bahwa Menteri ESDM, Freeport, Presiden dan DPR, berupa Gugatan Perbuatan Melawan Hukum karena tidak melakukan renegosiasi atas Kontrak Karya Freeport dengan tuntutan penghentian operasi penambangan Freeport, pembatalan Kontrak Karya Freeport dan pembayaran kekurangan royalti. Freeport menambang emas di Indonesia ditetapkan berdasarkan Kontrak Karya (KK) perpanjangan tahun 1991, dimana royalti emas Freeport yang harus dibayarkan kepada pemerintah Indonesia sebesar 1%. Lalu kemudian royalti pertambangan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003 tentang Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, royalti emas ditetapkan sebesar 3,75 persen dari harga jual kali tonase. Namun hingga kini Freeport tetap hanya membayar royalti emas sebesar 1%. Padahal sebelumnya, selama kurang lebih 25 tahun, Freeport hanya membayar royalti tembaga kepada pemerintah. Sejak masuk ke Tanah Papua berdasarkan Kontrak Karya Generasi Pertama (KK I) tahun 1967, Freeport hanya melaporkan pihaknya menambang tembaga. Padahal pada tahun 1978, terbukti selain mengekspor tembaga, Freeport juga mengekspor emas. Royalti Emas Freeport 1% Gold Royalty /Royalti Emas (Per kg 1,00% dari harga jual) Tahun 2010 = (35.2739619 x kg) x (harga jual/ounce) x 1% (35.2739619 x 50 036 x 1 271 x 1% = $ 22 432 742.7 (dua puluh dua juta empat ratus tiga puluh dua ribu tujuh ratus empat puluh dua koma tujuh dollar Amerika) Tahun 2009 = (35.2739619 x kg) x (harga jual/ounce) x 1% (35.2739619 x 72 092 x 994 x 1% = $ 25 277 126.4 (dua puluh lima juta duaratus tujuh puluh tujuh ribu seratus duapuluh enam koma empat US dollar Amerika) Tahun 2008 = (35.2739619 x kg) x (harga jual/ounce) x 1% (35.2739619 x 33 509 x 861 x 1% =$ 10 176 978.6 (sepuluh juta seratus tujuh puluh enam ribu sembilan ratus tujuh puluh delapan koma enam US dollar Amerika) Tahun 2007 = (35.2739619 x kg) x (harga jual/ounce) x 1% (35.2739619 x 61 943 x 681 x 1%= $ 14 879 679.9 (empat belas juta delapan ratus tujuh puluh sembilan ribu enam ratus tujuh puluh sembilan koma sembilan dollar Amerika) Tahun 2006 = (35.2739619 x kg) x (harga jual/ounce) x 1% $ 9 834 459.29 (sembilan juta delapan ratus tiga puluh empat ribu empat ratus lima puluh sembilan koma dua puluh Sembilan dollar Amerika) Tahun 2005 = (35.2739619 x kg) x (harga jual/ounce) x 1% (35.2739619 x 79 100 x 456.27 x 1%= $ 12 730 710.4 (dua belas juta tujuh ratus tiga puluh ribu tujuh ratus sepuluh koma empat dollar) Tahun 2004 = (35.2739619 x kg) x (harga jual/ounce) x 1% (35.2739619 x 40 908 x 412.32 x 1%= $ 5 949 724.96 (lima juta sembilan ratus empat puluh sembilan ribu tujuh ratus dua puluh empat koma sembilan puluh enam dollar) Tahun 2003 = (35.2739619 x kg) x (harga jual/ounce) x 1% (35.2739619 x 70 017 x 366.60 x 1%= $ 9 054 202.45 (sembilan juta lima puluh empat ribu dua ratus dua koma empat puluh lima dollar) TOTAL $ 110 335 625 (seratus sepuluh juta tiga ratus tiga puluh lima ribu enam ratus dua puluh lima dollar Amerika) Royalti Emas Persen Jika 3,75% Gold Royalty (Per kg 3,75% dari harga jual) dengan menggunakan rumus (35.2739619 x jumlah dlm kg) x (harga jual/ounce) x 3.75% Tahun 2010 = (35.2739619 x kg) x (harga jual/ounce) x 3.75% 35.2739619 x 50036 x 1271 x 3.75%= $ 84, 122, 785.3 (delapan puluh empat juta seratus dua puluh dua ribu tujuh ratus delapan puluh lima koma tiga dollar Amerika) Tahun 2009 = (35.2739619 x kg) x (harga jual/ounce) x 3.75% 35.2739619 x 72092 x 994 x 3.75%= $ 94, 789, 223.9 (sembilan puluh empat juta tujuh ratus delapan puluh sembilan ribu dua ratus dua puluh tiga koma sembilan dollar Amerika) Tahun 2008 = (35.2739619 x kg) x (harga jual/ounce) x 3.75% 35.2739619 x 33509 x 861 x 3.75%= $ 38, 163, 669.7 (tiga puluh delapan juta seratus enam puluh tiga ribu enam ratus enam puluh sembilan koma tujuh dollar Amerika) Tahun 2007 = (35.2739619 x kg) x (harga jual/ounce) x 3.75% 35.2739619 x 61943 x 681 x 3.75%=$ 55, 798, 799.6 (lima puuh lima juta tujuh ratus sembilan puluh delapan ribu tujuh ratus tujuh puluh sembilan koma enam dollar Amerika) Tahun 2006 = (35.2739619 x kg) x (harga jual/ounce) x 3.75% 35.2739619 x 49 214 x 566.51 x (3.75%)= $ 36, 879, 222.3 (tiga puluh enam juta delapan ratus tujuh puluh sembilan ribu dua ratus dua puluh dua koma tiga dollar Amerika) Tahun 2005 = (35.2739619 x kg) x (harga jual/ounce) x 3.75% 35.2739619 x 79 100 x 456.27 x (3.75%)= $ 47, 740, 164.1 (empat puluh tujuh juta tujuh ratus empat puluh ribu seratus enam puluh empat koma satu dollar Amerika) Tahun 2004 = (35.2739619 x kg) x (harga jual/ounce) x 3.75% 35.2739619 x 40 908 x 412.32 x (3.75%)= $ 22, 311, 468.6 (dua puluh dua juta tiga ratus sebelas ribu empat ratus enam puluh delapan koma enam dollar Amerika) Tahun 2003 = (35.2739619 x kg) x (harga jual/ounce) x 3.75% 35.2739619 x 70 017 x 366.60 x (3.75%)= $ 33, 953, 259.2 (tiga puluh tiga juta sembilan ratus lima puluh tiga ribu dua ratus lima puluh sembilan koma dua dollar Amerika) TOTAL : $ 366 515 030 (tiga ratus tiga puluh enam juta lima ratus lima belas ribu tiga puluh dollar) Kerugian Negara $ 366.515.030,00 – $ 110.335.625,00 = $ 256.179.405,00 (dua ratus lima puluh enam juta seratus tujuh puluh sembilan ribu empat ratus lima dollar) Hak Menguasai Negara Pasal 33 UUD 1945 memandatkan kekayaan alam dan cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hak menguasai negara atas kekayaan alam dan cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak tidaklah diartikan negara memiliki. Tetapi negara memiliki tugas untuk merumuskan kebijaksanaan (beleid), melakukan tindakan pengurusan (bestuursdaad), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad); dan melakukan pengawasan (toezichthoudendaad). Itu semua dilakukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Negara kemudian bisa sendiri atau dengan pihak lain menyelenggarakan pengelolaan, dalam konteks ini lahirlah Kontrak Karya antara Pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia. Bagi negara, bahwa hak menguasai yang diberikan oleh UUD 1945 kepadanya itu bukanlah demi negara itu sendiri melainkan terikat pada tujuan pemberian hak itu yakni untuk dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat (Putusan Mahkamah Konstitusi atas Uji Materi Undang-Undang Penanaman Modal). Adapun yang menjadi Tolak Ukur Sebesar-besar Kemakmuran Rakyat: (1). Kemanfaatan Sumber Daya Alam bagi Rakyat; (2). Tingkat Kemerataan Sumber Daya Alam bagi Rakyat; (3). Tingkat Partisipasi Rakyat dalam menentukan manfaat Sumber Daya Alam; (4). Penghormatan terhadah hak rakyat turun temurun dalam memanfaatkan Sumber Daya Alam (Putusan Mahkamah Konstitusi atas Uji Materi Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil). Renegosiasi Bahwasannya syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata (Burgelijk Wetboek), untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: Pertama. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; Kedua. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; Ketiga. Suatu hal tertentu; Keempat. Suatu sebab yang halal. Pasal 1337 BW menyebutkan, ”Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.” Dalam konteks Kontra Karya, bahwa perjanjian yang tidak memenuhi syarat sah karena bertentangan dengan Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 2003 mempunyai akibat batal demi hukum. Atas dasar Hak Menguasai Negara, seharusnya Peraturan Pemerintah tersebut mengikat Freeport, sehingga Pemerintah dengan didukung DPR seharusnya semenjak tahun 2003 melakukan renegoisasi Kontrak Karya Freeport. Meskipun negara telah memberikan konsensi kepada perusahaan untuk mengelola sumber-sumber agraria, menurut Putusan Mahkamah Konstitusi atas Uji Materi Undang-Undang Penanaman Modal, kewenangan untuk melakukan tindakan pengaturan (regelendaad) tidak hilang karena negaralah yang berwenang menentukan untuk berapa lama dan dengan syarat-syarat apa hak-hak atas tanah itu dapat diberikan. Kewenangan untuk melakukan tindakan pengelolaan (beheersdaad) juga tidak hilang karena negara tidak dilarang untuk melakukan sendiri tindakan pengusahaan tanah bagi kegiatan produktif. Demikian pula, kewenangan untuk melakukan tindakan pengawasan (toezichthoudensdaad) tidak hilang karena negara berwenang menjatuhkan sanksi terhadap penyalahgunaan hak-hak atas tanah tersebut. Artinya meskipun sudah ada Kontrak Karya, bukan berarti Kontrak Karya bisa mengabaikan hukum nasional. Lagi pula dalam Kontrak Karya juga disebutkan bahwa Kontrak Karya Freeport tunduk pada hukum nasional. Sikap Sejarah dan Sikap Politik Namun nampaknya rakyat harus memberikan dorongan bahkan tekanan kepada negara untuk melakukan renegosiasi Kontrak Karya Freeport. Oleh karenanya semua warga negara yang dirugikan oleh Kontrak Karya Freeport berhak untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan, karena royalti yang seharusnya dibayarkan merupakan sumber penerimaan negara yang bisa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat –di tengah APBN (Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara) kita belum bisa dipertanggungjawabkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat-. Di sinilah letak konteks dari gugatan dari IHCS (Indonesian Human Rights Committee) tersebut. Perkembangan di pengadilan atas gugatan tersebut gagal dimediasi oleh Hakim Pengadilan, dan dalam Putusan Sela, oleh Majelis Hakim dinyatakan IHCS berhak mengguggat dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berhak mengadili perkara ini. Tidak seperti jawaban Freeport, Pemerintah dan DPR yang menyatakan IHCS tidak punya hak gugat dan Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili perkara ini, karena yang berwenang adalah Pengadilan Arbritase. Bisa jadi benar bila yang bersengketa adalah antara Pemerintah dengan Freeport terkait Kontrak Karya maka perkaranya ke Pengadilan Arbitrase, sedangkan dalam gugatan ini, IHCS bukan sebagai pihak yang turut dalam perjanjian (turut menandatangani Kontrak Karya Freeport) yang mengajukan pembatalan Kontrak Karya karena merasa dirugikan oleh perjanjian tersebut, upaya hukum ini disebut Actio Paulina, sebagaimana diatur dalam 1341 KUHperdata tersebut. Putusan Sela ini menjadi preseden yang baik, dalam pengertian bahwa perjanjian-perjanjian negara dengan pihak pemodal, yang berupa ijin, pemberian konsensi, HGU, dan lain-lain bisa diperkarakan rakyat apabila tidak sesuai prinsip-prinsip Hak Menguasai Negara yaitu kedaulatan negara sebagai wujud dari kedaulatan rakyat atas kekayaan alam dan prinsip-prinsip sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat. Namun akhirnya gugatan IHCS ditolak Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. IHCS telah menyatakan banding dan hari ini menyerahan Memori Nanding. Penyerahan memori banding ini secara politik sebagai bentuk protes atas kelambanan renegosiasi dan secara hukum sebagai keberatan atas Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 331/Pdt.G/2012/PN.jkt.sel. IHCS dengan tegas menolak putusan Majelis Hakim, dimana dalam pertimbangannya menyatakan, “bahwa dengan melihat satu sisi Penggugat yang mempergunakan mekanisme gugatan legal standing yang notabene muaranya adalah untuk membela kepentingan masyarakat luas, ternyata materi gugatannya adalah menyangkut kontrak karya yang dibuat antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT. Freeport Indonesia Company (Contract of Work between the Goverment of the Republic Indonesia and PT. Freeport Indonesia Company) yang ada di ranah perdata dan tidak ada sangkut pautnya dengan masalah Hak Asasi Manusia, sehingga Penggugat sebagai suatu LSM yang tujuan dan fungsi organisasinya sesuai yang disebutkan Penggugat di dalam posita gugatan adalah menyangkut hak asasi manusia adalah tidak mempunyai legal standing terhada kontrak karya dimaksud.” Bahwa Majelis Hakim Telah Keliru di dalam Memahami Makna Dan Mekanisme Legal Standing; Kontrak Karya Freeport tidak bisa hanya dilihat sebagai masalah keperdataan antara Pemerintah dengan PTFI, tetapi merupakan permasalahan publik, karena ditandatangani oleh pejabat publik dan kepentingan publik atas kekayaan alam. Oleh karenanya ketika Kontrak Karya Freeport menimbulkan kerugian bagi publik, maka organisasi masyarakat mempunyai Hak Gugat Organisasi atas permasalahan ini. Dan dalam perkembangan hukum di Indonesia, kini Hak Gugat Organisasi tidak hanya untuk bidang-bidang tertentu saja Bahwa IHCS Nyata dan Berdasar Hukum Memiliki Kapasitas untuk Mengajukan Legal Standing; IHCS adalah sebuah organisasi yang berbadan hukum; Sebagai organisasi IHCS memiliki fungsi antara lain: mengadvokasi kebijakan publik, menciptakan sistem negara yang demokratis dan menghormati, memenuhi dan melindungi hak asasi manusia; Melakukan inisiatif jalan pemenuhan hak asasi manusia, keadilan sosial, pembaruan sistem ekonomi, politik, hukum dan keamanan, serta penyelesaian konflik bersenjata; Legal standing IHCS diterima di persidangan Mahkamah Konstitusi; Bahwa Majelis Hakim Tidak Memahami Bahwa Kepentingan Masyarakat Luas Adalah Hak Asasi Manusia; Persoalan Hak Asasi Manusia adalah persoalan hak warga Negara Indonesia, dimana Negara memiliki tanggungjawab untuk memajukan, melindungi, dan memenuhi (to promote, to protect, to fulfill) Hak Asasi Manusia atau hak warga Negara. Realisasi perlindungan dan pemenuhan hak-hak warga Negara dilakukan dengan sumberdaya yang dimiliki sebuah bangsa atau Negara yang berupa anggaran dan kekayaan alam. Oleh karenanya Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 23 dan Pasal 33 memberi mandat bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bisa dipertangungjawabkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan kekayaan alam bisa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Bahwa IHCS Memiliki Kepentingan Hukum untuk Mengajukan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Terkait Pemberlakukan Kontrak Karya antara Pemerintah RI dengan PT FI; Apabila menimbulkan kerugian karena adanya wanprestasi, maka hanya para pihak saja yang berhak meminta ganti rugi, sedangkan apabila ada kerugian karena perbuatan melawan hukum, sesuai ketentuan Pasal 1365 KUHPer maka pihak lain yang merasa dirugikan akibat timbulnya kontrak itu dapat meminta ganti rugi”. Dengan timbulnya kerugian bagi Negara Indonesia sehingga sudah tentu bahwa seluruh rakyat Indonesia juga menderita kerugian. Seharusnya gugatan IHCS ini dijadikan pintu masuk dan dijadikan momentum bagi Pemerintah dan DPR dengan alasan ada tuntuntan rakyat untuk melakukan renegosiasi guna menegakan Hak Menguasai Negara atas kekayaan alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, pengoptimalan penerimaan negara yang selama ini di-discount by law, pembaruan agraria sektor pertambangan, perlindungan hak-hak masyarakat adat yang ulayatnya dipakai Freeport dan perlindungan hak-hak para pekerja Freeport serta membangun industrisi nasional. Bagi konsolidasi demokrasi di Indonesia, khususnya upaya menumbuhkan perdamaian dan keadilan sosial di Tanah Papua, Freeport adalah problem historis yang harus dituntaskan. Pertama. Karena upaya menciptakan hukum nasional agraria dan merubah struktur agraria kolonial melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria dan kebijakan pembaruan agraria telah gagal, karena begitu Rezim Orde Baru berdiri, langsung mensahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 Penanaman Modal Asing disusul kemudian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, Freeport-lah yang kali pertama beroperasi dengan kedua produk hukum tersebut; Kedua. Freeport menyertai sejarah pelanggaran HAM di Tanah Papua. Dan kini komitmen Pemerintah, DPR dan Freeport untuk renegosiasi kontrak karya, benar-benar diuji di meja hijau (pengadilan). 3. Tentang Rekognisi atas Hak Ulayat Kronologi Pelanggaran Hak Ulayat Suku Amungme dan Kamoro Masyarakat hukum adat di sekeliling gunung Erstberg adalah tujuh suku, yaitu Amungme, Kamoro, Damal, Dani, Moni, Ekari dan Nduga. Suku yang memiliki hak ulayat di kawasan PT. Freeport Indonesia adalah suku Amungme dan Kamoro. Lima suku lainnya tinggal di lereng sebelah lain dari gunung Ertsberg tersebut. Sebagai pemilik hak ulayat, para tokoh adat dari 7 suku tersebut menyatakan bahwa KK (Kontrak Karya) dibuat di Jakarta dan tidak melibatkan masyarakat adat. Hal ini tidak dapat mereka terima. Salah satu masalah yang hingga kini belum terselesaikan dengan kehadiran PT. Freeport Indonesia adalah bahwa hingga kini masyarakat tidak mengetahui persis tapal batas wilayah konsesi PT. Freeport Indonesia. Hal ini telah menimbulkan dampak terjadinya sengketa antara masyarakat yang sedang berburu di wilayah yang mereka anggap sebagai wilayah adat, namun di-klaim oleh pihak PT. Freeport Indonesia sebagai wilayah konsesi mereka. Kompensasi atas hak ulayat bagi suku Amungme dan Kamoro ditetapkan pada tahun 2001. Pemindahan paksa (Forced Resettlement) dan pembebasan atas hak ulayat sebagai akibat dari keberadaan PT. Freeport Indonesia hanya dikompensasi dengan sejumlah pembayaran kepada masyarakat yang merupakan hak adat atas kepemilikan bersama (hak komunal). Pada tanggal 13 Juli 2002 yang bertempat di New Orleans, New York, Amerika Serikat, telah ditandatangani Kesepakatan Umum Antara Lemasa dan PTFI Mengenai Sumberdaya Manusia, Sosial Ekonomi, Hak atas Tanah dan Hak atas Lingkungan Hidup antara THOM BEANAL sebagai Ketua Lembaga Musyawarah Adat Suku Amunge, Bertindak untuk dan Atas Nama Masyarakat Adat Suku Amunge yang selanjutnya disebut sebagai LEMASA , dengan JAMES R. MOFFETT sebagai Presiden Komisaris, Bertindak Untuk Dan Atas Nama PT. Freeport Indonesia, yang selanjutnya disebut sebagai PTFI. Pasal 5 Ayat 9 Kesepakatan Umum Antara Lemasa Dan PTFI tersebut, menyebutkan : 9) PTFI berkewajiban untuk mengakui dan menghargai hak adat dan ulayat masyarakat suku Amungme dan Kamoro dan berusaha untuk menyelesaikan kesepakatan ”rekognisi” tambahan secara sukarela (Dana Perwalian). Dana Perwalian ini secara keseluruhan ataupun sebagian dapat digunakan untuk membeli saham Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. sebagai bentuk jaminan kepemilikan yang berkelanjutan di dalam operasi tambang bagi pihak Amungme dan Kamoro. (PTFI will continue to acknowledge and respect the ”adat and land (”ulayat”) rights of the Amungme dan Kamoro and will strive to finalize the agreement for voluntary additional ”recognisi” (Trust Fund), which Trust Fund, in whole or in part, it is contemplated can be used to purchase shares of stock in Freeport- McMoRan Copper & Gold Inc. thereby assuring an ongoing interest in and ownership of the mining operation by the Amungme dan Kamoro. Pada saat ini MOU tidak dijalankan oleh perusahaan, dan yang sangat memprihatinkan lagi adalah terjadinya kerusakan lingkungan pada hak ulayat yang mengakibatkan danau Wanagon menjadi tercemar dan tidak bisa dimanfaatkan lagi. Pada tanggal 15 September 2008 warga perwakilan masyarakat Amugme dari desa Tsinga, Waa, Aroanop dari Distrik Tembagapura dengan didampingi oleh Indonesian Human Rights Committe for Social Justice melakukan pertemuan dengan PTFI tapi direktur perusahaan tidak bersedia menerima perwakilan warga dari kuasa hukum tapi hanya diterima staf-stafnya sebagai perwakilan perusahaan yang notabene tidak bisa mengambil keputusan apapun terkait masalah ini. Bahwa pada tanggal 15 September 2008 warga perwakilan masyarakat Amugme dari desa Tsinga, Waa, Aroanop dari Distrik Tembagapura dengan didampingi oleh Indonesian Human Rights Committe for Social Justice melaporkan kasus ini ke KOMNAS HAM dan KOMNAS telah membuat surat ke perusahaan perihal kasus ini serta melakukan pemantauan ke lokasi perkara. Dasar Tuntutan Warga: Dibuatnya MEMORANDUM OF UNDERSTANDING (MOU) TAHUN 2000, yang ditanda tangani oleh James Robert Moffett selaku President Director & Chief of Executive merangkap Chairman of the Board Freeport MacMoRan Inc., Dengan Tom Beanal selaku KETUA LEMASA, Jakobus Owemena selaku KETUA LEMASKO, kemudian disaksikan oleh Paul Murphi, Prihadi Santoso, Leroy Hollenbeck, Lexy Lintuuran, Willy Mandowen. Diperkuat oleh Notaris New Orleans Louisiana USA yang ditanda tangani pada tanggal 13 Juli 2000 di kantor Freeport MacMoRan Inc. New Orlean, LA. MOU dibuat sehubungan gugatan oleh Tom Beanal dan Mama Yosepa Alomang di pengadilan New Orleans, LA. Tahun 1996 dan 1997. Dibuatnya kesepakatan pembangunan tiga (tiga) desa yaitu Waa/Banti, Arwanop, dan Tsinga antara tokoh masyarakat suku Amungme dengan PT Freeport Indonesia pada tanggal 28 Desember 2000, di Sr. Guest House PTFI Tembagapura. Tom Beanal, Paulus Kanangopme, Tuarek Natkime, Arek Beanal, Numumora Jamang, dll. Agus Kafiar, Sinta Sirait, dan Lexy Lintuuran. Hal ini dilakukan sehubungan dengan tuntutan pemerintah Indonesia cq Departemen Pertambangan Indonesia akibat longsor/jebolnya tanggul penahan Danau Wanagon dekat Grasberg. Jebolnya tanggul tersebut akibat kemampuan menampung buangan batuan penutup tanah dari Grasberg yang dibuang ke danau tidak sebanding dengan jumlah buangan yang sangat amat besar sekitar 450,000 ton perhari (waste). Pembangunan 3 desa ada kesalahan semestinya 4 desa yaitu Waa/banti, Arwanop, Tsinga, dan Kwamki Narama. Dibuatnya kesepakatan pencairan DANA PERWALIAN (trust fund) untuk desa-desa yang mengalami dampak pembuangan limbah aliran sungai serta lahan hak ulayat digunakan operasi tambang perusahaan. Ditanda tangani di kantor pusat Freeport MacMoRan Inc. New Orleans, LA tanggal 1 September 2001. Antara James Robert Moffett, Richard Adkerson, Gabril Mcdonald, Prihadi Santoso, Lexy Lintuuran, Tom Beanal, Paulus Kanangopme, Jakobus Owemena, Didaktus, Agapitus, dll. Realisasi dana perwalian ini dilakukan dengan dibukanya yayasan 3 desa dan 5 desa. Ironinya hasil dana perwalian dinikmati sejumlah orang saja. Pembelian saham Freeport tidak dilaksanakan. MOU 2000 diharapkan menjadi payung atas semua kesepakatan yang dibuat oleh masyarakat dengan perusahaan sebagai kelanjutan JANUARY AGREEMENT tahun 1974 yang tidak dilaksanakan. Mr. Moffett, selaku pemegang saham mayoritas Freeport menekankan agar semua pihak antara perusahaan dan pemilik hak ulayat harus menjadi satu, memelihara dan mengamankan operasi tambang agar harga tambang tembaga dunia terjaga stabil, saham stabil. Tujuannya adalah memberikan nilai tambah bagi pembangunan masyarakat 4 desa Amungme dan 5 desa Komoro di segala bidang. Disepakati dibuatnya FORUM BADAN PEMANTAU MOU 2000. Pada tahun 2000 agar pelaksanaan kesekapatan MOU dapat dilaksanakan oleh semua pihak dengan baik, benar dan sesuai dengan harapan. Kenyataannya perusahaan tidak mendukung dengan sungguh-sungguh forum BP-MOU sehingga tidak sesuai dengan isi MOU dimana setiap tahun dievaluasi dan direview isi kesepakatannya jika ada suatu perbaikan atau penyimpangan. Oleh karena management PT FREEPORT INDONESIA telah mengalami pergantian pucuk pimpinan serta beberapa kali pergantian management sehingga ada semacam pembiaran atas semua kesepaktan tersebut diatas bahkan dilupakan. Puncak dari ketidakpuasan masyarakat sebagai pemilik hak ulayat, dimana induk perusahaan Freeport MacMoRan membeli perusahaan tambang raksasa Phelp & Dodge Inc. Arizona Amerika dengan menggadaikan tambang Grasberg guna mendapatkan pinjaman dana tunai dari bank sebesar US$26,000,000,000 (US$ 26 milyar setara dengan Rp 260 triliun ) bulan Februari 2006. Hal ini terjadi tanpa persetujuan awal pemerintah Indonesia dan Suku Amungme Komoro sebagai pemilik. Dan mediasi Komnas HAM bisa dikatakan belum berhasil Tentang Gugatan Intervensi Selasa, 9 Februari 2011, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akhirnya memberikan Putusan Sela – setelah beberapa kali mengalami penundaan-dalam perkara No. 230/Pdt-g/2010/PN.Jkt.Sel yang diajukan oleh Titus Natkime terhadap Freeport, setelah menjalani proses sidang kurang lebih 8 bulan lamanya. Gugatan dengan dasar Perbuatan Melawan Hukum oleh Freeport diajukan dengan mekanisme class action, yang dalam proses persidangan telah di-Gugat Intervensi oleh Suku Amungme yang mewakili warga empat desa (Waa/ Banti, Tsinga, Arwanop dan Kwamki) melalui kuasa hukumnya dari Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS). Dalam putusannya, Majelis Hakim dalam perkara tersebut menyatakan gugatan Penggugat Asal (Titus) ditolak dengan pertimbangan: Gugatan Asal tidak memenuhi syarat formil pengajuan gugatan dengan mekanisme Class Action sebagaimana diatur dalam Pasal (3) ayat (1) Perma No 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok; Dalam gugatannya, Penggugat Asal menyatakan bahwa Penggugat Asal, Titus Natkime bertindak bukan hanya sebagai pribadi tetapi juga untuk mewakili kepentingan seluruh suku Amungme dengan alasan bahwa marga Natkime adalah marga suku terbesar di Amungme; Bahwa dalam pengajuan gugatan tersebut, Penggugat Asal tidak mencantumkan spesifikasi kelompok (marga-marga lainnya sebagai kelompok yang memiliki hak yang sama dalam mengajukan gugatan) dan rincian yang jelas mengenai perolehan ganti rugi; Bahwa bila gugatan Penggugat Asal, dikabulkan akan dapat berpotensi menimbulkan konflik di kemudian hari antar marga-marga suku Amungme. Ditolaknya gugatan ini tentunya sesuai dengan dalil-dalil yang diajukan oleh Penggugat Intervensi (Masyarakat Empat Wilayah Adat Suku Amungme) yang menyatakan Penggugat Asal (Titus Natkime) tidak memiliki kapasitas untuk mewakili dan memperjuangkan hak ulayat suku Amungme secara keseluruhan dengan mengingat bahwa suku Amungme terdiri dari 18 suku marga.
Posted on: Mon, 09 Sep 2013 17:50:13 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015