Ludruk Sebagai Kesenian Rakyat Karena keberadaannya yang lahir - TopicsExpress



          

Ludruk Sebagai Kesenian Rakyat Karena keberadaannya yang lahir dari rahim kebudayaan rakyat jelata, Ludruk dikatakan lebih merakyat daripada seni tradisional (Jawa) lain, terutama yang berasal dari kalangan istana. Dengan bahasa daerah sederhana dan egaliter, sindiran dan kritik-kritik tajam, serta pemilihan cerita yang tidak terbatas, Ludruk memiliki kekuatan komunikasi yang sangat besar terhadap masyarakat. Kekuatan ini sejak lama disadari berbagai pihak, yang tentu saja bisa berarti positif maupun negatif bagi seni Ludruk itu sendiri. Kita bisa menggolongkan Ludruk sebagai media seni daerah yang realis. Sebagai referensi atau bahan wacana tentang seni realisme, ada baiknya dikemukakan di sini tentang konsep George Lukacs –penganut dan pemikir seni-seni realis yang mengatakan bahwa persoalan utama dalam seni adalah relasi antara seni dan realitas sehari-hari. Seni adalah karya yang memiliki daya transformasi, yakni untuk mengubah kesadaran manusia. Seni akan menggerakkan orang kalau ia benar-benar indah. Keindahan baru akan tampak kalau seni secara jujur menampilkan kebenaran. Sementara kebenaran, dalam realitas sosial, adalah kenyataan adanya penderitaan, keterasingan, dan kecacatan manusia (Ibe Karyanto, 1997:97). Apa yang dikemukakan George Lukacs ini barangkali tidak secara langsung bisa digunakan untuk mengamati seni Ludruk Jawa Timur. Akan tetapi, dengan menilik perjalanan sejarah atau perkembangan Ludruk pada tiap-tiap periode zaman, minimal kita bisa menarik satu benang merah bahwa teater rakyat ini memang berpihak pada realitas sosial yang menganga di tengah-tengah masyarakat, terutama kaum marjinal atau rakyat jelata. Di sini kita bisa melihat kontribusi atau peran yang pernah dimainkan Seni Ludruk. Menjelang tahun 1940 sebelum kemerdekaan, ketika pemimpin Indonesia mulai membangkitkan semangat rakyat untuk menuntut kemerdekaan, Ludruk digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut dan ternyata cukup berhasil. Saat itulah mulai dikenal nama Cak Durasim, seorang tokoh pemain Ludruk yang cukup revolusioner. Gelagat kritis dan realistis yang ditunjukkan oleh Cak Durasim, membuat pemerintah Hindia Belanda kemudian melarang Ludruk. Tahun 1942. ketika Jepang menggantikan kekuasaan Belanda, mereka justru melihat manfaat Ludruk untuk mempropagandakan semangat Asia Timur Raya, dan Cak Durasim beserta rombongannya dihidupkan lagi. Akan tetapi, dalam salah satu pertunjukannya, Durasim terlalu berani mengecam Jepang, sehingga ia ditahan oleh pemerintah Jepang pada tahun 1944. Ketika partai-partai politik bertumbuhan, Ludruk pun menjadi sasaran parpol karena mereka semua ingin menjadikan seni rakyat ini sebagai alat untuk menyebarkan keyakinan politik masing-masing. Karena itu, tumbuhlah perkumpulan-perkumpulan Ludruk yang bernaung di bawah partai-partai politik tertentu. Terlepas dari adanya fenomena intervensi politik terhadap wilayah seni, yang jelas Ludruk bisa memerankan diri sebagai media yang efektif dalam penyebaran informasi. Sampai kini, meskipun jumlahnya relatif sedikit dan dalam kondisi yang cukup memprihatinkan, masih ada beberapa kelompok Ludruk yang berkembang di Surabaya, Malang, Jombang, dan sekitarnya, yang tetap aktif mengadakan pertunjukan, termasuk grup Cak Kartolo Cs. Kidungan merupakan salah satu unsur yang selalu ada dalam permainan seni Ludruk. Henri Supriyanto (1992:24) mengatakan bahwa kidungan adalah “…nyanyian khas dengan iringan lagu jula-juli.” Adapun yang dimaksud ‘jula-juli’, adalah jenis irama atau sistem nada dalam gamelan (musik tradisional) Jawa Timuran. Gambaran secara keseluruhan mengenai ragam atau macam-macam kidungan diuraikan oleh Nelwan Subuhadi (tokoh ludruk RRI Surabaya) sebagai berikut: “Dalam satu lakon dikenal empat kidungan, yaitu kidungan tari ngrema, kidungan lawak, kidungan bedayan, dan kidungan adegan”. (Subuhadi, 1989:6). Pembagian kidungan ke dalam empat golongan ini jika ditinjau dari pembabakan dalam pertunjukan ludruk. Artinya, tiap-tiap babak dalam ludruk selalu menampilkan atau menyelipkan nyanyian kidungan ini. Pada masa Orde Baru (Kartolo Cs. digolongkan sebagai ludruk era Orde Baru, bukan era menjelang runtuhnya Orde Baru), kebijakan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan strategi kebudayaan nasional sangat mengkooptasi aktivitas kesenian. Ludruk tidak mendapatkan pembinaan dan perlakuan yang layak, seperti halnya bentuk-bentuk kesenian lain juga mengalami ‘pemasungan’ kreativitas. Prosedur izin pementasan ludruk sangat sulit dan ‘harganya’ juga sangat mahal. Dalam konstalasi ketat seperti itu, kurang memungkinkan ‘beredarnya’ kidungan-kidungan yang sarat muatan kritik sosial.
Posted on: Thu, 18 Jul 2013 18:07:44 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015