Menagih Janji MoU Helsinki, Aceh - Jakarta. Tanggal 15 Agustus - TopicsExpress



          

Menagih Janji MoU Helsinki, Aceh - Jakarta. Tanggal 15 Agustus 2013 telah delapan tahun perdamaian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dilalui pasca konflik berdarah selama 30 tahun. Konsekuensi dari perdamaian tersebut menghasilkan nota kesepahaman yang dikenal dengan MoU Helsinki. Sepantasnya kita mengkaji sejauh mana perjanjian tersebut sudah diimplementasi untuk mewujudkan kedamaian yang abadi di Aceh. Rakyat Aceh menaruh harapan agar bisa hidup makmur dan sejahtera sehingga tidak memicu lagi terjadinya kekecawaan yang berujung kepada tuntutan kemerdekaan atau konflik yang tidak hanya merugikan Aceh tetapi juga Indonesia seperti krisis moneter yang salah satunya disebabkan ‘embargo’ ekonomi dan keuangan oleh negara luar akibat pelanggaran HAM oleh alat negara. Pada alinea pertama MoU Helsinki disebutkan; “Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menegaskan komitmen mereka untuk penyelesaian konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua”. Namun apakah resolusi konflik tersebut sudah diselesaikan secara menyeluruh, apakah semua rakyat sudah menikmati kehidupan “bermartabat” atau mungkin hal ini hanya dinikmati oleh segelintir orang. Kalau belum, siapa yang harus disalahkan dan ke mana harus ditagih ketika janji tersebut belum terrealisasi sampai hari ini? Pada alinea ke dua; “Para pihak yang terlibat dalam konflik bertekad untuk membangun rasa saling percaya”. Sepertinya Pemerintah RI masih menaruh curiga bahwa Aceh akan memisahkan diri dari Indonesia. Kecurigaan ini mencuat baru-baru ini pasca pengesahan bendera Aceh. Di sisi lain, Kepala Pemerintah Aceh, Zaini Abdullah yang juga juru runding GAM pernah curhat kepada Dubes RI untuk Sudan, Sujatmiko bahwa pemerintah SBY sekarang dianggap sudah tidak jujur lagi (aceh.tribunnews, edisi 28/5). Pada poin 1.1.2 (a) dijabarkan bahwa; “Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama”. Namun sampai kemarin pemerintah pusat dan beberapa badan atau lembaga negara masih tidak sepenuh hati mengakui kekhususan Aceh sehingga membenturkan undang-undang yang berlaku secara nasional dengan UU kekhususan Aceh. Polemik ini sering mengakibatkan terkurasnya energi dan waktu, bahkan menimbulkan korban jiwa seperti pro-kontra calon independen pada akhir 2011. Belum lagi janji pada poin 1.3.4; “Aceh berhak menguasai 70% hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial sekitar Aceh”. Sampai hari ini UUPA yang merupakan turunan MoU secara politik, sosiologis dan filosofis belum juga terrealisasikan. Banyak PP dan Kepres yang belum rampung, mulai PP Pertanahan, Pelimpahan Kewenagan, termasuk PP Migas turunan UUPA pasal 160 ayat (5) sebagai patron pengelolaan Migas dan pembagian hasil antara Aceh dan Pusat. Padahal dalam UUPA pasal 271 disebutkan “Ketentuan pelaksanaan Undang-Undang ini yang menjadi kewajiban Pemerintah dibentuk paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan”. Hampir 7 tahun UUPA disahkan tapi turunan UUPA saja yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat sampai hari ini belum tuntas, belum lagi berbicara kepada tahap implementasi di lapangan. Sekali lagi, siapa yang ingkar janji dan kepada siapa rakyat Aceh harus menagih janji? Belum terimplementasi poin MoU di lapangan tidak boleh cuma disalahkan pemerintah pusat. Buktinya sudah dua Undang-Undang yang memayungi pengelolaan Kawasan Bebas Sabang, yaitu UU No. 37 tahun 2000 dan UU No. 11 tahun 2006 tapi sampai hari ini Sabang belum bisa difungsikan secara maksimal yang akan mendatangkan keuntungan bagi rakyat. Apa ini juga kesalahan pemerintah yang kurang serius atau Aceh yang tidak mempunyai SDM yang mampu memajukan Sabang ataupun penempatan yang tidak sesuai dengan keahliannya. Bukti lain, dana besar yang diberikan pemerintah pusat belum maksimal dikelola Pemerintah Aceh seperti pengakuan Gubernur Aceh, Zaini Abdullah pada akhir Juli lalu, dari 11,76 Triliun APBA 2013 baru terserap 25% (Serambi Indonesia, edisi 26 Juli), padahal anggaran sudah berjalan lebih setengah tahun, bagaimana kalau sampai akhir tahun 2013 hanya dapat direalisasi sekitar 70% dan sebagian besar harus dikembalikan ke pusat. Sangat miris rasanya kalau angaran cukup besar tapi belum bisa dikelola dengan baik untuk kemakmuran rakyat. Oleh karena itu konsep untuk mewujudkan kemakmuran Aceh sebagaimana disebutkan tokoh perjuangan rakyat Aceh abad modern, Dr. Teungku Hasan di Tiro yang ditulis dalam buku Aceh Bak Mata Donya: 1). Rakyat Aceh mau bersatu; 2). mau berpikir untuk seluruh rakyat; 3). mesti melakukan perencanaan dengan matang bagaimana mengurus semua rakyat Aceh, baik yang hidup sekarang maupun keturunan nantinya; 4). tidak memikirkan kesejahteraan satu-dua orang. Sepertinya sangat sukar mewujudkan persatuan Aceh karena beberapa alasan. Masalah kecil bisa besar kerena fitnah dan ketidakpahaman strategi penyelesaiannya atau mungkin kebijakan pemimpin yang kurang adil sehingga menimbulkan kesenjangan dan perpecahan rakyat. Namun persatuan rakyat bukan berarti harus menyatukan 23 Kabupaten/Kota menjadi satu Kabupaten atau menyatukan 15 partai politik menjadi satu partai politik, tapi semua partai politik dan elemen masyarakat Aceh mesti diminta masukan, bahkan dilibatkan dalam pembangunan Aceh sesuai kemampuan dan kapasitasnya. Rakyat atau pihak terkait semestinya tidak membebankan tugas kepada orang yang tidak amanah atau tidak mampu melakukannya karena ini sama artinya menzalimi dan menciptakan “bom waktu” bagi kehancuran Aceh. Perencanaan dengan matang dan aplikasi harus benar-benar dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kualitas keilmuan, kritis terhadap kesalahan yang terjadi, idealis dan ikhlas pengabdiannya, tidak rakus kepada harta sehingga menghambat kemakmuran rakyat banyak. Hal terpenting yang harus diperhatikan untuk mewujudkan Aceh yang bermartabat dan sejahtera untuk semua rakyat adalah standar hukum yang digunakan untuk membangun Aceh. Dr. Teungku Hasan di Tiro juga menulis dalam bukunya; The Price Of Freedom: The Unfinished Diary: “Everything in Acheh is judged by Islami standard. Islam is an inseparable part of Achehnese. As far as my people is concerned Acheh and Islam have the same meaning. If Acheh is a coin, Islam is the other side of that coin. Aceh is a nation founded on Islam and lives by the law of Islam. It has been like this for the most part of our recorded history”. (segala sesuatu di Aceh dinilai berdasarkan standar Islami. Islam merupakan bagian tak terpisahkan dari Aceh. Sepanjang pemahaman rakyatku, menyangkut Aceh dan Islam memiliki arti yang sama. Jika Aceh adalah sekeping koin, Islam adalah sisi lain dari koin itu. Aceh adalah negara yang didirikan atas dasar Islam dan hidup dengan hukum Islam. Sudah seperti ini sebagian besar dari catatan sejarah kita). Oleh karena itu standar Islami merupakan syarat utama untuk mewujudkan kembali kejayaan Aceh sebagaimana yang sudah didapat pada masa silam. Tidak mungkin hal ini akan tercapai kalau tidak dilakoni oleh orang-orang yang memiliki kualitas keilmuan dan paham tentang Islam. Kalau syarat ini belum ada semoga segera bisa diperbaiki agar tidak menjadi “bom waktu” yang bisa “meledak” kapan saja.
Posted on: Thu, 15 Aug 2013 06:06:41 +0000

Trending Topics



rna a alma chora quando vai embora a felicidade da
As we head towards the end of our day, and now that I have
I Want A _________ from You {; [ ] A Hickey ^.^ [ ] A Lap
Bom Dia!!! Hoje e um dia muito especial pra mim pois uma pessoa

Recently Viewed Topics




© 2015