Menimba Inspirasi dari Dr. Soetomo Cita-cita Indonesia Mulia - TopicsExpress



          

Menimba Inspirasi dari Dr. Soetomo Cita-cita Indonesia Mulia tidak akan terhalang, tidak akan berhenti, walaupun negara kita sudah merdeka. Tujuan memuliakan bangsa tidak berhenti walaupun seandainya bangsa kita sudah merdeka. Masih harus abadi, masih harus terus berbakti kepada Ibu Pertiwi kita, dengan bekerja keras tanpa mengharapkan balas jasa (Poespa Rinontje, halaman 42-43). Kutipan tulisan Soetomo itu terdapat dalam buku Kenang-kenangan Dokter Soetomo, terbitan Penerbit Sinar Harapan, tahun 1984. Editor buku itu, Paul W van der Veur, menuliskan bahwa Soetomo sebagai manusia adalah orang yang penuh dengan kebaikan hati, jujur, sederhana, tabah, enggan berbicara tentang dirinya sendiri, dan benci terhadap apa-apa yang berbau korupsi. Apa yang dialami Soetomo semasa kecil banyak berbekas dan ikut membentuk pribadinya. Itu termasuk pengakuan bahwa sewaktu kecil ia anak yang nakal, kadang egois, dan seenak-enaknya, bahkan suka mencuri uang ibunya untuk membeli alat sekolah. Kenakalan itu membuat ayahnya marah. Soetomo dalam buku itu mengungkapkan, “Beliau memegang kedua belah tangan saya dengan memandang kedua belah mata saya dengan penglihatan yang sangat sedih. ‘Oh, mengapa kamu berani mencuri, anakku? Berjanjilah kamu, jangan kiranya akan kamu perbuat untuk kedua kalinya’.” Mendengar itu, hati Soetomo bagai diris sembilu karena melihat ayahnya sungguh berduka atas tindakannya itu. Namun, dalam bentuk lain, kenakalan Soetomo ternyata masih muncul juga, bahkan hingga ia ada di School Tot Opleiding Van Indische Artsen (STOVIA). Ia suka menyontek, mengandalkan bantuan teman yang lebih pandai, dan suka bergurau di kelas. Tetapi, kenakalan itu lenyap saat suatu kali Soetomo dan rekan-rekan sekelasnya diminta gurunya lebih mengasah kepandaian. Satu kali ada seorang guru mengajukan satu soal Aljabar yang sulit. Tak seorang murid pun mengangkat tangan. Guru itu menunggu hingga Soetomo mengangkat tangan. Soetomo mengaku heran atas hal itu. Lebih heran lagi, ternyata ia mampu menyelesaikan soal itu. Ia sadar ternyata ia memiliki kemampuan. Peristiwa serupa kembali terulang saat ada seorang guru baru masuk ke kelasnya dan memberikan pertanyaan. Tak ada seorang pun rekan-rekan Soetomo mengangkat tangan, dan kali ini jawaban yang diberikannya juga benar. Peristiwa itu menumbuhkan rasa percaya diri Soetomo. Tumbuh keyakinan, ia mampu. Mulai saat itu, Soetomo malu menyontek. Ia pun maju dalam berbagai pelajaran. Di kelas ia masuk golongan siswa pandai. Tapi, ia juga justru makin rapat bersahabat dengan rekan-rekannya yang tak memiliki kepandaian cukup. Ia membantu mereka belajar. Bangsa mulia Harga diri, rasa percaya diri, dan keyakinan pada kemampuan diri pulalah yang jadi dasar kuat perjuangan Soetomo. Ia figur yang tegas menolak menjadi politisi. Ia lebih suka hidup jujur, berterus terang, tak suka mempermainkan rakyat, terbuka pada perbedaan dan tak memperuncingnya, serta berani menerima kebenaran sepahit apa pun. Perjumpaan dengan Wahidin Soedirohoesodo, yang tengah membangun dukungan agar anak-anak pribumi dapat bersekolah, mempertebal sikap Soetomo untuk berjuang. Apalagi, ia memperoleh dukungan dari rekannya di STOVIA, seperti Goenawan Mangoenkoesoemo yang kritis, lugas, dan setia kawan, atau Soelaiman yang selalu menyediakan diri untuk melayani Boedi Oetomo meski harus menanggung semua risikonya. Kedekatan mereka pun didasari pada sikap dan pilihan ideal yang sama. Mereka disatukan dalam semangat besar yang sama, menjadi bagian dari bangsa besar yang bermartabat. Setidaknya, itu tampak dari tulisan Soetomo yang terkumpul dalam ‘Bungai Rampai Karangan Soetomo’. Juga dalam buku ‘Kenang- kenangan Dr Soetomo’, terutama pada judul Maju Bersama-sama untuk Bekerja. Dalam tulisan itu Soetomo menegaskan, bangsa kita, besar atau kecil, dan semua golongan, mau bekerja menurut bakat dan kemampuannya, menurut kekuatan dan keterampilannya, asal dalam bekerja itu kita bersatu dan sama tujuannya. Setiap saat kita harus berani berkorban sebanyak- banyaknya dan dengan sekuat tenaga meningkatkan nasib rakyat. Kepada setiap orang yang terpelajar dan elite, Soetomo mendesak agar mereka ikut memikirkan dan memperbaiki nasib rakyat, yang pada umumnya menyedihkan, terimpit kemiskinan, dan terabaikan haknya. Dalam tulisan lain berjudul ‘Gerakan Terpendam’, Soetomo mencoba menggugah semangat bangsanya dengan mengatakan, “Negara yang sudah maju mempunyai ciri, yaitu penduduk pribuminya kreatif dan mempunyai minat besar untuk berprestasi, untuk meningkatkan kesejahteraan. Mereka selalu berusaha untuk memperoleh hak yang semestinya mereka miliki, yaitu hak asasi kemanusiaan yang dianugerahkan oleh Yang Mahakuasa dan hak yang diberikan kepada Tanah Air mereka. Rakyat di negara maju itu segan melakukan yang dapat merugikan Tanah Air dan bangsanya. Karena itu, jika muncul sesuatu yang dapat merugikan negaranya, mereka siap melawannya dan melenyapkannya sampai habis. Sebaliknya, segala perkara yang adil, suci, dan luhur selalu mereka junjung tinggi karena mereka gemar akan kebenaran dan kemerdekaan.” Soetomo mampu menemukan dirinya memiliki kemampuan, dan itu menempatkannya pada posisi terhormat. Jika kita merasa bangsa ini besar, mari kita mulai berperilaku bermartabat. (tulisan ini saya edit dari karya Josie Susilo Hardianto dalam KOMPAS
Posted on: Fri, 12 Jul 2013 06:30:49 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015