#Mubes Aktivis Pemudi se-Jakarta Raya | Pendidikan Pemudi dalam - TopicsExpress



          

#Mubes Aktivis Pemudi se-Jakarta Raya | Pendidikan Pemudi dalam Sistem #Kapitalisme #Demokrasi: Pencerdasan atau Pembodohan? | Ruang Besar HPT IPB Baranangsiang, Bogor | 27 Oktober 2013 Testimoni dari Pemudi Muslimah Hizbut Tahrir #Britain Hanaa Hasan Student of Economics of The School of Oriental and African Studies (SOAS), University of London Di seluruh dunia, ada narasi tanpa henti yang disebarkan bahwa pendidikan dan karir ala Barat adalah satu-satunya jalan bagi pemberdayaan perempuan. Kita dicekoki bahwa pendidikan adalah kunci menuju peluang dan bukan sekedar melahirkan orang-orang yang berpendidikan, tetapi juga pemikiran yang liberal. Kita diberitahu bahwa inilah cara berpikir yang tertinggi. Akan tetapi Saudariku, pendidikan telah dibajak oleh satu sudut pandang, yaitu sebuah definisi pendidikan dari Barat, pasca kolonialisme. Nilai seorang perempuan didefinisikan oleh sistem Kapitalisme sebagai kemampuannya untuk memberikan kontribusi kepada masyarakat secara finansial. Oleh karena itu, pendidikannya tidak lebih berharga dari pada keuntungan finansial yang diperolehnya. Janganlah kita tertipu ketika melihat para perempuan, seperti Malala Yousufzai dan Aung San Suu Kyi yang diberi gelar kehormatan oleh institusi-institusi dan universitas-universitas bergengsi yang tidak ada hubungannya dengan pembelajaran atau pun prestasi mereka. Bahkan sebaliknya, ini hanya sekadar alat yang digunakan untuk menaikkan profil orang-orang semacam itu yang dengan tanpa ragu akan bekerja untuk menjajakan agenda-agenda kolonial Barat. Perempuan dituntun untuk percaya bahwa dengan mengenyam pendidikan akan membuka peluang yang lebih besar untuk memiliki karir yang pada gilirannya akan mengarahkan pada kehidupan yang serba tercukupi bahkan lebih dan salah satunya adalah mandiri secara ekonomi dari laki-laki. Tetapi kenyataan mengisahkan cerita yang berbeda. Dalam 100 tahun terakhir, di bawah penerapan sistem demokrasi sekuler, semakin banyak perempuan yang telah dipaksa untuk meninggalkan peran utama mereka sebagai pengasuh rumah tangga dan ibu karena menjadi pencari nafkah; semuanya berkedok istilah pemberdayaan. Bagi banyak perempuan, slogan ‘raihlah semua mimpi’ telah menjadi ‘lakukan semua karena ini realitas’ di mana banyak perempuan yang bekerja bukanlah pilihan tetapi dipaksa untuk bekerja. Baru-baru ini, Dinas Kesehatan Inggris mengeluarkan laporan tentang meningkatnya jumlah perempuan yang mengalami stres yang ekstrim karena beban bekerja, membesarkan anak-anak, dan merawat orang tua yang lanjut usia. Perempuan yang sudah menikah atau mereka yang memiliki anak tidak hanya lebih kecil kemungkinannya untuk dipekerjakan tetapi juga diperlakukan diskriminatif di tempat kerja karena mereka terpaksa menghabiskan lebih banyak waktunya di rumah bersama keluarga mereka. Akibatnya, banyak perempuan menunda pernikahan dan menjadi ibu sampai usia 40-an. Jadi, di manakah nilai seorang perempuan terpelajar jika skenario busuk ini yang hanya bisa ia harapkan? Jika pendidikan diarahkan hanya untuk menciptakan mesin pencetak uang, di manakah letak pemberdayaan atau kebebasan dari pembelajaran ini? Di bawah penerapan sistem kapitalisme, keuntungan ekonomi adalah satu-satunya motivasi bagi para pendidik dan juga pihak pemerintah, sehingga tidak ada seorang pun di bawah penerapan sistem ini yang memberi nilai pada prestasi perempuan. Sistem pendidikan Barat yang telah dipuji sebagai model unggul yang harus ditiru oleh negara-negara lain dan memang ini adalah sistem yang telah menjadi cermin bagi banyak sistem pendidikan di dunia Muslim, sekarang runtuh berantakan. Upah rendah bagi guru, jutaan poundsterling dikurangi dari subsidi pendidikan, kurangnya jumlah bangunan sekolah, dan baru-baru ini pemerintah Inggris menaikkan biaya kuliah hingga £ 9000/tahun, telah membuat pendidikan tinggi menjadi hak yang istimewa hanya untuk orang-orang kaya. Semua ini mencerminkan sebuah sistem yang tidak memberikan nilai sesungguhnya pada pendidikan dibandingkan dengan miliaran poundsterling yang dihabiskan untuk perang kolonial demi mengamankan sumber keuangan. Sistem ini tidak memandang pendidikan dari perspektif manusia, yakni hak dasar setiap individu, tetapi dari standar para kapitalis, yaitu apa yang lebih baik bagi pertumbuhan ekonomi. Ini di satu sisi; sementara di sisi lain, kurikulum sistem pendidikan Barat mempromosikan nilai-nilai liberal sekuler yang berbahaya yang telah menyebabkan krisis sosial. Epidemi masalah narkoba dan alkohol di kalangan pemuda seperti yang terjadi di Inggris, ½ dari seluruh remaja mengaku meminum alkohol sampai tingkat memabukkan yang sering mengakibatkan terjadinya tindak kejahatan serius. Inilah masyarakat yang terkena bencana dengan budaya seks bebasnya yang mengakibatkan terjadinya ribuan kasus aborsi, kehamilan remaja di luar nikah, dan melonjaknya tingkat penyebaran penyakit seksual. Dan apa solusi sistem pendidikan Barat untuk mengatasi masalah ini? Terus mendorong hubungan di luar nikah melalui media atau pelajaran sains di mana pelajar diajarkan bahwa alat kontrasepsi atau hubungan seksual yang aman adalah solusi untuk kehamilan remaja, bukan dengan menjaga kesucian atau menahan hawa nafsu. Di tengah keputus asaan, mereka malah mengambil jalan mengajarkan pendidikan seks kepada anak usia 5 tahun. Selamat datang saudari-saudari pada budaya pemuasan hawa nafsu berupa kebebasan individu dan seks bebas yang mendorong individu hanya mengejar hasrat egoisme mereka dan berlepas diri dari konsekuensi yang ditimbulkannya pada masyarakat. Saudari-saudariku, ini bukanlah model yang harus kita tiru. Sebaliknya, kita harus melirik kepada Islam, yang telah menjamin pemenuhan hak-hak perempuan selama lebih dari 1400 tahun. Di bawah penerapan sistem Islam, seorang perempuan mengenyam pendidikan karena dua alasan. Yang pertama adalah karena adannya kewajiban atas setiap muslim untuk menuntut ilmu. Kita mengetahui hadits Rasulullah Muhammad SAW, Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga. (HR Muslim) Dan kedua, seorang Muslimah mendidik dirinya, sehingga ia secara positif dapat mempengaruhi pemikiran anak-anaknya dan masyarakat di sekelilingnya. Keterampilannya dihargai dan akan membantu perkembangan generasi masa depan. Di dalam Negara Islam, seorang perempuan tidak akan pernah dipaksa untuk memilih karirnya atau keluarganya untuk terus berkontribusi terhadap masyarakat atau memperoleh pendapatan. Dan pada saat yang sama, memiliki sebuah keluarga tidak akan menghalanginya untuk bekerja jika ia menginginkannya atau memerlukannya, seperti di Barat. Saudari-saudariku tercinta, saya mendorong kalian untuk terlibat dengan perjuangan para pemudi dari Lajnah Thulab wal Jama’ah Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia. Mereka telah berjuang tanpa lelah untuk menyelenggarakan acara ini dan juga kegiatan-kegiatan lainnya dalam rangka melawan narasi Barat dan meningkatkan kesadaran tentang kebebasan sejati bagi perempuan dalam Islam. Masa-masa sekarang adalah masa yang penuh ujian bagi umat. Memang kita berada di zaman yang dijelaskan di dalam sabda Rasullullah SAW: “Akan datang kepada manusia suatu masa, orang yang sabar (memegang Islam) pada masa itu bagaikan orang yang sedang menggenggam bara”. Semoga Allah SWT mengizinkan kita menjadi orang-orang yang memegang kebenaran selama masa penuh ujian ini dan memberkahi kita dengan kembalinya Islam segera.
Posted on: Mon, 28 Oct 2013 01:51:03 +0000

Trending Topics




© 2015