REMEMBER WHEN #6 NO COPAS NO BULLY FREYA POV And breath - TopicsExpress



          

REMEMBER WHEN #6 NO COPAS NO BULLY FREYA POV And breath by breath and death by death we followed the chain of chagre. -Langdon Smith- *** Aku berdiri di depan pagar rumah Anggia dengan tas selempang yang penuh buku pelajaran, mengenakan celana pendek hitam, kaus santai biru cerah dan sepasang sandal jepit. Pembantu rumah Anggia membukakan pintu, sudah familier dengan wajahku. Aku melangkah masuk dan menyapa Mama Anggia yang sedang sibuk melayani pelanggan di salon rumahan milik keluarga mereka. Salon kecantikan itu selalu penuh dengan klien, yang rata-rata merupakan pelanggan reguler dan para ibu tetangga. “Anggia ada di kamar tuh, katanya nungguin kamu,” kata Mama Anggia. Saking seringnya aku main ke sana, aku sudah dianggap anak kedua, seperti bagian keluarga sendiri. Pintu kamar Anggia terbuka lebar, dari kejauhan terdengar reff lagu pop dari stasiun radio remaja. Pemiliknya sedang duduk di atas karpet berawarna merah jambu, leyeh-leyeh sambil membaca majalah fashion dari luar negeri. Aku masuk dan langsung mengambil posisi favorit—di atas sebentuk beanie bag berukuran raksasa berwarna pinkterang. Kamar Anggia adalah salah satu tempat kesukaanku. Kamar itu luas, lantai marmernya yang mewah dilapisi karpet selembut beludru. Ranjang besar bermodel victorian yang memberikan kesan dramatis, seperti seorang putri. Seperangkat DVD player dan LED TV bertengger manis di sudut. Ruang walk-in closet dibangun tersembunyi di balik kamar, berlawanan dengan balkon yang dipenuhi pot-pot bunga mungil. Sepertinya, tidak akan ada yang bisa bosan di kamar semegah itu. Namun, yang paling kusukai adalah bau cat minyak yang bercampur dengan manis wangi parfum, aroma yang selalu menyelimuti ruangan itu. “Hei, lukisan baru, ya?” Aku mengamati kanvas besar yang disandingkan di sebelah meja belajar Anggia. Sebuah lukisan hujan, proyek terbarunya. “He, eh.” Anggia menjawab sekenanya, tangannya sibuk meraih sekepal kacang rebus sambil membolak-balik halaman majalah. “Belum selesai. Ternyata susah banget melukis hujan.” Anggia suka, dan jago melukis. Kamarnya penuh dengan hasil sketsa, dan lukisan yang belum selesai. Seluruh lukisan yang sudah selesai disimpan rapi dalam lemari kayu, sesekali dikeluarkan untuk diangin-anginkan. Aku mengeluarkan buku Bahasa Inggris dari tas dan mulai menyiapkan alat tulis, bertekad menyelesaikan jadwal pelajaran hari ini. “Anggia, ayo dong. Katanya mau belajar Inggris bareng.” Anggia menurunkan majalahnya dan memberikan sebuah tatapan. Aku tahu tatapan itu. Artinya bosan dan ingin mencari kegiatan lain yang lebih menyenangkan. “Lo tahu nggak, sekarang gue lagi pengin ngapain?” “Belajar Bahasa Inggris.” Aku menyahut dengan kalem. Anggia mengerang malas. “Setiap hari belajar terus. Ini kan, hari Sabtu, masih pagi pula. Gue pengin siap-siap buat pesta Keke di café entar malam.” Aku melirik jam besar yang tergantung di dinding kamar. “Pestanya pukul tujuh malam. Sekarang baru pukul sembilan pagi.” “Daripada belajar, mendingan kita manikur pedikur di salon. Mumpung masih pagi, belum rame.” Kalau sudah begini, biasanya tekad Anggia akan sulit digoyahkan. Ia bangkit dan beranjak memilih beberapa jenis cat kuku dari meja riasnya. Meja rias Anggia juga sangat cantik. Feminin sekali. Penuh dengan botol-botol produk kecantikan ternama yang mereknya tidak kukenal baik. Parfum dengan berbagai jenis wewangian, pewarna pipi, bedak, lotion, pelembap wajah, dan koleksi lipstik aneka warna tersusun rapi, sama rapinya dengan koleksi buku-buku silat di kamarku yang sempit. Kadang, ada saat-saat di mana aku sangat ingin memiliki kehidupan Anggia. Ingin punya ibu yang memasak sarapan untuk anaknya, ingin kamar yang luas dan wangi, ingin cantik seperti Anggia—dengan rambut panjang ikal dan bulu mata lentik. Namun, aku bukan Anggia. Aku hanya seseorang biasa-biasa saja yang canggung dengan penampilannya sendiri. “Ah.” Tiba-tiba, Anggia berhenti memilih-milih cat kuku, lalu berpaling menatapku. “Rambut. Gue mau catok rambut ah, buat nanti malam.” Dia memandangku lama, seakan secetus ide sedang terformulasi di kepalanya. “Gue punya ide! Gimana kalo lo ikut nyalon? Kayaknya lo butuh potongan rambut baru, deh. Rambut lo udah panjang, sekarang mencuat-cuat keluar. “Potong rambut?” Aku menyentuh rambut yang kini sudah melewati kerah baju, akibat bolos potong rambut beberapa bulan. Apa boleh buat, banyak kepentingan lain yang lebih mendesak. “Gimana kalau sekalian cat rambut?” Aku semakin panik, tidak suka dengan ide yang dilontarkannya. “Cat rambut?” Anggia tertawa. “Yang temporary aja, jangan yang permanen, kalau lo nggak mau dipanggil guru BP. Kita bikin rombakan penampilan, khusus malam ini.” “Hari ini yang ultah kan Keke, bukan gue. Kenapa gue yang harus merombak penampilan?” Aku mencoba mengelak, gagal membayangkan diriku sendiri dengan warna dan potongan rambut baru. Aku tidak pernah suka perubahan baru. “Freya.” Anggia berkacak pinggang menatapku dengan tatapan garang. “Kadang, lo harus mencoba sesuatu yang baru. Apa lo nggak bosen dengan segala sesuatu yang begitu-begitu aja?” Ah. Pertanyaan itu terdengar tak asing. Lalu, dengan lebih lembut, Anggia melanjutkan, “Kalau nyokap lo masih ada, beliau pasti juga seneng ngeliat anaknya sedikit genit buat jadi cantik.” Aku menghela napas. Ucapan sahabatku ini memang ada benarnya. Model rambutku sudah seperti ini sejak kecil, lurus sebahu, tanpa pewarna, dengan gaya yang itu-itu saja. Apalah artinya sedikit perubahan? Bukankah aku selalu mengeluh jenuh dengan segala sesuatu yang berjalan konstan dan pasti? Bukankah aku iri dengan Anggia yang manis walau tanpa ulasan make up? Sama seperti yang selalu kurasakan ketika ada yang berkomentar bahwa Anggia cantik, sedangkan aku hanya pintar. Ada kebanggaan tersendiri saat disebut pintar, tapi betapa inginnya aku juga dibilang cantik. Itu pula yang membuatku akhirnya mengalah, kali ini. “Ya udah deh, tapi jangan yang ekstrem, ya.” Anggia tersenyum, tahu sejak awal bahwa aku tidak akan menolak. Usaha persuasinya memang selalu meyakinkan. “Ke supermarket di depan kompleks, gih,” suruhnya sambil beranjak menyiapkan peralatan. “Beli satu kotak pewarna rambut temporary. Pilih warna yang lo suka. Nanti kita kerjain bareng di salon. Gue beres-beres dulu.” Aku bangkit, mengekor Anggia. Sedikit perubahan, sedikit saja… tidak akan terlalu kentara, kan? *** Aku berdiri termangu-mangu di depan rak yang penuh dengan kosmetik danalat kecantikan. Sudah hampir lima belas menit aku di sana, masih berusaha menentukan warna apa yang akan kupilih. Aku memegang telepon dengan sebelah tangan sambil sibuk mengambil kotak-kotak cat pewarna rambut, menelitinya sejenak, lalu meletakkannya kembali. “Burgundy, cooper, atau ash?” gumamku kesal. “Nggi, gue butuh bantuan ahli, nih.” Di saat-saat seperti ini, aku sungguh berharap ibu ada di sini. Aku melewati masa-masa pubertas sendirian,mulai dari menstruasi pertama, hingga belajar menyetir dan menggunakan pelembap wajah. Walau sekarang aku punya seorang ibu tiri yang kupanggil Mama, beliau terlalu sibuk bekerja untuk usaha catering rumahan kami dan jarang menghabiskan waktu denganku, apalagi untuk urusan semacam ini. “Burgundy itu warna kemerahan,” ocehan Anggia membuyarkan impianku. “Cooper itu tembaga, ash keabuan. Kayaknya lo lebih cocok warna cokelat gelap deh, Frey. Jangan terlalu terang, ntar kaget.” “Sekali lagi, gue butuh alasan kenapa gue harus ganti warna rambut.” Aku mendengus kesal, menyesal membiarkan Anggia meracuni pikiranku dengan sukses, seperti yang selalu dilakukannya. Kalau sama Anggia, rasanya aku kebanyakan mengalah, deh. Dia tertawa lepas di ujung telepon. “Sekali ini aja deh…, oke?” “Antara warna cokelat tua dan merah gelap, nih.” Aku menimang-nimang kedua kotak cat rambut itu dengan gemas. “Yang mana, Nggi?” “Yang merah bagus.” Sebuah suara mengagetkanku, membuatku hampir menjatuhkan kotak di tangan. Adrian berdiri persis di belakangku, tubuhnya yang jangkung basah oleh keringat namun samar-samar aku dapat mencium aroma cologne maskulin yang segar. Dia nyengir, menunjuk kotak yang bertuliskan burgundy, seakan tidak sadar dia baru saja membuatkua tekejut setengah mati, plus agak malu karena tertangkap basah dalam keadaan seperti ini. “Itu Adrian, ya?” Anggia berseru di telepon. “Frey, kasih teleponnya ke Adrian dong, gue mau ngomong!” Pasrah, aku menyerahkan telepon genggam kepada Adrian. “Anggia, nih.” Adrian menjauh untuk bercakap-cakap dengan sang pacar, sedangkan aku masih frustasi dengan pilihan cat warna. Akhirnya, aku mengambil satu dan berjalan ke arah kasir untuk membayar. Selamat datang, rambut merah! “Thanks.” Adrian menghampiriku, mengembalikan telepon sambil menyeringai lebar. “Gue abis ngebasket sama anak-anak dan haus mau beli minuman di sini. Nggak nyangka ketemu si cikal bakal rambut merah. Anggia ngomong apa sampe lo setuju?” Aku tidak menjawab pertanyaan tersebut, lebih kuatir dengan warna yang telah kupilih. “Menurut lo warna merah ini bagus?” “Buat lo,” tukas Adrian. “Merah, bukan cokelat?” Aku tidak jadi mengeluarkan uang untuk membayar, tiba-tiba khawatir Adrian hanya sedang iseng mempermainkanku. Seperti yang pernah dia lakukan saat mengganti minuman Moses saat yang bersangkutan sedang ke toilet, atau mengirimkan SMS palsu yang sempat membuat erik mengira cewek yang ditaksirnya sedang mengajaknya kencan. Sinting, tapi jenius. Sekarang, aku hanya takut akan menjadi korban olok-olokan selanjutnya. Namun, Adrian mengangguk mantap. “Yep. Merah, bukan cokelat.” Tangannya meraih sebotol minuman energi dingin dari rak kasir, lalu meletakkannya di samping belanjaanku. “Sekalian traktir ya, buat saran makeover gue.” Aku tertawa kecil, memutuskan untuk percaya padanya. “Iya deh. Habis ini gue langsung ke rumah Anggia.” “Sampai ketemu nanti malam, rambut merah” Dan, lelaki itu pergi begitu saja. *** Aku kembali muncul di gerbang rumah Anggia setengah jam kemudian, masih ragu dengan keputusanku melakukan perombakan penampilan. Sebelum mampu memprotes lebih lanjut, aku digiring masuk dan terpaksa duduk di kursi salon, sambil menggigiti kuku dan memandangi kotak pewarna rambut dengan cemas. Anggia duduk di belakangku, di atas kursi yang lebih tinggi, perlahan mewarnai helaian rambutku sedikit demi sedikit. “Kok jadinya warna merah?” godanya. “Katanya nggak mau perubahan ekstrem.” “Jangan komentar deh, udah terlanjur nih.” Aku merengut. “Gara-gara Adrian yang bilang warna ini bagus.” “Adrian memang suka warna merah.” Anggia tersenyum sambil terus menyapukan warna itu. Aku terdiam. Tapi, tadi dia bilang, warna merah bagus untukku. Dan aku percaya padanya. Dua jam kemudian, warna merah sudah meresap ke rambut hitamku. “Nanti potongnya model seperti ini, ya.” Anggia menunjuk sebuah gambar di majalah yang diletakkannya di atas meja. Mama Anggia mengangguk-angguk siap menggunting. Aku tidak diperbolehkan melihat, karena katanya nanti potongan rambut ini akan menjadi kejutan. Aku hanya bisa pasrah menunggu dengan kedua mata terpejam rapat. Mama Anggia mulai merapikan rambutku yang baru dibasuh. Aku mulai panik karena merasakan begitu banyak bagian rambut yang dipangkas. Mama Anggia terus memotong dengan cekatan, dengan Anggia yang duduk di sebelahnya sambil terkikik jail. “Nah, selesai.” Aku membuka mata. Kaget adalah satu kata yang paling tepat untuk mendeskripsikan perasaanku detik itu. Rambutku yang tidak terlalu panjang kini menjadi sangat pendek, hampir menyerupai rambut pria. Warna merahnya tidak terlalu menyala, hanya kelihatan kemerahan saat tertimpa cahaya matahari. Namun, potongan rambutnya…. drastis. “Ini model pixie cut ala Demi Moore yang terkenal beberapa tahun lalu.” Mama Anggia berkata. “Tapi tante nggak potong sependek itu, cuma ditambahkan trap sedikit di bagian belakang.” Aku masih tidak sanggup berkata-kata. Anggia meletakkan kedua tangan di atas pundakku, tersenyum puas. “Perhatiin baik-baik. Cantik banget.” Aku menatap wajahku sendiri di cermin. Perubahan yang sangat besar. Wajahku yang tirus dengan garis wajah tegas semakin diperjelas dengan potongan rambut pendek. Poni yang biasa kubiarkan menutupi separuh wajah dipangkas pendek, kini menjuntai tipis menutupi dahiku yang lebar. Warna merah gelap juga kontras dengan kulitku yang putih. Aku terlihat seperti makhluk asing. Seseorang yang tidak kukenali. Ini bukan perubahan kecil. Ini salah satu perubahan terbesar dalam hidupku. *** ANGGIA POV Kesan pertama yang kutangkap saat meletakkan kuas dan lipstik di atas meja adalah: cantik. Hampir sama seperti saat aku pertama kali melihatnya dua tahun lalu, di lapangan sekolah saat orientasi SMU. Freya memang nggak bisa dibilang diva sekolah, tetapi dia menarik. Kecantikannya terhalangi oleh poni panjang, rambutnya selalu dipotong rata tanpa model, dan dia terlalu sederhana untuk menjadi pusat perhatian. Freya itu istilahnya, segelas susu putih dalam gelas kaca biasa. Sekilas terlihat sangat biasa, tanpa pernak-pernik, tanpa rasa, tetapi menghanyutkan. Aku baru berteman dengannya selama kurang lebih dua tahun, tetapi cukup mengenalnya untuk bilang bahwa kesulitan hidup hanya membuatnya lebih kuat. Seperti yang kami semua tahu, ayah Freya yang hanya lulusan SD membuka sebuah toko obat kecil di rumah merreka. Ibu tirinya bekerja siang malam dengan membuka usaha catering. Dia tidak seperti teman-teman kami yang lain, yang bisa merayakan ulang tahun di hotel dan cafe ternama. Bukan seperti kami yang punya banyak televisi dan gadgetterbaru di rumah, tapi masih berebut untuk menggunakannya. Dia hanya punya sebuah mobil butut yang mesinnya membatukkan asap setiap kali di-stater, sedangkan kami semua punya setidaknya dua mobil mewah terparkir di garasi. Freya harus membantu orangtuanya begitu pulang sekolah, dan hebatnya, nilainya selalu paling tinggi di kelas. Beasiswa demi beasiswa disabetnya tanpa kesulitan, tanpa menyisakan ruang untuk murid-murid yang setengah mati belajar untuk meraihnya. Freya nggak seperti aku. Kadang, aku kagum pada kekuatannya berkembang dalam segala sesuatu yang seharusnya memurukkannya. Hanya, dia sendiri nggak pernah sadar kalau dia memiliki semua itu. Malam ini, Thanks to me dan tangan-tangan artistikku, Freya kelihatan cantik sekali dalam balutan skinny jeans ketat berwarna gelap dengan aksen diamente di pinggangnya, dan blus satin warna putih. Pakaian yang kupinjamkan padanya itu terlalu sempit di badanku, tetapi pas di tubuh Freya. Aku juga meminjamkan sepasangflat shoes dengan pita-pita satin warna lembayung. Nggak lupa juga, menyapukan sedikit pemerah pipi dan lipstik warna peach. Freya nggak pernah cocok dengan warnapink; di wajahnya warna itu selalu kelihatan sendu. Rambut merahnya kelihatan lebih gelap dari seharusnya, dan entah bagaimana, Adrian benar. Warna itu sangat cocok untuk kulit Freya yang pucat. Tadinya, aku hampir mencak-mencak saat Freya berencana mengenakan gaun selutut berbahan denim yang dulu pernah dikenakannya ke acara pernikahan guru kami. Gaun itu polos, agak usang, sekilas kelihatan kayak daster. Begitu dia mengeluarkan benda itu dari tasnya, aku hanya bisa melotot. Freya meringis, tahu aku akan bilang apa. “Jangan komentar,” katanya. “Kita mau ke sweet seventeen party di café, Freya sayang… bukan ke pasar!” Untungnya dia nggak pakai sandal jepit sekalian! Freya memutar bola matanya. “Memangnya, gue separah itu, ya?” Aku memilih untuk nggak menjawab. “Menurut lo?” Akhirnya, dia setuju meminjam bajuku. Kami diantar sopirku ke pesta Keke. Café yang dipilih sudah setengah penuh ketika kami tiba. Keke berdiri di tengah ruangan, mengenakan gaun rancangan designerternama berwarna biru muda beraksen ruffles. Aku melihat Adrian di sudut ruangan, sedang mengobrol dengan Moses dan Erik. Aku menarik tangan Freya. Dia masih kelihatan risih dalam baju yang terbuka itu, dengan tak nyaman, ia menarik-narik ujung bajunya. “Jangan tarik-tarik bajunya,” desisku. Duh, Freya norak banget, deh. Adrian mengecup pipiku begitu kami datang dan berbisik hai, cantik, seperti yang sering dilakukannya. Aku sendiri hari ini memilih mini dress motif print abstrak bermodel tubeyang baru kubeli minggu lalu. Kemudian, perhatian semua orang berpindah ke Freya, yang dipanggil Adrian ‘si rambut merah’. Erik dan Moses (terutama Moses) terlihat shocked. Pipi Freya memerah. Lalu, memucat begitu Moses angkat suara. “Rambut kamu diapain?” Nadanya dingin dan tenang seperti biasa, tapi kami semua menangkap getar emosi yang jarang muncul dari seorang Moses. Adrian dan Erik saling memandang. Aku menatap Freya yang menunduk, berharap dia memiliki sedikit keberanian untuk menjawab. “Kamu apain rambut kamu?” Moses bertanya lagi, kali ini suaranya lebih keras. “Aku…” Freya menggantungkan kalimatnya. Moses nggak pernah membentak, apalagi kepada Freya. Akhirnya, aku yang angkat bicara. Kasihan Freya. “Gue yang usul supaya rambutnya dipotong dan dicat. Nggak permanen kok, beberapa kali cuci juga ilang warnanya.” Moses berbalik menatapku. “Kenapa Freya harus pake baju terbuka dan cat rambut jadi merah? Lo kan tau dia nggak nyaman, sekali liat bahasa tubuhnya aja lo udah tau dia risih!” Suara Moses lirih, tetapi wajahnya menyiratkan kesal. Dilepaskannya jaket yang dipakainya dan setengah dilempar ke arah Freya. Freya semakin pucat. Aku tahu dia benci pertengkaran dan argumen, apalagi di depan umum. “Bukan karena Anggia, Mos. Anggia nggak salah, kok,” ujarnya berulang-ulang berusaha menengahi. Aku menghela napas yang sedari tadi kutahan. Kadang, Moses benar-benar keterlaluan. “Memangnya, apa yang salah dengan baju pesta, sedikit riasan, dan cat rambut? Freya nggak butuh izin lo untuk itu.” Rahang Moses mengeras, tampak dia sedang berusaha mengendalikan kemarahannya. Adrian bertukar pandang denganku, tahu aku sedang nggak moodmeminta maaf untuk kesalahan yang nggak kulakukan, dan berusaha mencairkan suasana. “Udahlah, Mos. Lo kenapa sih? Freya kan cuma mau coba penampilan baru. Harusnya lo seneng liat dia tampil cantik.” Namun, si keras kepala satu itu menyahut datar tanpa emosi, “Jangan ikut campur. Ayo pulang, Freya. Pakai jaketnya.” Dengan ragu, Freya mengenakan jaket Moses, semakin risih ketika disadarinya orang-orang di sekeliling kami sedang memperhatikan. “Ayo kita pulang,” ulang Moses sekali lagi, lebih lembut.” “Tapi, kita kan baru sampe…. Aku belum salamin Keke. Kadonya….” “Ayo.” Moses menarik tangan Freya sehingga kado Keke yang dipegangnya jatuh ke lantai. Erik berusaha menghalangi, tetapi Adrian mencekal lengannya, mengisyaratkan agar kami nggak bertindak lebih jauh. Aku ingin sekali membawa Freya kembali. Aku bisa melindunginya lebih baik daripada Moses. Tapi, dia sempat menoleh, dan walau langkahnya tergesa, dia berusaha tersenyum untuk meyakinkan bahwa dia nggak apa-apa. Bahwa dia bisa sendiri. Jadi, aku pun membiarkannya hilang di antara kerumunan orang-orang yang sedang berpesta. *** MOSES POV Kami berdua duduk dalam keheningan di dalam mobilku. Mesinnya sudah dihidupkan, tetapi tidak ada yang bicara. Aku dapat mendengar napas kami tidak beraturan, saling bertentangan, bertaut dalam kebingungan. Napas Freya berat, seperti mencerminkan takut. Takut kepada siapa? Kepadaku, yang separuh menyeretnya ke dalam mobil dan tidak membiarkan dia protes barang sekata pun? Sementara napasku liar, tidak tenang, pantulan akan rasa takut yang lain. Takut akan diriku sendiri karena telah membentak gadis yang paling kusayangi, melukai hatinya hingga sekarang dia menundukan kepalanya dalam-dalam sambil memeluk dirinya sendiri. Aku tidak tahu apa jelasnya yang membuatku begitu marah begitu melihat Freya di pesta barusan. Rambutnya yang berkilau kemerahan, dipotong pendek. Hilang sudah poni panjangnya yang biasa menutupi sebagian wajahnya, seakan ingin menutupi separuh jiwa yang tak mau dibagi dengan orang lain. Hilang sudah helai-helai rambut halus yang sering kuputar dengan jemariku, sebuah cara menyayanginya. Bukan hanya rambutnya yang membuatku kaget. Lebih marah lagi karena baju-baju sederhana yang biasa melekat di tubuhnya telah tergantikan oleh jeans ketat dan baju berbelahan dada rendah. Apa yang dipirkannya, aku tidak tahu, dan memilih untuk mengalihkan kekesalan itu pada Anggia yang mengusulkan (bahkan meminjamkan) baju semacam itu. Tadi, aku melemparkan jaketku untuk menutupi tubuhnya. Kelihatan jelas Freya cukup kaget melihat letupan kecil amarahku karena wajahnya langsung berubah pucat. Aku tahu dia tidak suka pertengkaran dan terbiasa menghindarinya. Namun, aku tak tahan lagi. Aku ingin membawanya pergi jauh dan tidak pernah melihatnya berubah. “Freya.” Tanganku menyentuh ujung rambutnya. Sebelum mendarat di kepalanya, dia sudah menjauh. Amarahku hilang seluruhnya, digantikan rasa sesal karena telah membuatnya sedemikian takut. Aku meraih pipinya yang lembut, kemerahan dengan pewarna yang disapukan Anggia. Aku lebih suka pipinya yang pucat dengan sedikit bintik kecokelatan. “Maaf.” Aku berusaha bicara selembut mungkin, tetapi suaraku masih bergetar melihatnya seperti ini. Seperti bukan Freya. Kulihat sedikit kulitnya yang terbuka di balik jaketku. Bulu kuduknya meremang, mungkin karena kedinginan, mungkin karena enggan bersentuhan denganku. Diangkatnya sedikit kepalanya. Rambutnya masih kemerahan, bahkan dalam pantulan cahaya malam. Dia menatapku dalam-dalam dan berkata lirih, “Aku hanya ingin jadi cantik malam ini.” Freya, apa yang harus aku rasakan kalau kamu berkata seperti ini? Aku bukan orang yang biasa mengucapkan pujian gombal. Kata-kata seperti kamu bidadari tercantik di dunia selalu berhenti di tenggorokanku, tidak pernah keluar walau dalam bisik sekali pun karena aku bukan lelaki seperti itu. Freya. Kamu cantik dengan senyum sedihmu. Namun, aku tidak bisa mengatakannya. Aku hanya dapat membelai kepalanya, merasakan lembut rambutnya di tanganku. Sedikit sedih karena entah kapan aku bisa membelai rambutnya yang dulu lagi. “Tidak perlu berubah.” Akhirnya, aku berkata begitu. Hanya itu saja yang bisa kubilang kepadanya walau aku berharap nada suaraku bisa lebih manis. Freya menatapku lagi, dan kali ini dia tersenyum. Lalu, mengangguk. “Bukan salah Anggia.” Freya berkata sekali lagi. “Aku yang pengin coba buat perubahan.” Dasar Freya, masih saja membela Anggia walau sudah dijadikan korban mode. “Ya, sudah.” Aku mengalah. Jarang sekali Freya memperlihatkan kemanjaan, dan harus aku akui, aku senang melihatnya. “Tapi, jangan lepas jaketnya sampai tiba di rumah.” Freya tertawa, kekhawatiran di wajahnya sirna. “Ya.” *** FREYA POV Sudah hampir pukul dua belas malam. Aku duduk di depan cermin, menyisir helaian rambut dengan jemari. Memperhatikan wajah gadis yang balik menatapku dari cermin. Memiringkan sedikit kepala, lalu tersenyum. Sebelum pulang, Moses sempat memintaku membasuh rambut merah ini hingga bersih. Hingga warnanya tak tersisa lagi. Hari senin nanti, aku toh akan kembali menjadi Freya yang biasa. Untuk sesaat, biarlah aku menjadi cantik. Biarlah aku seperti ini, sebentar saja. Aku berdiri di tengah lapangan basket sekolah yang luas, kedua tangan memegang bola dengan tak yakin. Kupantulkan bola itu sekali, dua kali, kemudian kembali memandang tiang ring yang terlihat jauh di luar jangkauan. Pelajaran olahraga adalah salah satu kelemahan terbesarku. Aku tidak pernah mampu memegang boa dengan benar, apalagi mencetak skor, sedangkan sebentar lagi ujian fisik di bidang ini akan diadakan. Sprint jarak pendek, lari maraton, dan sedikit gerakan gymnastic, masih bisa kulakukan walau tidak dengan baik. Namun, basket… sungguh, aku mengaku kalah. Anggia dan Erik sempat bergantian mengajariku, tetapi aku masih kesulitan. Masalahnya adalah, aku tidak cukup cekatan, tidak memiliki kemampuan menilik jarak,dan timing-ku sering tidak pas. Jam pelajaran sudah berakhir. Aku memastikan sudah cukup sore hingga murid-murid sudah pulang, lalu berdiri sendirian di sana, bertekad untuk mencoba sekali lagi. Aku memang tidak pintar olaharaga, tapi aku bukan tipe orang yang mudah menyerah. Kuluruskan kedua lengan, berusaha mengira-ngira sudut lemparan seperti apa yang akan mendaratkan bola hingga masuk ring. Perlahan, kulempar bola di tangan, yang hanya meluncur tidak jauh dari tempatku berdiri dan bahkan tidak menyentuh ringsama-sekali. Kuambil bola itu kembali, mencoba sekali lagi, tapi masih dengan hasil yang sama. Terulang terus, sampai aku mulai gerah dan frustasi dengan diri sendiri. Masa sih, hal seperti ini lebih sulit dari mengutak-atik rumus integral? “Coba lebih fokus pada pergelangan tangan.” Aku menoleh, menemukan Adrian sedang duduk berselonjor di atas kursi panjang tidak jauh dari sini, memperhatikanku. Wajahku sontak memerah, tidak sadar kalau sejak tadi aku memiliki penonton. “Sejak kapan lo ada di sana?” Adrian menyeringai. “Cukup lama untuk tahu lo nggak bakat olahraga sama-sekali.” Aku menjatuhkan bola, bergegas ingin cabut dari sana, tetapi Adrian malah bangkit menghampiriku dan memungut bola itu. “Lo nggak akan menyerah semudah itu, kan?” Aku balas menatapnya, mempertimbangkan tantangan tersebut. Jauh dalam diriku, aku tidak ingin menyerah kalah. Tapi, jujur sejujur-jujurnya, aku malu. Otot-ototku pegal bukan main. Aku letih. Dan, aku tidak suka ditonton, apalagi dalam keadaan bodoh seperti sekarang. Kenapa ya, Adrian sering sekali menemukanku dalam kondisi tolol? “Ayo.” Adrian memberikan gestur untuk bergabung, lalu memeragakan posisi yang tepat. “Berdiri seperti ini, kedua kaki jangan goyah.” Aku menurutinya dengan setengah hati, berharap aku tidak terlihat terlalu konyol. “Untuk memasukkan bola, lo harus punya kontrol penuh terhadap seluruh gerakan lo. Kecepatan dan akurasi itu perlu, tapi yang paling penting adalah fokus.” Aku mengangguk, mencoba meniru Adrian yang kini melemparkan bola menuju ring, dan masuk tanpa cela. “Nah, sekarang giliran lo. Kita coba dari jarak yang dekat dulu, kalau udah bisa baru agak jauh.” Sekali lagi, aku mengikuti tanpa banyak keluh kesah, berkonsentrasi pada gerakan lengan dan tiang yang ada di hadapanku. Lumayan, lemparanku kali ini tidak masuk, tetapi sempat menyentuh permukaan ring. “Bagus. Sekali lagi.” Kamu melakukan gerakan yang sama berulang-ulang—melempar, memungut bola, melempar, hingga akhirnya satu lemparan berhasil masuk dengan mulus. Aku terpekik girang, untuk sesaat lupa mengontrol diri, dan Adrian mengangkat sebelah lengan, ingin memberikan tos tanda keberhasilan. Aku menyambutnya tanpa ragu. Latihan itu berlanjut hingga satu jam kemudian, hingga matahari hampir terbenam dan kami berdua bersimbah keringat, lelah, tapi dengan senyum lebar di wajah masing-masing. *** Adrian bilang, basket tidak segampang kelihatannya, tetapi juga bukan olahraga yang susah. Aku setuju. Tadinya, untuk dribbling saja aku sudah kewalahan. Gerakan bola sering kali lebih cepat dari gerakanku, dan aku tidak memiliki kontrol sama-sekali. Namun, setelah sekian lama berlatih bersama Adrian, rasanya cukup aman jika kubilang aku sudah lebih percaya diri untuk menghadapi pengambilan nilai di mata pelajaran olahraga minggu depan. “Lo nggak bakal salah deh, belajar dari king of three-pointers sekolah ini,” ujar Adrian, membanggakan diri. Dia menghempaskan diri di atas lapisan semen, lalu berbing, menatap langit yang sudah ternoda warna oranye. Aku ikut duduk di sebelahnya, baru pertama kali merasakan hangat dan kasar tekstur lapangan yang menciptakan kontak langsung dengan kulit. Rasanya menyenangkan bersentuhan dengan bumi. “Makasih, ya. Karena lo, mungkin gue nggak jadi jeblok di ujian.” Aku berterima kasih, tulus. Adrian ternyata guru yang cukup baik. Dia tidak berdecak tak sabar saat lemparanku gagal untuk kesekian kalinya, tidak mengkritik berlebihan saat postur tubuhku salah, dan tidak terburu-buru agar hasilnya sempurna. Aku menghargainya. “No problem. Kuncinya cuma latihan, dan….” “Fokus.” Aku menyelesaikan kalimat itu, membuat kami berdua tertawa kecil. “Sejak kapan sih, lo suka basket?” Aku jadi ingin tahu. “Sejak nonton Robert Horry dan tembakan three-point-nya di final NBA.” Adrian berkata, mengingat-ingat momen tersebut. “Keesokan harinya, gue minta Nyokap beliin gue jersey, bola basket, dan sepatu keds.” Dia bercerita tentang pertandingan basket pertamanya—timnya kalah. “Nyokap bilang, nggak ada yang namanya menang atau kalah, selama kita berusaha. Dan itu yang bikin gue mencoba lagi. Basket itu hidup gue. Kalau bisa, gue pengin terus main basket sampai gue nggak mampu lagi.” “Gue ngerti.” Aku menyahut di sampingnya. Mungkin itu juga alasan yang membuatku tidak ingin menyerah sampai berhasil memasukkan bola ke ring. Juga alasan yang membuatku tidak pernah berhenti sampai aku berhasil melakukan sesuatu. Adrian menoleh memandangku. “Waktu lo pertama kali liat gue, apa sih yang lo pikirin?” “Lo peduli dengan apa kata orang mengenai lo?” Aku balas bertanya. Dia mengangkat bahu. “Gue pengin tau, gimana orang melihat gue dan nge-judge gue. Apa mereka langsung jatuh cinta pada pandangan pertama, atau malah nggak suka samague.” Aku tertawa kecil. “Lo terlalu percaya diri.” “Gue serius, Frey. Anggia bilang, pertama kali dia liat gue, gue sepenuhnya nyaman dengan diri gue. Gue nyaman di tengah lapangan. Gue seperti terbang.” Pertama kali aku melihat Adrian adalah saat dia tergesa-gesa melewati gerbang sekolah, terlambat pada hari pertama orientasi. Saat itu, dia menabrak aku yang sedang melintas, tapi dia tidak berhenti, hanya menoleh sejenak untuk meminta maaf. Lalu, dia tertangkap basah oleh para senior dan mulai dibentak-bentak dengan gaya penuh otoritas, tetapi dia hanya tertawa santai, seolah sama-sekali tidak terpengaruh, yang justru hanya membuat mereka semakin kesal. “Lo seperti orang yang sadar bahwa lo disukai. Itu yang membuat lo percaya diri. Tapi, sering kali orang-orang hanya bisa melihat satu sisi aja. Sisanya nggak lo tunjukkin.” Adrian mengangguk-angguk, mencerna kalimat itu. “Hmmm. Lo cocok jadi psikologis.” Dokter. Cita-citaku adalah menjadi dokter. “Inget nggak, waktu gue nabrak lo, hari pertama masuk sekolah? Lo sama-sekali nggak senyum. Waktu itu, gue pikir lo orang yang kaku. Nggak mau bergaul karena lo anggap lo lebih baik dari orang lain. Tapi, ternyata gue salah.” Dia tersenyum lebar. “Asumsi itu sering salah, Freya.” Dia ingat. Ternyata, Adrian ingat. “Eh, liat tuh. Matahari terbenam.” Adrian menunjuk matahari yang sudah tenggelam di balik langit biru, aneka palet warna menciptakan lukisan alam yang sangat indah. “Kapan ya, terakhir kali ngeliat matahari terbenam? Gue nggak ingat. Lo ingat?” Aku menggeleng, lalu tersenyum diam-diam, turut merasakan hangat sinar matahari sore hingga langit berubah gelap, dengan dia di sampingku. Bersambung… Follow: @Kintannn14 @syaviraNazmi @CerbungKeren
Posted on: Fri, 25 Oct 2013 15:09:54 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015