Ringkasan Konferensi Sacra Liturgia 2013 - Seri - TopicsExpress



          

Ringkasan Konferensi Sacra Liturgia 2013 - Seri Pertama Konferensi Sacra Liturgia 2013 adalah sebuah even lanjutan dari Konferensi Adoratio 2011 yang telah dilaksanakan sebelumnya di Salesianum di Roma 2 tahun lalu. Kedua konferensi ini digagas oleh Uskup Dominique Rey dari Frejus-Toulon (Prancis). Konferensi Sacra Liturgia 2013 berlangsung dari tanggal 25 Juni hingga 28 Juni 2013 di Roma. Konferensi ini ditujukan sebagai tempat untuk berbagi refleksi, untuk studi, promosi dan pembaharuan apresiasi terhadap Liturgi Suci. Dalam Konferensi Sacra Liturgia 2013 ini, Uskup Rey mengundang para kardinal, uskup, imam dan para ahli liturgi sebagai pembicara untuk menjelaskan bahwa perayaan Liturgi yang benar adalah hal pertama yang sangat penting dalam kehidupan dan misi Gereja. Nama-nama pembicara tersebut antara lain Kardinal Canizares Llovera, Kardinal Burke, Kardinal Brandmuller, Kardinal Ranjith, Uskup Agung Sample, Uskup Aillet, Abbot Nault, Abbot Zielinski, Dom Alcuin Reid, Mgr. Nicola Bux dan lain-lain. Daftar lengkap pembicara beserta judul pembicaraannya dapat dilihat langsung di situs resmi Sacra Liturgia 2013 (silahkan klik). Berdasarkan info dari Sacra Liturgia 2013, semua topik yang dibicarakan ini akan diterbitkan tahun depan dalam satu buku sehingga dapat dijadikan referensi untuk mempelajari Liturgi Suci dan sekaligus untuk menghindari kesalahpahaman-kesalahpahaman terhadap Liturgi Suci. Meskipun begitu, baik FB dan Twitter resmi Sacra Liturgi secara kontinu membagikan kutipan-kutipan dan ringkasan dari topik-topik yang sedang dibicarakan serta homili dari Kardinal Llovera dan Kardinal Brandmuller. Saya mencoba untuk mengumpulkan dan mengarsipkan apa yang saya bisa sehingga para pembaca dapat mengetahui poin-poin penting mengenai Liturgi Suci sembari menunggu bukunya keluar tahun depan. Saya akan menyampaikannya secara berseri agar tidak terlalu panjang dan tidak langsung membuat jenuh. 1. Kardinal Ranjith Kardinal Albert Malcolm Ranjith saat ini adalah Uskup Agung Colombo (Sri Lanka) dan Sekretaris Emeritus Kongregasi Penyembahan Ilahi dan Tata Tertib Sakramen. Beliau dengan topik berjudul “Liturgi Suci adalah Puncak dan Sumber Kehidupan dan Misi Gereja” menekankan bahwa keindahan dari Liturgi Suci tidak terletak pada seberapa menarik dan memuaskannya Liturgi Suci terhadap diri kita tetapi pada seberapa jauh kita dibawa masuk ke dalam sesuatu yang sedang terjadi dalam Liturgi Suci, sesuatu yang ilahi dan memerdekakan. Liturgi Suci menentukan keseluruhan proses dari pertumbuhan iman, transformasi dan pengudusan yang sejati dari kehidupan umat beriman. Dalam Liturgi Surgawi di bumi, Gereja membawa kita masuk ke dalam karya penyelamatan Allah. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa Gereja mutlak perlu bagi penebusan umat manusia. Semakin kita bersatu dengan Gereja, semakin kita bersatu dengan Kristus yang terjadi dalam cara yang paling ampuh di dalam Ekaristi (yaitu kita menyantap Sang Roti Hidup). Pada akhirnya, melalui Liturgi Suci, misi Gereja menjadi berbuah karena pada akhirnya Allah dan pengorbanan abadi-Nya telah menebus dunia. Oleh karena itu, Gereja memiliki tanggung jawab untuk menjaga kehidupan liturgisnya. Di sini Kardinal Ranjith memberikan penegasan menarik: Sampai kita merayakan Liturgi Suci dengan benar, kita tidak dapat mewartakan kabar gembira. Liturgi Suci memurnikan kita dan memberikan ruang bagi Allah untuk melaksanakan karya-Nya melalui kita; Liturgi Suci yang dirayakan dengan buruk menghalangi hal ini. Mengutak-atik Liturgi berarti anda mengutak-atik misi Gereja. (Komentar Admin: Di sini Kardinal Ranjith secara tidak langsung menjelaskan tentang hakikat Liturgi Suci kepada banyak umat Katolik yang mungkin menganggap Liturgi Suci hanya sekadar cara beribadah semata. Liturgi Suci jelas lebih besar dari sekadar cara beribadah. Liturgi Suci adalah karya penyelamatan Allah terhadap manusia. Dalam Liturgi Suci, secara jelas dalam Komuni Kudus, manusia disatukan dengan Allah dan dikuduskan oleh-Nya. Hal ini juga menunjukkan bahwa Gereja penting untuk keselamatan sebab Gereja memberikan Sang Roti Hidup untuk kita santap.) 2. Professor Steinschulte Professor Gabriel M. Steinschulte adalah Wakil Presiden Konsosiasi Internasional Musik Suci (Consociatio Internationalis Musicae Sacrae) dan direktur Schola Cantorum Coloniensis. Beliau menyampaikan topik berjudul “Musik Liturgi dan Evangelisasi Baru”. Prof. Steinchulte menjelaskan bahwa musik adalah bagian dari kehidupan manusia sejak awal. Musik selalu bersifat komunikatif antara manusia denga manusia dan antara manusia dengan Allah. Oleh karena itu, merayakan sesuatu tanpa musik adalah sesuatu yang tidak pernah terpikirkan. Setiap teks dalam suatu musik berhubungan dengan efek dari musik itu sendiri, teks-teks tersebut menyampaikan pesan yang dapat mempengaruhi manusia termasuk soal iman. Dalam konteks Liturgi Suci, Prof. Steinschulte berkata bahwa kita terlalu sering berbicara mengenai “musik di dalam Liturgi” daripada “musik Liturgi” yang disebut sebagai “Sacred Music” (Musik Sakral). Musik Sakral dan Iman saling berhubungan satu sama lain dan diungkapkan dalam pepatah “Hukum Doa adalah Hukum Iman”. Musik Suci menjadi ungkapan iman, diambil dari Kitab Suci dan Tradisi untuk setiap minggu, setiap hari dan setiap jam dari keseluruhan Tahun Liturgi. Terkait dengan Evangelisasi Baru, Steinschulte menjelaskan bahwa sejak kemunculan kitsch (istilah Jerman: seni, objek atau desain yang dianggap memiliki citarasa yang buruk yang diapresiasi dalam cara ironis) dan “sacral pop”, kita menghadapi hilangnya pemahaman yang benar terhadap musik. Ekspresi musik modern tampak terkait dengan de-evangelisasi dan relativisme musik. Oleh karena itu, menurut Steinschulte, siapapun yang menginginkan Evangelisasi Baru terjadi hendaknya kembali ke akar Kekristenan awal, secara khusus dalam hal musik. Steinschulte mengajukan pertanyaan retoris: “Siapakah yang kita injil? Orang-orang yang tidak mengetahui iman dan kultur kita. Kita dapat membawanya kepada mereka.” Secara khusus terhadap orang muda Katolik, Steinschulte berkata: “Kita seharusnya membawa orang muda kepada kekayaan Musik Sakral Gereja untuk menciptakan persatuan yang sejati antara mereka dan perjumpaan sosial yang baik.” (Komentar Admin: Pernyataan Steinschulte dalam konteks orang muda Katolik di atas tampaknya harus diperhatikan oleh para pembina orang muda Katolik. Apakah kita akan membiasakan orang muda Katolik dengan lagu-lagu profan dan dengan band seperti yang umum terjadi pada Ekaristi Kaum Muda atau membawa mereka kepada kekayaan lagu-lagu Gregorian dan Polifoni Suci serta organ pipa Gereja di dalam Misa? Saya, sebagai orang muda Katolik, melihat bahwa kebanyakan orang muda Katolik tidak diakomodasi dalam pengenalan mendalam terhadap kekayaan Musik Sakral Gereja yang begitu banyak. Justru yang ada bahwa orang muda Katolik disuguhi dengan pelanggaran-pelanggaran Liturgi seperti memasukkan lagu-lagu Chrisye, Cokelat dan lagu-lagu profan lainnya serta band di dalam Misa Kudus.) Ringkasan Konferensi Sacra Liturgia 2013 – Seri Kedua 3. Professor Rowland Professor Tracey Rowland adalah satu-satunya pembicara wanita dalam Sacra Liturgia 2013. Prof. Rowland adalah Dekan Institut Yohanes Paulus II untuk Pernikahan dan Keluarga di Melbourne. Beliau juga adalah professor di Pusat Iman, Etika, dan Masyarakat Universitas Notre Dame di Sydney. Dalam Sacra Liturgia 2013, Prof. Rowland membawakan topik berjudul “Usus Antiquior dan Evangelisasi Baru”. Sebelum masuk ke inti dari topik tersebut, saya akan menjelaskan secara singkat apa itu “Usus Antiquior”. “Usus Antiquior” dapat diterjemahkan sebagai “bentuk yang lebih tua” atau “penggunaan yang lebih tua”. Usus Antiquior adalah nama lain dari Misa Latin Tradisional yang juga disebut dengan istilah Misa Forma Ekstraordinaria atau Misa Tridentin. Sesuai sebutannya, Misa Tridentin adalah bentuk Misa yang lebih tua daripada bentuk Misa yang umum kita rayakan sekarang yang dikenal dengan sebutan Misa Novus Ordo atau Misa Forma Ordinaria. Kedua bentuk Misa ini adalah valid, sama-sama merupakan kekayaan Gereja dan keduanya diizinkan untuk dirayakan. Namun demikian, paska Konsili Vatikan II timbul pemahaman yang keliru bahwa Misa Novus Ordo menggantikan Misa Tridentin padahal hal ini sama sekali tidak diamanatkan oleh Konsili Vatikan II. Paus Benediktus XVI dengan Motu Proprio Summorum Pontificum menggalakkan kembali Misa Tridentin agar dapat dirayakan secara luas oleh umat beriman. Summorum Pontificum ini selanjutnya diteguhkan dengan dokumen Gereja Universal Ecclesiae yang berisi instruksi-instruksi perihal Misa Tridentin. Sebagai tambahan, untuk memahami isi topik Prof. Rowland, perlu juga dibedakan antara konsep generasi modern dan generasi paskamodern yang digunakan. Generasi modern adalah mereka yang menganggap ajaran dan tradisi Gereja yang sudah ada sejak dulu sebagai “sesuatu dari masa lampau” dan dianggap irrelevan dengan masa sekarang sehingga ajaran dan tradisi tersebut diabaikan dan seharusnya diubah. Sementara generasi paskamodern adalah mereka yang timbul sebagai reaksi terhadap modernisme. Mereka ingin mencari tahu lebih dalam tentang asal-usul mereka; mereka menghargai dan ingin mempertahankan ajaran dan tradisi Gereja. Prof. Rowland berargumen bahwa Usus Antiquior adalah penangkal (antidot) terhadap serangan yang kejam kepada kenangan dan tradisi serta budaya tinggi (high culture); [serangan yang] khas dari budaya modernisme. Usus Antiquior memuaskan dahaga generasi paskamodern untuk dibawa ke dalam tradisi yang koheren, bukan tradisi yang sebagian, yang terbuka terhadap sesuatu yang transenden. Prof. Rowland menyebutkan bahwa generasi modern paska Konsili Vatikan II, yaitu generasi 1960an telah “mengubah budaya tinggi yang sakral menjadi budaya duniawi yang rendah dengan hasil bahwa sesuatu yang sakral menjadi lebih duniawi dan ketika yang sakral menjadi lebih duniawi, hal yang sakral tersebut menjadi membosankan.” Dalam mengemas iman di dalam bentuk budaya sezaman dan secara umum menghubungkan liturgi suci dengan norma kebudayaan massal, ahli strategi pastoral generasi 1960an tanpa disadari telah memupuk krisis dalam teori dan praksis liturgis. Generasi 1960an telah menelanjangi budaya tinggi Katolik dengan menghapus batu penjurunya dan meninggalkan generasi Katolik berikutnya dalam kemiskinan kultural, kekacauan dan kebosanan. Prof. Rowland menjelaskan bahwa Paus Benediktus XVI menyamakan strategi pastoral menarik Allah turun ke bawah kepada umat (ketimbang membawa umat mengangkat diri lebih tinggi kepada Allah) dengan penyembahan berhala orang-orang Ibrani kepada lembu emas dan Paus Benediktus XVI menjelaskan praktik ini tidak kurang dari sebuah bentuk penyangkalan iman.[1] Melihat hal ini, Prof. Rowland menunjukkan tentang perlunya Usus Antiquior, sesuatu yang tinggi dan sakral, untuk kehidupan Gereja masa sekarang. Seorang Katolik yang tidak mengetahui Usus Antiquior bagaikan seorang mahasiswa jurusan literatur Inggris tetapi tidak familiar dengan Shakespeare. Prof. Rowland menjelaskan bahwa “unsur-unsur Katolik yang hilang pada era generasi 1960an karena perubahan arah pastoral Gereja ditemukan kembali oleh generasi kaum muda Katolik di mana mereka memperlakukannya seperti harta karun yang ditemukan di dalam kotak kuno nenek mereka.” Ketika generasi Katolik paskamodern ingin mengetahui jati diri Katolik mereka, bagaimana Gereja Katolik terbentuk, bagaimana iman Katolik dilaksanakan selama berabad-abad, maka mereka melihat kepada setiap tradisi Gereja Katolik, secara khusus kepada Usus Antiquior. Seluruh struktur dari Misa Tridentine mengambil makna yang terdalam dari pengorbanan, bukan hanya sekadar perjamuan. Tidak ada antidot yang lebih besar terhadap sekularisme dan “Kekristenan yang mengacu pada diri sendiri” daripada refleksi terhadap kemartiran dan kurban Kristus di Kalvari di mana dengan merayakan Usus Antiquior, seseorang dapat mengalami refleksi ini secara nyata. Usus Antiquior hendaknya menjadi elemen standar dari modal kultural seluruh Katolik ritus Latin karena Usus Antiquior secara efektif menghambat sekularisme dan memuaskan kelaparan generasi paskamodern akan ketertiban, keindahan, dan pengalaman transendensi (mengangkat diri lebih tinggi kepada Allah). Di masa sekarang ketika globalisasi dipandang sebagai sesuatu yang bagus dan para pemerintah rela menghabiskan jutaan dollar untuk menjaga budaya-budaya dan praktik-praktik sosial pra-modern agar tetap hidup, Gereja Katolik seharusnya tidak malu akan harta karun budayanya sendiri. Untuk menginjili kembali orang-orang paskamodern, narasi-narasi Kristiani haruslah muncul sebagai sesuatu yang sama sekali berbeda dari budaya sekuler yang menjadi parasit budaya terhadap tradisi-tradisi Kristiani. [1]. Kardinal Ratzinger dalam bukunya "Spirit of Liturgy" hlm. 21-23. Terjemahannya dapat dibaca di sini: luxveritatis7.wordpress/2012/12/29/kardinal-ratzinger-paus-benediktus-xvi-tentang-penyembahan-kepada-allah/. Ringkasan, Kutipan, dan Foto semuanya berasal dari Sacra Liturgia 2013 (Situs, FB dan Twitter resmi). Semoga bermanfaat. pax et bonum
Posted on: Sat, 20 Jul 2013 13:55:05 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015