Setelah Jaringan Islam Liberal (JIL) tidak lagi mendapatkan donasi - TopicsExpress



          

Setelah Jaringan Islam Liberal (JIL) tidak lagi mendapatkan donasi dari The Asia Foundation (TAF), sepertinya LSM liberal itu mati suri. Kegiatannya banyak yang berhenti. Tokoh-tokohnya berlarian ke lembaga lain. Bahkan markas mereka di Utan Kayu Raya 68 H pun makin sepi. Guntur Romli kini berpindah ke Komunitas Salihara di Pasar Minggu, Ulil Abshar dan Luthfie Assyaukanie lari ke Freedom Institute, LSM liberal yang dibiayai Aburizal Bakrie. Walaupun kehidupan LSM-nya ikut Ical, tapi afiliasi politik Ulil ke partai penguasa, Partai Demokrat. Dia menjabat sebagai Ketua Pusat Pengembangan Strategi Kebijakan DPP Partai Demokrat. Sementara Novriantoni Kahar bergabung bersama Yayasan Denny JA. Soal Freedom Institute, umat Islam tentu ingat dengan nama Rizal Malarangeng, saudara kandung Andi Malarangeng, Menteri Pemuda dan Olahraga saat ini. Rizal, Direktur Eksekutif Freedom Institute, sangat terkait dan terlibat dengan penyerahan tambang minyak Blok Cepu ke ExxonMobil pada 2006 lalu. Karena Rizal adalah anggota tim yang melakukan negoisasi dengan Exxon yang berujung pada kekalahan Pertamina. Meski terkesan berlarian ke sana kemari, liberal tetaplah liberal. Misi mereka tetap sama, meliberalkan Islam dan menjauhkan umat dari ajaran Islam yang lurus. Komentar-komentarnya tetap saja menyakitkan hati umat dan membuat panas telinga. Tengok saja pernyataan terakhir dari seorang Luthfi Assyaukanie yang mengatakan bahwa tidak ada negara yang maju dengan syariat Islam. “Setahu saya tidak ada negara yang maju dengan menggunakan syariat Islam. Apa ada contohnya?”, jawab Luthfi saat ditanya wartawan Merdeka, Kamis (18/10) pekan lalu, apa dia percaya negara bisa maju jika menerapkan syariat Islam. Tak cukup sampai disitu, Luthfi yang kini menjabat Deputi Direktur Eksekutif Freedom Institute, bahkan mengatakan bahwa negara Islam adalah negara yang melawan kodrat manusia, yang tidak akan bisa maju. “Negara-negara Islam itu melawan kodrat manusia, jadi tidak akan bisa maju,” katanya. Pernyataan-pernyataan ganjil pengajar Universitas Paramadina Jakarta ini keluar dari mulutnya ketika sebuah lembaga survey merilis hasil surveynya yang menyatakan bahwa Parpol Islam sudah tidak laku, angkanya di bawah 5 persen dan sebagainya. Survey dan opini berikutnya terus menyudutkan keberadaan Parpol Islam. Kemudian terkait dengan penerapan syariat Islam oleh negara, Luthfi bukan saja alergi tapi juga terlihat sangat antipati sebagai jelmaan watak asli kaum liberal. Walaupun tetap saja salah jika mencontohkan negara Islam dengan menyebut Saudi Arabia, Iran, Malaysia dan sebagainya. Karena memang negara-negara yang dimaksud tidak 100 persen mengadopsi hukum syariah sebagai hukum positif yang berlaku di negara mereka. Keamanan rakyatnya juga tidak 100 persen di tangan umat Islam. Di Saudi Arabia bahkan berdiri kokoh pangkalan militer AS. Sementara Iran juga tidak lebih dari sebuah tipologi negara mazhab. Demikian dikutip dari Suara Islam. Wawancara dengan Merdeka Online Agar pembaca mampu memahami pernyataan nyleneh Luthfi itu, berikut kami cuplikkan sebagian isi wawancara Luthfi dengan wartawan Merdeka, yang dilakukan di sekretariat Freedom Institute, Jalan Proklamasi Nomor 41 Menteng Jakarta Pusat, Kamis pekan lalu. Sejauh mana Islam harus berperan dalam kehidupan politik di Indonesia? Itu isu lama, sejauh mana Islam mengakomodasi masalah-masalah politik. Ada sebagian orang percaya, Islam harus menaklukkan politik atau Islam harus berpolitik, harus mendirikan partai Islam, harus menjalankan dakwah Islam lewat partai politik, dan seterusnya. Ada juga sebaliknya, kita boleh lebih religius, menjadi orang yang saleh, tapi dalam urusan politik itu urusan dunia, tidak ada urusannya dengan agama. Saya kira jumlah umat Islam yang percaya dengan tidak ada hubungan Islam dan politik itu lebih banyak jumlahnya. Buktinya pemilu ini, tentu saja pemilu adalah bukti nyata, tidak bisa dibohongi. Orang di luar sana bilang, “Oh, orang Islam itu percaya pada agama dan negara (addin wa daulah)”, atau macam-macam, itu cuma bicara saja, buktinya tetap pemilu. Saat mereka datang ke bilik suara mereka tidak memilih partai Islam. Kalau mereka yakin pandangan agama dan negara adalah satu kesatuan mereka akan memilih partai Islam. Apakah Islam memang tidak boleh ikut campur dalam kehidupan politik? Ada sebagian yang berkeyakinan begitu, tapi sebagian besar masyarakat Indonesia justru meyakini sebaliknya. Ya sudahlah, Islam tidak usah ikut campur dalam masalah politik, itu kalau ukurannya partai-partai politik. Apakah anda percaya negara yang menerapkan syariat Islam bisa maju? Setahu saya tidak ada negara yang maju dengan menggunakan syariat Islam. Apa ada contohnya? Bagaimana dengan Iran dan Arab Saudi? Maju apanya, ekonominya paling terbelakang. Terbelakang dalam artian, mereka hanya memanfaatkan sumber daya alam yang ada sebagai sumber utama ekonominya. Berapa lama sumber alam terus untuk eksplorasi? Ada contoh negara Islam yang bisa dibilang maju? Tidak ada. Negara yang paling mundur di dunia, adalah negara yang melawan kodrat manusia. Negara-negara Islam itu melawan kodrat manusia, jadi tidak akan bisa maju. Manusia itu kodratnya menginginkan kebebasan pada dasarnya. Sementara negara-negara yang menerapkan itu, memusuhi kebebasan itu. Misalnya di Arab Saudi, perempuan tidak diperbolehkan mengendarai mobil sendiri. Orang mau bicara politik tidak boleh, di sana orang tidak boleh demonstrasi. Tapi sebulan kemarin Arab Saudi sudah mengeluarkan aturan yang membolehkan perempuan boleh mengendarai mobil sendiri? Bayangkan, sudah zaman segini baru memperbolehkan. Orang-orang yang menginginkan aturan itu sendiri juga orang-orang dari kerajaan itu sendiri. Anak-anak raja, anak-anak pangeran yang ingin mengemudi sendiri, mereka yang kuliahnya di barat. Jadi negara-negara itu tidak akan maju, karena melawan kodrat manusia. Iran begitu juga, mundur jauh sekali. Kalau pun ada pencapaian, itu pasti dari orang-orang yang melawan sistem itu. Misalnya, orang sering bilang, “Kok film-film Iran itu bagus-bagus.” Justru karena mereka memberontak dari situasi yang mengungkung. Para sineas Iran itu adalah orang yang tidak setuju dengan sistem negara Islam di Iran. Itu yang salah dimengerti orang. Setiap ada pencapaian di negara-negara yang seperti itu, muncul dari mereka yang anti dari sistem yang ada di sana. Bagaimana dengan dari sisi kemajuan ekonominya? Saya rasa tidak. Melihat ekonomi bukan hanya melihat pendapatan per kapita atau Produk Domestik Bruto (PDB) tapi kita harus lihat, harus diuraikan, dari mana mereka mendapatkan itu. kalau Indonesia, saya sangat bangga dengan pencapaian ekonomi kita. Itu dilakukan dengan kerja keras dan sungguh-sungguh. Tapi kalau negara-negara penghasil minyak di teluk itu tidak bisa dibanggakan.
Posted on: Sat, 20 Jul 2013 18:14:46 +0000

Trending Topics



eration CLEAN SWEEP Arctic Warriors, After another great

Recently Viewed Topics




© 2015