Story From member - One and Only (Adele) - By: Yoen - TopicsExpress



          

Story From member - One and Only (Adele) - By: Yoen Zaminda Setiap kau memandangku dengan cara seperti itu, detak jantungku berpacu tak karuan. Menderu-deru seperti suara mesin motor di arena Motto GP. *** Riko Pratama. Kedua kata itulah yang tertera pada label nama yang menempel di baju seragam kerjamu. Saat itu kau sedang dimarahi oleh manager kita karena datang terlambat ke hotel. Padahal sebelumnya aku sudah coba menjelaskan bahwa kau sedang ada ujian tengah semester di kampus, mungkin karena itu kau tidak bisa datang tepat waktu. Tapi si bos tak mau mendengarkanku. Ia beralasan hotel sedang ramai pengunjung maka semua pekerja tak boleh ada yang datang terlambat. Memang benar, hotel sedang ramai karena ada event internasional yang sedang berlangsung di kota tercinta kita ini. Jadi, ia memutuskan untuk tetap menunggumu datang guna memberikanmu peringatan. Kau sama sekali tak menjawab ketika bos memarahimu. Tapi aku melihat jelas gurat kekesalan di balik wajah tertundukmu itu. Mungkin kau ingin protes kenapa baru terlambat sekali saja kau sudah dimarahi begitu rupa padahal kau punya alasan yang jelas. Namun mungkin karena posisimu yang hanya seorang petugas loundry, membuatmu menahan semua omelan yang meluncur dari mulut si bos. Begitulah pertama kali aku melihatmu dengan sangat jelas. Aku memang supervisor-mu. Tapi aku baru hari itu secara resmi bergabung di hotel ini. Jadi aku tak tahu siapa dirimu. Aku mengetahui alasan keterlambatanmu karena tadi si bos bolak-balik bertanya padaku kenapa kau belum datang padahal begitu banyak hal yang harus dilakukan di tempat loundry. Sehingga aku pun menanyakan kepada rekan-rekanmu apa yang menyebabkanmu datang terlambat. Mereka mengatakan bahwa ini pertama kalinya kau datang terlambat. Sebelumnya tak pernah. Dan memang setelah itu, aku selalu melihatmu datang tepat waktu. Namun sejak peristiwa yang mungkin sangat memalukan bagimu itu, aku jadi memerhatikanmu. Sebenarnya secara keseluruhan kau terlihat biasa-biasa saja. Wajahmu juga tidak bisa dikatakan tampan, tapi juga tidak buruk. Kalau boleh aku mengatakan, wajahmu itu hanya enak dilihat. Tubuhmu pun agak kurus dan tidak terlalu tinggi untuk ukuran laki-laki. Meskipun, masih tetap agak sedikit lebih tinggi dariku. Sebenarnya kalau harus diberi penilaian, kata standar adalah pilihan yang tepat untuk menggambarkan dirimu. Satu-satunya yang menarik dari wajahmu adalah tatapan matamu yang setajam Elang. Aku menyadarinya ketika kau melirik si bos dengan ekor matamu pada saat kau dimarahi dulu. Kau meliriknya seolah kau ingin menelannya hidup-hidup. Seperti seekor Elang yang sedang mengintai mangsanya dari atas langit. *** “You’ve been on my mind, I grow fonder everyday.. Lose myself in time, just thinking of your face.. God only knows, why it’s taking me so long.. To let my doubt go, you’re the only one that I want..” “Hai, Riko. Sedang apa?” Aku akhirnya memberanikan diri untuk menyapamu setelah memerhatikanmu selama hampir 1 bulan. Seperti biasa, setiap jam istirahat kau selalu duduk di bawah pohon favoritmu yang ada di halaman paling belakang hotel ini. Kau tidak langsung menjawab perkataanku. Kedua matamu menatapku dengan tajam penuh selidik. Sepertinya aku ini seorang mata-mata yang harus diwaspadai. Aku tersenyum untuk meyakinkanmu bahwa aku bukanlah mata-mata, dan aku bukan orang jahat. Aku hanya supervisor biasa. “Hai.” Kau membalas kalimatku. “Ada perlu apa? Apa aku harus mengerjakan sesuatu?” Meskipun nada bicaramu terdengar ketus, tapi tak apalah. Selama ini kau memang terkenal jarang bicara dan cenderung mengasingkan diri, tidak ingin dekat dengan siapapun. Kau hanya bicara pada saat kau harus bicara. Selebihnya, kau hanya diam sembari melakukan kewajibanmu. “Bukan itu. Aku hanya ingin berbicara denganmu, ini kan jam istirahat. Boleh aku bergabung denganmu?” tanyaku pelan. Kau hanya mengangguk. Lalu kita pun mulai berbicara. Kalau boleh dikatakan, ini bukanlah sebuah pembicaraan yang lancar. Kau hanya menjawab pertanyaanku dengan singkat. Sepatah demi sepatah. Tapi - sekali lagi - tak apalah, ini baru awal. Begitulah seterusnya. Setiap jam istirahat aku pun selalu mendatangi dan menemanimu duduk di bawah pohon. Dan sudah menjadi rahasia umum, kalau kedekatan kita ini menjadi buah bibir di hotel. Seorang supervisor terlihat sangat dekat dengan stafnya. Mereka juga selalu memerhatikan dan berbisik ketika melihat kita bercengkrama di bawah pohon itu. Gosip pun mulai beredar. Mereka menuding kalau aku menyukaimu. Benarkah? Aku sendiri juga tidak tahu pasti alasannya mengapa aku memerhatikan dan mendekatimu. Yang aku tahu, sejak pertama kali melihatmu, ada keinginan di diriku untuk mengenalmu lebih dekat. Dan sepertinya keinginanku itu terkabul. Saat ini kita sudah semakin dekat. Kau juga sudah tidak bicara sepatah-sepatah padaku. Kalimatmu mengalir lancar. Kau juga mulai tersenyum dan tertawa. Dan entah mengapa, aku bahagia sekali bisa melihatmu tertawa lepas. Kebiasaan yang dulu tak pernah kau lakukan. Andai kau tahu bahwa pada saat kau tertawa lepas, wajahmu tidak lagi hanya enak dilihat, melainkan terlihat tampan. Setidaknya di mataku. Aku juga tak peduli dengan tatapan semua pekerja di hotel ini yang menganggapku aneh mau berdekatan dengan orang sepertimu. Kau juga sebenarnya sudah memperingatkanku untuk tidak berdekatan denganmu kalau tidak mau dicap sebagai orang aneh. Tapi, semakin orang-orang menganggapku aneh, aku semakin nyaman berada di dekatmu. Hari demi hari yang kulalui setelah pulang bekerja pun, aku habiskan dengan memikirkan wajahmu, tawamu, dan mata elangmu itu. Apakah ini cinta? Entahlah, aku sendiri masih ragu. *** “Apa kau tak malu dekat-dekat denganku?” tanyamu ketika kita sudah dekat selama lebih dari 6 bulan. “Tidak. Memangnya kenapa aku harus malu?” “Kau ini kan seorang supervisor, atasanku. Sementara aku ini hanya seorang petugas loundry yang tidak punya apa-apa. Apa tidak aneh rasanya berteman denganku? Ditambah lagi aku ini dikenal aneh dan punya hobi menyendiri,” tanyamu lagi. Ini bukan kali pertama kau menanyakan hal ini padaku. Sejak gosip mulai beredar di antara para pekerja, kau terkadang menanyakannya. “Menurutku tidak ada yang aneh. Kau tidak jahat. Kau juga tidak pernah melakukan hal yang salah. Aku memang atasanmu, tapi itu hanya berlaku pada saat jam kerja. Lagipula usia kita sebaya kan? Jadi tak ada salahnya kalau kita berteman dan dekat seperti sekarang.” Aku menjawab pertanyaanmu apa adanya sesuai dengan apa yang ada di pikiranku. Sekali lagi – dengan mata elangmu itu – kau melihat ke dalam mataku dengan begitu tajam. Aku selalu kagok di saat kau menatapku seperti itu. Namun entah mengapa, saat ini rasanya sedikit berbeda. Aku merasakan sesuatu yang aneh di perutku. Perutku seakan sedang diaduk-aduk oleh berjuta kepompong yang berubah menjadi kupu-kupu. Jantungku juga berdetak lebih kencang. Dulu, setiap kau menatapku seperti itu, jantungku memang berdetak lebih kencang. Tapi tidak separah sekarang. Kali ini, jantungku terasa seperti mau keluar dari tempatnya. Tiba-tiba badanku menghangat, darahku berdesir. Aku seperti hendak pingsan. Seluruh oksigen yang ada di taman ini sepertinya tersedot ke dalam bola matamu. Jauh di dalam hatiku, aku berharap kau berhenti menatapku seperti itu. “Maaf, Mbak Renata. Tadi dicariin sama Pak Arman.” Ucapan salah seorang karyawan berhasil menghentikan tatapan matamu yang hampir membuatku kehabisan napas. Aku bersyukur karena akhirnya aku pun terselamatkan. Sejak saat itu, aku tak pernah bisa melepaskan bayangan wajahmu dari pelupuk mataku. Semakin aku berusaha menepisnya, semakin jelas bayangan yang ada di mataku. Setiap malam sebelum tidur aku selalu memikirkanmu. Bahkan terkadang, aku sampai senyum-senyum sendiri membayangkan betapa lama waktu yang kubutuhkan untuk meyakini perasaanku. Padahal tanda-tanda itu sudah aku rasakan, dan selalu aku bantah karena aku merasa kau bukan tipeku. Aku memang tertarik padamu dan ingin dekat denganmu, tapi kau bukanlah tipeku. Namun, sejak gejolak luar biasa yang kurasakan ketika kau menatapku waktu itu, aku jadi benar-benar yakin bahwa aku menyukaimu. Ya, aku jatuh cinta padamu. *** “I don’t know why I’m scared, I’ve been here before.. Every feeling, every word, I’ve imagined it all..” Setelah mempertimbangkan segala sesuatunya, aku memutuskan untuk memberanikan diri mengungkapkan semua perasaanku padamu. Tapi entah mengapa, di saat aku berhadapan denganmu, rasa takut datang mendera. Padahal kata demi kata yang akan kusampaikan, sudah kupersiapkan dengan rapi dalam memori kepalaku. Ini juga bukan pertama kalinya aku menyatakan rasa sukaku pada seseorang. Namun kali ini aku merasakan ketakutan yang tidak biasa. Aku takut kau akan marah dan menjauhiku. “Ada apa, Renata? Tadi katanya kau ingin bicara sesuatu padaku?” Kau pun mulai bertanya. Kau juga memerhatikan wajahku yang mungkin terlihat gugup. Tentu saja hal itu membuatku semakin tak bernyali. “Hmmm.. hmmm... hmmm.. aku.. aku..” Aaarrgghh.. Aku kesal dengan diriku sendiri. Semua kata yang sudah dirancang rapi, hancur berkeping-keping. Tak ada satupun yang tersisa di otakku. Semuanya hilang bagai debu yang tertiup angin. “Ada apa? Kok cuma hmmm.. hmmm.. Bilang aja,” ujarmu lagi. Aku diam sejenak, dan berusaha mengumpulkan kembali segenap keberanian yang sempat hilang entah kemana. Tak ada gunanya aku takut, dan aku tak boleh mundur. “Ko, aku rasa aku menyukaimu. Oh tidak, tidak. Bukan aku rasa. Aku memang menyukaimu. Atau tepatnya, aku jatuh cinta padamu, ucapku pada akhirnya. Dan bagai tersengat listrik, tubuhmu yang tadinya bersandar di batang pohon, langsung kau tegakkan. Matamu menatapku tajam. Tapi tatapan kali ini sedikit berbeda. Ada aura kemarahan yang terpancar di dalamnya. “Apa tadi kau bilang? Kau menyukaiku?” Suaramu terdengar menggeram. Aku hanya bisa mengangguk pelan. Rasa takut kembali menderaku. Aku tak mau kau marah dan menjauh dariku. “Benar dugaanku, kau memang mengharapkan sesuatu yang lebih dari kedekatan kita. Kau belum sepenuhnya mengenalku, Renata. Kau tahu mengapa aku tak punya banyak teman? Karena aku memang tak ingin berteman dengan siapapun, apalagi perempuan. Seharusnya aku tak menjawabmu di saat kau menyapaku 6 bulan yang lalu.” Kau pun berdiri dari dudukmu dan bersiap meninggalkanku. Wajahmu terlihat semerah saga. Sepertinya kau benar-benar marah padaku. “Tunggu dulu.” Aku menarik tanganmu di saat kau hendak melangkah pergi. “Siapa bilang aku tidak sepenuhnya mengenalmu? Kau pikir di kedekatan kita yang sudah lebih 6 bulan ini, aku tak coba mencari tahu siapa dirimu? Kau pikir aku mau berteman dengan orang yang tidak kuketahui jati dirinya? Aku tahu semua tentangmu, Riko. Aku juga tahu alasannya mengapa kau lebih suka menyendiri. Aku juga tahu alasannya kenapa kau tidak ingin berteman dekat dengan siapapun, apalagi perempuan. Semua karena peristiwa kelam di masa lalumu kan?” Aku tidak tahu keberanian itu datang darimana. Semua kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku. Mungkin karena aku tidak ingin kau pergi meninggalkanku begitu saja tanpa sebuah kejelasan. “Oya? Tahu apa kau tentang masa laluku? Sudahlah. Kau tidak tahu apa-apa tentangku. Kau dengar?” Dengan kasar kau hempaskan pegangan tanganku, lalu melangkah pergi meninggalkanku seorang diri. *** “You’ll never know, if you never try.. To forgive your past, and simply be mine..” Sejak saat itu, hubungan kita pun mulai merenggang. Kau mulai menjauhiku. Setiap melihatku mendatangimu ke pohon favoritmu itu, kau langsung beranjak pergi. Hal itu sudah berlangsung selama hampir satu bulan. Semua orang juga sudah menggunjingkannya. Tapi aku tak peduli. Aku sudah tidak tahan lagi. Aku harus bicara denganmu. Aku tidak menginginkan apa-apa. Aku hanya ingin diberikan kesempatan. “Ko, aku ingin bicara denganmu,” ujarku padamu yang sedang asyik membaca buku di bawah pohon Trembesi favoritmu. Wajahmu terlihat kaget karena tiba-tiba aku sudah ada di hadapanmu tanpa kau sadari sebelumnya. Dan dalam diam, kau pun berdiri, bersiap meninggalkanku. “Aku tidak ingin minta apa-apa darimu. Aku hanya ingin diberi kesempatan. Satu kali saja,” ucapku sambil menatap punggungmu yang mulai menjauh. Tapi tidak cukup jauh, sehingga kau pasti mendengar perkataanku. Tanpa dinyana, kau menghentikan langkahmu, lalu berbalik ke arahku. “Kesempatan untuk apa? Untuk bermain-main denganku?” Amarah yang sama terlihat kembali di matamu. Aku pun menarik nafas panjang untuk menata emosiku, sebelum memulai apa yang harus kukatakan. “Ko, aku tahu mungkin selama ini aku memang tak pernah punya tempat yang spesial di hatimu. Karena kalau ada, kau pasti tidak akan bersikap seperti ini. Beritahu aku, apa yang harus aku lakukan agar kau mau memberiku kesempatan untuk menjadi seseorang di hidupmu.” Tanpa menjawab, kau lalu memutarkan badanmu untuk kembali pergi. Namun aku takkan membiarkan hal itu terjadi. Aku sudah sejauh ini. “Aku tahu kau pernah dikhianati oleh mantan pacarmu, padahal kalian sudah berhubungan selama bertahun-tahun. Dan pengkhianatan itu terjadi dua kali.” Aku berhasil. Kau tak jadi melangkah pergi. Kini kau kembali menatapku, menuntut penjelasan lebih rinci dari apa yang kukatakan tadi. “Aku juga tahu dulu ibumu meninggalkan ayahmu di saat ayahmu kehilangan pekerjaan karena sebuah kecelakaan yang menyebabkannya lumpuh. Dan hingga kini akhirnya ayahmu harus dirawat di rumah sakit jiwa karena depresi. Itu juga sebabnya kau harus menunda kuliahmu selama beberapa tahun dan bekerja sebagai petugas loundry di hotel ini guna mengumpulkan uang buat biaya kuliahmu sekarang. Pensiun kakek yang selama ini merawatmu tidak cukup banyak untuk membiayaimu kuliah. Dan semua peristiwa kelam itu membuatmu menjauh dari pergaulan. Ibu yang meninggalkanmu di saat kau masih kecil, dan kekasih yang mengkhianatimu dua kali, membuatmu trauma dekat dengan perempuan. Kau takut disakiti lagi.” Kau masih menatapku dengan tajam. Amarah yang terpancar dari mata elangmu itu tak berkurang sama sekali, malah semakin bertambah. Mungkin kau tak suka aku mengetahui dan membeberkan masa lalumu yang suram. Tapi aku tak punya pilihan. “Lalu, kalau kau sudah tahu tentangku dan masa laluku, apa kau merasa berhak menghakimiku dengan mengatakan aku trauma atas semua itu?” Suaramu mulai meninggi. “Aku tidak menghakimimu. Aku hanya menjawab pernyataanmu waktu itu kalau aku tidak tahu apapun tentangmu, kalau aku tidak tahu alasan-alasanmu. Aku tahu semua tentangmu, Riko. Aku hanya ingin kau mencoba memaafkan masa lalumu dan memberiku kesempatan untuk menjadi seseorang di hidupmu. Aku akan menemanimu melaluinya secara perlahan. Tidak semua perempuan akan berlaku sama seperti ibu dan mantan pacarmu itu. Nobody is perfect. Dan aku tahu itu. Semua masa lalumu yang kelam itu adalah bagian dari sejarah hidup yang harus kau jalani.” Aku memang tak ingin menghakimimu. Aku hanya ingin mengatakan bahwa tak seharusnya kau bersikap seperti sekarang hanya karena masa lalu. Manusia hidup untuk masa depan, bukan masa lalu. Tanpa terasa, bulir airmata pun mulai mengalir di pipiku. Meski tak berkata apapun, tapi tatap matamu mulai melunak. Sepertinya amarah itu sudah mulai berkurang. “Sudahlah, Renata. Kau terlalu baik untuk masuk dalam kehidupanku yang katamu – dan memang – kelam . Aku tak ingin menyeretmu masuk ke dalamnya. Pergilah selagi kau masih bisa.” Suaramu terdengar normal kembali. Kali ini kau tidak berbalik arah dan beranjak pergi. Kau malah berjalan mendekatiku, namun kemudian berlalu dari hadapanku. “Mengapa begitu sulit bagimu untuk memberiku kesempatan. Aku tidak minta apa-apa. Aku hanya ingin kesempatan. Aku tahu sebenarnya kau juga merasakan hal yang sama denganku. Tapi kau menyangkalnya dengan alasan trauma masa lalumu itu. Kau pengecut!” Aku akhirnya berteriak histeris. Sungai berarus deras mulai mengucur dari kedua kelopak mataku. Aku tak peduli dengan tatapan beberapa pasang mata yang kaget mendengar teriakanku. “Kau dengar? Kau pengecut. Benar-benar pengecut!” Langkahmu pun kembali terhenti. Cukup lama kau berhenti disana. Kepalamu tertunduk. Dari kejauhan aku melihat kedua belah tanganmu mengepal. Lalu kau balikkan badanmu dan dengan cepat berjalan kembali ke arahku. Merengkuh kepalaku dan menyandarkannya di pelukanmu. “Kau benar. Aku memang pengecut. Tapi kau salah kalau mengatakan kau tidak punya tempat spesial di hatiku. Kau begitu spesial.” Kau memelukku begitu erat sampai aku nyaris tak bisa bernapas. “Aku tak tahu kau mengetahui semua ini dari siapa, dan aku tak ingin mencari tahu. Aku juga sudah menyuruhmu pergi selagi kau bisa. Aku masih belum bisa memaafkan masa laluku, Renata. Entah apa yang akan aku lakukan kalau sampai suatu hari nanti kau juga pergi meninggalkanku seperti orang-orang itu.” Aku merasakan sebutir cairan hangat jatuh di ubun-ubun kepalaku. “Aku tahu tak mudah memberikan hatimu pada orang lain setelah semua peristiwa pahit yang kau lalui. I know it ain’t easy. Tapi aku bukan mereka. Aku juga pernah disakiti, aku tahu bagaimana rasanya. Aku tidak akan meninggalkanmu, Riko. Percayalah. What you have to do now is give me a chance to be yours.” Aku membalas pelukanmu dengan tak kalah erat. Airmataku masih mengalir deras. “Janji kau tidak akan meninggalkanku?” Kau melepaskan sedikit pelukanmu lalu menatapku dengan lembut. “Janji. Aku akan menjadi satu-satunya orang yang akan menemanimu melalui semuanya sampai akhir kisah kita dimulai. Aku akan membuktikan bahwa aku layak untuk itu,” jawabku sambil menatap penuh cinta kepadamu. Aku belum pernah berada sedekat ini denganmu. Melihat matamu yang hanya berjarak beberapa sentimeter dari mataku. Melihat tatapan yang pernah membuat jantungku seakan berhenti berdetak. Dan sensasinya masih kurasakan saat ini. Bahkan lebih. Kalau kau tidak langsung kembali memelukku, aku mungkin sudah jatuh ke tanah. “I dare to let me be your, your one and only.. Promise I’m worthy, to hold in your arms.. So come on and give me a chance, to prove that I’m the one who can.. Walk that mile, until the end starts..” ***VIN*** #Silahkan komentarnya, guys... :)
Posted on: Sun, 20 Oct 2013 05:55:50 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015