Tiga Perempuan Telepon berdering. Jemari halus mengangkatnya. - TopicsExpress



          

Tiga Perempuan Telepon berdering. Jemari halus mengangkatnya. “Halo.” lembut suara terdengar. “Benar kamu tidak bisa terima aku lagi?” sergah suara berat di seberang. “Iya.” kata si penerima, yang ternyata adalah seorang perempuan. “Hidupmu bakal lebih terjamin!” suara itu membujuk. “Tidak perlu!” tukas si perempuan, rambut pendeknya tampak indah membingkai wajah cantiknya yang membulat. Dengus nafas keras memburu di seberang. “Masih sayang anakmu kan?” “Tentu saja!” pekik perempuan itu, tampak mulai sedikit panik. “Bagus. Pikirkan saja nasibnya.” Klik. Si pemilik jemari halus mendengus. Bercampur tangis. *** Menjadi perempuan tidaklah mudah. Apalagi menjadi janda. Janda sudah beranak pula. Terutama ketika sang putra mulai sibuk bertanya kenapa ia tidak punya bapak. Tidak seperti teman-temannya yang lain. “Mak, kok Aman nggak punya bapak?” sebuah pertanyaan di suatu senja, tatkala seorang janda usia tigapuluhan melepas lelah setelah seharian bergulat dengan cucian kotor di rumah majikannya. “Emang kenape?” tanya perempuan itu. “Kan kasian Emak.” sahut si bocah, lugu. “Kasian apaan?” ibunya menatapnya sayang. “Mesti nyuci terus,” mulut mungil itu berujar memelas. “Kalo ada bapak kan bisa bantuin Emak nyuci.” polosnya. Si Janda terkekeh. Dasar anak kecil. Tentu aje laki-laki bisa bantu lebih dari cuman bantu nyuci, batinnya pilu. Bantu nemenin tidur misalnye. Ia menatap senja. Lembayung tampak tertutup mendung di kejauhan. *** Ponsel bergetar. Nada deringnya mengalun syahdu. Jemari Halus mengangkatnya. “Halo.” lembut suaranya kembali terdengar. “Sudah kamu pikirkan tawaranku?” suara tegas itu lagi. Tanpa basa-basi. “Beri aku waktu…” “Ah, macam anak perawan saja! Apa sih susahnya bilang iya?!” kata laki-laki di seberang. “Mas, ini bukan pilihan mudah!” pekik si perempuan, sudah mulai menangis. “Memangnya kamu punya pilihan?!” maki lawan bicaranya, kejam. “Tentu saja!” desis si wanita cantik sedikit kesal. “Aku manusia!” jeritnya parau. “Bukan. Kamu lonte!” Klik. Kali ini si Jemari Halus menangis keras. Di dalam hati. *** Menjadi pengantin itu membahagiakan. Bagai raja dan ratu sehari. Tiada momen yang membahagiakan selain bersanding dengan orang yang dicintai dan mendapatkan ucapan tahniah dari para undangan. Seakan dunia menjadi saksi atas kegembiraan suci tersebut. Namun menjadi pengantin juga alamat kekecewaan. Bila ternyata sang suami tercinta hanya penjudi dan tukang selingkuh. Rasanya roti buaya di hari pernikahan perlambang kesetiaan hanya sebagai sebuah sindiran. Ah, kok masih aje inget die, Si Janda membatin. Die aje enggak inget keluarga. Malah kabur ame caboKerawang! “Kok nangis, Mpok? Ada apa?” suara lembut menariknya ke bumi. Si Jemari Halus mendekatinya. Ia berjongkok dan mengusap-usap bahu Si Janda. Si Janda tergeragap. Disambarnya sepotong baju dari puncak tumpukan cucian. Disikatnya keras-keras. Ia bayangkan baju itu adalah wajah suaminya dulu. “Jangan pura-pura. Mpok Nasipe tadi nangis ya?” kata majikannya lagi. “Kagak,” bantah Mpok Nasipe pelan. Betul, Bu. Saya sedih, ujarnya di dalam hati. Ia mengangkat wajahnya, berusaha tersenyum. Tapi dilihatnya bekas alur anak sungai di pipi putih sang majikan. “Bu Susan nangis?” tanyanya kemudian, bingung. “Eh, tidak!” gantian Susan membantah. Tapi tak urung kedua tangannya lekas menghapus jejak kesedihan di wajahnya. Mpok Nasipe tersenyum. Percuma, Bu, udah ketauan. Tapi anehnya dadanya agak plong sedikit. Ternyata melihat orang menangis dapat meringankan beban. Tapi kenape Bu Susan nangis ye? Pikiran Mpok Nasipe merantau di balik kesibukannya membilas cucian. “Ya, sudah,” ujar Susan seraya berdiri. Seakan menegaskan bahwa ia majikan dan perempuan sebayanya itu hanya buruh cucinya. “Kalau Mpok Nasipe tidak mau mengaku sudah menangis, tidak apa-apa. Saya maklum. Sebagai sesama janda, saya maklum kok,” Susan tersenyum. Ia menekankankan kata ’janda’ pada kalimatnya. “Iye, Bu. Jadi jande emang kagak enak. Susah mulu. Tapi ibu sih enak, kaya. Lha saya kan beda. Keblangsak terus nasibnye!” Susan tersenyum getir. Kaya juga belum tentu bikin bahagia. Airmatanya hendak lumer. “Mpok, nanti lagi ya ngobrolnya. Saya ngantuk!” Pura-pura menguap, Susan bergegas pergi ke kamarnya. Menumpahkan airmatanya di atas bantal. Mpok Nasipe mendesah. Kecewa. Ia sebetulnya hendak menyampaikan sesuatu. Sesuatu yang penting bagi dirinya dan bagi Aman, anak sebiji matanya. Tapi belum tentu penting bagi majikannya yang tiap malam selalu berganti-ganti diantar mobil mewah. Soal ini sudah banyak omongan miring para tetangga tentang majikannya. Tapi Mpok Nasipe tidak percaya. Itu bergunjing namanya, kata Wak Nong, guru ngajinya sewaktu kecil. Lagipula terlalu banyak masalahnya sendiri daripada harus mengurusi masalah orang lain. Ah, hidup kok susah amat ye! Dilampiaskannya kekecewaan pada cucian. Disikatnya sekuat tenaga, dibanting dan diperasnya habis-habisan. Ia membayangkan mencekik leher mantan suaminya dan derita kemelaratan yang melilitnya. *** Di tanah lapang yang kian jarang di Jakarta. “Aman, Emak lo udah kasih duit belom?” Seorang anak usia belasan berdiri tegak menghadang Aman. Tatapannya menusuk. Aman menunduk. Sesekali menyeka ingus. “Belom.” “Gimana sih? Kalo kayak gini kapan kita bisa patungan beli bola?!” Serentak sahutan-sahutan lain bak dengungan suara lebah mengantup. “Iya, Man. Payah lo!” “Ga asyik ah!” “Huu… maennya mau lo, Man. Giliran patungan, ogah!” Tepat menyengat hati Aman. Bocah tujuh tahunan itu tersengguk. Hatinya remuk. Jika bapaknya memang benar tukang batu seperti cerita Emak ingin ia agar bapak sendiri yang memperbaiki hatinya saat ini. Tapi ia anak yatim. Setidaknya itu kata Emak. Itu yang bikin hatinya kian berkeping-keping. Berlarilah Aman membawa serpihan hatinya yang rontok. Berlari, berlari hingga hilang pedih peri… *** Di kamar di sebuah rumah megah. “Chan, sedang apa? Sibuk ya?” tanya si Jemari Halus di telepon. Suara genit di seberang sana menjawab, ”Enggak kok, ada apa?” “Aku butuh kamu sekarang…” kata Susan lirih. “Kebetulan banget, aku juga kangen. Eh, aku ada waktu nanti malam. Ketemuan yuk!” ajak si suara genit. “Di mana? Jam berapa?” tanya Susan, antusias. Chantal menjawab tak kalah bersemangat. Siang itu, terpatrilah sebuah janji untuk bertemu. Chantal menutup teleponnya dengan wajah sumringah. Ada gelegak dalam dirinya yang butuh penyaluran. Hasrat rindu kembali mengalun. *** Susan baru saja meletakkan hapenya ketika benda itu tiba-tiba saja berbunyi. “Halo.” Dia segera menyapa dengan suara renyah. “Ma, kapan Nia dijemput? Nia enggak betah nih di sini bareng Papa!” kata suara cewek ABG di seberang. “Ehm... sabar ya, Sayang. Sebentar lagi kok,” jawab Susan. Ia mulai terisak. “Ah, sebentar terus. Dua bulan lalu Mama juga bilang begitu. Nia benci Mama!” Klik. Tiada yang lebih menyakitkan hati seorang ibu selain dibenci darah dagingnya sendiri. Untuk itulah anak sungai di mata Susan mengalir jauh. Jauh sampai ke lautan rindu yang membentang membatasi mereka. “Bu! Bu Susan!” ketukan disertai seruan berulang-ulang mengagetkan Susan yang bersimbah airmata di atas ranjangnya. “Ada apa, Mpok?” tanya wanita cantik itu sambil membukakan pintu. “Maap, Bu. Saya mau ngomong,” ujar Mpok Nasipe takut-takut. “Eh, Ibu abis nangis ye?” Susan meledak. Ia sudah bersusah-payah menghapus airmatanya lalu tergopoh-gopoh membukakan pintu. Dan hanya mendapati pertanyaan sepele seperti itu. “Dari tadi itu terus pertanyaanmu. Bosan!” sahut Susan tajam. “Iya, saya nangis. Memang kenapa? Sekarang kamu mau ngomong apa?!” hardiknya lagi. Nyali Mpok Nasipe langsung ciut. “Eh, maap, Bu. Maksudnye…” “Saya sibuk. Tidak mau diganggu. Upah nyuci kamu kan nanti akhir bulan. Masih tiga minggu lagi. Sudah sana!” usir Susan cepat. Nah, itu maksudnye. Mau kasbon! Sayang sudah nasib suara hati untuk tak terdengar orang. Pintu kamar Susan sudah ditutup keras. Setengah dibanting. Mpok Nasipe gemetar. Kok Bu Susan tumben galak amat ye? Ape lagi dapet? Batinnya dalam hati. Ia pun beranjak pergi. Kepalanya pening memikirkan jawaban apa yang akan diberikannya kepada Aman. Jawaban yang ditunggu bocah itu sejak seminggu lalu. Duh, hidup kok susah amat ye! *** Aman cemberut. Ia membuang muka. Tangan Mpok Nasipe mengelus-elus rambut ikal putranya itu. Lampu neon dua puluh lima watt meredup. Garis-garis kehitaman mulai merajahi batang lampu. Sudah waktunya diganti. Seperti juga TV 14 inci di atas buffet yang layarnya sudah banyak ’semut’ yang tiap kali harus digebrak agar gambarnya layak dilihat. “Maap ye, Man. Emak belom punye duit.” kata Mpok Nasipe. Aman bergeming. Mulutnya kian manyun. “Kok Aman nggak mau nurut Emak sih?!” Mpok Nasipe mulai dongkol dengan sikap putranya. Aman adalah satu-satunya buah perkawinan Mpok Nasipe dengan sang suami yang pengkhianat. Selama lima tahun perkawinan ia menderita lahir dan batin. Gara-garanya ia dituduh mandul. Padahal karena keterbatasan biaya tak pernah sekalipun mereka berdua memeriksakan diri ke dokter. Hanya karena ingin menjaga nama baik suami di depan keluarga, ia kunci mulut rapat-rapat. Ironisnya, di tahun kelima, ketika usia Aman belum lagi empat puluh hari, sang suami minggat bersama perempuan lain. “Masak dua puluh ribu aje ga ada sih, Mak?” tanya Aman lirih. “Kan katenye Emak udah nyariin dari minggu kemaren.” Matanya menatap penuh harap. “Aman kan malu ame temen-temen…” Mpok Nasipe menghela nafas panjang. Dua puluh ribu jumlah kecil buat yang berpunya. Tapi buat buruh cuci berpenghasilan dua ratus ribu sebulan, itu jumlah yang lumayan besar. Penghasilan yang seiprit itu pun harus lihai dibagi-bagi dengan kebutuhan sekolah dan kebutuhan rumah tangga yang saling berebut naik. Meski ia juga cari tambahan dengan menitipkan jualan kue di warung-warung sekitar, tetap saja tak kesampaian, tidak tertutupi. Hanya atas izin Tuhan, ia dan Aman bisa tidak kelaparan meski harus sering berpuasa dan berhutang kiri-kanan. Aman luluh. Tak tega ia melihat emaknya tepekur diam, berusaha tegar menahan tangis. Kendati ia tahu airmata Emak sudah meluber di pelupuk mata. Tinggal menunggu tumpah. Wajah manis Emak lebih sering mendung karenanya. “Mak…” panggilnya lirih, takut mengagetkan wanita yang telah melahirkannya itu. Mpok Nasipe tetap terdiam “Maapin Aman, Mak.” Aman mencium tangan emaknya. “Aman salah udah bikin Emak nangis. Padahal kan Ustadz Romli bilang Aman kudu jagain Emak. Aman kan anak laki-laki. Betul ye, Mak?” Mpok Nasipe mengangguk haru. Di bibirnya tersaput senyum bangga. “Besok Aman diajakin Mamut jualan koran. Mas Tito kan buka usaha agensi koran. Aman boleh jualan, Mak?” tanya bocah itu. “Abis Subuh ame sore kok. Jadi bisa tetep sekolah.” Mpok Nasipe kian haru. Anaknya ternyata lebih jantan daripada bapaknya. Tapi tetap saja sebagai ibu sekaligus bapak Aman, ia harus berbuat. Tapi pinjem kemane ye? *** Senja menghilang. Malam menyergap. Selubung hitam Jakarta terhampar. Di ujung selubung dua makhluk molek bertukar rasa dalam kamar sebuah apartemen elite. Hanya beberapa ratus meter dari kawasan Segitiga Emas. “Tadi kok kamu makannya tidak bernafsu, Sus? Masakannya tidak enak ya? Padahal restoran tadi restoran Perancis terkenal lho!” tanya Chantal pada Susan. Susan tersenyum dipaksakan. Menatap wanita berdada besar yang sedang menuangkan wine merah di hadapannya. “Enak kok. Aku lagi banyak pikiran aja,” jawab Susan sambil menerima sesloki wine dari Chantal. Cairan anggur merah itu lekas menggelontor kerongkongannya. “Ih, kamu minum wine kok tidak ada seninya sih!” protes Chantal melihat Susan yang menenggak wine mahalnya seperti minum air kendi. “Wine itu karya seni. Minumnya harus dengan style. Dicicipi dulu. Pelan-pelan. Nah, biarkan rasanya menyebar ke seluruh bagian lidah,” cerocos Chantal, sok pintar. “Wine juga tidak bisa untuk teman sembarang makanan. Untuk hidangan ikan, pakai wine putih. Sementara untuk hidangan daging, wine merah lebih cocok. Feel-nya lebih pas!” tambahnya. “Aku tahu. Pelangganku kan banyak yang bule juga.” sahut Susan. “Sorry, aku lupa. Aku kan French-minded banget gitu lhoh!” Chantal tersenyum. “Ya, iyalah. Kamu kan gundiknya diplomat Perancis!” sergah Susan, ikut tersenyum. Lalu tawa berderai memenuhi kamar luas dan nyaman bernuansa merah muda itu. Namun kehangatan itu lenyap seketika ketika Susan kembali terdiam. Berderai airmata. Chantal kontan panik. “Hei, ada apa?” tanyanya gelagapan, melihat Susan yang sangat moody. “Aku capek, Chan…” Chantal mendekap lembut tubuh mulus Susan dan berbisik, ”Ceritakanlah kepadaku!“ Maka mengalirlah segala isi hati Susan. “Jadi anakmu masih bersama mantan suamimu yang menuntut rujuk itu?” simpul Chantal di akhir cerita. “Mantan suamimu yang pengusaha batubara itu kan?” “Ya. Dia merasa bisa membeli segalanya. Termasuk diriku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, Chan.” keluh Susan kecewa. “Dengan kelihaian pengacaranya, dia bisa beli putusan pengadilan untuk rebut hak pengasuhan anak dariku. Dan dia pindahkan putriku bersekolah ke Singapura. Sudah dua bulan aku tidak ketemu putriku, Chan!” Tangis Susan meledak di dada bulat Chantal. Gaun tidur Chantal basah oleh airmata. “Padahal setelah bercerai, aku sampai jual diri untuk membiayai sekolahnya. Setahun kemudian lelaki itu datang dan merebut segalanya!” jerit Susan semakin pilu. “Iya, yang sabar ya, ini mungkin ujian buat kamu,” bisik Chantal lembut sambil membelai mesra rambut pendek Susan. “Dia gunakan putriku agar aku mau rujuk dengannya. Aku tahu dia sudah tidak cinta aku. Sejak dia selingkuh, aku sudah tahu itu. Apalagi sekarang. Dia pasti jijik padaku.Tapi Nia tak mungkin dimilikinya tanpa memaksaku kembali. Nia sangat dekat denganku,” Susan terus bertutur. “Chan, aku harus bagaimana?” “Kamu sendiri masih mencintai mantan suamimu?” tanya Chantal kemudian. Susan menatap tajam. “Kok masih tanya begitu?” sergahnya. “Just confirm, Babe.” jawab Chantal manja. “No, I just love you. He’s nothing!” tegas Susan mantab. “Bila ada pelanggan-pelangganku yang lain, mereka hanya senilai rupiah dan dolar mereka. Tapi kamu bagian dari hatiku. Kamu hadir saat aku runtuh setelah perceraian. You’re my best customer. Even more!” jelasnya. Belum sempat Chantal menjawab, Susan meraih tangan ’kekasihnya’ itu dan diletakkannya di atas gundukan payudaranya. Chantal tersenyum, dan mulai menggerakkan tangannya berputar-putar di atas buah dada Susan yang terasa lembab dan segar. "Mmmhh..." Susan mendesah dengan mata setengah menutup. Gairah Chantal yang sudah sangat sulit dikendalikan semakin meledak melihat reaksi yang sangat merangsang itu. Dia mulai meremas-remas dada Susan dengan lembut lalu memilin-milin putingnya yang terasa semakin membesar dan mengeras dalam genggamannya. "Ughhhh..." Susan kembali mendesah dan terus membiarkan Chantal meraba dan meremas-remas buah dadanya, sementara kedua tangannya sendiri meremas sprei kuat-kuat. Tak lagi berusaha mengendalikan gairahnya yang sudah memuncak, Chantal meraih dagu Susan dengan tangan kiri sementara tangan kanannya terus meremas dada Susan semakin bernafsu. Chantal menarik wajah Susan untuk mengecup bibirnya yang basah. "Mmmhh…" desahan Susan makin membakar nafsu Chantal. Sambil meremas payudaranya dengan penuh gairah, ia mengulum bibir bawah perempuan cantik itu yang segera membuat Susan membalas dengan mengulum bibir atasnya. Kedua wanita cantik ini mulai saling menghisap untuk beberapa saat, sampai akhirnya Chantal melepaskan ciuman mereka. Susan membuka mata mendapatkan ia dan ’kekasihnya’ sama-sama terengah-engah setelah berciuman dengan penuh gairah. "Ohh, kamu selalu bisa membangkitkan gairahku, Chan!" desah Susan suka. "Kamu juga! Dari tadi aku udah kayak mau mati nahan gairah gara-gara kamu peluk, kamu cium, ngelihat kamu telanjang!" jawab Chantal tak mau kalah, tangannya terus bergerak-gerak di atas payudara putih mulus milik Susan. "Aku kangen banget sama kamu, Chan... aku pengen sentuhanmu," balas Susan sambil menundukkan kepala, meringkuk lebih dalam di pelukan Chantal. "Ssst..." Chantal menarik dagu Susan hingga mereka saling bertatapan lagi, lalu menampilkan senyumnya yang manis, "Itulah gunanya aku ada disini," bisiknya mesra. Susan hanya membalas dengan senyum yang tak kalah manis, memperlihatkan kalau ia juga menikmati semua ini. Chantal kembali beraksi, tanpa tergesa-gesa ia mengulum bibir tipis Susan, kadang seluruh mulutnya, lalu melepasnya, kemudian mengulumnya lagi. Begitu terus sambil sesekali Chantal menghisap bibir Susan dengan lebih bernafsu, lalu melepasnya untuk melihat Susan maju mengejar mulutnya yang sedikit terbuka, memancing gairah perempuan cantik itu. ”Ughhh...” Susan melenguh keenakan. Chantal sudah mendorong tubuhnya hingga rebah telentang di kasur. Mereka bertindihan dan berciuman lagi dengan penuh gairah. "Chan..." desah Susan saat Chantal memilin kedua putingnya kuat-kuat. Chantal menjawab dengan menyelusupkan lidahnya dengan lembut ke dalam mulut Susan yang sedikit terbuka. Jilatan lembutnya pada langit-langit dan lidah Susan membuat perempuan berjari halus itu semakin terangsang. Susan mulai membalas belitan lidah Chantal gerakan lidahnya sendiri. Mereka berciuman dan bergantian saling menghisap lidah untuk beberapa lama. Merasa gairah Susan dan gairahnya sendiri semakin membara, Chantal mulai meningkatkan rangsangannya dengan meraba paha dan selangkangan Susan. ”Eghss...” Susan mendesah saat merasakan sentuhan di bagian tubuhnya yang paling intim itu. Sambil terus meraba, Chantal melepas bibirnya, lalu mulai menjilati telinga dan leher Susan, membuat desahan lirih Susan mulai berubah menjadi erangan penuh kenikmatan. Tanpa melepas tangannya dari selangkangan Susan, Chantal kemudian menurunkan jilatannya ke dada Susan yang bulat montok. "Ahhh...!" Susan menjerit kecil saat lidah basah Chantal mulai menyentuh puting susunya, "Ooohh... aahhh... Chan!!" desahnya dengan penuh gairah. Ia membuka matanya untuk menyaksikan Chantal yang tampak asyik menjilati dan mencucupi kedua putingnya dengan semakin cepat dan bernafsu, membuat benda mungil kemerahan itu membesar dan mengeras begitu cepat. Kadang Chantal juga menggigit-gigitnya gemas, membuat Susan menjerit kecil dan memaju-mundurkan pantatnya seirama dengan gerak tangan Chantal di selangkangannya yang terasa semakin menekan dan meremas kuat. Bangkit dari dada Susan, Chantal menarik kaosnya lalu melemparkannya ke lantai. Kedua tangan Susan langsung meremas-remas gundukan payudaranya saat ia sedang berusaha melepas BH-nya. Chantal menarik begitu saja BH itu hingga payudaranya yang montok dan bulat besar langsung terburai keluar, Susan tampak semakin bernafsu meremas dan memilin-milin puting telanjangnya. Mereka saling menghujam tubuh masing-masing dengan selangkangan saling menekan dan menempel erat. "Hahhh..." desah Chantal menikmati remasan Susan pada buah dadanya. Lama-lama, ia jadi tak tahan juga, Chantal pun bangkit untuk membuka celana pendek sekaligus celana dalamnya. Ia juga menarik celana dalam Susan hingga terlepas, menampilkan setumpuk kecil bulu tipis yang menutupi kemaluan Susan yang telah membengkak tajam. Bau seks menyebar dari vagina sempit itu, membuat nafsu Chantal serasa berputar penuh gairah tak tertahankan. Ia segera merabanya, merasakan betapa benda itu sudah begitu basah dan lengket oleh lendir gairah. "Ohh, Chaan!!" Susan tersentak merasakan nikmatnya sentuhan Chantal di titik terlarang itu. Apalagi saat Chantal tanpa membuang waktu mulai menjilatinya, menikmati manisnya lendir yang keluar dari sana, Susan makin tersentak penuh kenikmatan. "Ahhh! Ahhh! Chan! Ughh! Ahhh!" ia menjerit-jerit tak tertahankan, tubuhnya menggelinjang kesana-kemari. Dengan dua jari, Chantal membuka bibir vagina Susan, menampilkan klitoris Susan yang telah membengkak keras dan teracung keluar. Lidah Chantal segera menari disana sambil tangan kirinya terus meremas-remas payudara Susan tiada henti, membuat Susan terpaksa harus mencengkeram sprei kuat-kuat untuk menahan gelinjang tubuhnya yang semakin sulit untuk dikendalikan. Tapi ini tak membantu menahan jeritannya yang terdengar semakin keras, "Aaagghh! Aaagghh! Oohh, Chaan! Nikmatnya! Jangan berhen... aagghh!" Susan terlontar ke dalam alam bawah sadarnya. Memang tak berniat untuk berhenti, lidah Chantal terus merangsek masuk ke dalam vagina sempit Susan dan menjilat disana tanpa ampun. Susan yang menerimanya semakin tak mampu mengendalikan gelinjang kenikmatannya, ia menghunjamkan selangkangannya ke wajah Chantal berulang kali, meminta untuk dijilat lebih cepat dan lebih dalam lagi. Chantal tentu saja mengabulkannya, dengan buas ia terus menggerakkan lidahnya, begitu rakus ia menikmati lendir vagina Susan yang terus mengalir keluar ke dalam mulutnya. Gerakan tubuh Susan yang semakin kasar dan tak terkendali membuat Chantal tahu bahwa perempuan itu tak akan bertahan lebih lama lagi. Jadi, dengan semakin bernafsu ia jilati vagina Susan, dihisapnya kuat-kuat lorong, bibir, serta klitoris perempuan cantik itu. Dan tepat seperti dugaannya, tak lama kemudian kedua paha Susan menghentak kaku menjepit kepalanya. Dengan tubuh menggelinjang semakin kasar dan liar, vagina Susan berkontraksi memuncratkan gelombang demi gelombang lendir kenikmatan yang tak mampu lagi ia bendung. "Aaahh... aahhh... ahhhh... Chaan!!" jerit Susan keenakan. Chantal segera membuka mulutnya, mengulum seluruh vagina sempit Susan dan menenggak habis seluruh lendir orgasme yang membanjiri mulutnya, sebagian yang menetes ke dagu dan lehernya juga ia jilati hingga tandas. Chantal tampak tidak ingin sampai ada cairan itu yang tertumpah sia-sia. Sambil terengah-engah, ia saksikan Susan yang memejamkan mata penuh kepuasan. Chantal segera mengecup bibirnya, membuat Susan membuka matanya dan tersenyum. Mereka perpelukan, Susan membalas kecupan Chantal dengan pagutan yang tak kalah bernafsu. Lidah mereka cepat saling terpaut dan menghisap satu sama lain. Susan tahu, Chantal terengah-engah bukan hanya karena habis memakan vaginanya, namun juga karena gairahnya yang telah memuncak tinggi. Susan segera memelorotkan diri ke bawah tubuh perempuan berdada besar itu, ia gesekkan payudaranya ke payudara Chantal yang terasa mengganjal ketat. Saat tiba di depannya, Susan tanpa ragu mulai menjilat dan menciumi putingnya yang merona kemerahan. Perbuatannya itu membuat nafas Chantal semakin cepat dan memburu, terasa lubang vaginanya juga semakin basah dan memanas oleh cairan lendir kenikmatannya. "Ohh, Susan sayang! Aku nggak tahan lagi!" erang Chantal tanpa malu-malu. Memahami maksudnya, Susan makin memelorotkan tubuhnya hingga kini wajahnya tepat berada di depan vagina Chantal yang elok; benda itu tampak sudah begitu basah dan memerah, dengan rambut keriting halus yang tercukur rapi melingkari bagian atasnya. Klitorisnya yang mungil sudah terasa keras dan kaku. Tanpa menunda lagi, Susan langsung menyusupkan lidahnya dan menghisapnya dengan begitu rakus. "Aaahh! Ahhhh! Enak, Sayang!" Chantal menjerit keenakan saat Susan menjilati klitorisnya berulang-ulang. Dengan penuh nafsu, ia menaik-turunkan tubuhnya, menghujamkan vaginanya ke wajah cantik Susan berulang kali. Payudaranya yang besar tampak bergoyang-goyang indah saat ia melakukan itu, Chantal segera meremas-remasnya sendiri untuk menambah daya rangsang bagi tubuh sintalnya. Sambil meremas pantat bulat Chantal, Susan menggerakkan lidahnya seirama dengan gerakan pinggul perempuan cantik itu. Lendir gairah meleleh ke wajah dan pipinya saat ia makin menusukkan lidahnya semakin dalam. Gelombang rangsangan yang bertubi-tubi tak mampu ditahan oleh Chantal lebih lama lagi. Puncak kenikmatannya pun meledak hanya beberapa menit setelah Susan menjilati vaginanya. Dia tersentak kaku di atas wajah cantik Susan dalam kepuasan orgasme yang berulang-ulang, semprotan demi semprotan lendir panasnya mengalir keluar memenuhi mulut manis Susan. ”Ehmm...” Susan berusaha keras menghisap dan menelannya, tapi begitu banyaknya lendir itu hingga terpaksa sebagian ia relakan mengalir keluar ke pipi dan lehernya. Dari kaku, perlahan-lahan tubuh montok Chantal mulai melemas, jepitan pahanya pada kepala Susan juga mulai mengendur, hingga akhirnya Chantal jatuh terbaring lemas di atas ranjang. Susan mendekatinya, lalu mencium bibir seksi Chantal dengan lembut. Mereka berpelukan dan saling melumat untuk beberapa saat. Susan membelai rambut panjang Chantal, sementara Chantal meremas pantat Susan dengan gemas. Sesama bunga itu saling menghisap apa yang jadi hak kumbang jantan. Dalam deru nafsu malam yang bermandikan peluh, Chantal berbisik di telinga Susan, ”Aku mencintaimu, Sus... tapi aku cemburu sama babu cucimu. Kenapa kamu masih piara dia? Jaman sekarang buruh cuci sudah harus dimuseumkan!” “Ayolah, aku kasihan sama dia. Dia ditinggal kabur suaminya yang selingkuh dengan perempuan lain. Sama seperti aku. Kita kan harus solider sebagai sesama perempuan,” Susan mengedip manja. “Lagian lumayan kan sebagai cadangan kalo aku kangen kamu dan tidak bisa ketemu. Hihi…” dia menggoda Chantal. “Iya, ya. Siapa tahu kita bisa threesome! Hihi…” Chantal ikut tertawa. Mereka terkikik mesum. Malam terus berlalu dengan sejuta kutukan Tuhan. *** Pagi bening. “Mpok Nasipe, maaf. Kemarin saya lagi banyak pikiran, jadi agak kasar. Kemarin mau ngomong apa ya?” tanya Susan lembut. “Saya…” “O, ya, tunggu dulu,” tukas Susan cepat. “Ini upah nyuci Mpok saya bayar duluan. Saya tambah tiga kali lipat. Dan ini titipan dari sahabat saya, Chantal.” “Makasih, Bu. Alhamdulillah.” Mpok Nasipe berucap syukur. “Ini duit dari temen Bu Susan? Baek banget!” “Iya, semalam dia antar saya pulang. Tumben sih. Baru pertama kalinya.” kata Susan. Mendadak wajah Mpok Nasipe pucat. Ya Allah! Terime nggak ye? Halal nggak ye? batinnya bingung dalam hati. “Kenapa, Mpok? Sakit?” tanya Susan. “Nggak, Bu. Hmm… semalem waktu Bu Susan pulang, saya pas lewat di depan gerbang. Abis pinjem duit dari Mang Iko.” jelas Mpok Nasipe. Susan terkesiap. Ia ingat sesuatu. “Oh, eh, semalam Mpok Nasipe lewat depan gerbang?” Ia mendadak gugup. “Kenapa tidak pinjam ke saya? Butuh berapa?” Susan sibuk mengeluarkan dompetnya dari tas Prada. “Makasih, Bu. Udah dapet kok. Biar dikit asal ati tentrem.” kata Mpok Nasipeh menyindir. Wajah Susan memanas. Ia raba bibirnya yang semalam diciumi Chantal di depan gerbang. Ia tiba-tiba merasa jijik dengan dirinya sendiri. Author : toketmania
Posted on: Thu, 19 Sep 2013 01:53:12 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015