Tolong, Perkaya Diksi dan Gagasan: Nasib Para Penulis Komedi - TopicsExpress



          

Tolong, Perkaya Diksi dan Gagasan: Nasib Para Penulis Komedi Putar* Menekuni dunia kepenulisan, awalnya bagi saya, adalah sebuah kesenangan. Cita-cita yang diturunkan dari langit ilhamnya, seketika mengubah arah hidup. Bergairah rasanya untuk belajar dan belajar. Haus sekali motivasi dan keilmuan: bagaimana merangkai kata menjadi cerita, kalimat menjadi hikmah, gagasan menjadi karya yang inspirasi seluruh pembaca. Ya, benar-benar energik ketika itu. Apa saja saya lahap, sampai buku-buku sastra yang sepi peminat. Tujuannya: menyerap. Serap keilmuan mereka. Demikian saya dididik oleh para penulis yang mahir terlebih dahulu. Bahwa untuk tumbuh dengan benar sesuai mimpi, kita selalu bisa mencontoh mereka yang telah sukses realisasikan visi. Jangan malu mengeja dan menimba teori dari mereka. Analisa tulisan-tulisan itu, naskah-naskah yang telah berhasil dimuat-terbit-distribusikan di tingkat nasional. Tak boleh sekalipun meremehkan. Bagaimanapun, mereka sudah buktikan diri mereka mampu. Sedang, sebagai penulis pemula, menyebut diri penulis pun tak punya bukti apa pun yang disodorkan. Hanya lelucon yang buat tertawa orang. Salah satu nasihat paling baik tentang cara menjadi penulis yang saya ingat adalah benchmarking tulisan. Benchmarking di dalam dunia menulis itu, tidak sama dengan copy-paste, adalah meniru gaya menulis seorang penulis yang “mapan” dalam proses kepenulisan kita. Jika dikatakan menjiplak, tidak benar. Yang tepat adalah meniru caranya menulis, mulai dari metodenya membuka tulisan, bertutur, menghidupkan karakter, dan macam-macam. Itu saya benar-benar terapkan pada beberapa kali kesempatan. Saya benchmark gaya Seno Gumira, JK. Rowling, Stephen King, Neil Gaiman, Paul Coelho, Asma Nadia, Helvy Tiana Rosa, dan masih banyak lagi. Bersama mereka, saya berproses, mencari bentuk: gaya kepenulisan saya sendiri. Sehingga, suatu saat, saya berharap orang-orang akan bisa mengatakan, “Oh, itu tulisannya Asa Mulchias!” tanpa harus membaca keterangan siapa penulisnya. Itulah writing style yang telah hadir dengan cirri khasnya sendiri. Tak mudah untuk mencapai tahap itu, prosesnya amat panjang dan berliku. Bagi yang berpikir menulis itu bisa serupa kopi seduh, lebih baik mundur dari sekarang. Ini jalan panjang. Jika tak cinta, tak akan sanggup menapaki jengkal demi jengkalnya. Termasuk menghadapi kritik membangun dari orang lain mengenai kualitas tulisan kita. Terlalu tinggi persepsi, atau terlalu rendahnya motivasi, sebabkan penulis-penulis baru berang atau lunglai ketika tulisannya diberi masukan. Padahal, tidak demikian kita bersikap seharusnya. Kritik apa pun soal tulisan, hendaknya diterima dengan kaidah: hey, tak ada manusia yang sempurna. Untuk itulah, kita anggukkan kepala. Second opinion itu sering ada benarnya. Salah satu kritik yang saya pikir pantas diperhatikan penulis yang baru adalah masalah diksi dan gagasan mereka. Entah kenapa, saya merasa sebagian orang itu miskin kosakata. Dan, saat mereka memutuskan menjadi penulis, terlihat sekali dalam karya. Saya tak heran, pun pernah alaminya. Itu sebabnya saya bicara tentang benchmarking. Saya adalah orang yang faqir diksi-diksi segar, yang tak tertuang ke dalam tulisan ketika goreskan pena. Tapi anehnya, kata-kata unik, asyik, elegan, dapat keluar di karya orang lain. Saya merasa kalah. Kok mereka bisa? Baik, kalau begitu, saya catat kata-katanya. Setiap kali saya membaca buku, sebagaimana diungkap, saya belajar cara menulis--bukan hanya tenggelam di ramuan cerita. Termasuk diksi. Saya benar-benar catat kata-kata baru yang tak muncul di benak bila saya menulis. Saya simpan dan kelak saya pakai kala masa mengedit. Dengan begitu, saya bisa memvariasikan “ujarnya” dengan “semburnya”. Atau, “dia menangis” dengan “pipinya telah basah, dirayapi air mata”. Saya bahkan mencatat nama-nama unik untuk dijadikan nama karakter, judul-judul menarik yang tahu-tahu nongol di kepala, atau apa pun yang bisa saya serap. Jika tak mau belajar? Nasibnya sama dengan beberapa naskah yang saya edit. Ya Salam! Kata-kata dan gagasan yang diuraikan itu mirip komedi putar. Tuturannya mengulang-ulang kata yang sama. Itu lagi dan itu lagi. Gatal sekali jadinya, tangan ini. Harusnya begini, harusnya begitu. Hmmm! Kaidah dasar kepenulisan adalah menuangkan “Anda” ke dalam tulisan. So, jika tak banyak hal dalam diri Anda, jangan harap itu tulisan bertutur aneka rupa kata. Itu sebabnya penting bagi seorang penulis untuk terus membaca. Untuk terus menyerap. Untuk terus memperkaya kepalanya dengan tulisan-tulisan penulis lain, agar melimpah variasi katanya. Benchmarking juga membantu kita kaya diksi dan gagasan. Kadang, penulis hanya punya salah satu dari dua hal itu. Sehingga, bisa jadi ia banyak gagasan, tapi cara bertuturnya melulu dan pakai diksi yang itu-itu. Atau, dia tak punya pengetahuan, hanya modal repetisi yang membosankan. Dengan banyak membaca, kedua keuntungan ini dapat diambil. Tapi kalau baca saja malas, apa iya langkah ini bisa diterapkan? Jangan harap. Alih-alih menjadi kaya, dia hanya akan berakhir sebagai penulis miskin kata, minim pula idenya. Membuat editor dan para pembaca gemes sendiri ketika menekuri tulisannya.[] *pernah dimuat di majalah Nur Hidayah
Posted on: Fri, 15 Nov 2013 06:02:45 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015