Tuhan telah menciptakan segala sesuatu dengan segala - TopicsExpress



          

Tuhan telah menciptakan segala sesuatu dengan segala kesenantiasaan (continuity) karena kebebasan dirinya dalam setiap pengorbanan (sacrifice) melalui kehendak diriNya hingga manusia mengenal apa yang disebut oleh manusia sebagai filsafat (philosophia),filsafat identik dengan kekuasaan Tuhan,kekuasaan yang bebas yang kemudian dihadapkan pada ketidakbebasan kehendak dirinya atas ilmu dan misteri dirinya atas pengetahuan,Tuhan sebagai “prima esse” melampaui segala perbedaan diriNya selain antara kebebasan dengan kehendakNya yang melahirkan ilmu (kehendak) dan pengetahuan (kebebasan) sebagai diriNya (filsafat),dengan kata lain pada dasarnya Tuhan adalah sebuah kenyataan (sein) yang untuk sebagian mahluk adalah sebuah transendensi (terestrialitas),namun sebagian bagi yang lain adalah sebuah transendensi (celestrialitas),namun Tuhan yang berkehendak pada kebebasan diriNya menciptakan filsafat yang kemudian menyebut diriNya sebagai “Omnisenden”,sesuatu yang melampaui dualitas,sebuah jalan tengah yang intermediatif (intermediare) yang menjadikan diriNya adalah manusia dan manusia adalah diriNya. Sebuah humanitas yang teologis adalah kebersatuan serta kemanunggalan,dimana kemudian Prof.Zoetmoelder menyebutnya sebagai sebuah pantheisitas diriNya (apapun) sebagai diriNya,termasuk manusia,dan demikian juga halnya dengan Al Hallaj ataupun Syech Siti Jenar sebagai contoh dari yang liyan (others) sebagai “manunggaling kawula gusti” ,pada dasarnya setiap apapun dikehendaki oleh diriNya sebagai filsafat,filsafat adalah sebuah misteri dari sebuah kebebasan abadi (perennial freedom),setiap apa yang ada dan senantiasa diadakan ataupun dihancurkan adalah sebuah siklus filsafat (circulation of philosophy) yang tak dapat lepas dari penciptaan (kelahiran) ataupun penghancuran (kematian) untuk sesuatu yang lebih benar dari apa yang ada sebelumnya,kebenaran pada dasarnya adalah dasar awal dari adanya filsafat,setiap apa yang terbebaskan atau terbelenggu (asylum) oleh sebuah kehendak (cetana) adalah apa yang diciptakan karena sebuah kebenaran,kebenaran (truth) adalah awal dari adanya kebijaksanaan (wisdom) untuk bebas atau tak bebas,untuk berkehendak atau tak berkehendak. Dengan kata lain hanya karena kebebasan filsafat ada dan hanya karena sebuah kehendak (will) sebuah kebebasan atau ketidakbebasan dapat terwujudkan,sebagaimana penciptaan (being) ataupun pemusnahan (nothingless),dalam kebijaksanaan (sophism) yang kemudian dihadapkan pada keunikan apapun (ideosinkretisitas) dalam memaknai dan menilai sesuatu sebagai kebenaran nan nisbi,filsafat kemudian menghadapi sebuah kemunduran (decadence) yang justru menjadikan banyaknya dialektika penemuan (discovery) yang menjadikan filsafat semakin kuat untuk diacu sebagai kebenaran,sebuah kebenaran yang pada dasarnya hanya dibedakan oleh sebuah rentang sejarah (distingtion) untuk menganggapnya sebagai sebuah relativitas kesalahan,keberadaan hukum (law existence) identik dengan kebenaran (bonum) dan kesalahan (malum) bukan kebaikan atau keburukan,meski dalam perkembangan dalam masyarakat hukum kemudian terkait dengan norma yang lebih berkaitan dengan keburukan dan kebaikan. Jika dikaitkan dengan teori Adam Smith,bahwa adanya hukum lebih identik dengan keutamaan menyangkut kesalahan (false) ataupun kebenaran (truth),sedangkan norma lebih terkait pada kepantasan menyangkut kebaikan (good) ataupun keburukan (evil),hukum identik dengan sebuah supremasi kekuasaan sedangkan norma (norm) lebih identik akan rasa keadilan masyarakat akan adanya supremasi kekuasaan hukum,namun pada dasarnya keduanya tak dapat dipisahkan karena adanya sebuah kekuasaan tak mungkin ada tanpa adanya sebuah masyarakat,hukum yang dikenal manusia ada pertama kali setelah semesta diciptakan (hukum alam),melalui hukum alam,manusia kemudian mengenal hukum kodrat (factisity) dan takdir (destiny) yang jelas sama sekali tak lepas dari hukum yang ada sebelum hukum alam ada (natural law) yaitu hukum Tuhan,bahwa tak akan ada sanksi tanpa hukum lebih identik dengan pelanggaran atas sebuah kehendak dari sebuah supremasi kekuasaan (power supreme) yang menciptakan hukum,meskipun pada akhirnya setiap pelanggaran kemudian mesti dipertimbangkan dari sisi keutamaan ataupun kepantasan yang tak hanya pada satu pihak,norma semata ataupun hukum semata hingga kemudian terciptakan sebuah supremasi keadilan yang pantas sekaligus mengutama antara sebuah kekuasaan pemerintahan (goverment) dengan kekuasaan sebuah masyarakat (society) Adalah sebuah pertanyaan bagi sejarah bahwa apa yang dikenal manusia pertama kali sebagai pelanggaran hukum (onrecthmatig) adalah merupakan pelanggaran atas hukum Tuhan,hukum pertama ada (hukum Tuhan) ketika pelanggaran atas sebuah kehendak dari kekuasaan ada,hukum pertama ada ketika pelanggaran pertama ada,demikian juga sanksi atasnya,hukum pertama (lex unde) yang dikenal manusia adalah sanksi atas sebuah pemberontakan (evil rebellion) sebagai sebuah pelanggaran atas kuasa ke-Tuhanan yang bersanksi pembuangan atas iblis,pelanggaran yang lain adalah pemberontakan manusia (human rebellion) atas larangan Tuhan (pamali) yang kemudian menjadi hukum ketika hal tersebut memiliki sanksi setelah dilanggar yang juga berakibat pembuangan,kedua pemberontakan yang adalah merupakan sebuah pelanggaran bukan (belum) merupakan sebuah kejahatan,meskipun keduanya didasarkan pada motif yang sama (leitmotiv),yaitu kedengkian (envy),demikian juga ketika kejahatan pertama kali terjadi (first crime) yang kemudian tak hanya dikenal sebagai pelanggaran hukum Tuhan,namun juga merupakan pelanggaran atas hukum alam dan ketika hal tersebut terjadi,pelanggaran yang pada awalnya disebut kejahatan ketika sebuah tindakan (handel) tak hanya merupakan pelanggaran atas hukum Tuhan semata,namun juga hukum alam,maka kemudian keduanya diacu manusia sebagai hukum manusia. Pada akhirnya adalah merupakan pelanggaran yang ketiga,kasus Kain dan Habil,yang mana adalah merupakan kejahatan yang pertama,sebuah pembunuhan (homocide) tak hanya merupakan pelanggaran atas hukum (kehendak) Tuhan sebagai supremasi kekuasaan (suprema dei),namun juga hukum alam yang berlaku atas manusia yang kemudian menjadi dasar awali bagi hukum manusia yang pertama menyangkut kejahatan (kriminalitas),ketiga pelanggaran tersebut menyangkut tiga hukum yang ada,yaitu hukum Tuhan (lex dei),hukum alam (lex natura) dan hukum manusia (lex humana),dan ketiganya memiliki motif utama yang sama,yaitu kedengkian ataupun kecemburuan (envy) yang kemudian dikenal sebagai salah satu dari motif utama dalam tujuh dosa menuju maut yang ada pada “Commedia Divina” dan diacu Sigmund Freud dalam “Totem and Taboo” , ataupun juga adalah Albert Camus dalam “The Rebel”. Mengenai kehidupan manusia Romo Mangunwijaya senantiasa pernah mengatakan bahwa sejarah senantiasa melekat pada ruang dan waktu.manusia adalah salah satu diantara ciptaan Tuhan yang melekat pada ruang dan waktu selain setiap apapun yang merupakan ciptaan dari sebuah kehendak yang pada dasarnya adalah juga merupakan sebuah produk dari sebuah kehendak utama,yaitu Kehendak (Tuhan),manusia adalah mahluk berkesejarahan,yang menciptakan sejarah dirinya dan kemudian menjadi mahluk sejarah serta menjadi sejarah itu sendiri,sejarah adalah sebuah dimensi (ruang dan waktu) yang terbagi pada tiga dimensi sejarah,dulu,kini dan nanti,hal ini dikatakan oleh Herbert Marcuse sebagai multidimensionalitas yang ada pada dimensi sejarah manusia sehingga kemudian manusia disebut dengan multidimensi,manusia hidup dan mati pada ruang dan waktu dulu,kini dan nanti,manusia menjadi sejarah itu sendiri ketika manusia dapat memadukan eksistensi dirinya pada setiap dimensi ruang (space) dan waktu (time),manusia bukan semata menjadi mahluk sejarah,namun menjadi sejarah itu sendiri yang kemudian mampu melepaskan dirinya dari setiap dimensi sejarah dan bahkan ruang (sein) ataupun waktu (zeit) dengan potensi dirinya sebagai manusia dengan segala kelebihan atau kekurangan yang ada pada dirinya dalam mencapai sebuah kesempurnaan serta kemuliaan dirinya atas yang lain yang bukan dirinya (liyan) ketika manusia bukan lagi sejarah,kesejarahan ataupun berkesejarahan,yang menjadi,mengatasi atau melampaui selain dirinya sendiri dengan segala kebebasan diriNya. Kemudian sejarah dikatakan Friedrich Hegel senantiasa mengalami dialektika karena pada dasdarnya secara empiris naluri manusia belajar dari pengalaman dirinya melalui masa lalu (past) dan kerap dijadikan sebagai landasan bagi kehidupan dirinya saat sekarang (present) dan pada masa yang akan datang (future),sejarah merupakan landasan ideasionalitas manusia dalam bertindak melakukan apapun,hingga kemudian juga kembali dikatakan oleh Friedrich Hegel bahwa pada akhirnya kemudian sejarah menjadi identik dengan gagasan manusia dalam menjalani kehidupan dirinya,sejarah dan gagasan manusia menjadi identik dengan roh dari sebuah jaman (zeitgeist),hal ini berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Karl Popper,bahwa manusia tak hanya terbatas pada sejarah semata (history),namun juga kemudian dibatasi oleh kesejarahan (histority) dan juga keterikatan dirinya (determinasi) pada setiap aspek kebersejarahan (historisity),adalah benar jika dikatakan bahwa sejarah menyangkut ruang dan waktu,kesejarahan (historitas) merupakan proses yang ada pada ruang dan waktu,namun yang disebut dengan kebersejarahan (historisitas) adalah setiap ruang (pada) ataupun waktu (kala) yang menyangkut setiap dimensi kehidupan manusia dari kelahiran (penciptaan) hingga kematian (penghancuran). Kesadaran manusia atas ketiganya adalah sebuah kesadaran akan adanya multidimensionalitas,mana dalam hal ini sejarah (aku),kesejarahan (kau) dan kebersejarahan (kita),menjadikan diri manusia menyatu akan ruang ataupun waktu (mahluk sejarah),mengatasinya (mahluk kesejarahan) ataupun bahkan melampauinya (mahluk berkesejarahan),namun demikian kesadaran manusia akan sejarah sudah merupakan sebuah paradigma acuan bagi tahap-tahap manusia sebagai mahluk yang ber-ruang (homo templum) dan ber-waktu (homo temphus) dengan segala potensi yang ada pada dirinya sebagai manusia pada diriNya sebagai subjek hukum ke-Tuhanan,penciptaaan Tuhan atas segala apapun yang dimulai dari kehendak diriNya untuk menjadi Tuhan atas segala ciptaan dalam kesenantiasaan (continuity),menjadikan diriNya ada dalam legitimasi,terutama dalam diriNya sendiri,segala apapun kemudian diciptakan dengan sistematisasi misteri yang pada pada kehendak diriNya dengan segala kebebasan padaNya sebagai sebuah sistem. Apa yang dikehendakiNya kemudian ada dan menjadi sebagai sebuah lahan untuk diriNya agar dipahami sebagai Pencipta yang disadari dengan setiap ciptaan diriNya,ciptaan adalah sebuah sistem yang menjadikan segala sesuatu halin kelindan dalam kesatuan ciptaan,alam semesta kemudian diciptakan sebagai sebuah simbol untuk diriNya yang tiada batasan (nir-liminal),alam semesta adalah simbol terkecil (hiper-atomic) yang dapat dipahami manusia sebagai sebuah narasi (diskursus) dengan segala ketidakteraturan (khaos) karena misteri yang ada pada alam (tacit),maka kemudian manusia menyebutnya.”khaos” hanya semata karena manusia terlampau tak mampu untuk memahami sebuah narasi terkecil dari sebuah penciptaan ke-Tuhanan,ilmu pengetahuan kemudian menciptakan sebuah asumsi bahwa keseimbangan (kosmos) adalah sebuah keteraturan (order thing) untuk membatasi apa yang paradoksal antara diri manusia (homo historisitor) dengan keberadaan Tuhan (omni-creator)/ Keberadaan kebudayaan (arche) dan peradaban (techne) menjadikan ada dan tiadanya sejarah karena ilmu lalu mewakili kehendak manusia dan pengetahuan kemudian mewakili kebebasan Tuhan,sebuah citraan (imagogialitas) yang sama sebagai sebuah peniruan dalam sebuah struktur kekuasaan ke-Tuhanan (imago dei) dimana kebebasan dan kehendak menjadi sebuah kesatuan antara filsafat (archai) dengan agama (tecnai) dimana iman (faith) dan kebebasan (freedom) hanya dibatasi oleh sebuah kehendak semata,yaitu perpaduan antara kehendak manusia dan kehendak Tuhan melalui alam yang ada (being) atau tak ada (nothingless) karena hukum Tuhan berada di atas hukum alam (natural law) dan hukum alam ada atau tiada di atas hukum manusia (human law),agama lalu menjadi sarana penyatuan (emanasi) bagi apapun yang terpisah,menjadi kesimpulan hukum atas adanya hukum manusia,hukum alam dan hukum Tuhan dan kemudian menjadi hukum agama (religion law) yang membebaskan manusia untuk beriman hanya karena kehendakNya semata sebagai sebuah misteri hukum (lex misterium) yang tiada habis untuk didefinisikan selama manusia tak dapat menjadi diriNya dengan segala totalitas yang ada padaNya sebagai keutamaan (virtu) apapun atas segala apapun yang identik dengan hukum,maka adalah tepat bilamana kita mengutip kembali tentang apa yang pernah dikatakan Imanuel Kant,bahwa hukum tak pernah usai untuk dapat didefinisikan selama manusia tak dapat menciptakan hukum (ius) sebagaimana layaknya Tuhan atas hukum Tuhan bagi diriNya sebagai legitimasi. Meninjau kembali apa itu hukum (ius),maka dapat dikatakan bahwa hukum diadakan untuk kepenuhan sebuah kehendak bagi sebuah otoritas (kompetensi) yang diadakan pula oleh sebuah otoritas untuk kepentingan pencipta hukum ataupun juga sekaligus untuk (kepada) apa hukum tersebut diciptakan (diadakan),hukum ada diawali oleh sebuah kehendak dari sebuah otoritas yang menjadi pada kebebasaNya sendiri,Tuhan adalah hukum itu sendiri,dengan segala kebebasan (freedom) dan kehendak (will) yang ada pada diriNya serta menjadi atas segala apapun berdasarnya apa yang menjadi dalam kebebasan diriNya,hukum alam merupakan hukum kedua (second law) setelah adanya hukum Tuhan,meskipun hukum alam juga sekaligus merupakan hukum Tuhan itu sendiri,pada awalnya manusia hidup dengan hukum Tuhan (god law),karena hukum Tuhan juga adalah hukum alam,maka keduanya adalah hukum bagi manusia dan jga hukum bagi alam serta Tuhan,dimana pada awalnya ketiganya hidup dan ada dalam sebuah harmoni keberadaan (equilibrium existence),hingga akhirnya sanksi ada mengikuti adanya hukum hanya karena semata manusia senantiasa ingin menjadi yang lain selain dirinya sebagai sebuah otoritas kemanusiaan (human right) yang tak lepas dari yang lain pada dirinya sebagai sebuah totalitas dari setiap apapun yang dapat diketahui oleh manusia,karena manusia bukan Tuhan meskipun manusia dapat menyatu dengan alam atau diriNya,maka dikatakan oleh Erich Fromm bahwa manusia dihadapkan untuk menjadi Tuhan melalui keberadaan alam yang menyatu pada dirinya,manusia memiliki sifat dari sifat yang tak dimiliki Tuhan pada manusia,namun dimiliki oleh yang bukan dari keduanya,yaitu adalah iblis. Ketika manusia dihadapkan pada hubungan dirinya dengan Tuhan (good) serta alam,manusia kemudian dihadapkan pada sisi gelap (evil) yang ada pada naluri dirinya sebagai dasar dari adanya ilmu (animus) atau pengetahuan (anima) yang dimulai dari iri hati (envy) ,manusia kemudian dihadapkan pada kenyataan esensial (hakiki) yang ada pada naluri dirinya bahwa naluri dirinya sebagai manusia adalah sebuah keterbatasan dari dua sisi yang paradoksal,yaitu “eros” yang identik dengan Tuhan ataupun juga “thanatos” yang identik dengan iblis (diabolic) pada alam dan diri manusia sebagai dirinya sendiri yang asali,Tuhan,alam dan manusia adalah merupakan subjek trilogi hukum dimana ketidakselarasan (disharmoni) antara hubungan ketiganya secara tak berimbang akan menimbulkan sebuah anomi,namun demikian keselarasan hubungan alam dengan manusia secara tak langsung telah berarti hubungan yang laras dengan Tuhan,dengan kata lain hubungan harmoni (harmonium) antara manusia dengan alam pada dasarnya hanya dapat ditengahi oleh alam sebagai intermediasi (intermediare) diantara keduanya,selain adanya kehendak Tuhan sendiri melalui hukum Tuhan yang diturunkan setelah adanya penciptaan alam (natura creatum) serta manusia yang mencoba menegahi hubungan antara manusia dengan Tuhan dengan mengembalikan hubungan alam dengan manusia melalui berbagai utusan,kitab suci atau agama dan kepercayaan. Kemudian dapat dikatakan bahwa hukum alam (natural recht) pada dasarnya adalah hukum Tuhan,meski sebagian besar dari hukum Tuhan belum “terbongkar” oleh manusia karena manusia belum memahami keberadaan alam sebagai kesatuan antara dirinya dengan Tuhan,hukum Tuhan berlaku pada hukum alam,meski hukum alam (natural law) tak berlaku atas Tuhan,namun keduanya mau tak mau berlaku atas manusia sebagai pencipta hukum bagi dirinya sendiri (hukum primitif) dan untuk kebutuhan hidupnya tanpa sebuah perencanaan selain hidup itu sendiri semata,dengan kata lain apa yang disebut dengan hukum primitif adalah merupakan hukum yang dihasilkan oleh naluri manusia (human instink) untuk dapat hidup dengan pemenuhan kepuasan dirinya semata (soliterisme),dalam hukum primitif (primitive law) pada prinsipnya manusia hidup dengan nalurinya semata,hal ini kemudian hari disebutkan bahwa manusia adalah mahluk individual atau sebuah egoisitas (subjektivitas) dimana manusia hidup bukan hanya bersama manusia lain semata (nomos),namun terlebih hidup dengan alamNya (kosmos),dengan kata lain manusia tak hanya hidup pada aras hukum keduniaan (lex mundi) namun juga pada keterkaitan dunia atas hukum alam,dimana manusia belum memahami alam sepenuhnya terlebih adalah hukum Tuhan (ius nocturnal) dan keberadaan Tuhan sendiri sebagai sebuah kebebasan yang menjadikan adanya apapun,termasuk manusia oleh kehendakNya semata.. Manusia pada kenyataanya adalah individual,sebuah subjektivitas ataupun adalah egoisitas (self),manusia menentukan segala sesuatunya untuk dirinya sendiri baik sebagai akibat ataupun sebagai sebuah sebab (kausa),bahwa manusia kemudian dihadapkan pada dirinya sendiri sebagai :”antropos” yang menjadi pusat dari segala sesuatu setelah Tuhan dan dirinya diantara alam (transenden),manusia dengan naluri dirinya adalah sebuah keliaran (savage) yang tiada pasti sebagaimana alamNya,namun ketika manusia dihadapkan pada manusia lain,maka manusia dihadapkan pada sisi dirinya yang teratur (eros),adanya kebutuhan lain dari sisi ke-Tuhanan manusia menjadikan manusia berharap untuk menjadi seperti diriNya,berkehendak dan mencipta dengan segala keliaran dirinya dan kebebasan dirinya dengan yang lain,adanya kesamaan (equal) dalam hubungan antar manusia,harapan dan sisi terang pada manusia (psike) menjadikan manusia mencari keseimbangan lain melalui setiap penemuan (penciptaan dirinya) dalam mencapai kemenjadian dirinya dengan Tuhan,terutama ketika alam menjadi sebuah batasan bagi setiap kelebihan ataupun kekurangan manusia dalam memahami atau menjadi (seperti) Tuhan. Adanya hukum primitif (primitive law) adalah hukum alamiah (purba) yang tak lepas dari takdir dan kodrat manusia (faktisitas) untuk memenuhi setiap kebutuhan dirinya termasuk kepuasaan ataupun bertahan hidup,apa yang dikatakan Charles Darwin mengenai selektiviitas alam (natural selectivity) adalah dasar adanya primitivisasi (sivillisasi),yaitu hidup dengan alam (naturalisasi) karena alam diartikan secara naluriah adalah sebuah keagungan Tuhan dalam misteri yang berkeluasan tiada tepi (tacit),Tuhan dan alam tak akan pernah dapat dipahami manusia,meskipun dapat dikenali semata dengan penyatuan manusia atas keduanya hingga kemudian manusia menjadi misteri pada dirinya sendiri sebagai sebab dari segala apapun yang mengawali apapun yang menjadi pada dirinya baik sebagi diri ataupun sebagai liyan (others),naluri manusia (human instink) identik dengan sisi kepurbaan (primitivitas) manusia pada dirinya,sesuatu yang natural (alamiah) sekaligus liar dengan kebebasan dirinya yang tiada aturan selain alam itu sendiri sebagai hukum yang dapat dipahami oleh naluri yang ada pada dirinya,naluri purba (basic instink) manusia adalah naluri alam (sirkulasi) dimana alam kembali pada alam dan manusia kembali pada manusia (eternal return),demikian juga Tuhan yang kembal pada keberadaan diriNya sendiri,namun ketiganya adalah satu pada poros kebebasanNya,kebebasan (freedom) dan naluri (instink) dan anggapan ketidakteraturan (khaos) oleh manusia pada dasarnya adalah sebuah harmoni manusia dengan apapun (kosmos),namun ketika manusia menyadari sisi kemanusiaan dirinya,manusia kemudian menyadari kekuatan dan kelemahan yang ada pada dirinya. Manusia kemudian dihadapkan pada seleksi alam (natural selection),sebuah kompetisi yang kemudian menjadi evolusi (samsara).,dimana Tuhan mengembalikan manusia pada manusia,demikian juga alam pada manusia dan manusia pada dirinya (anagami),manusia dan segala apa yang didapatnya pada akhirnya meniadakan Tuhan (theocide) sebagai tantangan untuk kemenjadian dirinya atas diriNya,keberadaan kebutuhan dirinya telah melampaui obsesi dirinya (beyond obssesion) untuk menjadi selayaknya Tuhan,manusia telah menjadi Tuhan tanpa restu alam,menjauhi alam dan mengenal sejarah (empirisme) hingga kemudian manusia mengenal hukum (alam) hanya sebagai sebuah instrumen (medium) dan bukan keberadaan yang ada pada dirinya sendiri,segala sesuatu menjadi intrumental bahkan Tuhan hingga akhirnya manusia mengenal instrumen (media) dari setiap pencptaaan dirinya,mencoba mengatur setiap sisi kelebihan dan kekurangan dirinya dari setiap paradoksikalitas hingga akhirnya,setelah manusia mengenal sejarah,manusia menjadikan empirisitas (pengalaman) menjadi lahan patokan bagi adanya kebudayaan (tradisionalisasi) hingga akhirnya manusia mengenal manusia lain,membentuk kelompok sosial (shaft) dan masyarakat (socious),manusia kemudian menciptakan sistem baru dari sistem atau struktur yang ada pada alam serta Tuhan,hingga akhirnya otoritas (egoisitas) manusia menciptakan struktur antara dirinya dengan yang lain sebagaimana Tuhan menciptakan hubungan struktural (strukturasi) antara diriNya dengan yang liyan,termasuk alam dan manusia yang menjadi cikal bakal (ontic) dari adanya hukum alam dan hukum manusia dalam sebuah sistem antar individu yang kemudian disebut dengan masyarakat (socious) atau dirinya sebagai mahluk sosial. Kemudian sejarah manusia (history of man) telah menjadikan manusia menjadi mahluk yang adaptatif,pergeseran manusia dari mahluk individu menjadi mahluk sosial menjadikan adanya pergeseran adanya kelompok sosial (social group) menjadi sebuah masyarakat,manusia yang tadinya hidup dengan kesendirian untuk pemenuhan egoisitas nalurinya kemudian dihadapkan pada kebutuhan dirinya sebagai mahluk sosial,manusia sebahai mahluk yang tadinya hidup semata dengan individualitasnya serta hidup dengan alam lalu dihadapkan pada kehidupan dirinya sebagai manusia yang merupakan mahluk sosial,pola perilaku manusia yang alamiah lalu menjadikan manusia mulai mengenal sejarah pada dirinya dengan belajar dari berbagai aspek yang menyangkut individualitas dirinya sebagai manusia dengan kehidupan dirinya dengan alam,manusia lalu menyadari sisi kekurangan serta kelebihan yang ada pada dirinya sebagai subjek individualitas yang menjadi dasar pada dirinya sebagai mahluk yang memiliki naluri,ketika manusia belajar dari sejarah (empirisitas) dirinya kemudian manusia menyadari berbgai potensi lain yang ada pada dirinya sebagai individu,manusia lalu menyadari adanya pikiran (cognition),perasaan (afection),tubuh (body) serta jiwanya (soul) sebagai potensi lain dalam menjalani kehidupan dirinya,berbagai potensi eksistensialitas (elan vital) lain yang ada pada diri manusia kemudian menjadi motif lain selain naluri dirinya sebagai pemenuhan lain dari kisi lain dari individualitas dirinya sebagai manusia. Manusia kemudian dihadapkan pada sebuah kenyataan (sein) dan harapan (sollen) bahwa manusia tak dapat hidup dengan naluri individualitas pada dirinya semata,manusia pada akhirnya menyadari bahwa dirinya tak dapat semata hidup dengan hukum alam (natural law) ketika manusia kemudian menyadari adanya kekuatan lain yang ada di luar keterbatasan dirinya sebagai manusia,dan ketika menyadari hal tersebut,maka manusia kemudian menciptakan kebudayaan (culture) untuk menghubungkan dirinya dengan berbagai kekuatan lain untuk mengisi setiap kekurangan manusia yang ada pada dirinya sebagai sebuah pola perilaku dirinya atas yang liyan,manusia lalu dihadapkan pada pengetahuan (connaissance) dari berbagai sejarah yang diawali dari kesadaran dirinya akan setiap apapun yang dialaminya bersama dirinya dengan alam,keberadaan Tuhan (omni-potent) kemudian mulai dikenal melalui berbagai apa yang ada pada alam sebagai perwakilan antara hubungan dirinya dengan Tuhan (Yang Liyan),setiap apapun yang ada pada alam kemudian dijadikan sebuah simbol (monad),sebagai bagian dari sebuah gagasan dirinya dalam memadukan setiap apapun yang menjadi potensi dirinya melalui alam untuk sebuah kehadiran dari “Yang Liyan” sebagai sebuah dasar bagi kesadaran dirinya akan adanya Tuhan (YHWH) yang ada di luar keterbatasan dirinya ketika manusia menyadari setiap aspek yang merupakan kesadaran dirinya akan setiap kekurangan serta kelebihan yang ada pada eksistensialitas dirinya sebagai manusia yang tak hanya semata hidup dengan alam (hukum alam),namun juga hidup dengan sesamanya serta mahluk lain yang ada pada alam,dan terlebih adalah kekuatan lain yang ada di luar keterbatasan dirinya sebagai manusia,yaitu Tuhan. Keberadaan Tuhan menjadikan adanya kesadaran manusia atas dirinya sebagai sebuah keterbatasan (liminality) atas setiap potensi kemanusiaan alamiah yang ada pada diri manusia,proses kehidupan manusia telah membawa manusia kepada kesadaran untuk meninggalkan sisi kepurbaan (primitif) yang ada pada dirinya sebagai naluri mendasar yang ada pada manusia sebagai mahluk alamiah (homo natiralis),manusia menjalani sebuah proses kemenjadian (beingness) sebagaimana juga halnya penciptaan Tuhan sebagai sesuatu yang berada pada kesenantiasaan diriNya (bhava),manusia,dunia serta alam adalah sebuah kebersamaan (order thing) dalam menjalani sebuah proses,hal ini adalah sebuah proses sebagaimana apa yang diyakini oleh beberapa ilmuwan (filsuf) bahwa manusia,dunia dan alam (semesta) adalahs ebuah alur proses ke-Tuhanan,hal ini dikatakan oleh tiga ilmuwan (filsuf) terkemuka,yaitu adalah Teilhard d’ Chardin,Charles Darwin dan Oliver North Whitehead yang mengutarakan bahwa manusia adalah sebuah proses sebagaimana halnya semesta (alam),dunia (mundan) serta manusia melalui hukum Tuhan (keadilan) atas hukum alam (kosmos),hukum dunia (harmoni) dan hukum manusia (order) melalui sebuah kehendak (cetana) yang membebaskan untuk sesuatu yang lebih benar dan baik lebih dari apapun selain ketiganya,yaitu alam (cosmos),dunia (mundus) dan manusia (anthropos). Sejarah manusia telah membawa manusia pada adanya suatu kebudayaan pada kehidupan manusia (lebenwelt) yang terjadi karena adanya keterkaitan antara alam (gagasan),dunia (tindakan) dengan manusia (simbol),sejarah (history) dan kebudayaan (culture) serta peradaban (structure) adalah apa yang dihasilkan karena adanya sebuah proses kebebasan dari adanya sebuah kehendak (will) yang juga berawal dari kebebasan Tuhan (parinibbana) atas setiap proses yang terjadi pada ketiganya karena kehendak Tuhan dimana hal itu menjadi hukum yang mutlak atas alam dan manusia,adanya dinamika sejarah dari mulai adanya manusia sebagai mahluk alamiah hingga menjadi mahluk kebudayaan adalah sebuah dinamika kehidupan manusia karena danya proses empirisitas (belajar) pada manusia dalam menyikapi setiap apapun yang menayngkut hubungan dirinya dengan alam (seleksi alamiah),peralihan dari masyarakat primitif (alamiah) kepada masyarakat kebudayaan (tradisional) adalah identik dengan pergeseran (transformasi) dari masyarakat organis ke mekanis dimana “geselshaft” dan “gemeinshaft” kemudian mulai dikenal manusia sebagai sebuah motif bagi keberadaan dirinya,tak hanya sebagai mahluk sosial,namun juga sebagai mahluk kebudayaan yang hidup pada dinamika sejarah yang ada padanya sebagai mahluk sejarah. Adanya hukum alam dan hukum Tuhan (God law) kemudian ditengahi oleh adanya hukum tradisional (cultural law)) sebagai sarana intermediasi yang mengantarai hubungan ketiganya dalam mencapai hubungan harmoni antara Tuhan,alam dan manusia, kebudayaan yang memunculkan hukum kebudayaan (hukum tradisional) kemudian identik dengan hukum adat (custom) yang juga sebenarnya adalah juga merupakan norma sosial (mores) dimana berbagai macam totem (simbol) dan pamali (larangan) ada pada sebuah masyarakat tradisional (cultural society),adanya berbagai upacara (ritual) adalah sebuah tindakan manusia (n’ach) yang menengahi antara apa yang dapat disimbolkan dengan apa yang tak dapat diacu hukum tradisional atas hukum alam karena keterbatasan kebudayaan (manusia) atas alam,ketika manusia mengenal agama kemudian hukum adat (hukum tradisional) mulai memudar,termasuk berbagai kebudayaan yang ada dan berbagai aspek yang ada pada kebudayaan (tradisi),berbagai norma (hukum adat) dan ritualitas perlahan mulai tergantikan oleh adanya agama yang menawarkan hukum agama sebagai media yaang tak hanya menjadi jembatan hubungan antara alam,manusia dan Penciptanya,namun juga dianggap mewakili seluruh hukum yang ada baik pada masyarakat primitif (primitive society) yang mendasarkan pada hukum alam,ataupun pada masyarakat tradisional dimana norma bidaya (norma tradisional) dipersatukan dalam sebuah konsentrasi ke-Tuhanan dalam agama,hukum alam,hukum masyarakat (budaya) kemudian menyatu dalam hukum agama,dimana kemudian hukum agama kerap diacu bagi adanya hukum lain (other law) yang ada dalam struktur sejarah dalam trah (geneal) hukum ke-Tuhanan (hukum Tuhan). Hukum Tuhan adalah tak mutlak hanya karena agama semata,adanya hukum adat (mores) melalui tabu dan keberadaan totem (symbol) adalah perwakilan manusia melalui kesadaran dirinya akan hukum alami,agama menjadi hukum agama ketika hubungan antara alam dan manusia berada dalam ketidaklarasan karena kondisi anomi (disharmonial) antara manusia dengan alam serta dirinya sendiri,yang mana hal ini berakibat pada adanya kesenjangan (dispersi) antara hubungan manusia dengan Tuhan,agama lalu diacu sebagai hukum (hukum agama) ketika terjadi ketidakselarasan (anomic) antara hukum alam dengan hukum yang dibuat manusia,ketidakseimbangan antara hukum alam dan hukum manusia kemudian menjadikan hubungan yang timpang antara dirinya dengan Tuhan,maka ketika hal ini terjadi kerap kali berbagai agama diturunkan untuk mengatasi anomi (antinomia) tersebut sebagai hukum kedua setelah hukum Tuhan,bilamana terjadi ketimpangan antara hubungan manusia dengan alam,maka agama ada untuk menghubungkan kembali hubungan manusia dengan alam menuju Pencipta atas segala keseluruhan hukum yang ada baik pada manusia,alam dan bahkan keduanya dalam hubungan yang laras dengan Tuhan melalui agama (iman) sebagai dasar hukum kedua setelah kehendak Tuhan sebagai hukum Tuhan,yang mana kemudian manusia sebagai mahluk alamiah dan mahluk kebudayaan lalu menjadi mahluk agama dan terlebih adalah mahluk spiritual yang dimulai dari naturalitas dirinya,kebudayaan,serta agama yang menjadikan adanya dinamika dari keberadaan manusia atas ketiganya. Sejarah kemudian membawa manusia pada sebuah sejarah baru (post-history) dimana ketiganya,yaitu alam,kebudayaan serta agama kepada sebuah aras jaman baru (new age) yang dimulai dari kesadaran manusia akan pentingnya ilmu pengetahuan (fajar budi),ilmu pengetahuan kemudian mencakup setiap aspek yang membentuk manusia yang ada sebelum “auklarung”,alam,kebudayaan dan agama kemudian memunculkan sebuah masyarakat modernitas dimana setiap aspek menyangkut modernitas kemudian memunculkan adanya hukum modern (modern law) yang merupakan hukum yang diciptakan karena adanya modernitas paska-pencerahan (post-reinassance) sebagai bagian dari kebersejarahan manusia (historisitas) sebagai sebuah proses dinamika manusia (human dinamic) dari mulai adanya hukum Tuhan (lex nocturnal),hukum alam serta hukum manusia dan hukum agama (lex proprium) hingga adanya ilmu pengetahuan yang menjadi paradigma baru (neo-paradigm) dalam mewujudkan penciptaan (genesis) dan pemberlakukan hukum sebagai sebuah pembaharuan dari hukum yang pernah ada sebelumnya dalam setiap proses kehidupan manusia bersama alam dan Penciptanya sebagai sebuah sejarah (historitas) bagi adanya sebuah dinamika hukum.yang senantiasa membaharu seiring dengan adaptasi (kompromi) manusia dengan sejarah itu sendiri. Dalam dinamika sejarah hukum menyangkut adanya alam,kebudayaan dan Tuhan serta agama dan peradaban manusia,maka dalam setiap pembentukan hukum manusia (human law),apa yang merupakan agama kebudayaan (agama tradisional) ataupun hukum agama tradisional adalah apa yang pernah dikatakan sebelumnya oleh Max Weber sebagai agama kosmis (cosmic religion),sebuah agama yang disebarkan melalui adaptasi dengan kebudayaan dan sejarah masyarakat,termasuk berbagai aliran kepercayaan (kebatinan) serta agama yang telah ada sebelumnya dalam sejarah (historitas) dari adanya sebuah kelompok sosial (shaft) ataupun sebuah masyarakat yang berbeda dengan agama peradaban (agama mundan) yang dalam penyebarannya identik dengan politik hukum agama (religion law) yang lebih memiliki kecenderungan penyebaran sebuah koloni (colony distribution) yang dibarengi oleh penyebaran sebuah agama,namun dalam realitas soial yang ada baik dalam ruang lingkup (scope) adanya hukum agama kebudayaan (arche) ataupun peradaban (techne),resepsi agama (reception in complexu) atas kebudayaan (mater) ataupun peradaban (pater) dalam masyarakat (society) menjadi motif ke-Tuhanan yang mengutama (leitmotif),ketimbang naturalitas ataupun kemanusiaan.(humanity) .yang ada pada hukum manusia yang berlaku sebagai hukum pada dirinya dan juga bagi yang liyan (others) demi sebuah keteraturan (order) dan keselarasan dalam hubungan manusia,alam dan Tuhan. Adanya hukum manusia (ius humana) mulai bertitik tolak pada ilmu pengetahuan ketika manusia memasuki jaman fajar budi (age of reason),terkikisnya nilai dan makna ke-Tuhanan (theistik) dalam agama nyaris meniadakan sebagian dari hukum agama (religion of law) dan hal tersebut berarti terkikisnya (on regression) pula berbagai resepsi (receptio) beragam agama atas hukum lain,termasuk hukum yang merupakan produk alam (hukum alam) serta hukum (ius) yang terbentuk dari adanya sebuah kebudayaan (hukum adat),manusia kemudian dibawa oleh sebuah pergerakan dinamika kolektif (multiplisity) dari sebuah peradaban yang mengutamakan sintesa ataupun paradigma sebagai sebuah kontruksi (these) yang senantiasa diperbaharui (on recontruction),jaman pencerahan (satori age) kemudian menjadi awal periode sejarah baru setelah tahap primitif (archaic) dan tradisional,mulai ditinggalkanya aspek naturalitas (kepurbaan) serta kulturalitas (kebudayaan) menjadi sebuah awal (unde creatum) dari masuknya era modernitas (modern age),dimana berbagai kontruksi para ilmuwan (scientist) dan filsuf (filosof) seolah menjadi sebuah tandingan manusia atas Tuhan. Berbagai fakta sejarah lalu mulai ditinggalkan (sakagami) dan kemudian menjadi sebuah mitos (after the fact) untuk sebuah pengembalian atas yang abadi (perenialitas) yang mana hal ini telah disebut sebelumnya sebagai “anagami” dimana yoga (smriti) berada di atas samkya (sruti) ketika samkya (teori) ada atau berada pada arena (medan) yoga (praktik),Sigmund Freud ,Friedrich Nietzche ,serta Albert Einstein, adalah merupakan para tokoh utama setelah Robispierre mencanangkan terbukanya sebuah aras ilmu pengetahuan bagi sebuah peradaban baru (new age) yang memunculkan sebuah pola kebudayaan (cultural pattern) yang baru pula,terutama ketika disadari bahwa adanya peradaban dalam perjalnan sejarah manusia memunculkan kebudayaan (cultura),demikian pula sebaliknya,sebagaimana apa yang juga pernah diungkapkan oleh seorang filsuf Jerman (Frankfurt) terkemuka,,Max Horkheimer dan Theodore Adorno ,bahwa adalah merupakan sebuah dialektika pencerahan (dialectic of enlighment) ketika kemudian irasionalitas memunculkan adanya rasionalitas (fenomena) ataupun sebaliknya (pour soi),suatu “camera obscura” yang memunculkan tautologi (absurfitas) antara ilmu (matricide) dan pengetahuan (patricide) sebagai keseimbangan taoistis (upekha),atau dalam perspektif Algeria (Algerian) dikatakan sebuah “sindroma Sysiphus”,yang kemudian hal ini juga dikemukakan oleh Trakl mengenai paradoksal (arupadatu),paradoksikal (rupadatu),serta paradoksikalitas (kamadatu),sebuah lahan gladiasi (simposium) antara (intermediare) pada wilayah transenden (celestrial) dengan imanen (terrestrial) dimana setelah jaman (zeit) membawa modernitas (modernity) ke aras radikalitas (post-modernitas),melalui Anthony Giddens. Maka hal ini kemudian diacu kembali oleh Jaqques Lacan ,dengan menyebutnya sebagai sebuah dualitas monistik yang ada pada medan oposisi biner (biner opotition) ,dan atau adalah Henry Bergson perihal Bertrand Russell,”Russell Paradox”,dimana segala sesuatunya lalu kembali pada sesuatu (sundaram),untuk dalam sesuatu (shivam) hingga di atas sesuatu (satyam),sebuah titik balik Frijrof Capra dimana primitivitas (naturalitas) dikembalikan sebagai sebuah “eternal return”, keseimbangan antara mitos (mith) ataupun fakta (fact) melalui arkeologi (Yin) dan teknologi (re-genderial) terhadap renungan “axis” ataupun “Bentham Panopticon” yang identik dengan rotasi samsara,pelampauan paradoksikalitas yang diatasi,kepasrahan nan berani (etik) atau keterbalikkan (chamb) atasnya (emik),anti-dualitas (anti-schizoprenia),dimana bahasa menjadi (diakronik),sebuah kekuasaan simbolik (kuasa kata) dalam hubungan semiotika sadomasokisitas (hermenetika intersubjektivitas),atau fase cermin (mirror stage) ,terutama dalam benturan Freudian (virtu) dan Lacanian (bonta) bagi sebuah legitimasi atas apa yang diucapkan Max Weber sebagai tipe ideal (idola tipus) bagi suatu sinkronisitas (ideal theatry) dari sebuah pemeranan manusia (Avatara) atas yang “Liyan”.manusia dihadapkan sebagaimana dungkapkan oleh Erving Goffman,sebagai “homo theatericus” atau adalah Clifford Geerz,negara teatrik ataupun adalah Dyonisia sebagai institusi teater . Modernitas dan hukum melekat pada sejarah,meski di kemudian hari sekarah banyak dihadapkan pada penyimpangan (perverse) dan keberhilangan karena sebuah dialektika sejarah karena sebuah evolusi,rasionalitas manusia melakukan seleksi atas sejarah,terutama ketika manusia dihadapkan juga pada keterbatasan pada setiap potensi yang ada pada dirinya atas ruang dan waktu,ruang (pada) dan waktu (kala) adalah hukum (lex) yang mengatasi kodrat serta takdir manusia (factisity) yang diawali kemelekatan manusia dengan ciptaan (upadana),dengan alam dan terutama dengan tubuh serta jiwa,sebab beberapa manusia tak dikaruniai pikiran (akal) ataupun hati (perasaan),meski jiwa menempati sebuah ruang sementara jiwa adalah nihilitas,namun hal ini hanya sebuah akibat dari adanya pikiran dan perasaan manusia,tanpa keduanya manusia berada dalam sebuah nihilitas,sebuah kekosongan (nothingless) dari keberadaan dirinya yang bertubuh,sebuah aras kontemplasi manusia (meditatif) atas sebuah keteraturan (disiplin) kodratiah bagi setiap laju pada takdirNya,,modernitas (modernity) yang diawali oleh “the age of satori”merupakan penekanan manusia atas revolusi alam pada diriNya,terutama ketika evolusi (l’evolution) manusia hanya merupakan tatanan (arasy) perubahan manusia atas sebuah materi (form),namun tidak pada jiwa (nous),selain jika hal tersebut dirasakan atau dipikirkan,percepatan yang menjadikan segala sesuatu menjadi teramat cepat menjadi lapuk dan rusak (fana),pikiran dan perasaan manusia menghantar kematian manusia dalam percepatan,sebuah kesadaran akan kesakitan (pain) dimana prinsip kenikmatan,sebagaimana diucapkan Sigmund Freud , mesti diacu dari realitas bahwa potensi manusia berbatas belaka. Hukum modern merupakan hukum yang muncul dari adanya sebuah peradaban dana penekanan manusia melalui ilmu ataupun teknologi lebih mengemuka ketimbang pengetahuan akan kebudayaan (arche),akibat eksperimentasi manusia lebih mengutama ketimbang mengolah lahan sejarah yang ada pada kebudayaan,manusia dihadapkan pada ketidakpercayaa dirinya (under estimated) pada sejarah dimana pencerahan (auklarung) membawa manusia pada asumsi masa lalu sebagai sebuah kegelapan narasional,dinamika dan revolusi (revolt) memungkinkan manusia meninggalkan setiap apapun yang menjadi beban dirinya dalam melaju bagi sebuah perubahan yang lebih baik,maka hukum lalu diacu lebih pada aspek yang ada pada peradaban (sosiologis) ketimbang setiap modal yang ada pada sebuah aras dari kebudayaan (antropologis) hingga kemudian hukum yang muncul dari filsafat lebih berada di depan (mengemuka) ketimbang hukum yang diadakan karena agama,manusia dihadapkan senantiasa pada keumuman mereka atas kondisi paradoksal yang justru menjadikan adanya hukum bagi keseimbangan (harmoni) keduanya untuk sebuah pembentukan (pembaharuan) hukum baru nan dialektis melalui konflik yang kerap terjadi sebagai antitesis ataupun tandingan (counter) bagi segala perimbangan (keadilan) ,sebuah dilema kesamaan antara keadilan (justitia) dan kebenaran (bonum),antara sistem dengan struktur atau antara perasaan keadilan manusia (hak) dengan sebuah supremasi hukum (kewajiban) sebagai dualitas antara yang utama dengan yang pantas,dan atau adalah antara yang benar (keutamaan) dan yang baik (kepantasan),aras norma (adat) ataupun perundangan (hukum positif) antara hukum Tuhan dan agama,sebuah niat ataupun kehendak manusia atas hukum adalah citraaan manusia atas Tuhan (imago dei). Pada umumnya hukum manusia diciptakan untuk sebuah pembebasan manusia tak hanya atas manusia lain,dimana selektivitas antar manusia memunculkan adanya penjejahan dimana kerap kali motif kepentingan penyebaran agama serta berbagai isme (paham) terdapat pada naluri manusia ketika dihadapkan pada hasrat (kehendak) untuk menciptakan struktur pola kekuasaan (structure of power),hukum agama kerap menjadi kendaraan politik kekuasaan dalam menciptakan sebuah struktur otoritas,yang salah satunya adalah penguasaan ras (race) yang satu atas yang lain demi sebuah kepentingan politik kekuasaan (political needs) demi sebuah kepentingan kesejahteraan ekonomi (economical welfare),sebuah struktur kekuasaan identik dengan hukum (lex) sebagai sarana bagi penerapan sebuah kekuasaan dimana sebuah hasrat berkuasasa kerap menciptakan sebuah struktur kolonial dimana hukum (law) menjadi sarana ampuh dalam melestarikan sebuah legitimasi kekuasaan (kedaulatan) manusia yang satu atas yang lain,hukum yang ada pada peradaban adalah sebuah sarana legitimasi struktural (structural legitimation) terhadap sebuah sistem,hukum kemudian menjadi sarana pembebasan hasrat (desiree) untuk berkuasa yang menyelaraskan harapan (sollen) dan kenyataan (sein) sebuah otoritas dengan setiap apapun yang menjadi bagian dari kehendak (will) ataupun sebuah legitimasi dari sebuah kekuasaan atas yang lain. Adanya hukum (lex gentile) pada sebuah masyarakat yang dinamis adalah hukum yang mencoba membebaskan dirinya dari hukum alam (ius naturalia) dan hukum Tuhan (ius theia) dan juga hukum agama (lex religia) ,dengan sebuah dalih menggantikan setiap hukum yang ada dengan hukum yang lebih memiliki motif politik ekonomi demi keberlanjutan sebuah kekuasaan (kompetensi) yang telah ataupun ada secara struktural baik secara alamiah,budaya ataupun karena peradaban dan sejarah yang memberikan legitimasi atas kolonialisme kekuasaan melalui penerapan serta penciptaan hukum yang ada sebagai sarana pembebasan manusia atas hukum yang lain (oppressed),hukum manusia menjadikan manusia melepaskan sebagian besar keterkaitan dirinya atas hukum ataupun kekuasaan (eksistensi) dari yang lain,termasuk alam serta Tuhan bagi sebuah kepentingan “mimesis”,yaitu kekuasaan manusia sebagaimana layaknya Tuhan sebagai cikal bakal (ontos) dari adanya struktur politik dan hukum,dimana manusia menambahkan sebuah medan kepentingan ekonomi sebagai sebuah intrumentasi atas apa yang disebut Karl Marx sebagai sebuah superstruktur (superstructure) ,yang salah satunya adalah sejarah,politik serta hukum itu sendiri,dimana ketiganya menjadi sarana hegemonial atas kebudayaan ataupun peradaban hanya karena sebuah motif kekuasaan politik serta ekonomi (politik ekonomi),dimana kemudian manusia diciptakan menjadi “homo strukturalis” ataupun “homo hirarchicus”. Kebebasan manusia semakin terhimpit oleh sebuah kepentingan dari sebuah titik puncak hirarki kekuasaan lain selain Tuhan dimana hukum manusia dijadikan sarana membebaskan sebuah otoritas dari keberadaan kekuasaan ataupun hukum yang lain demi sebuah kekuasaan yang bukan kekuasaan struktural yang asali dibandingkan struktur ke-Tuhanan ataupun struktur nan alamiah (post-strukturalis) dan ketika peradaban (modernitas) paska kebudayaan (post-tradition) identik dengan peradaban (teknologi),sedangkan kebudayaan identik dengan tradisionalitas (kebudayaan),namun keduanya adalah sebuah keseimbangan arkeologis (techne) yang menjadikan bestarinya hubungan antara apa yang disebut oleh manusia sebagai ilmu (fenomena) dengan pengetahuan (noumena),dimana kebersatuan keduanya adalah keseimbangan manusia menuju sebuah kuasa ke-Tuhanan pada diriNya (omnimena),sebuah kebersatuan sebagai sebuah tujuan yang ditinggalkan ketika anomi (bad faith) ,kemudian diciptakan naluri manusia untuk menjadi Tuhan itu sendiri melalui peradaban (modernitas),dimana pada akhirnya manusia kembali pada sebuah kegagalan (false),selain sebuah pembuangan kembali ke medan keberlaluan dari apa yang pernah terjadi pada sejarah dirinya sendiri,yaitu sejarah adanya hukum Tuhan dan sanksi atas manusia karena sebuah kehendak untuk berkuasa (wil zur macht) dan menjadi selayaknya Tuhan. Sebuah pemberontakan,iri hati (envy),dendam dan bujuk rayu (seduction),sebuah kehendak untuk suatu Kehendak,sebuah kenyataan (sein) kembalinya sesuatu pada sesuatu ataupun kembalinya sesuatu apapun pada yang asali sebagai sebuah kesadaran nan atheistik untuk kembali (return) pada kelahiran kembali (post-contruction),terutama ketika peradaban disadari menjadi sebuah kegagalan manusia untuk memahami Tuhan dan alam melalui sawala ilmu yang tak laras dengan pengetahuan,sebagaimana halnya iman dengan kebebasan manusia dalam filsafat ataupun agama,manusia dihadapkan pada keadilan yang pada dasarnya adalah sebuah keseimbangan atas segala cobaan Tuhan melalui paradoksikalitas,dimana hukum pada aras modernitas dihadapkan kembali pada apa yang merupakan hukum dan apa yang bukan merupakan hukum dalam arena gladiasi moralitas,nurani dan etika sebagai aransemen (sittlicheit) di atas hukum yang lain,tak terkecuali misteri Tuhan atas manusia,iman dan bahkan kebebasan,hukum yang pada dasarnya berakibat ataupun bersanksi pada akhirnya lebih dihadapkan pada sebuah resiko (risk) ketimbang akibat ataupun sanksi yang menjadikan hukum dikatakan sebagai hukum,hukum kemudian diperbaharui dalam sebuah masyarakat nan beresiko (risk society) ,terutama dalam sebuah bentuk kapitalisme akhir (late capitalism),yang berkelanjutan dalam samsara rotasi archeo-Marxian. Pada akhirnya hukum kembali pada hukum sebagai absoluditas (kemutlakkan) dari sebuah Kehendak ataupun kebebasan ataupun adalah sebuah resiko (risk) bagi kembalinya manusia pada hukum Tuhan (ius deia) dan Tuhan pada hukum alam sebagai manusia manusia berkebudayaan dan terlebih adalah sejarah itu sendiri yang menjadikan adanya sanksi dimana manusia dihadapkan pada paranoia (asylum),terutama ketika Tuhan dipertanyakan sebagai Tuhan pada dirinya dimana hukum manusia lain mengikat dirinya dalam ketidakbebasan lain selain ketidakbebasan dirinya atas misteri ke-Tuhanan sebagai sebuah aboluditas ataupun sebagai hukum itu sendiri atas berbagai hukum lain yang semata ada karena sebuah peniruan (mime) atas penciptaaan Tuhan bagi adanya sebuah struktur kekuasaan (post-structuralism).dimana segala sesuatunya kemudian akan kembali pada Tuhan bagi kehidupan manusia untuk kembali pada hukum alam (ius naturalis) dan dirinya sendiri sebagai manusia yang tak lepas dari penamaan awal manusia atas aneka ragam terminologi Tuhan karena yang lain dari keunikan dirinya dalam nama Tuhan pada diriNya yang adalah misteri (absurditas) dari setiap pemberlakuan hukum pada setiap konteks jaman dengan segala kenisbian (kematian) manusia atas sebuah definisi manusia atas hukum yang melekat senantiasa padanya,termasuk matinya modernitas (modernity) sebagai sebuah proyek hukum (law arena) yang merupakan kontruksi kegagalan penciptaan manusia melalui Tuhan,manusia adalah sebuah proyek kegagalan Tuhan dalam setiap dosa manusia (malum) atas diriNya. Kematian banyak ideologi (paham) kemudian kemudian membawa sejarah manusia pada kematian dirinya sendiri (history) lalu adalah,sebagaimana disebutkan oleh Frijrof Capra terbagi atas empat periodik,yaitu primitif(kontruksi),tradisional (dekontruksi),modern (rekontruksi) dan postmodern (post-kontruksi),meskipun sebenranya adalah periode perenial (perennial period) namun hal ini tak disebutkan oleh Frijrof Capra karena hal ini menyangkut hanya sebagian kecil manusia yang telah mengalami keburukan pada keempat periode sejarah tersebut,perenialitas (nicca) adalah sebuah tahap spiritualitas yang pada dasanya menyangkut setiap periodik secara keseluruhan (holistik),namun adanya masyarakat postmodernitas (post-modern community) adalah masyarakat yang telah mengalami setiap apapun yang ada pada modernitas sebagai,dikatakan Jaqques Lyotard ,adalah sebuah proyek yang senantiasa mengalami kegagalan dimana kegagalan (false) dalam modernitas kemudian dicoba dibangun kembali (on recontruction) untuk mencapai sebuah tujuan (zweck) yang dapat mengatasi setiap kekurangan manusia pada dirinya,terutama ketika manusia mengalami keberpilahan sejarah (historical pastische) dan petiadaan kebudayaan (reifikasi) yang juga meniadakan identitas diri manusia (human identity).yang mana hal ini telah menimbulkan adanya pergeseran manusia (human shift) sebagai mahluk sosial dari masyarakat sebagai bentuk kolektivitas (anonimitas) ke arah masyarakat global (virtual society),dan hal ini adalah merupakan sebuah perubahan (shift) dari sebuah struktur ke medan hiperstruktur (post-strukturalitas). Adanya penciptaan (genesis) serta penemuan instrumental (suprastruktur) yang telah dimulai pada masa tradisional kemudian semakin disempurnakan hingga dalam periode (massa) post-modernitas setiap penciptaan manusia (creatio humana) atas segala instrumen (artefact) kemudian menggantikan peran (parole) manusia itu sendiri,manusia kemudian ditandingkan dengan ciptaanya sendiri,manusia kemudian menjadi objek (petanda) dari setiap apa yang diciptakanya,dan manusia kemudian di-ekspolitasi oleh peradaban (civillization) dan menjadi proletariat (subordinat) atas ilmu (patriarki) ataupun teknologi (tecne) yang memunculkan berbagai kategori kebudayaan baru (post-culture) dari peradaban modernitas (modernity) yang lalu disempurnakan dan dibangun ulang oleh postmodernitas (modernitas radikal) yang menjadikan hukum yang pada umumnya diadopsi dari hukum yang residual,dan adalahj sebuah sisa dari peninggalan sebuah koloni, (kitch),sejarah hukum kemudian direkontruksi ulang (bricolage),hingga hukum dihadapkan pada pemberlakuan hukum dalam kontemporalitas (nirkala) hukum yang dibuat oleh manusia (ius gentile) bagi sebuah lahan globalitas. Bahwa setiap pembaharuan manusia (penyempurnaan) atas hukum melalui setiap apapun yang terkait pada sejarah hukum pada manusia kemudian memunculkan sebuah kesadaran akan keterkaitan manusia atas multidimensionalitas sejarah manusia,manusia dan hukum kemudian dihadapkan pada sebuah fenomena sejarah baru (neo-historical phenomena) yang kerap disebut dengan post-kolonialisme (paska kolonial),dimana kemerdekaan manusia (liberte) kemudian menjadikan hukum sebagai sebuah media kesadaran kelas (class consiousness) dalam sebuah “hiperstruktur”dimana manusia terpuruk oleh teknologi sebagai instrumen kapitalistik dalam menciptakan keuntungan dari liberalitas yang ada pada kesadaran manusia untuk merdeka dari sistem sejarah pada sebuah koloni,yang justru kemudian menjebak manusia pada sebuah bentuk kolonialistas baru (post-kolonialisme),yaitu kapitalisme teknologi (hiper-capitalism) yang menghancurkan berbagai isme (ideologi),termasuk agama dan Tuhan dan ketika liberalitas (liberte) sengaja senantiasa diciptakan dan dibentuk menjadi sebuah superstruktur dalam menciptakan pemenuhan atas hasrat masyarakat sebagai sebuah komoditi,melalui berbagai macam seduksi (impuls) dalam menciptakan sebuah motif politik ekonomi (consumerism) bagi masyarakat. Maka akhirnya manusia telah kehilangan eksistensialitas dirinya sebagai manusia selain larut dalam rutinitas mekanis dari sebuah percepatan (acceleration) sebagai sebuah proses seleksi teknologi terhadap manusia yang telah jauh dari harmoni alam bahkan Tuhan dalam kebebasan (freedom) ataupun iman (faith),adalah kemudian bahwa moralitas,nurani ataupun etika,nyaris tak diperhitungkan karena dinamika peradaban anomik.kebanyakan manusia kemudian berada dalam kegelisahan (panic) dan ketakutan,masyarakat paska-modernitas (post-modernitas) adalah sebuah keberlanjutan dari sebuah kondisi manusia dalam patologi modernitas yang berada pada kepanikan ataupun kekhawatiran manusia (paranoia) atas potensi pada dirinya sendiri dan menjadi sebuah sebab dari keterasingan manusia (enfremdung) atas setiap produksi dari suatu sistem stuktural yang dianggap paripurna,yaitu post-modernitas (paska-modernitas) yang kerap ditolak dianggap demikian oleh sebagian ilmuwan (filosof) yang mengganggap ketiadaan perbedaan antara modernitas dengan post-modernitas,selain peniadaan atau pengikisan kemanusiaan (human regression),kebudayaan dan naturalitas manusia serta Tuhan,selain pemenuhan dan penciptaan hasrat dari setiap penemuan peradaban manusia melalui teknologi sebagai mesin hasrat (desiree machine),demikian Julia Kristeva . Meninjau apa yang dikatakan Julia Kristeva,terutama ketika mesin hasrat dihadapkan keterbatasan hukum sebagai sinyalemen (parameter) sejarah bagi liminalitas kebudayaan manusia atas peradaban yang malahan meniadakan setiap apapun tak terkecuali teknologi itu sendiri,hingga kesadaran sebagian manusia menjadikan manusia mencari kesejatian dalam berbagai kemayaan (virtualitas) pada peradaban,terutama dalam mencari kembali segala kefanaan (relativitas) yang pernah ada dalam periode primitif (archaic) dimana kemudian sejarah membawa manusia ke aras lain kemanusiaan dirinya atas alam serta Tuhan melalui setiap aspek potensi kreasi Tuhan menyangkut keabadian diriNya dalam manusia (perenialitas),dimana segala sesuatu adalah Dia (aku) sendiri,yang tiada tak kembali (sakagami) ataupun kembali (anagami),pelampauan paradoksikalitas manusia atas apapun (arahat) adalah peniadaan (tan-ego) bagi setiap penilaian hukum (ius) yang bukan hukum (proprium),selain hukum Tuhan sebagai sebuah harmoni (equilibriasi) untuk sebuah hukum nan abadi,paradoksikalitas yang meniada pada manusia adalahmerupakan sebuah antara atas setiap segala apapun selain sebuah rekontruksi ulang (de-recontruction) keberadaan Tuhan,alam dan manusia sebagai awal dari sebuah sejarah (samskara),sekaligus sebagai sebuah kebangkitan (pencerahan) selanjutnya. Apa yang merupakan keabadian (post-arahat) adalah apa yang kerap juga disebut manusia sebagai kesejatian (perenialitas) dimana kesejatian ataupun keabadian adalah merupakan sebuah kenyataan hukum yang bebas dari hukum lain selain hukum Tuhan yang berawal dari sebuah “Kehendak”,dalam terminologi timur kerap disebut dengan anagami,atau dengan peristilahan filsafat Jerman,disebut dengan “eternal return”,namun dalam antropologi Mircea Elliade menyebutnya mitos kembalinya yang abadi (mith of eternal return) yang selaras dengan fakta ketidakkembalian (sakagami),namun Marcel Mauss kerap menyebutnya sebagai kembalinya waktu (les temps) ataupun ruang,kembalinya segala sesuatu pada leabadian tentu saja dipersandingkan dengan ketidakkembalian ataupun kefanaan (relativitas) yang kerap disebut oleh Budhisme sebagai anicca (relativity),demikian Budhisme (Budhism) ,dalam Budhisme (Budhism) ,dikatakan bahwa segala sesuatu tak ada yang tetap ataupun senantiasa mengamai perubahan dalam kesenantiasaanya,apa yang senantiasa tiada berarti merupakan ketetapan (absoluditass) setiap sesuatu absolud (telak) justru karena perubahan (relativitas) dan kenisbian yang ada pada segala sesuatu tersebut,setiap apapun kemudian menjadi sebuah misteri,apa yang dikatakan oleh Michael Polanyi sebagai segi yang tak terungkapkan dari ilmu pengetahuan (tacit knowledge),sebuah misteri ke-Tuhanan atas apapun yang terikat padanya dalam segala apapun yang dikehendakiNya untuk tetap ataupun tida tetap dalam absoluditas dari kekuasaan yang ada pada diriNya sebagai sesuatu yang berketetapan nan pasti sama sekali dan tiada yang lain selain diriNya sebagai Tuhan semata. Pada dasarnya apa yang disebut dengan perenialitas (keabadian) sama sekali tak mengenal ruang ataupun waktu,itu artinya keabadian tak mengenal apa yang disebut sebagai sejarah,sebab sejarah adalah sebuah perubahan,yang merupakan adaptasi setiap apapun atas ruang ataupun waktu sebagai hal yang determinan atas sesuatu tersebut,keabadian adalah sebuah ketegasan,kepastian,namun bukan berarti statis,perubahan ataupun kenisbian yang ada pada keabadian justru merupakan sebuah kebebasan yang pasti dimana kebebasan tersebut tak terikat oleh apapun selain sebuah kehendak (Kehendak) karena pada dasarnya “Kehendak” yang dapat mejadikan sesuatu menjadi fana adanya,namun hal itu kerap bukan berarti hilangnya sebuah makna (meaing) ataupun nilai (value) dari sebuah keabadian pada setiap apapun juga selain melalui sebuah kehendak (Kehendak),Arthur Schopenhauer,mengutarakan bahwa adalah idea dari manusia (man in idea) yang dapat menjadikan setiap kebebasan berada pada keabadian terutama ketika adanya campur baur sebuah kehendak di dalamNya,kehidupan di dunia adalah sebuah representasi (eternal return) dari apa yang ada dalam semesta tak hanya sebagai sebuah rotasi (samsara) namun juga sebuah proses berkelanjutan dalam kesenantiasaanNya yang abadi (samskara),kehendak (cetana) dari Arthur Schopenhaur adalah sebuah sinkronisitas (selajur) antara kontruksi hukum alam (hukum Tuhan) dari persepsi filsafat timur ataupun juga filsafat barat dimana potensi manusia atas tubuh,pikiran,perasaan serta jiwa (jiva) bertemu pada sebuah titik kesadaran manusia untuk senantiasa berada pada suatu kebebasan hakiki yang mutlak dan pasti,yaitu sebuah hukum mutlak bahwa segala sesuatuNya dapat mutlak karena seuah kuasa dari kehendak untuk berkuasa yang pada awalnya adalah dimulai dari Tuhan dalam memberi nama diriNya dan memberikan legitimasi atas diriNya sendiri melalui berbagai kreasi penciptaan bagi diriNya semata sebagai kebebasan yang utama (parinibbana). Hukum keabadian adalah ideologi tertinggi yang pernah ada dimana hal tersebut menjadi sebuah utopia (illusi) ketika keabadian dijebak dalam isme agama,keabadian mengalami pengikisan makna karena relativitas dari sebuah kehendak akan berlakunya hukum agama pada manusia,alam yang abadi bersama Tuhan kemudian menjadi tak harmoni ketika “yang lain: dihadapkan pada kemelekatan setiap apapun pada materi,materi (body) kemudian menjadi cikal bakal adanya sejarah dimana materi kemudian menjadi relatif ketika dihadapkan pada kemelekatan sebuah ciptaan pada materi (saguna atman),ketika “nirguna atman” menjadi “saguna brahman”,hal tersebut berarti,bahwa “saguna atman” adalah “nirguna brahman”,sebuah kesatuan kehendak dimana pemikiran timur sebagai cikal bakal (unde) adanya hukum anti kolonial bersanding mesra dengan kontruksi pemikiran barat (kolonialisme) sebagai sebuah dasar bagi adanya hukum dalam ilmu (peradaban) ataupun juga dalam pengetahuan (kebudayaan),keduanya menjadi nisbi ketika keduanya terpisahkan sebagaimana layaknya iman (agama) dengan kebebasan manusia (filsafat). Kemudian adalah bahwa keabadian (pernialitas) menjadi lahan terbuka ketika manusia dapat membebaskan dirinya dari kosep abadi dan tak abadi ataupun kembali ataupun tidak kembali,hal ini kemudian dinamakan baik dalam Hindu ataupun Budha sebagai arhat (bhagawan) yang menjadi awal bagi setiap tingkat samkya=yoga (teori dan praktik) dalam filsafat (jhana) dimana keseimbangan dualitas dunia diminimalisasi oleh aktivitas masokisitas manusia dalam menekan tingkat kemelekatan manusia (upadana) atas sebuah sistem struktural pada setiap potensi dirinya selain kesadaran sebagai paradigma awali dari filsafat yaitu adalah diri (self) yang bukan ego,namun adalah AUM (omni-egoisitas),hukum pernial (keabadian) pada dasarnya menyangkut apa yang disebut dengan karma (sebab benar),wikarna (sebab salah) serta akarma (ketiadaan sebab),namun demikian adalah hukum perenial pula ketika segala apapun yang berakibat baik pada kebenaran atau kesalahan juga ketiadaan sebab menjadi menyimpang dari yang semestinya sebagai sebuah arahat,apa yang menjadi sebab dari sebuah kebenaran dapat menjadi berakibat salah,demikian pula sebaliknya nahwa karena semata adanya sebuah kehendak,maka demikian pula ketiadaan,ketiadaan senantiasa dapat menjadi berakibat termasuk ketiadaan sebab ataupun akibat itu sendiri sebagai keduanya,salah satu atau bahkan tiada sama sekali selain AUM yang identik dengan kesadaran akan kebebasan dari sebuah KEHENDAK (AkU),akan adanya kebebasan lain yang memiliki kesadaran yang mengawali segala sesuatuNya sebagai sebuah akhiran (perenial freedom) yang kemudian identik dengan “archeo-post freedom”. Adalah akhirnya kembalinya parinibbana sebagai bukan arhat (almasih) yang hanya dimungkinkan pada kesatupaduan apapun pada apapun,apapun dalam apapun dan apapun di atas apapun (trinity),kemudian menjadi simbol kebudayaan (artefact),yang menyangkut artefak (culture),monad (nature) dan chiffer (structure),mengutama pada pada Borobudur sebagai simbol strukturalitas keduniaaan manusia dalam kehidupan dirinya yang tak lepas dari “trinitas”,yaitu: satyam (santri),shivam (priyayi) dan sundaram (abangan),brahma (pencipta),wisnu (pemelihara) dan shiva (penghancur) yang diawali oleh kebertigaan nan satu dari Manikmaya (hakekat),Ismaya (maktifat) dan antaga (syariat) oleh sebuah kewenangan Hyang Wenang (Yang Berwenang) dalam mencapai apa yang dikenal dengan “Yang Tunggal”,panteisitas (manunggaling) setiap apapun sebagai segala apapun,termasuk kehendak dengan Kehendak di atas segala Kehendak ataupun di bawah sebuah Kehendak sebagai awal dari setiap hukum yang ada dengan segala keabadian yang telak padaNya,dimana segala sesuatunya menjadi (recontruction) atau memiliki ada (decontruction) atau ketiadaan atas keduaNya sebagai hukum absolud (zakelijk) dari perenialitas asali dan hakiki (prima esse), yaitu:Tuhan pada kehendakNya,demikian hukum sebagai eksistensi yang melampaui keabadian dari hukum itu sendiri sebagai sebuah “Kehendak Abadi”.
Posted on: Wed, 18 Sep 2013 05:47:15 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015