dalam kebudayaan Cina ikan adalah simbol dari ketekunan dan - TopicsExpress



          

dalam kebudayaan Cina ikan adalah simbol dari ketekunan dan tekad yang kuat, sebab ikan bertahan hidup di jeram-jeram Sungai Huang-Ho (Hall 1995: 14). Dalam Mitologi Hindu, ikan (Matsya) adalah vahana dari dewa laut Varuna dan Dewi Gangga. Ikan juga simbol Sungai Gangga dan Yamuna. Adapun dalam agama Buddha dan Jaina, ikan adalah simbol dari kebahagiaan dan kegunaan (Liebert 1976: 176). Tafsir-tafsir makna tersebut sudah jelas berasal dari luar kebudayaan Dong-son dan Austronesia di Asia Tenggara, tentunya dalam zamannya ikan mempunyai tafsir maknanya tersendiri yang sesuai dengan pemikiran Austronesia. Bukanlah kepulauan Nusantara dikelilingi laut?, sumber rezeki utama penduduk di pantai-pantainya adalah menangkap ikan, jadi ikan adalah simbol keberuntungan dari laut. Dapat juga ditafsirkan bahwa ikan adalah simbol kekuatan supernatural di laut, sebab itu sampai sekarang banyak masyarakat pantai yang menyelenggarakan upacara sedekah laut tiap tahunnya. Kijang -> dalam konsepsi agama Hindu, kijang dianggap sebagai simbol dari Dewa Vayu (Bayu), sebab kijang adalah vahana dari dewa angin tersebut. Di beberapa suku bangsa di Nusantara terdapat kepercayaan bahwa ujung-ujung lengkung pelangi adalah kepala kijang dengan badan bagian depan dengan 2 kakinya. Bentuk lengkung-kijang itu masih dijumpai sebagai relief di Candi Panataran, Jago dan Sukuh. Lengkung-kijang bukanlah bentuk hiasan yang datangnya dari kebudayaan India, melainkan gubahan para pemahat Jawa Kuno sendiri. Kijang dalam kebudayaan Jawa kuno menjelang masuknya Islam dipandang sebagai simbol pelangi, atau simbol tangga penghubung antara dunia manusia dan dunia dewa-dewa. Perahu -> motif hias perahu dijumpai pula pada lukisan goa, selain sebagai penghias tubuh nekara. Hiasan perahu dalam masa prasejarah Indonesia senantiasa dihubungkan dengan konsepsi perahu arwah yang membawa arwah orang yang meninggal ke alam kematian (van der Hoop 1949: 304—7, Bernet Kempers 1959: 30, plate 17 dan 19). Topeng -> terdapat pada moko besar dari Pejeng dan moko-moko kuno dari Pulau Alor. Wajah adalah salah satu bagian dari tubuh manusia yang dipandang mempunyai kesaktian yang berlebih (van der Hoop 1949: 100—1), oleh karena itu penggambaran wajah seperti topeng pada tubuh moko dapat dipandang sebagai pelindung moko (benda sakral) dari pengaruh kekuatan jahat. Motif Geometris banyak dijumpai sebagai motif hias nekara dan moko, ragam hias tersebut terus bertahan hingga zaman Hindu-Buddha, zaman Perkembangan Islam di Nusantara hingga zaman sekarang ini. Ragam hias ilmu ukur sejatinya telah dikenal lama, sebelum diterakan pada benda-benda perunggu dari kebudayaan Dong-son. Ragam hias tersebut mulai dikenal dalam periode berburu dan meramu tingkat lanjut (neolitik) dan berkembang terus pada zaman perundagian (megalitik dan zaman logam). Agaknya acuan bentuk-bentuk geometris adalah suasana alam sekitaran manusia masa prasejarah hidup. Bentuk-bentuk lingkaran mengacu kepada bulan, deretan segitiga mengacu kepada pegunungan, garis-garis sejajar dan berkelok sangat mungkin mengacu kepada keadaan sungai-sungai, bentuk-bentuk membulat, pipih, lonjong sangat mungkin mengacu kepada awan, bentuk setengah lingkaran mengacu kepada pelangi, dan lainnya. Pada akhirnya terdapat motif hias yang sangat terkenal yang selalu ada pada bagian tengah bidang pukul nekara atau moko, yaitu motif hias matahari bersinar dengan garis-garis sinarnya. Di banyak kebudayaan di dunia, memang matahari mempunyai kedudukan penting, penggambaran matahari dianggap sebagai simbol dari dewa tertinggi, dewa pencipta, dan dipandang sebagai kekuatan supernatural yang mahatinggi. Dalam kebudayaan Eropa, hiasan lingkaran dengan ruji-rujinya dikenal sebagai simbol matahari, dan merupakan simbol kuno yang telah ditampilkan dalam artefak-artefak dari zaman logam (van der Hoop 1949: 294). Matahari dipandang sebagai dewa cahaya, sumber kesuburan dan kehidupan, simbol kematian dan juga kebangkitan. Dewa Matahari kerapkali dipersonifikasikan sebagai lelaki, sedangkan Bulan dipersonifikasikan sebagai perempuan (Dewi Bulan). Di berbagai kebudayaan kuno di dunia, Dewa Matahari mempunyai julukannya tersendiri, misalnya disebut dengan Shamash dalam kebudayaan Mesopotamia, dijuluki Re dalam kebudayaan Mesir Kuno. Dalam kitab Rg.Veda dari India kuno Dewa Matahari mempunyai julukan yang berbeda-beda sesuai dengan perannya. Dewa itu dapat diseru dengan Mithra, Savitar, Pushan, Visnhu, dan Surya. Di Cina matahari dan bulan disimbolkan menjadi lingkaran yang terbagi dua Yin dan Yang, simbol dari para kaisar Cina, adapun di Jepang terdapat kepercayaan bahwa para kaisar adalah keturunan Dewi Matahari yang epithetnya adalah Amaterasu (Hall 1995: 109—110). Lalu apa makna hiasan matahari pada nekara dan moko menurut orang-orang yang mendukung kebudayaan perunggu Dong-son? Hal itu sukar untuk diketahui secara pasti, hal yang jelas adalah bahwa di kawasan Asia Tenggara Matahari selalu bersinar sepanjang tahun. Matahari tetap dapat disaksikan oleh penduduk Asia Tenggara baik pada musim penghujan apalagi musim kemarau. Tentunya bagi orang-orang Austronesia yang masih hidup dalam tahapan kebudayaan perundagian, benda angkasa yang demikian itu dipandang sebagai kekuatan yang luar biasa, matahari dapat dipandang sebagai kekuatan adikodrati yang senantiasa berada di atas dan manusia-manusia berada di bawah sinarnya. Dengan demikian sudah pasti hiasan bentuk matahari menjadi hiasan sentral di titik tengah bidang pukul nekara, digambarkan garis-garis sinarnya semburat ke segala arah, menunjukkan kekuatan dahsyat dari matahari. Singkatnya dapat ditafsirkan bahwa dalam lingkup kebudayaan perunggu Dong-son terjadi pemujaan matahari, arwah nenek moyang yang telah meninggal kemudian dianggap menuju ke matahari dan menyatu dengan kekuatan matahari, sinar matahari merupakan bentuk pengawasan arwah nenek moyang tersebut kepada manusia yang masih hidup di dunia. Matahari juga merupakan simbol kekuatan yang berada dunia atas, matahari tempat persemayaman arwah nenek moyang yang telah meninggal. Matahari sudah barangtentu lebih tinggi dari puncak-puncak gunung manapun, ke sanalah arwah nenek moyang pergi berkumpul setelah memasuki alam kematian. Bentuk ragam hias yang terdapat pada benda-benda perunggu Dong-son tergolong bentuk ragam hias prasejarah. Ternyata terdapat beberapa ciri yang dapat ditemui dalam wujud ragam hias prasejarah baik yang dipahatkan di batu, dilukiskan di dinding goa, dan juga dibuat di permukaan artefak-artefak perunggu dalam lingkup kebudayaan Dong-son. Ciri-ciri tersebut antara lain adalah: Terkesan naif dan kekanak-kanakan Lugas dan sederhana Secara anatomis ada yang tidak proporsional Menggambarkan kehidupan sekitar dan ada pula yang berasosiasi dengan dunia supernatural Mengandung nilai estetik Tekanan pada makna bukan pada bentuknya Ragam hias Austronesia dikembangkan oleh penduduk Asia Tenggara sebelum datangnya pengaruh India atau Cina, ketika pengaruh budaya India datang, banyak bentuk ragam hias baru yang diterima dan dipadukan dengan ragam hias yang telah ada sebelumnya. A.N.J.Th.a.Th.van der Hoop seorang peneliti pertama ragam hias Indonesia secara mendalam
Posted on: Sat, 07 Sep 2013 22:58:45 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015