kajian di pagi hari... UMAT MUSLIM SIMAK INI DENGAN HATI YANG - TopicsExpress



          

kajian di pagi hari... UMAT MUSLIM SIMAK INI DENGAN HATI YANG JERNIH : Kata ‘salaf’ secara bahasa berarti sesuatu yang telah lampau. Berikut ini kami nukilkan definisi ‘salaf’ dari beberapa kamus bahasa Arab yang kredibel [1]) ; Ibnul Atsir -rahimahullah- mengatakan: ﻭَﻗِﻴْﻞَ ﺳَﻠَﻒُ ﺍﻹِﻧْﺴَﺎﻥِ ﻣَﻦْ ﺗَﻘَﺪَّﻣَﻪُ ﺑِﺎﻟْﻤَﻮْﺕِ ﻣِﻦْ ﺁﺑَﺎﺋِﻪِ ﻭَﺫَﻭِﻱ ﻗَﺮَﺍﺑَﺘِﻪِ ﻭَﻟِﻬَﺬَﺍ ﺳُﻤِّﻲَ ﺍﻟﺼَّﺪْﺭُ ﺍﻷَﻭَّﻝُ ﻣِﻦْ ﺍﻟﺘَّﺎﺑِﻌِﻴﻦَ ﺍﻟﺴَّﻠَﻒَ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺢَ . } ﺍﻟﻨﻬﺎﻳﺔ ﻓﻲ ﻏﺮﻳﺐ ﺍﻷﺛﺮ – ) ﺝ 2 / ﺹ 981 )} “Salaf seseorang juga diartikan sebagai siapa saja yang mendahuluinya (meninggal lebih dahulu), baik dari nenek moyang maupun sanak kerabatnya. Karenanya, generasi pertama dari kalangan tabi’in dinamakan As Salafus Shaleh” [2]) Perhatikanlah firman-firman Allah berikut: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau…” (Q.S. An Nisa’:22). Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu :”Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap) orang- orang dahulu” (Q.S. Al Anfal:38). Jadi, ‘Salaf ’ artinya mereka yang telah berlalu. Sedangkan kata ‘shaleh’ artinya baik. Maka ‘As Salafus Shaleh’ maknanya secara bahasa ialah setiap orang baik yang telah mendahului kita. Sedangkan secara istilah, maknanya ialah tiga generasi pertama dari umat ini, yang meliputi para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Dalam kitab Al Wajiez fi ‘Aqidatis Salafis Shalih Ahlissunnah wal Jama’ah, Syaikh Abdullah bin Abdul Hamid Al Atsary mengatakan sebagai berikut: ﻭَﻓِﻲ ﺍﻻِﺻْﻄِﻼَﺡِ : ﺇِﺫَﺍ ﺃُﻃْﻠِﻖَ )) ﺍﻟﺴَّﻠَﻒُ (( ﻋِﻨْﺪَ ﻋُﻠَﻤَﺎﺀِ ﺍﻻِﻋْﺘِﻘَﺎﺩِ ﻓَﺈِﻧَّﻤَﺎ ﺗَﺪُﻭﺭُ ﻛُﻞُّ ﺗَﻌْﺮِﻳْﻔَﺎﺗِﻪِﻡْ ﺣَﻮْﻝَ ﺍﻟﺼَّﺤَﺎﺑَﺔِ، ﺃَﻭِ ﺍﻟﺼَّﺤَﺎﺑَﺔِ ﻭَﺍﻟﺘَّﺎﺑِﻌِﻴﻦَ ، ﺃََﻭِ ﺍﻟﺼَّﺤَﺎﺑَﺔِ ﻭَﺍﻟﺘَّﺎﺑِﻌِﻴﻦَ ﻭَﺗَﺎﺑِﻌِﻴْﻬِﻢْ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻘُﺮُﻭْﻥِ ﺍﻟْﻤُﻔَﻀَّﻠَﺔِ ؛ ِﻣﻦَ ﺍﻷَﺋِﻤَّﺔِ ﺍﻷَﻋْﻼَﻡِ ﺍﻟْﻤَﺸْﻬُﻮﺩِ ﻟَﻬُﻢْ ﺑِﺎﻹِﻣَﺎﻣَﺔِ ﻭَﺍﻟﻔَﻀْﻞِ ﻭَﺍﺗِّﺒَﺎﻉِ ﺍﻟﺴُّﻨَّﺔِ ﻭَﺍﻹِﻣَﺎﻣَﺔِ ﻓِﻴﻬَﺎ ، ﻭَﺍﺟْﺘِﻨَﺎﺏِ ﺍﻟْﺒِﺪْﻋَﺔِ ﻭَﺍﻟْﺤَﺬَﺭِ ﻣِﻨْﻬَﺎ، ﻭَﻣِﻤَّﻦْ ﺍﺗَّﻔَﻘَﺖِ ﺍﻷُﻣَّﺔُ ﻋَﻠﻰَ ﺇِﻣَﺎﻣَﺘِﻬِﻢْ ﻭَﻋَﻈِﻴْﻢِ ﺷَﺄْﻧِﻬِﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪِّﻳْﻦِ ، ﻭَﻟِﻬَﺬَﺍ ﺳُﻤِّﻲَ ﺍﻟﺼَّﺪْﺭُ ﺍﻷَﻭَّﻝُ ﺑِﺎﻟﺴَّﻠَﻒِ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺢِ. ) ﺍﻟﻮﺟﻴﺰ 1/15 ) Secara istilah; kata ‘salaf’ jika disebutkan secara mutlak (tanpa embel-embel) oleh ulama aqidah, maka definisi mereka semuanya berkisar pada para sahabat; atau sahabat dan tabi’in; atau sahabat, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dari generasi-generasi terbaik. Termasuk diantaranya para Imam yang terkenal dan diakui keimaman dan keutamaannya serta keteguhan mereka dalam mengikuti sunnah, menjauhi bid’ah, dan memperingatkan orang dari padanya. Demikian pula orang-orang (lainnya) yang telah disepakati akan keimaman dan jasa besar mereka dalam agama. Karenanya, generasi pertama dari umat ini dinamakan As Salafus Shalih (Al Wajiez hal 15). Demikian pula yang dinyatakan oleh Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafy dalam kitabnya ‘Syarh Aqidah At Thahawiyah’: … ﻫَﺬَﺍ ﻗَﻮْﻝُ ﺍﻟﺼَّﺤَﺎﺑَﺔِ ﻭَﺍﻟﺘَّﺎﺑِﻌِﻴﻦَ ﻟَﻬُﻢْ ﺑِﺈِﺣْﺴَﺎﻥٍ ، ﻭَﻫُﻢُ ﺍﻟﺴَّﻠَﻒُ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺢُ… “…Ini adalah pendapat para sahabat dan orang- orang yang mengikuti mereka dengan baik. Danmereka lah As Salafus Shaleh…” [3]). Kalau saudara bertanya: Mana dalilnya yang mengharuskan kita mengikuti pemahaman mereka? Maka kami jawab, ini dalilnya; 1. Dari Al Qur’anul Kariem: Ayat Pertama Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali (QS. 4:115). Penjelasannya: Cobalah anda renungkan kalimat yang bercetak tebal di atas. Bukankah Allah telah menyatakan bahwa diantara sebab tersesatnya seseorang ialah karena ia mengikuti jalan yang lain dari jalan orang-orang beriman (ghaira sabilil mu’minin)? Pertanyaannya; siapakah orang-orang beriman yang dimaksud oleh ayat ini? Jelas bahwa orang- orang yang pertama kali masuk dalam kategori ayat ini ialah mereka yang telah beriman saat ayat ini diturunkan… mereka lah para sahabat Rasulullah e. Karenanya Imam Syafi’i berdalil dengan ayat ini bahwa ijma’nya para sahabat adalah hujjah (dalil), dan barangsiapa menyelisihi ijma’ mereka berarti termasuk orang-orang yang terancam oleh ayat di atas [4]). Ayat Kedua Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama- tama (masuk Islam) dari kalangan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah telah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya; dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar (QS. 9:100). Penjelasannya: Dalam ayat ini sangat jelas bahwa Allah telah meridhai para sahabat dari kalangan muhajirin dan anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Mereka semua (muhajirin & anshar) telah dijamin surga oleh-Nya. Lantas mengapa kita mencari teladan selain mereka yang belum tentu masuk surga dan selamat dari neraka?? Padahal di hadapan kita telah terbentang jalan yang terang benderang menuju Surga dan keridhaan Allah… Jalan manakah yang lebih baik dari jalan mereka…?! Masihkah kita meyakini bahwa ada golongan lain yang lebih rajin beribadah, dan lebih bertakwa dari mereka? Mungkinkah kita akan mendapati sebuah amal shaleh yang belum mereka ketahui? Patutkah kita mencurigai atau menyangsikan keseriusan mereka dalam mengamalkan setiap yang baik…? Ataukah semestinya kita mencurigai siapa pun yang datang setelah mereka, bila ia mengada- adakan suatu praktik ibadah yang belum pernah mereka lakukan… Bagaimana menurut pembaca? Ayat Ketiga: Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (QS. 9:119) Ayat Keempat: Bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan- (Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang- orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang- orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung (QS. 59: 8-9). Penjelasan ayat ketiga dan keempat: Dalam dua ayat ini Allah memerintahkan semua orang yang beriman agar bersama dengan orang- orang yang benar (ash shaadiquun), kemudian Dia menjelaskan bahwa orang-orang yang benar tersebut ialah para sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Sedang dalam kaidah ushul fiqih, setiap perintah itu hukumnya wajib hingga ada dalil lain yang menggesernya menjadi mustahab (sunnah) atau mubah, dan dalil tersebut tidak ada. Kesimpulannya, kita wajib mengikuti jalan mereka. Ayat Kelima: Jika mereka beriman dengan apa yang kalian beriman dengannya, berarti mereka telah mendapat petunjuk… (QS. 2:137). Penjelasan ayat kelima: Konteks ayat ini selengkapnya merupakan bantahan terhadap klaim orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mengatakan bahwa barangsiapa mengikuti mereka niscaya akan mendapat petunjuk (ayat 135). Maka Allah membantah klaim mereka tersebut, kemudian memerintahkan mereka untuk mengatakan: kami beriman kepada Allah, beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami,…. dan seterusnya (ayat 136). Kemudian Allah menentukan hakikat keimanan tadi; Jika mereka beriman dengan apa yang kalian beriman dengannya[5]), maka mereka telah mendapat petunjuk. Yang dimaksud dengan kata ‘kalian’ di sini ialah para sahabat. Jadi, jelas sekali bahwa jalan satu-satunya untuk mendapatkan petunjuk ialah dengan mengikuti manhaj para salaf, terutama generasi sahabat radhiyallahu ‘anhum. Ayat Keenam: Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah, lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mu’min dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat taqwa dan adalah mereka lebih berhak dengan kalimat taqwa itu dan merekalah ahlinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS. 48:26). Penjelasan ayat keenam: Ayat ini menyingkap bagi kita akan arti takwa yang sesungguhnya, sekaligus menjelaskan bahwa para sahabatlah yang paling bertaqwa. Perhatikanlah ayat di atas bahwa yang memberi “stempel ahli taqwa” bukanlah manusia, jin, ataupun makhluk lainnya… tetapi Pencipta alam semesta; Allah Ta’ala. Namun sayangnya, masih banyak orang yang berat menerima pengertian ini. Mereka merasa ada banyak cara untuk bertakwa kepada Allah yang terluputkan oleh para sahabat. 2. Dalil dari As Sunnah Berikut ini beberapa hadits yang menjadi landasan dalam bermanhaj salafus shaleh; ﻋَﻦْ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻪُ ﻋَﻦْ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﻗَﺎﻝَ ﺧَﻴْﺮُ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻗَﺮْﻧِﻲ ﺛُﻢَّ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﻠُﻮﻧَﻬُﻢْ ﺛُﻢَّ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﻠُﻮﻧَﻬُﻢْ … ﺃﺧﺮﺟﻪ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ) ,2652 ,3651 (6429 ﻭ ﻣﺴﻠﻢ ) 2533 ) Dari Abdullah (ibnu Mas’ud) radhiyallahu ‘anhu, katanya: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Sebaik-baik manusia ialah mereka yang hidup di zamanku, kemudian yang datang setelah mereka, kemudian yang datang setelahnya lagi…” (H.R. Bukhari no 2652,3651,6429; dan Muslim no 2533). ﻋَﻦْ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﺑْﻦِ ﻋَﺒْﺪِ ﺭَﺏِّ ﺍﻟْﻜَﻌْﺒَﺔِ ﻗَﺎﻝَ ﺩَﺧَﻠْﺖُ ﺍﻟْﻤَﺴْﺠِﺪَ ﻓَﺈِﺫَﺍ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦُ ﻋَﻤْﺮِﻭ ﺑْﻦِ ﺍﻟْﻌَﺎﺹِ ﺟَﺎﻟِﺲٌ ﻓِﻲ ﻇِﻞِّ ﺍﻟْﻜَﻌْﺒَﺔِ ﻭَﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﻣُﺠْﺘَﻤِﻌُﻮﻥَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻓَﺄَﺗَﻴْﺘُﻬُﻢْ ﻓَﺠَﻠَﺴْﺖُ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻛُﻨَّﺎ ﻣَﻊَ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻓﻲ ﺳَﻔَﺮٍ ﻓَﻨَﺰَﻟْﻨَﺎ ﻣَﻨْﺰِﻟًﺎ ﻓَﻤِﻨَّﺎ ﻣَﻦْ ﻳُﺼْﻠِﺢُ ﺧِﺒَﺎﺀَﻩُ ﻭَﻣِﻨَّﺎ ﻣَﻦْ ﻳَﻨْﺘَﻀِﻞُ ﻭَﻣِﻨَّﺎ ﻣَﻦْ ﻫُﻮَ ﻓِﻲ ﺟَﺸَﺮِﻩِ ﺇِﺫْ ﻧَﺎﺩَﻯ ﻣُﻨَﺎﺩِﻱ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓَ ﺟَﺎﻣِﻌَﺔً ﻓَﺎﺟْﺘَﻤَﻌْﻨَﺎ ﺇِﻟَﻰ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺇِﻧَّﻪُ ﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦْ ﻧَﺒِﻲٌّ ﻗَﺒْﻠِﻲ ﺇِﻟَّﺎ ﻛَﺎﻥَ ﺣَﻘًّﺎ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺃَﻥْ ﻳَﺪُﻝَّ ﺃُﻣَّﺘَﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﺧَﻴْﺮِ ﻣَﺎ ﻳَﻌْﻠَﻤُﻪُ ﻟَﻬُﻢْ ﻭَﻳُﻨْﺬِﺭَﻫُﻢْ ﺷَﺮَّ ﻣَﺎ ﻳَﻌْﻠَﻤُﻪُ ﻟَﻬُﻢْ ﻭَﺇِﻥَّ ﺃُﻣَّﺘَﻜُﻢْ ﻫَﺬِﻩِ ﺟُﻌِﻞَ ﻋَﺎﻓِﻴَﺘُﻬَﺎ ﻓِﻲ ﺃَﻭَّﻟِﻬَﺎ ﻭَﺳَﻴُﺼِﻴﺐُ ﺁﺧِﺮَﻫَﺎ ﺑَﻠَﺎﺀٌ ﻭَﺃُﻣُﻮﺭٌ ﺗُﻨْﻜِﺮُﻭﻧَﻬَﺎ … ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ Dari Abdurrahman bin Abdi Rabbil Ka’bah katanya: Sewaktu aku masuk ke masjidil haram, kudapati Abdullah bin Amru bin Ash sedang duduk berteduh di bawah ka’bah, sedangkan di sekelilingnya ada orang-orang yang berkumpul mendengarkan ceritanya. Lalu aku ikut duduk di majelis itu dan kudengar ia mengatakan: “Pernah suatu ketika kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu safar. Ketika kami singgah di sebuah tempat, diantara kami ada yang sibuk membenahi kemahnya, ada pula yang bermain panah, dan ada yang sibuk mengurus hewan gembalaannya. Tiba-tiba penyeru Rasulullahshall allahu ‘alaihi wa sallam berseru lantang: “Ayo… mari shalat berjamaah!!” maka segeralah kami berkumpul di tempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya tak ada seorang Nabi pun sebelumku, melainkan wajib baginya untuk menunjukkan umatnya akan setiap kebaikan yang ia ketahui; dan memperingatkan mereka dari setiap kejahatan yang ia ketahui. Sesungguhnya umat kalian ini ialah umat yang keselamatannya ada pada generasi awalnya; sedangkan generasi akhirnya akan mengalami bala’ dan berbagai hal yang kalian ingkari… al hadits” (H.R. Muslim no 1844). Kami rasa dua hadits di atas cukup jelas maknanya bagi para pembaca. Jadi, jelaslah bahwa generasi awal (As Salafus Shaleh) dari umat ini, ialah generasi terbaik yang terpelihara dari fitnah- fitnah besar yang menimpa umat ini di kemudian hari. Maka wajar jika manhaj mereka yang paling dekat kepada kebenaran, dan paling terjaga dari penyimpangan. Kemudian disusul oleh generasi kedua dan ketiga. Berangkat dari sini, maka setiap praktik ibadah yang muncul sepeninggal mereka harus kita waspadai. Janganlah terkecoh dengan banyaknya pengikut, karena jumlah yang banyak bukanlah jaminan sebuah kebenaran. Mutiara Hikmah As Salafus Shaleh Sebagai pelengkap, berikut ini adalah wasiat- wasiat berharga dari para salaf yang lebih memperjelas akan pentingnya ittiba’ (mengikuti) dan bahayanya ibtida’ (membuat bid’ah). Sebagian besar mutiara hikmah ini kami nukil dari kitab Al Wajiez fi Aqidatis Salafis Shaleh Ahlissunnah wal Jama’ah, oleh syaikh Abdullah bin Abdil Hamid Al Atsary -hafidhahullah- jilid 1 hal 153-160. 1. Hudzaifah ibnul Yaman : ﻛُﻞُّ ﻋِﺒَﺎﺩَﺓٍ ﻟَﻢْ ﻳَﺘَﻌَﺒَّﺪْ ﺑِﻬَﺎ ﺃََﺻْﺤَﺎﺏُ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻓﻼَ ﺗَﺘَﻌَﺒَّﺪُﻭْﺍ ﺑِﻬَﺎ ؛ ﻓﺈَِﻥَّ ﺍﻷَﻭَّﻝَ ﻟَﻢْ ﻳَﺪَﻉْ ﻟِﻶﺧِﺮِ ﻣَﻘَﺎﻻً ؛ ﻓَﺎﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪَ ﻳَﺎ ﻣَﻌْﺸَﺮَ ﺍﻟﻘُﺮَّﺍﺀِ ، ﺧُﺬُﻭْﺍ ﻃَﺮِﻳْﻖَ ﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻗَﺒْﻠَﻜُﻢْ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻦ ﺑﻄﺔ ﻓﻲ ﺍﻹﺑﺎﻧﺔ ) “Setiap ibadah yang tidak pernah diamalkan oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, janganlah kalian beribadah dengannya. Karena generasi pertama tak menyisakan komentar bagi yang belakangan. Maka takutlah kepada Allah wahai orang yang gemar beribadah, dan ikutilah jalan orang-orang sebelummu” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al Ibanah). 2. Abdullah bin Mas’ud: ﻣَﻦْ ﻛﺎﻥ ﻣُﺴْﺘﻨَﺎًّ ﻓَﻠْﻴَﺴْﺘَﻦِّ ﺑِﻤَﻦْ ﻗَﺪْ ﻣَﺎﺕَ ﺃُﻭْﻟَﺌِﻚَ ﺃَﺻْﺤَﺎﺏُ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻛَﺎﻧُﻮﺍ ﺧَﻴْﺮَ ﻫَﺬِﻩِ ﺍﻷُﻣَّﺔِ ، ﻭَﺃَﺑَﺮَّﻫَﺎ ﻗُﻠُﻮﺑﺎً ، ﻭَﺃََﻋْﻤَﻘَﻬﺎ ﻋِﻠْﻤﺎً ، ﻭَﺃَﻗَﻠَّﻬَﺎ ﺗَﻜَﻠُّﻔًﺎ ، ﻗَﻮْﻡٌ ﺍِﺧْﺘَﺎﺭَﻫُﻢُ ﺍﻟﻠﻪُ ﻟِﺼُﺤْﺒَﺔ ﻧَﺒِﻴِّﻪِ ﻭَﻧَﻘْﻞِ ﺩِﻳْﻨِﻪِ ﻓَﺘَﺸَﺒَّﻬُﻮْﺍ ﺑِﺄََﺧْﻼَﻗِﻬِﻢْ ﻭَﻃَﺮَﺍﺋِﻘِﻬِﻢْ ؛ ﻓَﻬُﻢْ ﻛَﺎﻧُﻮﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻬَﺪْﻱِ ﺍﻟﻤُﺴْﺘَﻘِﻴﻢِ )ﺃﺧﺮﺟﻪ ﺍﻟﺒﻐﻮﻱ ﻓﻲ ﺷﺮﺡ ﺍﻟﺴﻨﺔ ) “Siapa yang ingin mengikuti ajaran tertentu, hendaklah ia mengikuti ajaran orang yang telah wafat, yaitu para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka ialah sebaik-baik umat ini. Hati mereka paling baik, ilmu mereka paling dalam, dan mereka paling tidak suka berlebihan (takalluf) dalam beragama. Merekalah kaum yang dipilih Allah untuk menjadi pendamping Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan menyampaikan dien-Nya. Maka tirulah akhlak dan tingkah laku mereka, karena mereka selalu berada di atas petunjuk yang lurus” (Diriwayatkan oleh Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah). Beliau juga mengatakan: ﺍِﺗَّﺒِﻌُﻮﺍ ﻭَﻻَ ﺗَﺒْﺘَﺪِﻋُﻮﺍ ﻓَﻘَﺪْ ﻛُﻔِﻴْﺘُﻢْ ؛ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺑِﺎﻷََﻣْﺮِ ﺍﻟﻌَﺘِﻴْﻖِ )ﺃﺧﺮﺟﻪ ﺍﻟﺪﺍﺭﻣﻲ ﻓﻲ ﺳﻨﻨﻪ ) “Ikutilah dan jangan berbuat bid’ah, karena kalian telah dicukupi. Hendaklah kalian berpegang teguh dengan perkara yang terdahulu” (Diriwayatkan oleh Ad Darimi dalam Sunan-nya). 3. Umar ibnul Khatthab: ﻭَﻋَﻦْ ﻋَﺎﺑِﺲٍ ﺑْﻦِ ﺭَﺑِﻴْﻌَﺔَ ، ﻗﺎَﻝَ : ﺭَﺃََﻳْﺖُ ﻋُﻤَﺮَ ﺑْﻦَ ﺍﻟﺨْﻄَﺎَّﺏِ ﻳُﻘﺒِّﻞُ ﺍﻟﺤَﺠَﺮَ - ﻳَﻌْﻨِﻲ ﺍﻷَﺳْﻮَﺩَ- ﻭَﻳَﻘُﻮْﻝُ : ﺇِﻧِّﻲ ﻷَﻋْﻠَﻢُ ﺃََﻧَّﻚَ ﺣَﺠَﺮٌ ﻻَ ﺗَﻀُﺮُّ ﻭُﻻَ ﺗَﻨْﻔَﻊُ ، ﻭَﻟَﻮْﻻَ ﺃَﻧِّﻲ ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪ ِ ﻳُﻘَﺒِّﻠُﻚَ ﻣَﺎ ﻗَﺒَّﻠﺘُﻚَ ) ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ ) Dari ‘Aabis bin Rabi’ah, katanya: Aku melihat ‘Umar ibnul Khatthab shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium Hajar Aswad seraya berkata: “Aku tahu pasti, bahwa engkau hanyalah sebuah batu yang tak dapat memberi madharat maupun manfaat. Kalaulah bukan karena aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, kau tak akan kucium!” (Muttafaq ‘Alaih)[6]). ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﺍﻟْﻌَﻼَﺀِ ﺑْﻦِ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺑْﻦِ ﺷِﺨِّﻴْﺮٍ ﻗَﺎﻝَ : ﻋَﻄَﺲَ ﺭَﺟُﻞٌ ﻋِﻨْﺪَ ﻋُﻤَﺮَ ﺑْﻦِ ﺍﻟْﺨَﻄَّﺎﺏِ ﻓَﻘَﺎﻝَ : ﺍَﻟﺴَّﻼَﻡُ ﻋَﻠَﻴْﻚَ ، ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻋُﻤَﺮُ : ﻭَﻋَﻠَﻴْﻚَ ﻭَﻋَﻠﻰَ ﺃٌﻣِّﻚَ ، ﺃَﻣَﺎ ﻳَﻌْﻠَﻢُ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻣَﺎ ﻳَﻘُﻮْﻝُ ﺇِﺫَﺍ ﻋَﻄَﺲَ ؟ ﺇِﺫَﺍ ﻋَﻄَﺲَ ﺃَﺣَﺪَﻛُﻢْ ﻓَﻠْﻴَﻘُﻞْ : ﺍَﻟْﺤَﻤْﺪُ ِﻟﻠﻪِ ، ﻭَﻟْﻴَﻘُﻞِ ﺍﻟْﻘَﻮْﻡُ : ﻳَﺮْﺣَﻤُﻚَ ﺍﻟﻠﻪُ ، ﻭَﻟْﻴَﻘُﻞْ ﻫُﻮَ : ﻳَﻐْﻔِﺮُ ﺍﻟﻠﻪُ ﻟَﻜُﻢْ ) ﺭﻭﺍﻩ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺯﺍﻕ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺼﻨﻒ , 10/451 ,452- ﺭﻗﻢ 19677 ؛ ﻭ ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ ﻓﻲ ﺷﻌﺐ ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ,39 ﻓﺼﻞ ﻓﻴﻤﺎ ﻳﻘﻮﻝ ﺍﻟﻌﺎﻃﺲ ﻓﻲ ﺟﻮﺍﺏ ﺍﻟﺘﺸﻤﻴﺖ , ﺭﻗﻢ 9030 ). Dari Abul ‘Ala’ bin Abdillah bin Syikhkhir, katanya: “Ada seseorang bersin di samping Umar bin Khatthab t, lalu mengucapkan: “Assalaamu ‘alaika…”, maka sahut ‘Umar: “Alaika wa ‘ala ummik…! Apa kalian tidak tahu apa yang musti diucapkan ketika bersin? Kalau kalian bersin hendaknya mengucapkan:“Alhamdulillah”, sedang yang mendengar mengucapkan: “Yarhamukallaah” lalu yang bersin membalas: “Yaghfirullaahu lakum” (H.R. Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya, dan Al Baihaqy dalamSyu’abul Iman). Hadits yang senada juga diriwayatkan dari sahabat Salim bin ‘Ubeid: ﺃَﻧَّﻪُ ﻛَﺎﻥَ ﻣَﻊَ ﺍﻟْﻘَﻮْﻡِ ﻓِﻲ ﺳَﻔَﺮٍ ﻓَﻌَﻄَﺲَ ﺭَﺟُﻞٌ ﻣِﻦْ ﺍﻟْﻘَﻮْﻡِ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺍﻟﺴَّﻠَﺎﻡُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻋَﻠَﻴْﻚَ ﻭَﻋَﻠَﻰ ﺃُﻣِّﻚَ - ﻭَﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻄَّﺤَﺎﻭِﻱ ﻓِﻲ ﻣُﺸْﻜِﻞِ ﺍﻵﺛَﺎﺭِ : ﻣَﺎ ﺷَﺄْﻥُ ﺍﻟﺴَّﻼَﻡِ ﻭَﺷَﺄْﻥُ ﻣَﺎ ﻫَﺎﻫُﻨَﺎ ؟ - ، ﺛُﻢَّ ﻗَﺎﻝَ ﺑَﻌْﺪُ : ﻟَﻌَﻠَّﻚَ ﻭَﺟَﺪْﺕَ ﻣِﻤَّﺎ ﻗُﻠْﺖُ ﻟَﻚَ ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﻟَﻮَﺩِﺩْﺕُ ﺃَﻧَّﻚَ ﻟَﻢْ ﺗَﺬْﻛُﺮْ ﺃُﻣِّﻲ ﺑِﺨَﻴْﺮٍ ﻭَﻟَﺎ ﺑِﺸَﺮٍّ ﻗَﺎﻝَ : ﺇﻧَّﻤَﺎ ﻗُﻠْﺖُ ﻟَﻚَ ﻛَﻤَﺎ ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺇﻧَّﺎ ﺑَﻴْﻨَﺎ ﻧَﺤْﻦُ ﻋِﻨْﺪَ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺇﺫَﺍ ﻋَﻄَﺲَ ﺭَﺟُﻞٌ ﻣِﻦْ ﺍﻟْﻘَﻮْﻡِ ﻓَﻘَﺎﻝَ : ﺍﻟﺴَّﻠَﺎﻡُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﻋَﻠَﻴْﻚَ ﻭَﻋَﻠَﻰ ﺃُﻣِّﻚَ ﺛُﻢَّ ﻗَﺎﻝَ : ﺇﺫَﺍ ﻋَﻄَﺲَ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳﺚ { ﻭَﺭَﻭَﺍﻩُ ﺃَﺣْﻤَﺪُ ﻭَﻓِﻲ ﻟَﻔْﻆٍ } ﻓَﻠْﻴَﻘُﻞْ ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻟِﻠَّﻪِ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﺣَﺎﻝٍ ، ﺃَﻭْ ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻟِﻠَّﻪِ ﺭَﺏِّ ﺍﻟْﻌَﺎﻟَﻤِﻴﻦَ .{ ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ ﻭﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ﻭﺃﺣﻤﺪ ﻭﺍﺑﻦ ﺣﺒﺎﻥ ﻓﻲ ﺻﺤﻴﺤﻪ Bahwaketika beliau bersama rombongannya dalam sebuah safar, ada seseorang yang bersin lantas mengucap: “Assalaamu ‘alaikum!”, maka sahut Salim: “Alaika wa ‘ala ummik [7]” –dalam riwayat Ath Thahawy ditambahkan: “Apa hubungannya antara salam dengan orang bersin?”– Kemudian Salim berkata lagi: “Nampaknya kau tersinggung dengan ucapanku barusan…?” jawabnya: “Ya… andai saja kau tak menyebut-nyebut ibuku tadi…” lalu kata Salim: “Aku tak mengucapkan lebih dari yang diucapkan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam … suatu ketika kami sedang bersama beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala ada orang yang bersin dan mengucapkan: “Assalaamu ‘alaikum..” maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammenjawab: “Alaika wa ‘ala ummik…” lalu lanjutnya: “Kalau kalian bersin hendaklah mengucapkan:“Alhamdulillah” atau “Alhamdulillahi ‘ala kulli haal” atau: “Alhamdulillahi rabbil ‘alamien” (H.R. Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad, dan Ath Thahawy). 4. Abdullah bin Umar: ﻛُﻞُّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼﻟَﺔٌ ؛ ﻭَﺇِﻥْ ﺭَﺁﻫﺎَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺣَﺴَﻨَﺔً ) ﺭﻭﺍﻫﻤﺎ ﺍﻟﻼﻟﻜﺎﺋﻲ ﻓﻲ ﺷﺮﺡ ﺃﺻﻮﻝ ﺍﻻﻋﺘﻘﺎﺩ ) “Semua bid’ah adalah kesesatan, meski orang- orang menilainya baik (bid’ah hasanah)” (Diriwayatkan oleh Al Laalaka-i dalam Syarh Ushulil I’tiqad) [8]). ﻗَﺎﻝَ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺑْﻦُ ﻋُﻤَﺮَ ﻟﻤﻦ ﺳﺄﻟﻪ ﻋﻦ ﻣﺴﺄﻟﺔٍ ، ﻭﻗﺎﻝ ﻟﻪ : ﺇِﻥ ﺃَﺑﺎﻙ ﻧﻬﻰ ﻋﻨﻬﺎ : ﺃَﺃَﻣْﺮُ ﺭَﺳُﻮْﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺃََﺣَﻖُّ ﺃََﻥْ ﻳُﺘَّﺒَﻊَ ، ﺃََﻭْ ﺃََﻣْﺮُ ﺃَﺑِﻲ؟ ! )ﺯﺍﺩ ﺍﻟﻤﻌﺎﺩ ) Ketika ada seseorang yang mengatakan kepada Abdullah bin ‘Umar : “Sesungguhnya ayahmu (Umar bin Khatthab) melarang hal itu”. Ibnu Umar balik bertanya: “Perintah siapakah yang lebih berhak untuk ditaati, perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau perintah ayahku??” (Zaadul Ma’aad 2/178). Ibnu Umar memang terkenal sebagai sahabat yang paling ittiba’ kepada sunnah dan anti bid’ah. Imam At Tirmidzi meriwayatkan dalam Sunan-nya: Dari Nafi’ katanya; ada seseorang yang bersin di samping Ibnu Umar lantas mengatakan: Alhamdulillah was salaamu ‘ala Rasuulillaah! Maka Ibnu ‘Umar mengatakan: “Aku pun mengatakan: Alhamdulillah was salaamu ‘ala Rasuulillaah, tapi bukan begitu yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan kepada kami (ketika bersin). Beliau mengajarkan kami agar mengucapkan Alhamdulillaahi ‘ala kulli haal”[9]). 5. Abdullah bin ‘Abbas : ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺍﺑْﻦُ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ – ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻬُﻤَﺎ - ﻟِﻤَﻦْ ﻋَﺎﺭَﺽَ ﺍﻟﺴُّﻨَّﺔَ ؛ ﺑِﻘَﻮْﻝِ ﺃََﺑِﻲ ﺑَﻜْﺮٍ ﻭَﻋُﻤَﺮَ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻬُﻤَﺎ : ﻳُﻮﺷﻚُ ﺃَﻥْ ﺗَﻨـْﺰِﻝَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺣِﺠَﺎﺭَﺓً ﻣِﻦَ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ ؛ ﺃََﻗُﻮْﻝُ ﻟَﻜُﻢْ : ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ - ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﻋَﻠََﻰ ﺁﻟِﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ- ﻭَﺗَﻘُﻮْﻟُﻮْﻥَ : ﻗﺎَﻝَ ﺃَﺑُﻮ ﺑَﻜْﺮٍ ﻭَﻋُﻤَﺮُ ) ﺭﻭﺍﻩ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺯﺍﻕ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺼﻨﻒ ﺑﺴﻨﺪ ﺻﺤﻴﺢ ) Beliau mengatakan kepada orang yang menolak Sunnah Nabi dengan perkataan Abu Bakar dan Umar: “Hampir saja hujan batu menimpa kalian…!! Kukatakan bahwa: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda begini dan begitu…” namun kalian malah mengatakan: “Abu Bakar dan Umar mengatakan begini dan begitu…!!” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq Ash Shan’ani dalam Mushannaf- nya dengan sanad shahih)[10]). 6. Mu’adz bin Jabal Dirwayatkan dari Yazid bin ‘Umairah -salah seorang sahabat Mu’adz– bahwa Mu’adz bin Jabal dalam setiap majelisnya selalu mengatakan: “Allah itu bijaksana dan Maha Adil. Celakalah orang- orang yang ragu…”. Kemudian pada suatu hari Mu’adz mengatakan: “Sesungguhnya di belakang kalian akan ada fitnah yang banyak…. Saat itu harta melimpah ruah, Al Qur’an dibaca beramai- ramai oleh orang mu’min maupun munafik, wanita maupun anak-anak, dan hamba sahaya maupun orang merdeka… sampai-sampai ada yang mengatakan: “Mengapa orang-orang tak mau mengikutiku, padahal aku telah membaca Al Qur’an? Sungguh, mereka memang tidak mau mengikutiku sampai aku membikin bid’ah yang lain bagi mereka…”. Maka waspadalah kalian dari bid’ah yang diperbuatnya, karena setiap bid’ah itu sesat. Dan waspadalah kalian dari kesesatan orang bijak… karena Syaithan kadang menyampaikan kesesatan melalui lisan si Bijak; dan kadang si Munafik mengatakan yang haq”. Maka tanyaku: “Semoga Allah merahmatimu… lantas bagaimana aku tahu bahwa si Bijak menyampaikan kesesatan, dan si Munafik berkata benar?” “Bisa…” jawab Mu’adz. “Yaitu ketika si Bijak mengatakan sesuatu yang jelas-jelas batil; hingga kamu mengatakan: “Omongan apa ini !?” Namun jangan sampai hal itu menjauhkanmu darinya; karena boleh jadi ia segera bertaubat dan kembali kepada kebenaran… Maka terimalah al haq begitu kamu mendengarnya, karena dalam al haq itu terdapat cahaya” [11]). Makna kesesatan orang bijak ( ﺯﻳﻐﺔ ﺍﻟﺤﻜﻴﻢ ), sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab ‘Aunul Ma’bud ialah: ﺃَﻱْ ﺍِﻧْﺤِﺮَﺍﻑ ﺍﻟْﻌَﺎﻟِﻢ ﻋَﻦْ ﺍﻟْﺤَﻖّ . ﻭَﺍﻟْﻤَﻌْﻨَﻰ ﺃُﺣَﺬِّﺭﻛُﻢْ ﻣِﻤَّﺎ ﺻَﺪَﺭَ ﻣِﻦْ ﻟِﺴَﺎﻥ ﺍﻟْﻌُﻠَﻤَﺎﺀ ﻣِﻦْ ﺍﻟﺰَّﻳْﻐَﺔ ﻭَﺍﻟﺰَّﻟَّﺔ ﻭَﺧِﻠَﺎﻑ ﺍﻟْﺤَﻖّ ﻓَﻠَﺎ ﺗَﺘَّﺒِﻌُﻮﻩُ ) ﻋﻮﻥ ﺍﻟﻤﻌﺒﻮﺩ ﺷﺮﺡ ﺳﻨﻦ ﺃﺑﻲ ﺩﺍﻭﺩ , ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﺴﻨﺔ , ﺑﺎﺏ : ﻟﺰﻭﻡ ﺍﻟﺴﻨﺔ ) (Yaitu) menyimpangnya seorang ‘alim dari al haq. Jadi maksud ucapan Mu’adz ialah: “Kuperingatkan kalian akan penyimpangan, kekeliruan dan pernyataan yang tidak benar, yang muncul dari lisan para ‘ulama; jangan sampai kalian mengikutinya” (‘Aunul Ma’bud, lihat pada syarah hadits di atas). 7. Abdullah bin Mas’ud ﻭَﺇِﻳَّﺎﻛُﻢْ ﻭَﺍﻟْﻤُﺤْﺪَﺛَﺎﺕ؛ِ ﻓَﺈِﻥَّ ﺷَﺮَّ ﺍﻷُﻣُﻮْﺭِ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺎﺗُﻬَﺎ، ﻭَﻛُﻞَّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟَﺔٌ )ﺇﻋﻼﻡ ﺍﻟﻤﻮﻗﻌﻴﻦ 2/428 ) “Waspadailah setiap yang baru (dalam agama), karena sejelek-jelek perkara ialah perkara yang diada-adakan dalam agama, dan setiap bid’ah itu sesat” (I’laamul Muwaqqi’in 2/428). 8. Sufyan Ats Tsaury -rahimahullah- ﺍﻟﺒِﺪْﻋَﺔُ ﺃَﺣَﺐُّ ﺇِﻟَﻰ ﺇِﺑْﻠِﻴْﺲَ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻤَﻌْﺼِﻴَﺔِ ، ﺍﻟﻤَﻌْﺼِﻴَﺔُ ﻳُﺘَﺎﺏُ ﻣِﻨْﻬَﺎ ، ﻭَﺍﻟﺒِﺪْﻋَﺔُ ﻻَ ﻳﺘُﺎَﺏُ ﻣِﻨْﻬَﺎ )ﺃﺧﺮﺟﻪ ﺍﻟﺒﻐﻮﻱ ﻓﻲ ﺷﺮﺡ ﺍﻟﺴﻨﺔ ) “Bid’ah itu lebih disukai oleh Iblis dari pada kemaksiatan. Dosa maksiat masih ada harapan taubat, tapi dosa bid’ah tidak ada harapan taubat” [12]) (Diriwayatkan oleh Al Baghawy dalam Syarhus Sunnah). 9. Abdullah ibnul Mubarak -rahimahullah- ﺍِﻋْﻠَﻢْ- ﺃَﻱْ ﺃََﺧِﻲ - ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻤَﻮْﺕَ ﺍﻟﻴَﻮْﻡَ ﻛَﺮَﺍﻣَﺔٌ ﻟِﻜُﻞِّ ﻣُﺴْﻠِﻢٍ ﻟَﻘِﻲَ ﺍﻟﻠﻪَ ﻋَﻠﻰَ ﺍﻟﺴُّﻨَّﺔِ ، ﻓَﺈِﻧﺎَّ ﻟِﻠّﻪِ ﻭَﺇِﻧَّﺎ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﺭَﺍﺟِﻌُﻮْﻥَ ؛ ﻓَﺈِﻟَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ ﻧَﺸْﻜُﻮْ ﻭَﺣْﺸَﺘَﻨﺎَ ، ﻭَﺫَﻫَﺎﺏَ ﺍﻹِﺧْﻮَﺍﻥِ ، ﻭَﻗِﻠَّّﺔَ ﺍﻷَﻋْﻮَﺍﻥِ ، ﻭَﻇُﻬُﻮْﺭَ ﺍﻟْْﺒِﺪَﻉِ ، ﻭَﺇِﻟﻰَ ﺍﻟﻠﻪِ ﻧَﺸْﻜُﻮْ ﻋَﻈِﻴْﻢَ ﻣَﺎ ﺣَﻞَّ ﺑِﻬَﺬِﻩِ ﺍﻷُﻣَّﺔِ ﻣِﻦْ ﺫَﻫَﺎﺏِ ﺍﻟْﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ، ﻭَﺃََﻫْﻞِ ﺍﻟﺴُّﻨَّﺔِ ، ﻭَﻇُﻬُﻮْﺭِ ﺍﻟْﺒِﺪَﻉِ ) ﺍﻟﺒﺪﻉ ﻭﺍﻟﻨﻬﻲ ﻋﻨﻬﺎ ﻻﺑﻦ ﻭﺿﺎﺡ ) “Saudaraku, ketahuilah bahwa kematian hari ini adalah karamah (kemuliaan) bagi setiap muslim yang menghadap Allah di atas Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita semua adalah milik Allah, dan kita semua akan kembali kepada- Nya. Kepada Allah lah kita mengadukan kesendirian kita, mangkatnya saudara kita, sedikitnya penolong kita, dan kemunculan bid’ah di mana-mana. Kepada-Nya jua kita mengeluh akan besarnya musibah yang menimpa umat ini, karena mangkatnya para ulama dan pengikut sunnah, serta munculnya berbagai bid’ah” (Al Bida’u wan Nahyu ‘Anha oleh Ibnu Wadhdhah). 10. Al Fudhail bin ‘Iyadh -rahimahullah- ﺍِﺗَّﺒِﻊْ ﻃُﺮُﻕَ ﺍﻟﻬُﺪَﻯ ﻭَﻻَ ﻳَﻀُﺮُّﻙَ ﻗﻠَِّﺔُ ﺍﻟﺴَّﺎﻟِﻜِﻴﻦَ ، ﻭَﺇِﻳﺎَّﻙَ ﻭَﻃُﺮُﻕَ ﺍﻟﻀَّﻼَﻟَﺔِ ، ﻭَﻻَ ﺗَﻐْﺘَﺮُّ ﺑِﻜَﺜْﺮَﺓِ ﺍﻟْﻬَﺎﻟِﻜِﻴﻦَ ) ﺍﻻﻋﺘﺼﺎﻡ ) “Ikutilah jalan-jalan petunjuk, dan janganlah risau dengan sedikitnya pengikut. Tapi waspadailah jalan-jalan kesesatan, dan janganlah terkecoh dengan banyaknya orang celaka” (Al I’tisham). 11. Amirul Mukminin Umar bin ‘Abdul ‘Aziez - rahimahullah- ﻗِﻒْ ﺣَﻴْﺚُ ﻭَﻗَﻒَ ﺍﻟﻘَﻮْﻡُ ، ﻓَﺈِﻧَّﻬُﻢْ ﻋَﻦْ ﻋِﻠْﻢٍ ﻭَﻗَﻔُﻮﺍ ، ﻭَﺑِﺒَﺼَﺮٍ ﻧﺎَﻓِﺬٍ ﻛَﻔُّﻮْﺍ ، ﻭَﻫُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﻛَﺸْﻔِﻬَﺎ ﻛَﺎﻧُﻮﺍ ﺃَﻗْﻮَﻯ ، ﻭَﺑِﺎﻟْﻔَﻀْﻞِ ﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﻓِﻴْﻬَﺎ ﺃََﺣْﺮَﻯ ، ﻓَﻠَﺌِﻦْ ﻗُﻠْﺘُﻢْ : ﺣَﺪَﺙَ ﺑَﻌﺪَﻫُﻢْ ؛ ﻓَﻤَﺎ ﺃََﺣْﺪَﺛﻪُ ﺇِﻻَّ ﻣَﻦْ ﺧَﺎﻟَﻒَ ﻫَﺪْﻳَﻬُﻢْ ، ﻭَﺭَﻏِﺐَ ﻋَﻦْ ﺳُﻨَّﺘِﻬِﻢْ ، ﻭَﻟَﻘَﺪْ ﻭَﺻَﻔُﻮﺍ ﻣِﻨْﻪُ ﻣَﺎ ﻳُﺸْﻔِﻲ ، ﻭَﺗَﻜَﻠَّﻤُﻮﺍ ﻣِﻨْﻪُ ﺑِﻤَﺎ ﻳَﻜْﻔِﻲ ، ﻓَﻤَﺎ ﻓَﻮْﻗَﻬُﻢْ ﻣُﺤَﺴِّﺮٌ ﻭَﻣَﺎ ﺩُﻭْﻧَﻬُﻢْ ﻣُﻘَﺼِّﺮٌ ، ﻟَﻘَﺪْ ﻗَﺼَﺮَ ﻋَﻨْﻬُﻢْ ﻗَﻮﻡٌ ﻓَﺠَﻔَﻮْﺍ ﻭَﺗﺠَﺎﻭَﺯَﻫُﻢ ﺁﺧَﺮُﻭْﻥَ ﻓَﻐَﻠَﻮْﺍ ، ﻭَﺇِﻧَّﻬُﻢْ ﻓِﻴْﻤﺎَ ﺑَﻴْﻦَ ﺫَﻟِﻚَ ﻟَﻌَﻠﻰَ ﻫُﺪًﻯ ﻣُﺴْﺘَﻘَﻴْﻢٍ ) ﺃﻭﺭﺩﻩ ﺍﺑﻦ ﻗﺪﺍﻣﺔ ﻓﻲ ﻟﻤﻌﺔ ﺍﻻﻋﺘﻘﺎﺩ ) “Berhentilah saat mereka (para salaf) berhenti. Karena mereka berhenti berdasarkan ilmu. Mereka menahan diri setelah berpikir jeli. Padahal merekalah yang lebih mampu untuk menyingkap setiap masalah, dan lebih gencar tuk mengejar setiap fadhilah. Kalau kalian berkata: “Banyak hal baru (dalam agama) yang muncul setelah mereka…” ingatlah, bahwa hal tersebut tidak dimunculkan kecuali oleh mereka yang menyelisihi pentunjuk salaf, dan menolak ajaran mereka. Para salaf telah menjelaskan agama segamblang-gamb langnya, dan menerangkannya sejelas mungkin. Siapa yang mendahului mereka akan menyesal, dan siapa yang berada di bawah mereka berarti pemalas. Sungguh, orang-orang yang berada dibawah mereka akhirnya gagal, namun yang ingin mengungguli mereka justru melampaui batas, sedangkan mereka (para salaf) tetap berada di antara keduanya, di atas jalan yang lurus” (disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam Lum’atul I’tiqad). 12. Al Imam Ahmad bin Hambal -rahimahullah- ﻗَﺎﻝَ ﺍﻹِﻣَﺎﻡُ ﺃََﺣْﻤَﺪُ ﺑْﻦُ ﺣَﻨْﺒَﻞٍ ؛ ﺇِﻣَﺎﻡُ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟﺴُّﻨَّﺔِ ﺭَﺣِﻤَﻪُ ﺍﻟﻠﻪُ : ﺃُﺻُﻮْﻝُ ﺍﻟﺴُّﻨَّﺔِ ﻋِﻨْﺪَﻧﺎَ : ﺍَﻟﺘَّﻤَﺴُّﻚُ ﺑِﻤَﺎ ﻛَﺎﻥَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺃََﺻْﺤَﺎﺏُ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ - ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﻋَﻠﻰَ ﺁﻟِﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ - ﻭَﺍﻻِﻗْﺘِﺪَﺍﺀُ ﺑِﻬِﻢْ ، ﻭَﺗَﺮْﻙُ ﺍﻟْﺒِﺪَﻉِ ، ﻭَﻛُﻞُّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﻓَﻬِﻲَ ﺿَﻼَﻟَﺔٌ ) ﺷﺮﺡ ﺃﺻﻮﻝ ﺍﻻﻋﺘﻘﺎﺩ, ﻟﻸﻣﺎﻡ ﺍﻟﻼﻟﻜﺎﺋﻲ ). Imam Ahmad, Imam Ahlussunnah wal jama’ah mengatakan: Pokok-pokok aqidah [13]) menurut kami ialah berpegang teguh dengan apa yang dipraktikkan oleh sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meneladani mereka, dan meninggalkan bid’ah. Karena setiap yang bid’ah berarti kesesatan” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlissunnah wal Jama’ah, oleh Imam Al Laalaka- i). 13. Imam Malik bin Anas –rahimahullah– ﻣَﻦ ﺍﺑْﺘَﺪَﻉَ ﻓِﻲ ﺍﻹِﺳْﻼِﻡِ ﺑِﺪْﻋَﺔً ﻳَﺮَﺍﻫﺎَ ﺣَﺴَﻨَﺔً ؛ ﻓَﻘَﺪْ ﺯَﻋَﻢَ ﺃَﻥ ﻣُﺤَﻤَّﺪﺍً – ﺻَﻠﻰَّ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﻋَﻠﻰَ ﺁﻟِﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ - ﺧَﺎﻥَ ﺍﻟﺮِّّﺳَﺎﻟَﺔَ ؛ ِﻷََﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻳَﻘُﻮﻝُ : } ﺍﻟْﻴَﻮْﻡَ ﺃَﻛْﻤَﻠْﺖُ ﻟَﻜُﻢْ ﺩِﻳﻨَﻜُﻢْ { ﻓَﻤَﺎ ﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦْ ﻳَﻮْﻣَﺌِﺬٍ ﺩِﻳْﻨﺎً ﻓَﻼَ ﻳَﻜُﻮﻥُ ﺍﻟﻴَﻮْﻡَ ﺩِﻳْﻨﺎً ( ﺍﻻﻋﺘﺼﺎﻡ ﺑﺎﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﺍﻟﺴﻨﺔ , ﻟﻠﺸﺎﻃﺒﻲ ) “Barangsiapa melakukan bid’ah dalam Islam yang ia pandang sebagai bid’ah hasanah, berarti ia mengatakan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati kerasulan beliau. Sebab Allah Ta’ala berfirman: “Pada hari ini telah kusempurnakan bagi kalian agama kalian…” (Al Ma’idah: 3). Karenanya, apa pun yang hari itu tidak dianggap sebagai ajaran agama, maka hari ini pun bukan termasuk ajaran agama. (Al I’tisham bil Kitab was Sunnah, oleh Imam Asy Syathiby). Kemudian Imam Malik meletakkan sebuah kaidah agung, yang merupakan intisari dari perkataan para ulama yang tadi kita sebutkan: ﻟَﻦْ ﻳَﺼْﻠُﺢَ ﺁﺧِﺮُ ﻫَﺬِﻩِ ﺍﻷُﻣَّﺔِ ﺇِﻻَّ ﺑِﻤَﺎ ﺻَﻠُﺢَ ﺑِﻪِ ﺃَﻭَّﻟُﻬَﺎ ؛ ﻓَﻤَﺎ ﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦْ ﻳَﻮْﻣَﺌِﺬٍ ﺩِﻳْﻨﺎً ﻻَ ﻳَﻜُﻮﻥُ ﺍﻟﻴَﻮْﻡُ ﺩِﻳْﻨﺎً )ﺍﻟﺸﻔﺎ ﻓﻲ ﺣﻘﻮﻕ ﺍﻟﻤﺼﻄﻔﻲ , ﻟﻠﻘﺎﺿﻲ ﻋﻴﺎﺽ 2/88 ) “Generasi terakhir umat ini tak akan menjadi baik (shaleh), kecuali dengan apa-apa yang menjadikan generasi pertamanya baik. Karenanya, apa pun yang pada hari itu –saat turunnya surat Al Ma’idah ayat 3– tidak dianggap sebagai agama, maka hari ini pun juga bukan bagian dari agama” (Asy Syifa fi Huquuqil Musthofa 2/88, oleh Al Qadhi ‘Iyadh). Kami rasa, nukilan-nukilan di atas cukup gamblang dalam menggambarkan manhaj salaf yang menjadi tolok ukur kita dalam menilai mana bid’ah mana sunnah, dan mana haq mana batil. -bersambung insya Allah- Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah
Posted on: Tue, 10 Sep 2013 00:35:03 +0000

Trending Topics



9813577038316">Do you run a RESTAURANT, PUB, COFFEE SHOP, FOOD TRUCK, DELI, DINER

Recently Viewed Topics




© 2015