kugapay cintamu 06.barangkali segolongan: takdir. Lalu, menunggu - TopicsExpress



          

kugapay cintamu 06.barangkali segolongan: takdir. Lalu, menunggu takdir? Ah, ah, ah! Setumpuk keluh berberaian dalam dada Widuri. Dia sudah lama kukenal, pikir Widuri. Kami lama bergaul. Tetapi, kenapa hanya menjadi pergaulan formal saja? Kenapa kalau bertemu kami hanya bicara soal kampus saja? Kenapa Irawati yang baru dikenalnya bisa menarik hatinya? Lantaran dia lebih cantik? Apakah Faraitody lebih terpana pada kecantikan rupa saja? Apakah dia lelaki macam itu? Dan, lebih jelekkah rupaku dibandingkan dengan Irawati? Ah, bagaimana bisa membandingkan kecantikan yang berbeda? Bisakah membandingkan mawar dengan melati, atau dahlia dengan anyelir? Pertanyaan demi pertanyaan beruntutan, dan tak akan terjawab oleh Widuri. Dia hanya bisa terus berjalan, menekuri tanah. Tak mempedulikan dering becak dan klakson motor. Mesin skuter berderum derum. Tuternya berbunyi empat-lima kali panjang-panjang. Tody menjenguk lewat jendela warung. Lalu cepat-cepat membayar minuman dan keluar. Irawati menggoyang-goyang stir skuternya. "Jadi, kita pergi?" tanyanya. "Oke." Lalu gadis itu turun dari sadel. Tody menggantikan tempatnya, dan mereka beranjak. "Tak ambil jaket dulu?" kata Irawati di sela redanya mesin antara persneling satu dengan dua. "Tak usah," jawab Tody sembari menancap gas. "Nanti dingin...." "Ada kau �kan hangat." "Aha, mulai pandai merayu. Kenapa tak sejak dulu-dulu begitu?" "Ah, diamlah." Dan, kecepatan skuter bertambah lagi. Angin berkesiur. Mereka semakin jauh dari Kampus Gadjah Mada. Meninggalkan jajaran pohon cemara dan pohon flamboyan. Hari kesembilan dalam pergaulan mereka. Kini mereka disambut naungan pohon mahoni sepanjang jalan ke luar kota. Angin pun mulai terasa kemurniannya. Jalan kian menanjak. Semakin tertinggal bau kota yang hiruk dan tengik. Mereka melaju menuju Kaliurang. Di jalan yang berkelok-kelok, Irawati mendempel ketat ke punggung Tody. Lelaki itu menaksirnaksir jalan di depannya, dan merasakan getaran mesin lewat tangannya yang mencengkeram gas. Tubuh gadis itu lunak. Pipinya menempel di bahu Tody. Anak-anak rambutnya mengelus pipi Tody. Keluarga gadis itu mempunyai rumah peristirahatan di Kaliurang. Rumah yang halamannya berumput halus dan ditumbuhi bunga-bunga. Dan, sepi. Hanya ada pelayan - suami-istri - yang selamanya bersikap hamba terhadap majikannya. Kedua orang itu, dari tahun ke tahun mengabdikan diri untuk kesenangan majikan mereka, orang-orang kota itu. Dari tahun ke tahun mereka hidup di daerah gunung yang sepi pada hari-hari bukan hari libur. Tak pernah memikirkan lain, kecuali memikirkan tugas-tugas di lingkaran bungalow itu. Ke situlah sekarang tujuan skuter itu. Irawati mengomando apakah skuter harus belok kiri, terus, lewati pertigatan, terus, belok kanan, menanjak lagi, terus, dan hop! Tody memijak rem. "Bunyikan tuternya," kata Irawati. Mendengar tuter panjang-panjang memanggil, sepotong kepala muncul dari balik gerumbul bunga. Lalu tubuhnya keluar bergegas, dan berlari ke pintu pagar. Pintu pagar dibukanya lebarlebar. "Ayo, masuk," kata Irawati. Tody mendorong skuter memasuki halaman sembari mengawasi rumah yang pintunya berbingkai merah itu. Berjuta-juta menusia harus hidup di rumah-rumah gedek yang pengap. Tetapi, di gunung didirikan rumah sebagus ini hanya untuk dihuni sesekali, pikir Tody. Dia membisu. Tak memperhatikan pembicaraan Irawati dengan pelayan yang membungkuk-bungkuk mengiringkan langkah majikannya itu. Pelayan itu, tak putus-putusnya melaporkan keadaan bungalow. Katanya, dia telah menanam sepuluh batang pohon bunga matahari di halaman belakang. Sebulan lagi tempat ini akan menguning oleh cemerlangnya bunga. Di dekat jendela kamar tidur, sudah ditanamnya bunga sedap malam sebagaimana dipesankan oleh Ndoro Putri. Dia berbicara terus, tetapi masih sempat melayangkan mata pada Tody. Siapa lelaki ini? Dia bukan yang dulu. Kelihatannya dia ini sopan. Tidak gondrong. Pakaiannya rapi. Tidak pakai jean biru. Dan, tidak kurang ajar. Bukan seperti yang dulu, yang berani merangkul-rangkul Den Ayu Ira. Bukan pula seperti pemuda yang pakai Yamaha besar yang suara Yamahanya diderum-derumkan tempo hari. Berkilasan wajah-wajah pemuda di benak lelaki tua itu untuk dibandingkan dengan Tody. Dia ingat bahwa pemuda ini tak ada di antara rombongan yang datang tempo hari. "Kita minum dulu. Haus, �kan?" kata Irawati. "Yah," kata Tody sembari duduk di kursi plastik di teras. "Masih kuat naik ke hutan?" "Kenapa tidak? Ke bulan pun jadi," kata Tody. Hutan yang dimaksud adalah cemara dan pinus yang menyelimuti perbukitan. Di situ burungburung bercericit dengan bebas. Berlompatan dari ranting ke ranting. Dan, di dahan-dahan pohon banyak bergayutan anggrek liar. Bunga-bunganya putih kontras dengan coklatnya batang pohon serta kehijauan daun-daunan. Tanah disemaki oleh belukar. Di antara belukar itu ada yang berbunga kecil-kecil. Tempat yang tak ditumbuhi belukar, adalah hamparan rumput yang empuk. Hawa tempat itu sejuk dan hening. Angin yang bertiup dingin akan menimbulkan gesekan berkepanjangan di daun-daun. Irawati melangkah merambah-rambah semak. Betisnya tersangkut-sangkut ranting. Tetapi, dia tak mengurangi langkahnya. Dia tetap merendengi Tody yang memegang tangannya. Jalanan setapak itu biasa dilalui oleh para pencari kayu. Tetapi, hari itu tak ada tanda-tanda bekas dilalui seseorang. Rumput dan semak masih sesegar pagi tadi. "Capek?" tanya Tody. "Tidak," jawab Irawati walau napasnya terengah. "Kalau capek kita berhenti dulu." "Tidak. Terus saja." Mereka menyusuri jalan kecil yang mendaki. Irawati bergayut di lengan Tody. Sesaat gadis itu mengedarkan pandang, dan kemudian berkata, "Itu anggrek yang kelihatan dari bawah tadi." Lalu mereka menyimpang, keluar dari jalan rintisan pencari kayu. Langkah mereka menembus semak yang ranting-rantingnya mengait-ngait. Gerumbul demi gerumbul mereka lalui, sampai akhirnya tiba di bawah anggrek itu. "Pohonnya terlalu besar. Dan licin lagi. Sulit memanjatnya," kata Tody. "Angkat saya, Mas," kata Irawati. "Bagaimana caranya?" Irawati mempertemukan jari-jari kedua tangan Tody. "Pegang kuat-kuat. Biar saya berpijakan di sini," katanya. Irawati menanggalkan sepatunya, bersitumpu ke bahu Tody, dan berpijak pada telapak tangan Tody yang bertautan. Dia berdiri hingga perutnya ditentang kepada lelaki itu. Namun begitu, anggrek yang bergayut di dahan pohon belum terjangkau. "Angkat lebih tinggi, Mas Tody!" Tody lebih meninggikan telapak tangannya. Gadis itu meraup batang-batang anggrek. Tubuhnya bergoyangan. Tody menatap betis yang rapat ke mukanya. Betapa mulus. Betapa kuning. Seperti gading terpahat. Irawati merentakkan gerumbulan anggrek itu. Keseimbangannya goyah. Tak tertahankan, dia memberosot di badan Tody, terus ke bawah, dan membuat Tody pun goyah. Dan, ah, mereka berdua terjatuh. Dan, ah, ah, ah, mereka bergulingan di rerumputan yang lunak. Tubuh gadis itu terangkul oleh Tody. Gadis itu tertawa bagai burung nuri. Dia merangkul Tody. Muka mereka bersentuhan. Tak tahu siapa yang mendahului, bibir mereka sudah bertautan. Di tanah tergeletak gerumbul anggrek. Bunganya yang putih mekar mengintaikan benang sari. Angin memberisikkan daun-daun. Ranting-ranting bergesekan, dan ada yang berbunyi berciutan. Kicau burung meningkah suara pepohonan, berpadu dengan kesejukan daerah pegunungan itu. Dari bawah, semayup terdengar lebuh sapi. Sapi yang kesepian di tengah padang. Batu-batu gunung yang sebesar gajah bertonjolan diam-diam di tanah. Anggrek yang tadi bergayut di cabang pohon kini menggeletak tak diurus, di dekat dua orang yang masih bergulungan. Dua orang yang lidahnya berpilin. Tubuh mereka bagai saling melilit. Rambut gadis itu berberaian. Sebagian menutupi wajah Tody. Sementara itu, sisa anggrek yang masih tergantung di cabang bergoyang-goyang. Tetapi, kini tinggal sulur yang kurus dengan bunga-bunga kecil. Matahari tak berdaya di balik rerimbunan pohon serta lindungan belukar. Siang selamanya sejuk di situ. Matahari hanya merupakan berkas-berkas sinar lewat celah dauh dan ranting. Tanah yang lembab, rumput yang tebal, itulah yang paling terasa. Irawati menelentang menatap celah-celah dedaunan. Kepalanya tertaruh di dada Tody yang beraturan turun-naik oleh napas. Sementara itu, Tody asyik dengan pikirannya sendiri. Alangkah aneh hidup ini. Untuk berciuman saja, harus berkendaraan sekian jauh, naik bukit, dan segala macam. Berciuman saja harus melalui prosedur bertele-tele. Tidak ekonomis untuk enersi. Tetapi, Irawati berpikir lain. Dia masih merasa-rasakan sensasi yang baru saja dialaminya. Bergulingan di atas rumput dengan lelaki yang sangat sopan. Alangkah hebat! Tidak di kamar, tidak di rumah, tidak di teras, tetapi di hutan! Di hutan! Di atas kelembutan rumput yang lembab. Di balik semak-semak yang rimbun. Alangkah hebat! Jika ini dilakukannya dengan Robby atau Yanuar, itu biasa. Tetapi, kali ini dilakukannya dengan seorang lelaki yang necis, lelaki yang pernah berpidato di depan ribuan mahasiswa, dosen, dan profesor! Bukan main! Sensasi mana yang bisa menandingi? Tinneke tidak akan pernah mengalaminya. Juga tidak Lucky. Alangkah hebat kau, Ira! Lalu dia menggeser kepalanya hingga menghadap muka Tody. Lelaki itu mengelus onggokan rambut yang terletak di dadanya. Gadis ini selembut anak kelinci, pikir lelaki itu. Cuma, agresivitasnya kayak macan. Bagaimana masa depan yang dimungkinkan oleh kelinci yang sekaligus macan ini? Tetapi, pikiran itu diputus oleh mulut Irawati yang mulai lagi mengulum bibirnya. Berkata dalam Diam MAHASISWA peserta BIMAS telah disebarkan ke berbagai desa. Tiba di perbatasan desa, seorang lelaki telah berdiri di situ. "Saudara Faraitody?" katanya sembari mengulurkan tangannya. "Ya," jawab Tody. "Saya Hermanu, ayah Widuri. Saya menerima surat Widuri yang mengabarkan perihal kedatangan Saudara. Saya akan membantu tugas-tugas Saudara selama di sini." "Terima kasih, Pak. Tetapi, sebaiknya jangan panggil saya begitu resmi. Sebut saja nama saya. Atau �berkau�saja. Itu lebih enak buat telinga saya." Pak Hermanu mengangguk-angguk. Mereka berjalan pelan-pelan menuju pusat desa. Sesekali Tody mengawasi wajah berwarna tembaga serta urat-urat di lengan lelaki tua itu. Mata lelaki tua itu bersinar ramah. Mereka pun terlibat pembicaraan hilir-mudik. Memenuhi keinginan lelaki tua itu maka Tody terpaksa menceritakan Padang Mautenda di daerahnya. Padang yang luas dengan rumput-rumput setinggi manusia. Adapun lelaki tua itu menceritakan pengalamannya ketika pertempuran masa revolusi. Juga tentang teman-temannya yang diantaranya sekarang sudah menjadi jenderal. Yang paling dibanggakan lelaki tua itu adalah huller-nya yang jarang macet. "Cuma, untuk mengangkat solarnya kemari yang sulit," katanya menambahkan. "Kalau rusak?" tanya Tody. "Saya reparasi sendiri. Tanpa sekolah teknik, saya bisa mengetahui seluk-beluk mesin itu." Dari jalan desa itu, Tody menatap perbukitan tandus yang melingkari desa. Jika saja bukit-bukit itu ditanami tumbuhan yang bisa dimanfaatkan, akan menguntungkan sekali. Tanahnya masih luas, tetapi sayang kering-kerontang. "Menginap di rumah saya saja," kata Pak Hermanu. "Saya akan senang sekali. Tapi, saya sudah ditetapkan menginap di rumah Pak Lurah." Batu-batu berserakan di sepanjang jalan. Dan, mereka tiba di rumah yang mereka tuju. Sebuah rumah dengan pendopo yang luas. Rumah beton yang di depannya ada regol dan kentongan besar. Tody melihat anak-anak kecil telah banyak mengiringkan langkahnya. Dan, di rumah itu pun telah banyak orang yang menunggunya. Seketika ingatannya melayang ke kampungnya. Sebuah kampung kecil yang penduduknya akan berkumpul jika dia pulang pada waktu liburan SMA dulu. Dia sekolah di kota kabupaten, tinggal di sebuah asrama yang kehidupannya sangatlah teratur. Dia ingat siapa saja pengawas di asrama itu. Mereka adalah pastor-pastor berkulit bule. Kehidupan di astama itu sangat kontras dengan keadaan di kampungnya. Di asrama, pada jam tertentu harus tidur. Tetapi, di kampung, sampai pukul berapa pun orang masih duduk-duduk mengobrol. Di desa ini pun tak banyak bedanya dengan di kampung Tody. Pada mata anak-anak kecil yang duduk diam-diam di pendopo, itulah Tody melihat anak-anak kampungnya. Dan, pada gurat wajah orang-orang tua di desa itu, dia melihat wajah Pak Tuanya, Kakek, atau kerabatkerabatnya di kampung. Pak Kasmat, lurah desa itu, adalah lelaki sederhana. Wajahnya bisa dicarikan kemiripannya di mana saja di Indonesia. Wajah yang berwarna coklat tembaga, mata yang hitam, dan mulut yang ramah. Dia antusias terhadap kemajuan desanya juga terhadap kemajuan desa-desa lain di Indonesia. Sekalipun dia tak bisa membayangkan di mana Flores itu berada. Dia mengira, Flores berada di Ambon sebab nama Ambon lebih dikenalnya. Ketika matahari mulai memerah di balik bukit barulah pendopo itu sepi. Anak-anak berlarian ke padang-padang. Mereka ingat kambing-kambing mereka yang harus segera digiring pulang. Ketika lampu-lampu minyak sudah mulai menyala, seorang gadis melintasi di ruang tengah. Gerak-geriknya kikuk sehingga Tody mengira gadis ini pun seorang tamu. Tetapi, Pak Kasmat memanggil gadis itu. Makin kikuk gadis itu dibuatnya. "Anak saya," kata Pak Kasmat, "Tamat SKKA tahun ini di Magelang. Sekarang ikut membantu mengajar baca-tulis anak-anak di desa ini." Sekilas Tody memperhatikan wajah gadis itu. Profilnya tak jauh berbeda dari saudara lelakinya yang tadi ikut ngobrol. Kulitnya hitam manis, dan matanya hitam jernih. Dan, gampang sekali dia tersipu-sipu. Sewaktu bersalaman dengan Tody pun gadis itu tak mau mengangkat mukanya. Dia bahkan tak mengucap apa pun. Padahal Tody ingin sekali mendengarkan vokalnya. Gadis itu kembali masuk ke ruang dalam dan tak keluar-keluar lagi. Malam yang beringsut adalah suara jangkerik dan kodok yang bersimfoni tak henti-hentinya. Sejuta kunang-kunang bertebaran di kegelapan. Sesekali burung-burung malam berdeguk-deguk. Selebihnya, sepi. Tody berlari-lari di sepanjang jalan desa. Setiap pagi, jika berangkat mandi, dia sengaja berlari. Dia menuju pancuran. Matahari yang masih merah di balik bukit, merupakan pemandangan yang memikat di desa itu. Bayang-bayang pohon memanjang di tanah. Tody bersamplokan dengan Murtini, anak lurah desa itu. Gadis betul-betul pemalu. Maka selama beberapa hari Tody berada di rumah gadis itu, baru sekitar sepuluh kalimat yang mereka ucap dalam perbincangan. Karena Tody pun merasa tak ada gunanya berbincang-bincang, gadis itu lebih-lebih lagi pendiamnya. Mereka tinggal di bawah satu atap, tetapi hanya anggukan yang terjadi sebagai ganti tegur-sapa. Sekarang pun mereka hanya saling mengangguk. Tody tetap berlari-lari. Suatu kebiasaan sewaktu dia masih di kampungnya. Ke mana saja berlari-lari. Ingin ke tengah padang, berlari. Ke rumah, berlari. Mandi, berlari. Bahkan mau berak pun, berlari-lari menuju sungai. Gadis itu berhenti. Dia menjinjing kendi berisi air. Dia menatap tubuh lelaki yang semakin jauh itu. "Sombong!" cibirnya. "Mentang-mentang orang kota, sombongnya bukan main!" Tapi, pikirnya, betulkah dia sombong? Terhadap orang-orang di desa sini dia tidak sombong. Tak ada orang di desa sini yang mengatakan bahwa dia sombong. Bahkan saudaraku sendiri membantah ketika aku katakan bahwa dia angkuh. "Cuma, dia memang pendiam," kata Partono. "Dia tidak mau bicara kalau tidak ada keperluan. Di kopernya banyak buku. Jika sedang tak ada urusan, dia selamanya membaca. Membaca terus." Memang, Tody tak punya keperluan langsung dengan Murtini. Murtini bukan petani. Tody hanya berurusan dengan para petani yang akan dibimbingnya meningkatkan cara kerja. Murtini hanya diam di dapur kalau sedang di rumah. Atau di depan kelas kalau di sekolah. Itu jelas di luar urusan Tody. Tody hanya berpikir, bagaimana meningkatkan produksi pertanian di desa itu. Lain itu tidak. Maka Murtini melangkah pelan-pelan. Air dalam kendinya berdecik-decik setiap kali langkahnya terayun. Batu-batu di jalanan menggeletak diam saat dipijaknya. Dan, diam-diam pula Murtini menaruh kendinya di dapur. Tody mencuci pakaiannya di pancuran. Hari itu dia tidak mengunjungi petani-petani. Kemarin dia baru saja meninjau dukuh yang letaknya di balik bukit. Jalan menuju ke situ buruk sekali. Hanya kuda yang cocok melintasi jalan itu. Perumahan hanya terdiri atas kurang-lebih lima belas rumah. Tanahnya tandus berbatu-batu. Orang-orang di situ hanya menanam ketela pohon. Lain dari ketela pohon tak mau hidup dan tak menghasilkan. Anak-anak kecil setempat tidak bersekolah. Mereka mengikuti setiap langkah Tody dengan wajah mereka yang dungu serta tubuh telanjang. Tody murung melihat perut anak-anak kecil itu. Dibandingkan dengan rusuk, perut itu kelihatan menonjol. Tanda-tanda bahwa mereka kurang gizi. Apa yang bisa di-BIMAS-kan di dukuh yang miskin itu? Sawah tak ada. Bimas ketela pohon barangkali, tulis Tody di dalam buku hariannya. Sekarang dia menikmati gemerisik air yang jatuh dari pancuran. Tempat itu sejuk. Dan, sepi. Maka dia bersiul-siul. Ketika Tody menjemur cuciannya di samping rumah, Murtini sedang mengiris bawang. Dari celah pintu dapur, gadis ini memperhatikan lelaki yang sedang menjemur pakaian itu. Tody masih tetap bersiul-siul sambil mengibaskan pakaian-pakaian yang basah sebelum di-sampir-kan di tali jemuran. Rumah itu sepi. Pak Lurah Kasmat sedang ke kantor kecamatan. Jeritan dari balik pintu dapur membuat Tody kebingungan. Tetapi, desah dan keluh dari pintu dapur itu cepat menyadarkannya. Dia berlari memasuki dapur. Murfini menekap jarinya. Darah merembes dari jari yang tersekap itu. "Kenapa?" "Kena pisau," sendat gadis itu. Tody memeriksa jari gadis itu. Darah masih menetes. "Oh, tunggu sebentar!" Dia berlari ke kamarnya mengambil obat. Gadis itu meringis menahan perih. Tetapi, matanya terus memperhatikan profil lelaki di depannya. "Sakit?" Murtini menggeleng. Tody membalut luka itu. "Sebaiknya dibawa ke poliklinik," katanya. "Ah, tidak perlu." Jari-jari gadis itu masih dalam genggaman tangan Tody. Selesai mengikatkan simpul balutan, Tody melepaskan pegangannya. Lalu gadis itu memijit balutan itu. "Masih sakit?" "Tidak." "Kalau terasa berdenyutan, bilang. Itu perlu ke poliklinik." Poliklinik hanya ada di kota kecamatan. Tody meneruskan menjemur pakaian-pakaian basahnya. Murtini kembali menatapnya. Ternyata dia baik, pikirnya. Penuh perhatian. Matanya yang gugup melihat lukaku, bisa dijadikan tanda bahwa dia bukan seorang yang sombong. Dan, melihat balutannya yang rapi, bisa diduga bahwa dia seorang yang baik. Pendopo rumah itu senyap. Tody membaca di sudut ruangan. Murtini menating kopi dan meletakkan hati-hati di depan lelaki itu. "Eh, tak mengajar?" "Libur," kata gadis itu. "Enak ya di sini?" "Ah, tentunya lebih enak di kota." "Waktu kau di Magelang, bagaimana?" "Ya, senang. Banyak teman." "Sering nonton film tentunya." "Ah, enggak." Sesaat gadis itu memperhatikan sampul buku yang sedang dipegang Tody. "Tak bertugas hari ini?" "Tidak. Masih capek," kata Tody. "Sudah melihat sendang?" "Sendang? Di mana?" "Di balik bukit. Airnya jernih. Banyak ikannya." "Kapan-kapan aku kepingin ke sana." Matahari masih seperti hari-hari sebelumnya. Bersinar cerah. Tanah yang ditimpanya masih menyimpan sisa embun tadi malam. Tetapi, nanti akan cepat sekali menjadi kering-kerontang. Hari ini dia akan mencuci lagi, pikir Murtini. Biasanya setiap empat hari sekali dia mencuci. Lalu Murtini mengintai-intai lewat pintu dapur yang separo terbuka. Tody masih bergurau dengan anak-anak tetangga. Dia mengajarkan beberapa patah kata bahasa Indonesia kepada anak-anak. Yang sempat tertangkap oleh telinga Murtini adalah perkataan �kerja keras� yang diartikan �nyambut gawe sing kuat�. Terjemahan itu kurang tepat, pikir Murtini. Tetapi, bagaimana yang tepat? �kerja� dalam bahawa Jawanya adalah �gawe�, �keras� adalah �atos�. Jadi, �gawe atos�? Wah, lucu! Anak-anak kecil itu tertawa-tawa senang jika mengetahui kata-kata Indonesia yang mirip dengan bahasa daerah mereka. Semakin anak-anak kecil itu gembira, semakin tak sabar Murtini menunggu di dapur. Jangan-jangan dia tidak mencuci hari ini, keluhnya dalam hati. Bayang-bayang pohon di tanah tinggal sepanjang sepertiga panjang benda aslinya. Akhirnya anak-anak kecil itu bubar setelah Tody menyuruhnya bubaran. Mereka pergi berpencaran. Ada yang ke padang, ada pula yang ke huma. Nah, akhirnya pergi juga, pikir Murtini. Dia menunggu sampai lelaki itu lenyap di pengkolan jalan. Lalu dia pun mengumpulkan pakaian ayahnya yang sudah kotor, memasukkannya ke dalam ember. Kemudian, dia pun keluar menyusul langkah Tody. Tody bersiul-siul sembari menyabuni pakaiannya di sebuah batu besar, sebesar kepala kerbau. Di bawah pancuran persis, air membuih dan bersuara parau. Air di situ setinggi betis, dan mengalir pelahan ke selokan yang memanjang melingkari desa. Air itu sejuk. Nyaman. Apalagi pada waktu siang hari. Rerumputan tumbuh subur di sekitar kubangan. Sesekali kaki Tody menendangnendang permukaan air. Dan, Murtini tiba di situ. "Hai!" sapa Tody. Gadis itu senyum tersipu. Dan, meletakkan embernya ke batu di samping Tody. "Mari saya cucikan," kata Murtini. Lalu dia menarik pakaian yang sedang disabuni oleh Tody. "Ah, tak usah. Biar aku cuci sendiri." Tetapi, gadis itu tetap menarik pakaian itu, dan berpindahlah pakaian yang berbusa-busa itu ke batunya. Bahkan pakaian lain yang belum disabuni. Tody berpindah pula ke batu di depan gadis itu. "Lalu, apa yang kukerjakan?" kata Tody bingung. Gadis itu hanya tersenyum. "Kemarikan satu biar kucuci," kata Tody. "Izinkanlah saya mencuci semua," kata Murtini. Bah, minta izin segala, pikir Tody. Maka dia diam seraya memandangi gadis itu menyabuni pakaian-pakaian itu dengan cepat. "Kaupelajari juga cara-cara mencuci pakaian waktu di SKKA dulu?" tanya Tody. Gadis itu mengangguk. "Bukan main!" "Apanya yang bukan main?" "Sekolah itu. Memang, nyata benar bedanya antara hasil cucianmu dengan cucianku. Cucianmu jauh lebih bersih dan cepat." Gadis itu tak menjawab. Tetap tersenyum-senyum. Anak-anak rambut gadis itu bergoyang-goyang saat dia membilas pakaian. Telapak tangannya berwarna kemerahan. Lengannya yang mengintai dari balik kebaya yang tergulung hingga siku itu nampak lebih kuning dari wajah pemiliknya. Matahari kelihatan dari celah-celah daun dan ranting pohon mangga yang menaungi tempat itu. Murtini masih asyik membilas-bilas pakaian. Sementara itu, Tody hanya bisa menciduk-ciduk air dengan telapak tangannya, dan mempermainkan air itu. "Di kampung Mas Tody ada pancuran seperti ini?" tanya Murtini tiba-tiba. "Ada." "Orang-orang mandi di pancuran juga?" "Ada yang di situ, ada pula yang di rumah kalau mereka punya sumur. Tapi, aku lebih suka mandi di pancuran sebab airnya lebih nyaman." Gadis itu tetap menunduk. Tody melihat rambut yang tak tersanggul rapi itu. Rambut itu hanya digelungkan agar tak tergerai sehingga ada helai-helai rambut yang jatuh di keningnya. Sesekali gadis itu berusaha mengembalikan rambut yang jatuh di dahi ke atas, berkumpul kembali dengan yang lain. Alis gadis itu hitam tebal, dan bulu matanya menekuk menaungi matanya yang selamanya malu-malu menatap. "Mas Tody sudah jadi ke sendang?" "Belum." "Kapan ke sana?" "Belum pasti." "Nanti?" "Aku belum tahu tempatnya. Aku masih menunggu Mas Partono. Dia janji akan mengantarku ke sendang." "Saya mau mengantar," kata gadis itu tanpa mengangkat kepala. "Kau?" Murtini mengangguk. "Kau �kan banyak kerja di rumah?" "Ah, tidak apa-apa. Saya juga kepingin ke tempat itu. Lama sekali saya tidak ke sana. Ada kirakira dua tahun." "Begitu lama?" "Walaupun masih di lingkungan desa ini, tetapi banyak tempat yang jarang saya kunjungi." Gadis itu melirik sekejap. Sangat sekejap. Sebelum sempat bertatapan dengan Tody, dia telah menekuni pekerjaannya kembali. "Tempat itu jauh, �kan?" kata Tody. "Saya bisa berjalan jauh." Tody mengawasi tumit dan betis gadis itu yang penuh serta terendam air. "Menurut cerita orang-orang tua, sendang itu berasal dari tongkat yang ditancapkan ke dalam tanah oleh seorang sakti," kata Murtini. "Eh, di daerahku pun ada dongeng semacam itu." "Mungkin orang sakti itu juga pergi ke tempat Mas Tody." "Merenangi Lautan Hindia?" Tody tertawa. Mendengar tawa itu, Murtini mengangkat kepalanya. Dia ikut tersenyum. Sementara itu, sepasang mata yang sejak tadi mengintai dari rerimbunan semak, menatap sirik. Dia menggemeretakkan geraham menahan kejengkelan yang meluncas-luncas. Sepasang mata itu milik seorang lelaki muda. Lama dia mengintai. Semakin lama, semakin kejengkelan itu merayapi seluruh jaringan tubuhnya. Maka akhirnya dia merentak, meninggalkan tempat itu. Dan, di sepanjang jalan dia mengutuki kenyataan yang baru saja dilihatnya. "Bajingan lelaki itu!" kutuknya berkepanjangan. "Mentang-mentang orang kota, dia merayu gadis itu! Terkutuk dia! Disambar geledek!" Lelaki itu adalah Maryoto. Seorang dengan bahu bidang dan mata tajam. Dia drop-out-an sebuah universitas, lalu kembali ke desa itu. Kebetulan orang tuanya mempunyai tanah yang luas di desa itu. Melihat keakraban gadis itu dengan Tody, hatinya terbakar. Dia menginginkan gadis itu menjadi istrinya. Sekarang dia menyaksikan Murtini berjalan berdampingan dengan lelaki kota itu, mendekati bukit. Entah apa yang dibicarakan lelaki terkutuk itu hingga Murtini tertawa-tawa. Bajingan kota itu! Dia membuat dada Maryoto mau meledak. Maryoto terengah berjalan merambahi belukar. Rimbunan demi rimbunan belukar dilalui Maryoto. Dia bagaikan pemburu yang menguntit mangsa. Sepasang rusa berjalan tanpa menyadari bahwa ada sepasang mata yang memancarkan kebencian tak lepas mengikuti mereka. O, Murtini, kenapa kau sebaik itu padanya? Pada lelaki yang baru beberapa minggu kaukenal! Pada lelaki yang bukan mustahil akan meninggalkan desa ini tanpa sepercik pun kenangan! Ah, kau membuat prahara di dadaku, Murtini! Murtini! Murtini! Dan, Maryoto lebih terengah. Jalan yang dilaluinya sungguh tak pernah dilalui manusia. Bahkan kuda pun tidak. Kaki lelaki muda itu terkait-kait akar-belukar. Kedua orang itu, Murtini dan Tody, ditimpa sinar matahari keemasan dari langit. Keringat berlelehan dari leher mereka. Tetapi, tak terasakan oleh mereka. Lebih-lebih oleh gadis itu. Dia memang sedang melangkah di jalan setapak itu, tetapi ingatannya berkelebat-kelebat ke kota tempatnya sekolah dulu. Itulah yang mereka sedang bicarakan sekarang. Murtini menceritakan bagaimana sewaktu indekos di Magelang. Menceritakan bagaimana dia permisi kepada pemilik rumah jika ingin menonton film, bagaimana dia panik jika kiriman dari desa terlambat, dan semacamnya dan sejenisnya. Tetapi, ketika Tody bertanya, "Kau sudah punya pacar waktu itu?", wajah gadis itu, berubah murung. Mendung menyaputi wajahnya. Dia hanya menatap tonjolan batu-batu besar di bukit. Maka cepat-cepat Tody mengalihkan pembicaraan, "Capek?" "Tidak." �Tapi, kau sudah keringatan." "Ya," jawab Murtini. "Kita istirahat?" "Di sini? Ah, sudah tanggung. Lebih baik kita teruskan saja. Tinggal dekat. Di balik pengkolan itu, kita sudah sampai." Jalanan agak menurun kini. Mereka memijak kerikil yang mudah sekali menggelincirkan tubuh. Gadis itu tanpa sadar berpegangan lengan Tody. Mereka sudah semakin dekat sendang. Permukaan sendang bagai cermin besar yang menantang matahari. Permukaan air itu sangat tenang. Selapis goyangan pun tak nampak. Air di situ bagai sedang menahan napas. Dan, kedua orang itu pun menahan napas. Sebab, jalan semakin terjal. Tetapi, keinginan mereka untuk tiba di pinggir sendang yang sejuk itu semakin kuat. Kerikil bertaburan di jalan setapak sehingga mereka harus semakin berhati-hati. Namun, bagaimanapun hati-hatinya, gadis itu tetap saja tergelincir. Tody berusaha menahan tubuh gadis itu. Gadis itu memang tak sampai terguling. Cuma, kakinya terbenam ke dalam kerikil. Murtini terduduk. Tody membongkar timbunan kerikil untuk mengeluarkan sandal gadis itu. Murtini memijiti kakinya dengan wajah keruh. Keringat tambah ramai menghiasi wajahnya. "Keseleo?" tanya Tody. "Tak tahu. Tapi, sakit." "Mungkin keseleo. Sebab, kakimu terpelecok tadi." Murtini masih mengurut-urut mata kakinya. "Ke tempat teduh dulu. Ke bawah pohon itu," kata Tody. Gadis itu tegak, tetapi meringis menahan sakit. Tody menuntunnya ke bawah kerindangan pohon di pinggir sendang. Gadis itu tak bisa lagi merasakan keindahan sendang itu. Persendian kakinya sangat nyeri. Tody menimbang-nimbang, haruskah dia mengurut persendian kaki gadis itu. Dia pernah ikut latihan kempo. Soal urut-mengurut sedikit banyak diketahuinya. Cuma, benarkah gadis ini betulbetul keseleo? Kalau hanya sekadar sakit biasa, bukankah riskan memegang-megang kaki seorang gadis? Lebih-lebih memegang-megang betis yang penuh dan kuning seperti itu. Mata gadis itu semakin panik. Keringat yang menetes di jidatnya tak kunjung berhenti. Bahkan dia telah mulai mengeluh. Maka Tody pelan-pelan menjamah pergelangan kaki gadis itu. Gadis itu menjerit seraya menahan tangan Tody. "Tahankan saja dulu. Tak apa-apa. Gigit ujung saputanganmu kuat-kuat," kata Tody seraya mengulangi mengurut pergelangan kaki gadis itu. Dengan indra perasa di jarinya, dia bisa menemukan sendi yang keseleo. Di lereng bukit, di balik semak-semak, Maryoto menahan gelepar-gelepar di dadanya. Kebencian berkembang-biak tanpa batas. Terkutuk bajingan kota itu! Berani dia memegang-megang kaki Murtini! Terkutuk dia! Tetapi, Maryoto tetap diam di tempat persembunyiannya. Cuma menggemeretakkan geraham, itu yang bisa dilakukannya. Sementara itu, Murtini menahan nyeri yang tak alang-kepalang rasanya. Tekanan jari lelaki itu hampir tak tertanggungkan. Bagaikan jepitan kakaktua. Tangan yang kelihatan halus, dengan jari-jari kurus itu ternyata menyimpan tenaga yang kuat. Berkali-kali Tody berkata pelahan, "Tahankan sebentar saja. Nanti akan baik, akan baik. Nyerinya akan makin berkurang." Dia terus menekan-nekan, mengembalikan letak sendi itu pada kedudukan semula. Mereka tak memperhatikan lagi burung-burung yang datang-pergi ke sendang itu. Tak melihat pula ikan-ikan yang sesekali meletik ke permukaan air. Ini yang menyebabkan permukaan air bergoyang sesaat. Angin yang bertiup memang terasa sepoi, tetapi mereka tak tahu bagaimana bunga-bunga liar di pinggir sendang bergoyang. Bunga-bunga berwarna merah, ungu, kuning, dan putih. Bunga yang besarnya maksimal setutup botol. Memang betul nyeri semakin berkurang. Murtini tak perlu lagi menggigit saputangan. Dia telah menghapus keringat di keningnya. Bernapas pun tidak setersengal tadi. "Di mana Mas Tody belajar memijit?" tanyanya. "Well? Masih sakit?" "Masih agak terasa, tapi sudah jauh berkurang sakitnya." "Nah, bagus! Tak sia-sia pengetahuan kempo itu. Aku dulu sering latihan beladiri kempo. Sering jatuh-bangun. Akibatnya sering keseleo. Lalu, aku serius mempelajari urut-mengurut ini. Nah, persendian kakimu sudah baik. Agak linu-linu sedikit, tapi itu akan hilang dengan sendirinya. Atau, masih sakit?" Murtini mengangguk. Maka Tody tak jadi melepaskan kaki gadis itu. Angin mengibaskan rambut gadis itu. Sejuk. Tak lagi terasa nyeri. Juga tidak sakit. Yang dirasakan gadis itu hanyalah tekanan jari lelaki itu. Nyaman. Dan, dia memperhatikan tangan lelaki itu. Lalu berpindah ke matanya yang lunak. Mata yang bersinar tulus. Lalu ke dagunya yang berwarna kehijau-hijauan bekas cukuran. Ke bahunya yang tak terlalu bidang. Ke dadanya yang agak tipis. Dada orang yang terlalu banyak menghadapi meja tulis dan buku. Kemudian Murtini menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya panjang-panjang. Tody mengangkat kepala. "Tak sakit lagi, �kan?" tanyanya. "Tidak. Terima kasih," kata Murtini. Lalu Tody melepaskan pegangan tangannya pada kaki itu, dan Murtini merasakan sesuatu terlepas dari dirinya. Untuk sesaat hanya angin yang berdesau. Kemudian, tanpa saling memandang, mereka bersamaan berkata, "Tempat...." Keduanya saling menatap. Lalu tertawa bersama. "Eh, teruskanlah. Apa yang mau kaubilang?" "Ah, Mas Tody saja." "Tempat ini bagus," kata Tody. "Eh, saya juga mau bilang begitu, tadi." "Kalau aku penduduk di desa ini, aku akan membuat rumah di sini." "Jalan ke sini sulit. Kendaraan tak bisa masuk. Minimal gerobak sapi baru bisa lewat. Tetapi, dengan keadaan jalan seperti yang kita lewati tadi, tempat ini justru akan tetap begini selamanya. Lereng bukit itu terlalu terjal." "Ya, memang sulit dilalui." Murtini mengedarkan pandangan. Angin menyebabkan permukaan sendang bagaikan sutera yang bergerak selapis demi selapis. "Aih, nanti saya akan bawa pohon bunga itu. Untuk ditanam di halaman," kata Murtini. Tody menatap matahari yang telah menggelincirkan diri. "Ambillah sekarang. Biar kita cepat pulang." "Pulang? Kenapa begitu buru-buru?" "Jalan pulang akan lebih sulit terasa." "Kita baru sebentar di sini." "Sebentar? Hampir sejam sudah." "Sejam? Ah, kok cepat sekali waktu berjalan." Murtini mengangkat tasnya. "Eh, ya, hampir lupa," katanya seraya mengeluarkan bungkusan dari tasnya.Isinya lemper. Lelaki di balik semak itu berkali-kali menepuk nyamuk yang mengganggunya sedari tadi. Sejuta kutuk tak berkeputusan berloncatan di dadanya. Di sana, bajingan dari kota itu enak-enakan makan lemper. Berduaan lagi. Terkutuk! Tertawa-tawa! Terkutuk! Dan, agas yang beterbangan di dekat telinga semakin menyebalkan hati Maryoto yang pepat. Dia mengusir serangga-serangga halus yang mengganggunya itu. Di sana, lelaki itu enak-enakan makan. Bah, dikupaskan oleh Murtini pula. Bajingan terkutuk! Bajingan! Bajingan! Bajingan! Terkutuk! Terkutuk! Disambar geledek dia! Sikap beherapa orang desa hari-hari belakangan ini agak mengherankan Tody. Termasuk Pak Hermanu, ayah Widuri. Lelaki itu tidak mau lagi bercerita-cerita seperti waktu yang lalu. Apakah yang terjadi? Pemuda di desa itu pun ada yang tak lagi antusias mendengarkan uraian-uraian dari Tody. Hanya Pak Lurah dan Partono yang tidak menunjukkan perubahan sikap. Juga Murtini serta anak-anak kecil. Anak-anak kecil masih bergerombol di halaman jika Tody memanggil mereka. Maka ketika bertemu dengan Pak Hermanu, Tody sengaja menjejeri langkah lelaki tua itu. Dia bisa merasakan bahwa lelaki tua itu seakan tidak mau didekati. Tak lagi ditemukan oleh Tody mata Pak Hermanu yang bersinar ramah. Yang ada hanya dinginnya sambutan. "Kapan berakhir BIMAS-nya?" tanya Pak Hermanu datar. "Ya? Tiga bulan lagi," tanya Tody. Dia melirik, menaksir-naksir bahwa di balik pertanyaan lelaki tua itu tersimpan makna: kenapa belum juga meninggalkan desa ini? "Kalau kembali ke Yogya, akan menyelesaikan studi?" "Ya," kata Tody. "Lalu?" "Lalu, bagaimana ya? Maksud Bapak?" "Selesai studi, tentunya berumah tangga. Iya toh?" "Oh, itu belum saya rencanakan." "Masak?" Jidat Tody berkerut. "Di kota tentunya sudah ada calon," kata lelaki tua itu. Tody tak menimpali. Dia melangkah diam-diam. Seperti elang, Pak Hermanu melirik. Berusaha menangkap kesan di wajah lelaki muda itu. Tetapi, wajah Tody tetap beku. Mereka melewati sawah. Padi baru setinggi lutut anak kecil. Sawah itu salah satunya yang mendapat BIMAS. Tody merasa bungah melihat padi yang subur itu. Tetapi, kegembiraan itu cepat hilang manakala menyadari langkah-langkah yang menjejerinya. Dia kembali ingat sikap orang-orang di desa itu terhadap dirinya. Terutama sikap lelaki tua ini. Dulu dia sangat antusias membantu. Dengan wibawa yang dipunyainya, dia begitu gampang mempengaruhi orang-orang desa agar mengikuti nasihat-nasihat Tody. Tetapi, sekarang sikapnya sedingin pemilik restoran yang mencurigai tamunya bakal nganglap. "Kalau Widuri, kira-kira berapa lama lagi kuliahnya ya?" tanya Pak Hermanu tiba-tiba. "Dia? Kalau tidak salah, kira-kira dua atau tiga tahun lagi. Biasanya agak lambat waktu membuat skripsi." "Kalian sering ketemu di sana?" "Ya, sering. Kami sama-sama pengurus Dewan Mahasiswa." "Sering juga omong-omong dengan dia?" "Sering juga. Tapi, biasanya soal urusan universitas." Untuk beberapa saat keduanya diam. Sandal lelaki tua itu terdepak-depak. Sepatu Tody berkeresek di pasir. Kemudian Pak Hermanu berkata lambat, "Sebenarnya anak perempuan tak perlu sekolah terlalu tinggi. Toh akhirnya dia harus jadi istri. Tapi, apa mau dibilang? Dia ingin meneruskan sekolah. Bagaimana melarangnya, sedangkan orang yang kehidupannya lebih sederhana saja mau menyekolahkan anaknya. Dan, saya cukup mampu. Cuma, sayangnya dia anak satu-satunya. Perempuan lagi. Kalau dia lelaki, tak perlu dirusuhkan." Tody diam-diam menyimak. Lelaki tua itu menatap daun-daun padi yang gemerisik. "Saya merasa diri saya tambah tua. Padahal dia belum menampakkan tanda-tanda mau kembali. Apa sesungguhnya yang dicarinya di kota itu, saya tak bisa paham. Titel? Ah, buat apa? Dia ingin jadi orang berpangkat? Ah, buat apa? Bagaimanapun, kebahagiaan yang patut untuknya adalah menjadi seorang istri. Sebagai ibu anak-anaknya. Saya lebih senang melihat dia jadi ibu rumah tangga yang bahagia daripada jadi pejabat tinggi." "Ya," kata Tody. Lelaki tua itu menghentikan langkahnya, dan menatap Tody lekat-lekat. "Apakah nampak tanda-tanda dia akan kawin?" tanyanya mendadak. Tody terperangah. "Itu.... itu...." "Apakah dia sudah punya teman lelaki yang akrab?" Ludah mengumpul di kerongkongan Tody. Dengan susah-payah dia menjawab, "Itu.... saya kurang tahu." Pak Hermanu menunduk. Kemudian kembali melangkah. Tody meredakan debur-debur jantungnya. Dia ngeri menerima tatapan mata lelaki tua itu. Tatapan yang menikam. Hingga mereka berpisah, Tody masih merasakan sisa deburan di dadanya. Adapun lelaki tua itu melangkah dengan kepala menekuri tanah. Makin jauh, makin jauh. Tody merasa makin lepas dari hunjaman yang menikam. Dia memandangi punggung lelaki tua itu hingga lenyap di balik pepohonan. Dia membiarkan kesenyapan tempat itu menyungkupnya. Itu jauh lebih menyenangkan. Ah, Widuri! Gadis yang berkulit sawo, bermata teduh, dan berapi-api jika mengikuti rapat Dewan Mahasiswa. Tetapi, selalu tersipu di luar sidang. Gadis yang selalu serius, yang anggun, yang segan jika lelaki menggurauinya. Itulah dia, Widuri. Widuri! Widuri! Tody tersentak. Sentuhan di bahunya mengagetkannya. Partono tersenyum. "Ngapain?" katanya. Tody hanya menggeleng. "Nampak-nampaknya memang lebih subur dari padi jenis biasa," kata Partono sembari mengedarkan pandang matanya ke sawah di samping mereka. "Yah," kata Tody. "Kalau seluruh sawah bisa di-BIMAS-kan, alangkah baiknya." "Ya," kata Tody lagi. "Berapa bagian lagi yang harus di-BIMAS-kan?" "Kira-kira empat puluh persen lagi." "Bisa mencapai target?" "Mudah-mudahan saja bisa." Partono diam. Mereka berdiri menatap sawah hijau yang terbentang. "Selesai BIMAS, kau akan kembali ke Yogya?" tanya Partono. Tody diam. "Dan, melupakan desa ini," lanjut Partono. "Ah, masak dilupakan." "Ya, biasanya begitu. Kau akan jadi sarjana, jadi orang berpangkat, kawin, dan sibuk di kota." "Ah, masak begitu," kata Tody diiringi tawa kecil. "Kau sudah punya rencana kawin?" Tody cuma menggeleng. "Calon tentunya sudah ada?" Bah, kenapa pembicaraan hari ini hanya mengenai kawin melulu! Tetapi, bayangan Irawati menyelinap diam-diam di pelupuk mata Tody. Bisakah gadis itu kujadikan calon istri? Ah! Keberdiaman Tody membuat Partono melangkah maju dan berdiri di pinggir jurang. Dia menatap kedalaman jurang yang gelap. Dasar jurang itu tak bisa terduga berapa meter. Dia melemparkan batu ke dalam jurang, tetapi tak terdengar suara batu itu menyentuh dasar jurang. "Kau merasa adanya perubahan di desa ini?" tanya Partono. "Ya!" sahut Tody cepat. "Apa yang terjadi?" "Bagaimana kau bisa merasakan perubahan itu?" "Ada beberapa penduduk desa ini yang seperti membenciku." "Yah, begitulah tinggal di daerah kecil. Orang-orang gampang sekali berubah sikap. Aku sendiri sebenarnya tak suka tinggal di desa ini. Tapi, orang tuaku meminta agar aku mengusahakan tanah kami. Lagi pula, aku sudah beristri, punya anak, dan harus bekerja. Apa yang sudah kudapat dari sekolah, sebenarnya tak ada manfaatnya di sini. Aku menyesal terlalu buru-buru meninggalkan sekolah dan kawin." Sesaat Partono diam. Dia ingin menanamkan ucapannya lebih dalam. "Kau merasa ada orang yang tidak menyukaimu. Ya, memang. Kenyatatan itu akan menimpamu. Desa ini sebenarnya terbagi dua. Sebagian di bawah pengaruh Ayah, sebagian lain di bawah pengaruh Pak Tarmiji. Tetapi, dalam pemilihan lurah, ayahku menang. Hanya saja, bekasnya masih ada sampai sekarang. Oleh karena kau tinggal di rumah Ayah, otomatis kelompok Pak Tarmiji menganggap kau masuk golongan Ayah." "Tapi, mula-mula mereka tidak memusuhiku," kata Tody. "Yah. Cuma, belakangan ini, Maryoto.... kaukenal dia? Dia anak Pak Tarmiji, mulai menghasut penduduk desa. Dia bahkan berhasil menarik Pak Hermanu ke pihaknya. Padahal selama ini orang tua itu tak pernah berpihak. Entah kenapa dia mau dipengaruhi Maryoto." "Kenapa Maryoto memusuhiku?" tanya Tody. Partono mengangkat bahu. "Aku tidak pernah menyakiti hatinya," kata Tody perlahan. "Tak pernah menyakiti hatinya?" ulang Partono sepatah-sepatah. Dia melekatkan tatapan ke mata Tody. "Apa alasannya memusuhiku?" "Kau akan mengetahuinya nantinya." "Kenapa? Kenapa? Kenapa?" Partono cuma menggeleng, lalu kembali menatap kejauhan. "Aku datang ke sini untuk kebaikan penduduk desa ini," kata Tody. "Ya, begitulah memang. Tapi, tidak selamanya kebaikan akan menghadapi kebaikan. Tapi, percayalah bahwa tidak seluruh penduduk desa ini membencimu. Hanya sebagian kecil saja. Jadi, tak perlu terlalu kaupikirkan." Dari celah ventilasi, sinar matahari memanjang lurus ke lantai. Matahari pagi. Tody masih berbaring-baring di divannya. Dia menyimak nyanyian yang didendangkan Murtini dari dapur. Belakangan ini gadis itu sangat penggembira. Sesebentar dia menyanyi. Dan, dia juga sudah berani menyapa, "Hai, Mas Tody! Mandi dong!" Atau, "Nanti Mas Tody mau ke kecamatan? Saya ikut ya?" Senyumnya yang semula selalu tersipu, kini telah mekar dalam lekukan yang lebih kentara. Begitu pula matanya. Mata yang dulu tak pernah berani bertatapan lebih dari dua sekon, kini berani lekat-lekat menatap. Bahkan sampai membuat Tody harus menelan ludah berkali-kali. Tatapan gadis itu seakan mengandung sejuta misteri. Tody menghitung hari-hari yang telah dilaluinya di desa itu. Telah banyak perubahan. Bibit unggul yang di-BIMAS-kan telah mulai tumbuh. Tetapi, suasana lain ikut pula tumbuh. Kebencian yang tersekap, dan cinta yang tersekap pula. Segalanya serba tersekap di desa ini. KAU tak akan tahu seseorang membencimu, kecuali dari intuisimu yang menangkapnya lewat pancaran matanya. Dan, kau tak akan tahu seseorang mencintaimu, kecuali intuisimu pula yang memberitahu. Begitulah Tody mencatat dalam buku hariannya. Tiga bulan lebih aku di desa ini. Kemarin aku bertemu dengan Maryoto, dan aku melihat keculasan di mata lelaki itu. Lelaki yang pernah mengenyam pendidikan tinggi di universitas itu, jauh lebih berbahaya dari bajingan desa yang biasa. Ayahnya kaya, dan dia merasa menjadi separo raja di desa ini. Apa yang kurang? Dia tampan. Jauh lebih pintar dari pemuda desa yang lainnya. Andainya merayu, dia tentu lebih pintar dari bintang-bintang film Indonesia atau India. Pastilah gadis-gadis di desa ini dan sekitarnya akan bertekuk lutut. Bahkan istri-istri yang tak kuat iman pun bisa dibujuknya. Ini menurut cerita Partono. Padahal yang kulihat, tulis Tody dalam buku hariannya, tak lebih dari tatapan ular berbisa yang menyimpan sejuta dendam. Apa penyebabnya, aku tak bisa mengetahuinya. Sebab, bibir lelaki itu selamanya terkunci rapat. Atau barangkali dia menganggap aku merebut popularitasnya di desa ini? Tapi, itu jelas tak beralasan. Aku selamanya diam-diam saja di rumah. Kalau keluar pun, selamanya untuk urusan para petani. Tak pernah dengan gadis-gadis. Aku selamanya menghormati dia seperti halnya aku menghormati penduduk terhormat lainnya. Ah, peduli setan dengan lelaki itu. Biar dia membenciku. Peduli apa? Aku hanya menjalankan tugasku. Ya, dia lebih baik dipersetankan saja. Biar dia tertimbun kebenciannya yang melingkarlingkar itu. Cuma, soal mata Murtini yang makin lain maknanya. Tiap hari ketemu, kian sering pancaran itu menelan masuk ke dalam kemisterian. Mata yang hitam jernih itu bersorot lunak, dan kelunakan itu tambah merusuhkan hatiku. Bibirnya yang mungil, adalah pesona yang diam-diam melilit. Berjalan di bawah matahari desa yang terik. Disungkup angin sepoi. Di atas tanah yang bergeronjalan. Dan, berbicara, gadis itu kian dekat jua. Kalau tak salah, gadis itu telah melepaskan jarum-jarum cinta lewat matanya. Di desa ini, segalanya dimulai dari mata. Sebelum bibir terkuak bicara, mata telah lebih dulu menyampaikan pesan. Bibir bisa saja mengatakan, �Pak Polan sudah panen�. Tetapi, matanya ternyata menyimpan cinta. Atau bibir mengucapkan, �Gadis anu yang dilamar pemuda anu�. Padahal matanya menyorotkan harapan, �Aku pun ingin kaulamar!� Ah, ah, ah! Lalu Tody menutup buku hariannya dan menyimpannya ke dalam kopor. Sekarang mereka pulang dari kecamatan. Di depan mereka tadi ada orang, tetapi orang itu telah jauh melampaui mereka sebab mereka berjalan pelan-pelan. Jalanan lengang. Batu-batu bergeletak ditimpa panas matahari. Pohon petai cina berjejeran di sepanjang jalan. Tody malas berbicara. Sungkupan terik menyebabkan bibirnya kering. Sementara itu, Murtini menenteng tasnya, juga tak berbicara. Butir-butir keringat menyembul di ujung hidungnya. Tody menatap langit seraya berkata, "Kita harus buru-buru." Mendung begitu cepat meredam panas matahari. Murtini ikut memandang ke atas. Maka mereka bergegas melangkah. Angin menerbangkan debu-debu jalanan. Murtini terbatuk. Cepat sekali keterikan itu: digantikan angin yang giris. Angin yang membawa uap air. Tody mengedarkan pandangan berkeliling. Lengang. Hanya pohon petai cina dan jambu mete yang terlihat. Jika hujan turun, ke mana harus berlindung? Ah, tetes-tetesnya mulai terasa. Mereka semakin bergegas sehingga napas Murtini terengah. Tetesan hujan semakin kerap. Dan, akhirnya merupakan rintik-rintik. "Eh, wah, gawat!" kata Tody. "Ya, gawat," kata Murtini, tetapi tangannya memegang Tody agar tidak berlari. "Ayo," kata Tody seraya menarik tangan Murtini. "Percuma. Toh kita akan basah juga." Hujan tumpah dari langit. Pakaian gadis itu lekat ke badannya. Rambut basah. Lalu dia mengambil saputangan yang tadi menutupi kepalanya. Sembari tertawa dia meremas saputangan itu. "Mandi," katanya. Suaranya yang penuh kegembiraan itu menjengkelkan Tody. Lelaki itu merasa risi sebab air hujan masuk ke dalam sepatunya. Akan halnya Murtini, tenang-tenang saja bergayut di lengannya. Gadis ini melangkah bagaikan menuju ke pesta. Tak ada lagi bagian pakaian maupun badan yang kering. Seperti sengaja mandi di pancuran. "Waktu kecil saya pernah mandi di bawah teritisan atap kalau hujan," kata gadis itu. "Tapi, kalau ketahuan Ayah, saya dimarahi. �Anak perempuan tak boleh begitu,� katanya. Padahal saya kepingin sekali mandi waktu hujan." Tody tak menimpali. Dia mendan tetesan hujan mengalir di bibirnya. Terasa asin. Mungkin bercampurdengan keringat dari wajahnya tadi. Namun, rasa haus toh lenyap pula. "Waktu kecil, di kampung, Mas Tody sering mandi hujan?" "Sering." "Enak ya?" "Ya." "Mandi di teritisan juga?" "Tidak. Di tengah padang." "Wah, apa tak bahaya? Orang bilang, mandi hujan di tengah lapangan terbuka sangat berbahaya. Bisa disambir petir." "Ya. Tapi, kami tahu kapan saat-saat harus tiarap kalau kilat menyambar. Walaupun memang ada juga yang tersambar kilat dan mati terbakar." Kilat menyambar. Murtini lebih bergayut lagi. Ketika petir menggelegar, gadis itu semakin rapat ke tubuh Tody. "Kenapa harus ke padang?" tanya gadis itu meneruskan. "Di situ lebih menyenangkan. Kerbau dan kuda-kuda ada di situ." "Tapi, berbahaya. Seharusnya waktu hujan jangan ke padang." "Seharusnya. Tapi, siapa yang takut hidup di tengah padang? Sama saja dengan nelayan. Orang menganggap lautan berbahaya. Tapi, nelayan mana takut turun ke laut?" Kilat menyambar lagi. Pemandangan terhalang oleh tirai hujan. Tody berusaha menatap berkeliling. "Ayo, kita ke sana!" Dia menyeret gadis itu ke pondok di tengah tegalan. Mereka melalui tanah yang becek. Semakin jauh dari jalan desa, tanah semakin beriumpur. Mereka masuk ke pondok itu. Murtini bersedekap sambil mengedarkan pandangan ke seputar tempat di bawah atap. Tody mengeluarkan rokok dari kantongnya. Namun, seluruhnya kuyup. Tak mungkin bisa disulut. Di luar, hujan masih menderu. Atap ilalang pondok itu melindungi mereka, tetapi rasa dingin tetapmerayap-rayap. Baju Murtini yang lengket ke tubuhnya menyebabkan bayangan lekukan tubuhnya semakin kentara. Dia berdiri canggung. Terus-menerus menggigil kedinginan. Tody mencoba menyalakan geretan gasnya. Berhasil. Di situ ada jerami dan ranting kering. Maka dia membuat perapian. Kehangatan merambat perlahan. "Ke sini, Tini." Gadis itu melangkah hati-hati. Tody mencangkung di dekat api, memanasi telapak tangannya. Di dekatnya, Murtini pun memanasi telapak tangannya. Tody kepingin merokok. Maka dia melirik rokoknya yang basah. Gadis itu tetap menggigil. Pakaiannya yang basah menghalangi kehangatan yang diberikan oleh api. Bibir yang menggigil itu telah berwarna kebiruan. Air menetes dari rambut gadis itu. "Siang yang brengsek!" ujar Tody. Gadis itu mengangkat kepalanya sekejap. Dia merasa BH-nya yang basah lebih sempit dari biasanya. Giginya gemeletuk. Rasa iba merayapi hati Tody. "Dingin?" tanyanya sambil menyentuh bahu gadis itu. Dia tahu bahwa pertanyaan itu sebenarnya tak perlu dilontarkan. Cuma, pertanyaan itu membuat Murtini menatapnya. O, wajah yang pucat, bibir yang kebiruan, dan gigi yang gemeletuk. Kesemuanya membuat gadis itu seperti bayi yang meminta perlindungan. Dan, matanya, matanya yang meminta perlindungan itu kian merasukkan iba ke lekuk hati Tody. Maka bahu Murtini dipeluknya. Kepala gadis itu dekat sekali dengan kepala Tody. Wajah yang tengadah itu telah rapat ke wajah Tody. Keinginan untuk merokok membuat bibir Tody gatal. Lalu, dia mencium gadis itu. Dia mengulum bibir yang menggigil itu. Gadis itu merasakan kehangatan diperolehnya dari badan lelaki itu. Maka dia memeluknya kuatkuat sehingga mereka terguling ke atas jerami kering. Air menetes dari baju mereka. Tetapi, mana mereka menyadari? Murtini menyerudukkan wajahnya serapat-rapatnya ke muka lelaki itu. Rambutnya yang basah melilit leher Tody. Dan, gadis itu tergial manakala lehernya diseruduk ciuman Tody. Air yang jatuh dari atap bagaikan tirai. Di luar pohon jambu mete hanya tinggal bayangan kabur. Murtini tak kedinginan lagi. Mereka masih berguling di jerami kering. Badan mereka telah menghangat. Api gemeratak membakar ranting kering. Sepercik api melayang, hinggap di badan Tody. Nyeri. Dia tersadar dan mencoba melepaskan pelukan. Murtini tak mau melepaskan pelukannya. Matanya terpejam sehingga dia tak tahu api telah membakar jerami tempat mereka berguling. Mendengar detas-detas jerami terkabar, Tody mendorong tubuh gadis itu dan bangkit buru-buru. Murtini merasa sesuatu lepas dari dirinya. Bagaikan terbangun dari mimpi mendapatkan barang berharga, dia membuka matanya untuk siap mengeluh. Maka dia melihat Tody yang sibuk mematikan api yang menjalar di jerami. Lalu dia pun ikut mematikan api. Api di jerami mati. Ranting-ranting tetap menyala. Tody duduk. Murtini mendekatinya, dan ingin memeluknya lagi. Tetapi, lelaki itu berkata, "Wah, pakaianmu jadi kotor." "Biarlah." Tatapan mata gadis itu mengatakan bahwa dia masih ingin dicium, atau mencium lagi. Maka Tody terombang-ambing perasaannya. Di pondok yang sepi ini, ada seorang gadis yang punya bibir mengulum basah, punya mata yang meminta. Lalu, apa lagi yang dicari? Tody merasakan debur-debur di dadanya. Jika itu terjadi, jjka ajakan mata yang meminta itu dituruti, bagaimana? Dan, Tody menarik napas sepenuh dada, untuk meredakan debur-debur yang tak menentu itu. Murtini, setelah menunggu sekian lama dan pelukan tak kunjung terjadi, meraih tangan lelaki itu, memegang jari-jari lelaki itu. Lalu dia mengaitkan jari-jari lelaki itu pada jari-jari tangannya sendiri. Kemudian dia memuntirnya sambil matanya menatap lekat-lekat. Debur-debur jantung Tody kembali bergolak. Dia seorang gadis yang punya sinar cinta di matanya. Tetapi, aku tidak mencintainya. Jika itu kulakukan, ya, apa sulitnya membuka pakaian gadis ini? Itu namanya keisengan. Itu noda. Suatu waktu aku akan meninggalkannya. Jika keisengan semacam ini menimpa adikku, bisakah aku menerima? Jika anakku kelak mengalaminya, bisakah aku mengutuk lelaki yang melakukannya? "Aku tidak mencintamu, Tini," kata Tody dalam hati. "Karena itu aku tak berniat menjadikan kau istriku. Karena itu aku tak mau menodaimu. Andainya aku mencintaimu, akan lain lagi soalnya. Walaupun ujudnya serupa: persetubuhan, tapi bagiku maknanya sangat berbeda. Jika aku melakukannya pada dirimu, itu namanya penodaan. Tapi, jika kulakukan pada orang yang kucintai, ya, bagiku itu baru percintaan. Cuma, bagaimana membedakannya? Kau tak akan tahu. Orang lain tak akan tahu. Yang tahu hanya aku. Sebab, aku merasakan cinta itu dalam denyutdenyut darahku. Aku bisa membedakan mana keisengan, mana cinta." Jari-jari gadis itu masih meremas-remas jari-jari Tody. Hujan tinggal rintik-rintik. "Ayo, kita pulang," kata Tody. Murtini tersentak. "Pulang?" Dia menatap ke luar. "Tapi, masih hujan." "Tak apa-apa. Kita jalani saja." "Mas Tody...," keluh gadis itu. Tody tak menjawab. Dia bangkit, tetapi Murtini menahan tangannya. Lalu memeluknya, dan menciumnya. Tody membalas sesaat. Menggigit pelahan bibir gadis itu. Kemudian mendorong tubuh gadis itu pelahan pula. "Sudah pengalaman kau rupanya," kata Tody disertai tawa. Murtini tersentak. Kemudian terpana. Pelahan wajahnya yang bergairah berubah menjadi layu. Tody tak memperhatikan hal itu. Dia nekat berdiri, dan Murtini bangkit mengikutinya. Wajah gadis itu menekuri tanah. Dia mengiggit bibirnya. Hatinya rusuh. "Sudah pengalaman kau rupanya." Ucapan ini menghujam berkali-kali ke telinganya. Dia melirik lelaki itu. Tetapi, Tody asyik memilih tanah yang akan dipijaknya. Sudah pengalaman kau rupanya. Kalimat ini berputaran tak henti-hentinya, mengguncangguncang seluruh lekuk hati Murtini. Sisa hujan kemarin masih nampak di tanah. Becek. Dan, jalanan ke dukuh di bukit adalah tanah
Posted on: Fri, 05 Jul 2013 10:46:02 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015