- JEJAK EMPU NUSANTARA - * Hoegeng Imam Santosa * : Antara - TopicsExpress



          

- JEJAK EMPU NUSANTARA - * Hoegeng Imam Santosa * : Antara Helm, Kejujuran, dan Kebijakan yang Kontroversial Siapakah penggagas dan pembuat kebijakan bahwa pengemudi sepeda motor wajib memakai helm, dan penumpang yang membonceng tidak boleh duduk menyamping, tetapi harus duduk mengangkang? Jawabnya Hoegeng Imam Santoso. Sebuah kebijakan yang kemudian dianggap kontroversial, karena di era itu – 1971, memakai helm belum lazim. Akibatnya, banyak kalangan seperti dari praktisi hukum, menyerang Hoegeng. Mereka menganggap peraturan itu harus keluar dari DPR sebagai badan legislatif, dan bukan dari Kepolisian. Meski Ali Sadikin, Gubernur saat itu, mendukung kebijakannya, tetapi para petinggi militer di Departemen Hankam menganggap Kapolri yang tak segan turun ke jalan ikut mengatur lalu-lintas ini dianggap hanya mencari popularitas. Toh, 25 tahun kemudian kebijakan memakai helm yang digagasnya, dibuat Undang-Undang juga menjadi peraturan hukum. Kebijakan wajib memakai helm hanya sebagian kecil dari kebijakan yang dibuat oleh kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah, 14 Oktober 1921 ini. Semasa menjabat Kapolri ( 1968 – 1971), banyak perubahan yang mendasar ia lakukan. Hoegeng membenahi Struktur Organisasi di tingkat Mabes Polri yang hasilnya lebih dinamis dan komunikatif. Lulusan pertama Akademi Kepolisian (1952) ini, mengadakan perubahan nama pimpinan polisi dan markas besarnya berdasarkan Keppres No.52 Tahun 1969. Dari sebutan Panglima Angkatan Kepolosian RI (Pangak RI), menjadi Kepala Kepolisian RI (Kapolri). Maka, nama Markas Besar Angkatan Kepolisian pun berubah menjadi Markas Besar Kepolisian (Mabak). Perubahan yang terjadi di pusat itu, tentu saja diikuti dengan perubahan di daerah sebagai konsekuensinya. Seperti, Panglima Daerah Kepolisian (Pangdak) menjadi Kepala Daerah Kepolsian RI (Kadapol), Seskoak menjadi Seskopol. Di bawah kepemimpinan Hoegeng pula, peran Polri di peta organisasi Polisi Internasional – International Criminal Police Organization (ICPO), semakin terdongkrak. Ditandai dengan dibukanya Sekretariat National Central Bureau (NCB) Interpol di Jakarta. Sebagai polisi, Hoegeng punya prinsip ‘polisi adalah penegak hukum’, yang menjadi harga mati baginya. Dalam kamus hidupnya, tidak ada istilah ‘salam tempel’ jual beli kasus, tak ada istilah bagi-bagi hasil di bawah tangan. TAK ADA KOMPROMI ! Meski untuk itu ia harus terpental dari jabatan sebagai orang nomor satu di Kepolisian negeri ini. Tak heran jika Gus Dur melontarkan idiom yang hinggak sekarang sangat populer di telinga kita – Di Indonesia, hanya ada tiga Polisi jujur, yaitu Polisi Tidur, Patung Polisi, dan Hoegeng! Idiom itu masih sangat relevan saat ini, ketika kejujuran para petinggi negeri ini nyaris tinggal kalimat penyejuk. Hoegeng yang pernah menjabat Kepala Imigrasi (1960) dan menteri di jajaran Kabinet era Soekarno ini, dengan tegas menolak hadiah rumah beserta isinya ketika menjadi Kepala Direktorat Reskrim Polda Sumatera Utara (1956). Hoegeng dan keluarga memilih tinggal di hotel. Ia bersedia pindah tinggal di rumah dinas jika isinya benar-benar barang inventaris kantor saja. Semua barang-barang mewah entah pemberian siapa ditaruhnya di pinggir jalan. Semua anggota keluarga dilarang keras memanfaatkan fasilitas apapun sebagai istri dan anak Kapolri. Berbagai kasus besar yang melibatkan orang-orang penting di negeri ini tak membuatnya gentar dan ciut nyali. Hoegeng tak segan-segan pula menyamar dalam melakukan penyelidikan. Kasus besar yang ditanganinya, antara lain kasus perkosaan terhadap Sum tukang jamu gendong terkenal sebagai kasus Sum Kuning yang menggegerkan saat itu. karena melibatkan anak pejabat. Kasus penyelundupan mobil oleh Robby Tjahjadi, yang konon dekat dengan keluarga Cendana, adalah salah satu kasus spektakuler yang berhasil ia bongkar. Santer beredar kabar, gara-gara kasus inilah jadi penyebab pencopotan Hoegeng oleh Soeharto secara mendadak. Pada 1970, Hoegeng dipensiunkan oleh Soeharto dalam usia muda, 49 tahun, sebelum masa jabatan yang seharusnya tahun 1971 habis. Lagi-lagi dengan alasan klasik, untuk regenerasi. Anehnya, pengganti Hoegeng yaitu Muhammad Hassan justru lebih tua darinya. Hoegeng lalu ditawarkan untuk menjadi Duta Besar di Belgia. Hoegeng menolak dengan alasan ia seorang polisi, dan bukan politisi. Sejak itu ayah tiga anak ini mengambil posisi berseberangan dengan kekuasaan, dengan tegas pula Hoegeng memberi batas dengan kekuasaan. Ini hanyalah sebagian kecil saja dari penggalan kisah-kisah kejujuran dan ketegasan seorang Hoegeng. Sekedar mengingatkan kepada kita, bahwa negeri ini pernah memiliki seorang Hoegeng Imam Santoso. Sosok yang tak tergoyahkan oleh segala macam iming-iming yang menggiurkan. Ia menjadi Tonggak Kejujuran bagi kita umumnya dan Kepolisian khususnya. Keteladanan Hoegeng Imam Santoso wajib dicontoh dan tetap relevan sepanjang waktu. (diolah kembali dari berbagai sumber) Catatan: * Kisah Hoegeng Imam Santoso masih ada satu sekuel lagi. Berikutnya Jejak Empu Nusantara akan menampilkan Empu Tari Topeng Cirebon - Mimi Rasinah. Salam hangat, salam jabat erat - JEN -
Posted on: Sat, 24 Aug 2013 21:09:15 +0000

Recently Viewed Topics




© 2015