- Seabad lebih sebelum kemerdekaan, ulama at-Tarmasi - TopicsExpress



          

- Seabad lebih sebelum kemerdekaan, ulama at-Tarmasi telah mewarnai dunia Islam di Indonesia. Tidak terbatas di dalam negeri, bahkan di Saudi Arabia yang saat itu menjadi gudang ulama, Syaikh At Tarmasie menjadi salah pilar utama ulama Hijaz. Keterbatasan geografis dan teknologi bumi Pacitan saat itu tidak menjadi penghalang dan melesatnya derajat kemuliaan. Dari bumi Tremas yang terpencil lahirlah ulama KH Abdul Manan (1830-1842) generasi awal Tremas. Perjuangan mendirikan perguruan Islam Tremas tidak mudah. Jauh sebelumnya sekitar abad 15, Nusantara saat itu dipimpin kerajaaan Majapahit. Hampir seluruh masyarakatnya memeluk agama Hindu dan Budha. Kedua agama ini berkembang di Indonesia ketika di negara asalnya, India mulai mengalami masa-masa kemunduran. Begitu pula di daerah Wengker selatan atau pesisir selatan yang saat itu dikuasai oleh orang sakti beragama Hindu yang bernama Ki Ageng Buwana Keling. Daerah ini dikenal sebagai cikal bakal daerah Pacitan. Kegoncangan masyarakat di bawah pimpinan Ki Ageng Buwana Keling mulai terjadi seiring dengan datangnya para mubaligh dari kerajaan Demak. Rombongan Mubaligh ini dipimpin Ki Ageng Petung, Ki Ageng Posong dan Syekh Maulana Maghribi. Mereka bertiga meminta Ki Ageng Buwana Keling dan masyarakat sekitar agar bersedia memeluk agama Islam. Peperangan pun tidak terelakkan dan akhirnya dimenangkan mubaligh Demak. Sejak itulah wilayah Pacitan dengan mudah memeluk agama Islam. Demikian dari tahun ke tahun sampai masa bupati Jagakarya yang berkuasa tahun 1812, perkembangan Islam di masa itu maju dengan sangat pesat. Bahkan tiga tahun kemudian putra Demang Semanten yang bernama Bagus Darso kembali dari pesantren di Ponorogo nyantri dengan Kiai Hasan Besari Sepuh. Dengan dukungan ayahnya R Ngabehi Dipomenggolo, beliau mendirikan pesantren di Semanten (2 kilometer dari arah utara kota Pacitan). Setelah kurang lebih satu tahun ia pindah ke Tremas. Inilah awal berdirinya pondok Termas. Kepindahan Bagus Darso ke daerah Tremas bukan tanpa alasan. Di antara alasannya adalah faktor kekeluargan. Saat itu mertua dan istri beliau menyediakan sebidang tanah di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan. Bagus Darso kemudian berganti nama menjadi KH Abdul Manan. Nama Tremas sendiri memiliki latar belakang yang cukup unik. Tremas berarti keris pusaka kecil yang terbuat dari emas. Keris ini awal mulanya dimiliki punggawa Keraton Surakarta yang bernama Ketok Jenggot. Oleh Raja Surakarta saaat itu, Ketok Jenggot diperintahkan membuka hutan di daerah Pacitan dengan bekal keris pusaka tersebut. Setelah berhasil, keris tersebut ditanam di tempat pertama kali ia membuka hutan, akhirnya daerah tersebut disebut Tremas. Secara garis besar, kepemimpinan Tremas dibagi dua masa yakni masa penjajahan dan masa kemerdekaan. Periode pertama Tremas di bawah asuhan KH Abdul Manan (1830-18412). Sebagai pondok rintisan, jumlah santrinya saat itu tidak begitu banyak. Mertua KH Abdul Manan yakni Raden Ngabehi Honggowijouyo menjadi pendudkung utama pesantren terutama dalam hal pendanaan pesantren. Pengajian-pengajian yang KH Abdul Manan berikan berkisar masalah salat dan ilmu tauhid. Ia wafat pada minggu pertama bulan Syawal 1282 H dengan meninggalkan tujuh orang putra dan dimakamkan di desa asalnya yakni Semanten. Sejak kecil KH Abdul Manan dikenal sebagai anak yang cerdas dengan berbagai keistimewaaan. Bahkan guru beliau, KH Hasan Besaari Sepuh dari Tegalrejo Kabupaten Ponorogo saat itu mengakui kemuliaan KH Abdul Manan. Periode kedua Tremas dipimpin oleh KH Abdullah (1862-1894). Ia adalah putra pertama KH Abdul Manan. Pada masa kecilnya ia berguru langsung dengan ayahanya. Setelah cukup dewasa KH Abdul Manan mengajaknya ke Mekkah untuk belajar di sana. Setelah beberapa tahun di Mekkah, ia langsung pulang dan membantu mengajar di Tremas. Pada Masa kedua itulah itulah santri Tremas semakin berkembang Tidak hanya dari Solo, Ponorogo, Salatiga, Kediri , Purworejo dan lain-lainnya. Karena tidak ada kendaraan, maka untuk ke Tremas mereka harus berjalan kaki melewati gunung dan hutan yang lebat. Dengan jumlah santri, maka dibangunlah asrama santri di sebelah selatan jalan. Asrama ini pada masa KH Dimyathi dikenal sebagai pondok wetan. Pada masanya KH Abdulloh mengkader dengan cara mempercayakan kepada santri-santri lama untuk mengajar santri-santri baru. Sementara bagi mereka santri lama diberikan kitab yang lebih tinggi. KH Abdullah juga berhasil mendidik putra-putranya menjadi ulama besar pada jamannya. Pada masa itu muncul sebutan ulama At- Tarmasi yang sangat disegani di negara Arab. Bermula dari beliau yang belajar di Mekkah. Kemudian KH Abdullah mengirim putranya yakni Moh Mahfudz untuk menuntut Ilmu di Mekkah. Setelah mukim di Mekkah, Muhammad Mahfudz belajar dengan Syaikh Abu Bakar Syatha hingga menjadi ulama besar yang mampu mendudukan dirinya menjadi salah satau pengajar di masjidil Haram. Selang beberapa tahun, KH Abdulloh menunaikan ibadah haji yang ketiga kalinya. Kala itu ia mengajak ketiga orang putranya yaitu K Dimyathi, K Dahlan dan K Abdur Rozaq. Dengan tujuan agar ketiga bersaudara ini bisa belajar langsung dengan Syaikh Mahfudz At Tarmasie. Selain tiga saudara ini terdapat KH Hasyim Asy’ari Jombang yang berguru dengan Syaih Mahfudz, Syaikh Mahfudz terbilang sangat produktif dalam menulis kitab, telah beberapa kitab ia tulis dan menjadi acuan belajar di beberapa perguruan tinggi di Maroko, Iraq, Saudi Arabia dan lain sebagainya. Ia bermukim di Mekah hingga ia wafat pada hari Rabu Bulan Rajab tahun 1338 H dan dimakamkan di Mekah dengan disaksikan keluarga besar sang guru utama yakni Syaikh Abu Bakar Syatha. KH Abdullah juga wafat di Mekah Al Mukaramah pada hari Senin, tanggal 29 Syakban 1314 H. Sementara itu pesantren yang selama ditinggal KH Abdullah akhirnya dipimpin KH Muhammad Zaed sambil menunggu kepulangan KH Dimyati untuk mneruskan jalannya roda pesantren. Sepulang dari Mekah, KH Dimyathi (1894-1932) langsung memimpin pesantren Tremas. Di masanya Tremas mengalamai perkembangan sangat pesat. Seiring dengan semakin dikenalnya kitab-kitab kuning karya syekh Mahfudz at Tarmasie, baik di daerah Jawa maupun Melayu. Pada saat ini jumlah santri di pesantren Tremas mencapai 2000 orang. Seluruh tanah milik pengasuh disulap menjadi pesantren dan asrama santri. Masjid yang awalnya berada di sebelah timur di pindah ke posisi paling tengah pemukiman pesantren. Untuk kegiatan belajar didirikan gedung madrasah. Sistem Madrasah ini dimulai pada tahun 1928 dengann kitab-kitab yang diajarkan seperti Ihya Ulumiddin, Fatchul Muin, Tafsir Jalalaen, Alfiyah Ibnu Malik, Manhajul Qowim, Shahih Bukhari dan Muslim. Inilah masa kejayaan perguruan tinggi Islam Tremas. KH Dimyathi dikenal sebagai ulama yang alim dan tawadhu, sabar dan sikapnya yang sederhana. Ia tidak pernah marah kepada santri, meski ia menemui santri yang melanggar aturan pesantren, sering ia berucap "Mungkin lebih baik kamu pulang dulu". Maka pulanglah santri itu dengan rasa penyesalan yang mendalam. Sepeninggal KH Dimyati, kepemimpinan Tremas dilanjutkan KH Hamid Dimyathi (1934-1948). Beberapa usaha yang ia lakukan adalah memperbaiki keorganisasian pesantren. Kedua, menghilangkan pengajian yang dilakukan di kamar- kamar dan diganti dengan pengajian di asrama. Ketiga, penambahan beberapa kitab yang belum diajarkan pada masa KH Dimyathi. KH Hamid juga memasukkan mata pelajaran modern, seperti bahasa Indonesia, Ilmu Sejarah, Ilmu Bumi, Berhitung dan lain sebagainya dalam pelajaran madrasah salafiah. Bahkan Kiai Hamid juga berhasil membangun pesantren dengan koleksi cukup lengkap tidak hanya kitab, bahkan majalah-majalah Islam dari dalam dan luar negeri. Dengan serangan Jepang ke Indonesia dan berlanjut pemberontakan PKI Madiun 1948, pesantren Tremas mengalami masa titik balik kejayaan pesantren Termas. KH Hamid Dimyathi dan seluruh jajaran pesantren pada masa perjuangan 1945 ikut menerjunkan diri dalam kancah perjuangan. Bahkan KH Hamid masuk dalam KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dan masuk dalam Masyumi yang saat itu merupakan satu-satunya partai Islam. Karena itulah ia jarang ke pondok sampai pada masa pemberontakan PKI Madiun 1948. Sejak meninggalnya KH Hamid tahun 1948, Pondok Tremas mengalami kevakuman kepemimpinan sampai tahun 1952. Bangunan pesantren rusak dan santri pulang ke daerah masing-masing. Kondisi ini diperparah lagi dengan serangan Belanda II pada tahun 1948. Sehingga hampir dapat dikatakan Pacitan dalam keradaan darurat. Kabupaten Pacitan dipindah ke Arjosari dan atas izin sesepuh pondok. Bupati Pacitan memutuskan diri untuk memindahkan sebagian lembaga kemasyarakatan ke pondok pesantren yang sudah tak berpenghuni. Kebangkitan Tremas terjadi pada tahun 1942, saat KH Haris Dimyathi pulang menuntut ilmu dari Madrsah Salafiyah Kauman Surakarta di bawah bimbingan KH Dimyathi Abdul Karim. Baru tiga tahun membina Tremas ia kembali menuntut ilmu di Pesantren al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. Barulah pada tahun 1952, ketika adik KH Hamid Dimyathi yaitu KH Habib Dimyathi pulang dari pondok pesantren Krapyak Yogyakarta, demikian pula halnya dengan KH Haris Dimyathi yang pulang sekian lama berada di pengungsian. Begitu pula KH Hasyim Ikhsan yang kembali mengajar. Ketiga orang kyai inilah menjadi pelopor kebangkitan kembali Tremas. Gedung-gedung pondok perlahan dibenahi kembali dari sisa- sisa penjajahan Jepang, Tragedi PKI dan Agresi Belanda II. Kemudian dibangunlah kembali bangunan aula, perpustakaan dan asrama santri. Kebangkitan Tremas sangat terasa dalam bidang pendidikan. Dalam bidang ini benar-benar dilakukan pembaruan menyeluruh dengan tetap mempertahankan nilai-nilai salafi. Secara lengkap, lembaga- lembaga pendidikan yang ada di lingkungan pondok Tremas yaitu Taman Pendidikan Anak-anak At Tarmasie, Taman Pendidikan Al Qur’an At Tarmasie, Madrasah Diniyah, Madrasah Salafiyah Tsanawiyah Massa’i putra, Madrasah Salafiyah Tsanawiyah Massa’i putri, Madrasah Salafiyah Tsanawiyah Shobahi putra, Madrasah Salafiyah Tsanawiyah Shobahi putri, Madrasah Salafiyah Aliyah shobahi putra, Madrasah Salafiyah Aliyah shobahi putri. Selain dalam bidang pendidikan madrasah, kebangkitannya juga terasa dengan semakin banyaknya pengajian- pengajian yang dilaksanakan oleh sang Kyai. Kegiatan pengembangan bakat dan kreatifitas santri tidak luput perhatian dari pengasuh pesantren. Seperti semakin lengkapnya koleksi kitab di perpustakaan, adanya kegiatan pramuka, Muhdloroh (latihan ceramah), Tazayyun (menghias kamar pondok), juga pembentukan organaisasi-organisasi santri daerah turut menyemarakkan kebangkitan pesantren ini. Akhirnya, ikhtiar mulia ini berhasil mengembalikan kejayaan At Tarmasie sebagai pesantren besar, kini jumlah santri di pondok termas mencapai 2500 santri. Hingga akhir hayatnya, KH Habib Dimyathi masih memikirkan dan memberikan wasiat kepda putra- putranya agar tetap mengembangkan pesantren ini. Beliau berpulang ke Rahmatullah pada hari Sabtu tanggal 18 September 1998 atau bertepatan dengan 24 Rabiul Awal 1419 H. Sebagaian besar masyayikh Tremas di makamkan di kompleks makam lembu yang berjarak kurang lebih 300 meter ke arah barat pesantren. Terletak di atas bukit kecil nan sepi. Sepeninggal beliau, Termas kini dipimpin KH Fuad Habib.
Posted on: Mon, 19 Aug 2013 12:15:04 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015