Amangkurat I Amangkurat I lahir sekitar tahun 1619 M dan - TopicsExpress



          

Amangkurat I Amangkurat I lahir sekitar tahun 1619 M dan merupakan anak kesepuluh dari Istri kedua Sultan Agung Mataram, Ratu Kulon dari Cirebon. Pengangkatan dirinya sebagai sultan Mataram pasca mangkatnya Sultan Agung kemudian dianggap menandai masa awal kemunduran Kerajaan Mataram. Sejarawan Belanda terkenal telah membuat buku khusus mengenai masa-masa ini, dengan judul “De regering van Sunan Mangkurat I Tegal Wangi, vorst van Mataram, 1646-1677” yang diterbitkan di Indonesia oleh penerbit Grafitipress tahun 1987 menjadi dua buku dengan judul “Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I” dan “Runtuhnya Istana Mataram”. Dari judulnya, kita sudah bisa menyimpulkan bahwa keruntuhan Mataram berada di bawah tanggung jawab sang Amangkurat I ini. Ketika itu Raja Amangkurat I bertindak sekehendaknya sendiri, tidak seperti biasanya. Ia sering melakukan tindak kekerasan, dan selalu bermain siasat. Para Bupati, para mantri dan keluarga istana bertindak semaunya dengan menyalah-gunakan kedudukan mereka. Tertib bernegara rusak. Seluruh penduduk Mataram dirundung ketakutan. Sering terjadi gerhadan bulan dan matahari. Hujan menyalahi musim dan buntang-berekor terlihat setiap malam. Terjadi pula hujan abu dan gempa bumi. Banyak pertanda jelek menampakkan diri. Ini semua petunjuk bahwa negara akan rusak. (P. Swantoro, 2002) Sifat-sifat otoriter Amangkurat telah terlihat setelah ia terpilih jadi Sultan Mataram tahun 1646 M. Pertama-tama ia memindahkan ibukota kerajaan dari Kota Gede ke Plered tahun 1647 M. Kepada rakyatnya ia memerintahkan “Kamu semua harus membuat batu bata, karena saya mau angkat kaki dari Karta, saya ingin membangun kota di Plered” (Meinsma, 1874). Berbeda dengan keraton di Karta (Kota Gede) yang terbuat dari kayu, kali ini sang Sultan membangun Keraton yang terbuat dari batu bata dan dikelilingi parit besar. Pada tahun 1668, ketika utusan Belanda, Abraham Verspreet mengunjungi keraton Plered, ia menggambarkan keraton tersebut sebagai sebuah pulau di tengah danau. Pengasingan diri dengan sengaja ini cocok seluruhnya dengan watak Sunan Amangkurat yang tidak suka bergaul (de Graaf, 1961). Pada tahun-tahun pertama kekuasaannya, watak buruk Amangkurat yang lain mulai tampak. Perlu diketahui bahwa sebelum ia menjadi Sultan dan masih menjadi putra mahkota, ia pernah terlibat skandal yang melibatkan istri seorang abdi dalem senior, Tumenggung Wiraguna. Ketika telah berkuasa, Amangkurat membalas dendamnya dengan cara mengirim Tumenggung Wiraguna untuk menumpas ekspansi pasukan Bali di Blambangan. Di tempat yang jauh dari keluarga dan para pendukungnya itu, Wiraguna dibunuh. Menurut satu riwayat, pembunuhnya adalah “Kiai Ngabei Wirapatra, orang kesayangan terdekat Sultan…” Tidak hanya itu, Amangkurat juga memerintahkan pasukannya untuk membasmi semua orang yang pernah terlibat melaporkan tindakan skandal yang dahulu dilakukannya kepada ayahnya Sultan Agung. Perintah tersebut mengakibatkan hilangnya nyawa ribua wanita dan anak yang tidak bersalah, termasuk keluarga Tumenggung Wiraguna. Adik sang Sultan Amangkurat, Pangeran Alit merasa turut terancam karena sebenarnya ia termasuk ke dalam kelompok Tumenggung Wiraguna. Ketika seluruh teman-teman terbaiknya telah dibantai, Pangeran Alit mulai mendekati pemuka-pemuka Islam untuk menghilangkan kecurigaan. Di saat yang bersama ia mengumpulkan kawan-kawannya untuk melancarkan serangan terhadap sang Kakak. Mengetahui adanya plot tersebut, Amangkurat kembali menghabisi sebagian pendukung adiknya. Akibat dari provokasi tersebut, Pangeran Alit beserta kekuatan sekitar 60 orang pendukungnya, menyerbu alun-alun keraton dalam sebuah “pertarungan berdarah penghabisan” tahun 1647. Kekuatan Pangeran Alit tersebut tidak sebanding dengan pasukan Raja yang membasmi penyerangan tersebut dengan mudah, hingga menyisakan Pangeran Alit seorang. Menurut catatan Belanda yang dipercaya, sang Sultan akhirnya membiarkan para Mantrinya untuk membunuh pangeran Alit atas alasan “pembelaan diri”, dengan itu bersihlah tangan sang Amangkurat dari darah adiknya sendiri. Beberapa waktu kemudian sang Sultan kembali membunuh pemuka-pemuka agama Islam yang menurutnya telah memprovokasi sang Adik untuk menyerbunya. Menurut satu riwayat, dengan isyarat suara tembakan meriam dari Istana, tindakan pembantaian pun dimulai, dengan korban 5 sampai 6 ribu jiwa pemuda, anak-anak hinga wanita (De Graff, 1961). Pada tahun 1659, Amangkurat kembali melakukan pembunuhan, kali ini terhadap Mertuanya sendiri, Pangeran Pekik beserta anggota keluarganya yang dituduh merencanakan pembunuhan terhadap sang Sultan. Demikianlah gambaran tindakan Amangkurat yang mempengaruhi masa kehancuran Mataram, bahkan dalam laporan umum VOC di Batavia tanggal 16 Desember 1659, dikemukakan keyakinan bahwa apabila peperangan terjadi, Sang Sultan “tidak akan mudah meninggalkan istana Mataram karena di luar istana itu ia tidak merasa aman; dan ia pun tidak akan mempercayakan sebagian kekuatan tentaranya kepada pembesar manapun, karena kelaliman pemerintahan yang dilakukannya menjadikan ia ditakuti dan dibenci setiap orang”. Prediksi kompeni tersebut benar terjadi. Para penguasa lokal mulai menunjukan ketidaksukaanya terhadap penguasa Mataram. Satu per satu pangeran penguasa lungguh (tanah warisan) dan anggota keluarga Sunan sendiri mulai menentang kekuasaanya. Di daerah Jawa Timur, muncul kekuatan baru yang dipimpin Trunojoyo dari Madura menentang kekuasaan Mataram. Kekuatan Trunojoyo bertambah kuat seiring meningkatnya ketidakpuasan para pejabat dan masyarakat Mataram terhadap Amangkurat. Untuk menghadapi kekuatan Trunojoyo, Amangkurat mulai mendekati VOC untuk membantunya. VOC sendiri lebih suka berhubungan dengan Amangkurat daripada dengan Trunojoyo yang dianggapnya berbahaya. Pada bulan Desember 1676 VOC mengutus Speelman ke Jepara dengan 1200 orang tentara untuk membantu angkatan perang Amangkurat. Sebagai gantinya, Kompeni menuntut Amangkurat mengganti kerugian perang dan memberikan sebagian daerah kekuasaanya.
Posted on: Tue, 08 Oct 2013 11:13:37 +0000

Recently Viewed Topics




© 2015