Analisa dan perspektif Marxis untuk ekonomi dan politik Indonesia - TopicsExpress



          

Analisa dan perspektif Marxis untuk ekonomi dan politik Indonesia masihlah cukup terbatas untuk sebuah bangsa yang berpopulasi keempat terbesar di dunia, sebuah bangsa dengan jumlah penduduk Muslim terbesar, dan yang paling dominan di Asia Tenggara. Kurangnya analisa semacam ini dapat dirunut kembali ke kekalahan historis dari gerakan kelas pekerja Indonesia pada tahun 1965, yang dapat dibilang sebesar kekalahan kelas pekerja Jerman ketika Nazi berkuasa. Dengan bangkitnya kembali Marxisme di Indonesia, sebuah perspektif ekonomi dan politik dari lensa Marxis telah menjadi satu prioritas. Dari sebuah perspektif yang tepat akan mengalir sebuah aksi yang tepat yang mampu membawa emansipasi kelas pekerja Indonesia dan lapisan masyarakat tertindas lainnya: kaum tani miskin, nelayan, dan kamu miskin kota. Dokumen ini bukanlah sebuah usaha yang pertama untuk mengformulasikan perspektif semacam itu, dan ia tidak akan menjadi yang terakhir, terutama dengan dunia penuh gejolak yang sedang kita alami. Ia akan menjadi sebuah estimasi pertama darimana kita bisa meraih pemahaman akan apa yang perlu dilakukan. Terlebih lagi, seorang revolusioner yang serius mendefinisikan tugasnya dari sudut pandang internasional, bukan karena nilai internasionalisme yang sentimental tetapi karena kenyataan bahwa kapitalisme adalah internasional. Walaupun untuk alasan-alasan praktikal kaum buruh harus mengorganisir diri mereka sebagai sebuah kelas dengan negerinya sendiri sebagai panggung perjuangan yang segera, isi sesungguhnya dari perjuangan kelas adalah internasional. Oleh karena itu, dokumen ini harus dibaca bersamaan dengan Dokumen Perspektif Dunia 2010, kalau tidak ia akan kehilangan nilainya sama sekali. Kita hanya perlu melihat tulisan-tulisan politik Tan Malaka (Menuju Republik Indonesia, Massa Aksi, Thesis, dll.) dimana dia selalu mulai dengan analisa internasional sebelum terjun ke perspektif politik untuk revolusi Indonesia. Sejarah Massa Aksi Sejarah Indonesia selalu menjadi aspek yang paling penting di dalam gerakan. Penyelewengan sejarah oleh rejim Soeharto sebegitu penuhnya sehingga aksi penting pertama dari gerakan Indonesia adalah untuk mengembalikan sejarah “Massa Aksi”. 32 tahun reaksi di bawah Soeharto bukan hanya telah menghancurkan gerakan kelas pekerja secara fisik, tetapi juga telah sepenuhnya menghapus secara ideologis semua tradisi perjuangan kelas dari gerakan. “Massa Mengambang”, inilah terminologi yang digunakan untuk masyarakat yang dibangun oleh rejim Soeharto: depolitisasi, ahistoris, dan demobilisasi. Oleh karena itu, bagi banyak kaum muda, sang pelopor gerakan, mempelajari kembali tradisi “Massa Aksi” adalah sebuah aksi revolusioner, dan masih tetap merupakan satu aksi revolusioner. Rejim Soeharto sangatlah takut dengan sejarah Indonesia, dan dia patut takut karena sejarah Indonesia adalah sebuah negasi dari konsep “Massa Mengambang”. Satu karya yang memiliki sebuah pengaruh yang kuat dalam proses ini adalah Tetralogi Buru karangan Pramoedya Ananta Toer. Karyanya ini adalah sebanding dengan karya Chernyshevsky What is to be Done?, sebagian fiksi sebagian propaganda, sebuah karya yang mempengaruhi seluruh generasi muda Rusia yang lalu menjadi Bolshevik dan memimpin Revolusi Oktober. Tidak mengejutkan bahwa hanya setelah satu tahun penerbitan buku ini rejim Soeharto segera melarangnya. Tetapi ini tidak menghentikan teredarnya buku-buku ini yang dibaca oleh kaum muda di bawah tanah. Sejarah Indonesia adalah satu sejarah yang penuh dengan Massa Aksi. Semenjak bangkitnya nasionalisme, mobilisasi massa telah menjadi karakter utama. Berkebalikan dengan apa yang coba digambarkan oleh rejim Soeharto, perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak diperjuangkan hanya di medan militer. Ia diperjuangkan di medan politik dengan mobilisasi massa. Bahkan ketika ia diperjuangkan di medan militer, pasukan bersenjata mengambil bentuk milisi rakyat yang kendalinya jatuh di tangan organisasi-organisasi massa. Hingga tahun 1965, semua lapisan masyarakat Indonesia termobilisasi secara politik. Politik merasuki semua aspek kehidupan. Ada sebuah situasi perjuanga kelas yang tajam pada saat itu. 1960an adalah sebuah periode revolusi (dan konter revolusi) di seluruh dunia. Insiden G30S menjungkirbalikan semua ini dan Indonesia tidak pernah sama lagi. Konter Revolusi 1965 Apa yang terjadi pada Partai Komunis Indonesia? Ini adalah pertanyaan membara yang masih menjangkiti pikiran kaum revolusioner Indonesia. Oleh karena kita harus mengunjungi permasalahan ini sebelum kita bisa berbicara mengenai Reformasi 1998 dan kemudian prospek untuk revolusi mendatang. Sebelum kehancurannya, PKI mengklaim memiliki 3 juta anggota. PKI juga memiliki banyak organisasi-organisasi massa afiliasi dan simpatisas. Pemuda Rakyat dengan 1,5 juta anggota, SOBSI dengan 3,8 juta anggota (dari total 7 juta buruh terorganisir), Barisan Tani Indonesia dengan 5 juta anggota, dan Gerwani dengan 750 ribu anggota.[1] Ini membuat PKI sebagai partai komunis ketiga terbesar setelah Uni Soviet dan Tiongkok. Dengan satu pukulan, dan tanpa perlawanan yang berarti, PKI – dan dengannya seluruh gerakan buruh dan tani – dibabat habis oleh jendral-jendral reaksioner di bawah panduan kekuatan-kekuatan imperialis “demokratis”. 32 tahun reaksi menyusul. Tidak ada kekalahan yang lebih mendemoralisasi daripada kekalahan tanpa perlawanan. Keganasan kelas penguasa bukanlah sesuatu yang perlu membuat kita terkejut. Semenjak usaha pertama revolusi proletar, yakni Komune Paris pada tahun 1871, kelas penguasa sudah brutal dalam serangan balik mereka. Untuk membandingkannya, kekalahan Komune Paris mengakibatkan dibantainya 80 ribu orang di sebuah kota dengan populasi 1,8 juta orang. Populasi Indonesia pada saat pembantaian 1965-66 adalah 90 juta. Penyebab kekalahan revolusi Indonesia adalah lebih dalam daripada keganasan atau trik-trik kelas penguasa. Faktor tersebut adalah sesuatu yang niscaya. Faktor yang penting bagi kita adalah kebijakan politik PKI yang keliru. PKI adalah partai massa buruh Indonesia. Namun ia mempunyai kemalangan tumbuh di bawah panduan kaum Stalinis Rusia dan Tiongkok setelah kegagalan pemberontakan 1926-27. Ketika partai ini dibentuk kembali secara resmi pada tahun 1945, seperti kebanyakan partai-partai komunis lainnya, ia telah menjadi alat kebijakan luar negeri Moskow dan mengambil kebijakan yang keliru yang membawa kehancuran gerakan kelas pekerja. Adalah penting untuk memisahkan niat luhur para pemimpin ini (Aidit, Njoto, Lukman, Sudisman) dari kekeliruan politik mereka. Kalau tidak kita tidak akan bisa maju kemana-mana. Hingga tahun 1930an, Partai Komunis Uni Soviet sudah bukan lagi partai yang sama yang memimpin Revolusi Oktober. Ia telah menjadi alat birokrasi Soviet untuk mempertahankan privilesenya. Sudah bukan lagi kepentingan mereka untuk berjuang demi sosialisme sedunia kendati retorika- retorika mereka. Kaum birokrasi ingin hidup damai dengan kapitalisme dan oleh karenanya menjadi sebuah rem aktif dalam perjuangan sosialis di seluruh dunia. Partai Komunis Tiongkok dibangun berdasarkan gambaran PKUS, dan negara Tiongkok mulai darimana Revolusi Rusia berakhir: sebagai sebuah negara buruh yang cacat. Kedua negara ini memiliki pengaruh politik yang besar di dalam gerakan kelas pekerja untuk seluruh periode. Fakta sejarah ini menentukan nasib banyak partai-partai komunis seluruh dunia. Kepemimpinan PKI dididik di dalam “teori dua-tahap” Stalinis (yang sebenarnya adalah pengulangan kebijakan Menshevik), yang di dalam esensinya mengatakan bahwa di negara terbelakang seperti Indonesia tahapan pertama revolusi memiliki karakter borjuis-demokratik guna menghapus feodalisme dan imperialisme. Oleh karena itu, tugas kaum komunis di negeri seperti itu adalah untuk beraliansi dengan kaum borjuis progresif, untuk mengsubordinasi perjuangan kelas di bawah perjuangan nasional melawan feodalisme dan imperialisme. Hanya setelah ini sebuah pintu akan terbuka untuk perjuangan kelas menuju sosialisme. Dari “Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia (Masalah-Masalah Mendasar Revolusi Indonesia)”[2], yang merupakan perspektif politik PKI yang ditulis oleh D.N. Aidit, yakni “sebuah manual untuk digunakan dalam sekolah partai di pusat dan di propinsi-propinsi dan disetujui oleh Plenum Komite Pusat, Juli 1957”, kita akan melihat dengan dekat “teori dua-tahap”nya PKI dan kontradiksi-kontradiksi di dalam teori dan kebijakan ini. Dokumen ini dimulai dengan sebuah analisa masyarakat Indonesia, yang diklaim adalah semi-feodal dan semi-kolonial. Dari ini mengalir bahwa “musuh utama dari revolusi Indonesia pada saat ini adalah ... imperialisme dan feodalisme.”[3] Ini adalah kesalahan yang pertama. Secara fundamental, masyarakat Indonesia selalu merupakan masyarakat kapitalis. Mode produksinya didominasi oleh mode produksi kapitalis, yakni kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi. Ekonomi Indonesia telah terikat dengan kapitalisme semenjak kontak pertamanya dengan kekuatan kolonial Belanda lebih dari 400 tahun yang lalu (baca Lampiran “Sejarah Perkembangan Kapitalisme Indonesia”). Indonesia adalah semi-feodal hanya dalam pengertian bahwa kaum borjuis nasional – seperti kaum borjuis nasional di negera-negara belum berkembang lainnya – tidak pernah mampu melaksanakan tugas historisnya dalam reforma agraria, tidak pada saat itu dan tidak sekarang. Indonesia adalah semi- kolonial hanya dalam pengertian bahwa di dalam konteks kapitalisme global dan perkembangan tidak-berimbang dari kapitalisme, seperti negara-negara kapitalis kecil lainnya, Indonesia menjadi mangsa dari negara-negara kapitalis yang lebih besar. Dari kesalahan utama ini maka mengalir perspektif bahwa tugas revolusi Indonesia adalah untuk menciptakan “pemerintahan rakyat” dan bahwa “pemerintahan ini (Pemerintahan Rakyat Demokratis) bukanlah sebuah pemerintahan kediktaturan proletariat tetapi sebuah pemerintah kediktaturan rakyat.” [4] Marx dan Engels, dan kemudian Lenin, telah berjuang dengan keras melawan konsep “negara atau pemerintahan rakyat”. Lenin di dalam Negara dan Revolusi menjelaskan ini dengan jelas: “ ‘Negara Rakyat bebas’ adalah suatu program tuntutan dan suatu semboyan umum yang tersebar luas di kalangan kaum Sosial-Demokrat Jerman dalam tahun 1870- an. Semboyan ini tidak mempunyai isi politik sama sekali kecuali ia melukiskan pengertian tentang demokrasi dengan gaya filistin yang muluk-muluk. Sejauh ia digunakan untuk, dengan jalan yang sah menurut undang-undang, menunjukkan suatu republik demokratis, Engels bersedia untuk ‘membenarkan’ penggunaannya itu ‘untuk suatu waktu saja’ dipandang dari sudut agitasional. Tetapi itu adalah semboyan oportunis, karena ia tidak saja menyatakan pembagusan demokrasi borjuis, tetapi juga gagal untuk memahami kritisisme sosialis terhadap Negara pada umumnya. ... Lebih jauh lagi, setiap Negara adalah suatu ‘kekuatan penindas khusus’ terhadap kelas tertindas. Maka dari itu, setiap Negara tidak ‘bebas’ dan bukan ‘negara Rakyat’. Marx dan Engels menjelaskan hal ini berkali-kali kepada kawan-kawan separtainya selama tahun-tahun 70- an.” (Lenin, Negara dan Revolusi) [Penekanan ditambahkan] Pemerintahan Soekarno bukanlah sebuah kediktaturan militer. Di bawah pemerintahannya, kaum komunis diberikan kebebasan; mereka menduduki posisi-posisi kabinet dan parlemen. Engels siap memberikan semacam pembenaran sementara untuk penggunaan slogan “pemerintahan rakyat” di Jerman pada tahun 1870an karena mereka pada saat itu hidup di bawah Kekaisaran Jerman, sebuah otokrasi. Tetapi ini bukanlah kasusnya di Indonesia jaman Soekarno. Slogan “pemerintahan rakyat”nya PKI hanyalah sebuah kapitulasi program kelas pekerja terhadap borjuis nasional. Guna membenarkan kebijakan dua-tahap, sebuah kelas borjuis nasional yang progresif harus diciptakan. Maka dari itu, PKI memelintir karakter kelas borjuasi di Indonesia: “Kelas borjuasi terdiri dari para komprador dan kaum borjuis nasional. Kaum borjuis besar yang karakternya komprador melayani secara langsung kepentingan kapitalis asing besar dan oleh karenanya digemukkan oleh mereka ... Akan tetapi, kaum borjuis nasional mempunyai dua fitur. Sebagai sebuah kelas yang juga tertindas oleh imperialisme dan seluruh perkembangannya tercekik oleh feodalisme, kelas ini adalah anti-imperialis dan anti- feodal, dan dalam hal ini ia adalah salah satu kekuatan revolusioner ... Kaum borjuis nasional Indonesia, karena ia juga ditindas oleh imperialisme asing, dapat, di situasi tertentu dan dalam batasan tertentu, mengambil bagian dalam perjuangan melawan imperialisme. Dalam situasi seperti itu, kaum proletariat Indonesia harus membangun persatuan dengan kaum borjuis nasional dan mempertahankan persatuan ini dengan seluruh kekuatannya.” [5] [Penekanan ditambahkan] Ada kaum borjuis yang baik dan ada kaum borjuis yang jahat. Tesis ini berlawanan dengan analisa kelas Marxis. Benar bahwa pada satu saat tertentu bisa ada perpecahan di dalam kelas penguasa karena satu seksi mungkin punya kepentingan ekonomi atau politik sekunder yang berbeda dengan seksi- seksi lain. Akan tetapi, kepentingan primer dari seluruh borjuasi tetap sama: penindasan kelas pekerja. Seluruh eksistensi dari kelas ini adalah kekuasaannya di atas kelas proletariat. Borjuasi nasional Indonesia lahir terlambat di dalam sejarah. Sejak awal, keberadaannya terikat oleh imperialisme. Bahkan lebih parah, tidak seperti kaum borjuasi nasional di negara-negara berkembang lainnya (India dan Tiongkok misalnya) yang memainkan peran aktif dan dominan dalam gerakan nasionalis, kelas borjuasi Indonesia tidak pernah memimpin gerakan nasionalis. Dengan penilaian mereka yang keliru mengenai kelas borjuasi nasional, PKI lalu secara aktif mencari aliansi dengan borjuasi progresif dengan cara mengsubordinasikan perjuangan kelas di bawah perjuangan nasional, mengsubordinasikan kelas pekerja di bawah kelas borjuis nasional, kendati layanan bibir mereka bahwa “revolusi Indonesia tidak akan berhasil kalau ia tidak berada di bawah kepemimpinan kelas proletar Indonesia.”[6] Sejarah tidaklah baik hati kepada mereka yang telah mencoba mencari borjuasi nasional progresif karena sampai sekarang mereka belum ditemukan. Dimanakah kelas borjuasi progresif ini ketika PKI dihancurkan dan jutaan pendukungnya dibantai? Dimanakah kelas borjuasi progresif selama kediktaturan militer Soeharto? Ketidakkonsistenan teori PKI mengenai watak kelas borjuasi nasional menjadi semakin vulgar: “Dalam menghadapi karakter kebimbangan dari kelas borjuasi nasional Indonesia, perhatian harus diberikan ke kenyataan bahwa justru karena mereka lemah secara politik dan ekonomi maka tidaklah sulit untuk menarik kelas ini ke kiri guna membuatnya berdiri teguh di sisi revolusi selama kekuatan progresif besar dan taktik Partai Komunis tepat. Ini berarti bahwa elemen kebimbangan dari kelas ini tidaklah fatal, ini dapat diatasi. Tetapi di pihak lain, bila kekuatan progresif tidak besar dan taktik Partai Komunis tidak tepat, maka borjuasi nasional yang lemah secara ekonomi dan politik ini akan mudah lari ke kanan dan menjadi musuh revolusi.” [7] [Penekanan Ditambahkan] Bila kaum borjuasi nasional sudah “lemah secara politik dan ekonomi”, maka semakin banyak alasan untuk menyingkirkan mereka ke samping. Justru karena mereka lemah maka mereka tidak boleh dijadikan sekutu. Di sebuah peperangan, beraliansi dengan sekutu yang lemah tidak pernah dianjurkan karena daripada menguatkan justru kekuatan kita akan menjadi lemah. Sayangnya, sekarang kita melihat argumen serupa digunakan oleh PRD/PAPERNAS untuk membenarkan aliansi mereka dengan kaum borjuasi nasional. Sejarah mengulangi dirinya, pertama kali sebagai sebuah tragedi, dan kedua kali sebagai sesuatu yang konyol.
Posted on: Thu, 12 Sep 2013 04:54:23 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015