Artikel dari T. DJAMALUDDIN terhadap SUSIKNAN AZHARI " TIDAK - TopicsExpress



          

Artikel dari T. DJAMALUDDIN terhadap SUSIKNAN AZHARI " TIDAK HARUS SALING MENYALAHKAN" kalau intinya memang "2-3-8" perlu ditinjau kembali -APALAGI BAPAK yg TERHORMAT yang bicara.- Penyatuan Kalender Islam Selangkah Lagi Posted on 7 Agustus 2013 by tdjamaluddin T. Djamaluddin Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN [Catatan: Ini artikel bantahan yang saya kirim ke Republika] Tulisan Susiknan Azhari (SA) di Republika, 5 Juli 2013, menggambarkan adanya kesalahan pemahaman terhadap problem kalender Islam. Kesalahan pemahaman itu yang menyebabkan resistensi Muhammadiyah untuk mengubah kriteria Wujudul Hilal dengan kriteria vibilitas hilal atau imkan rukyat (IR) yang merupakan titik temu hisab dan rukyat. Kesalahan pemahaman itu perlu dikritisi untuk memahami problem sesungguhnya yang sebenarnya sederhana. Penyatuan kalender Islam di Indonesia itu selangkah lagi. Sebagai negara Muslim terbesar, penyatuan kalender Islam di Indonesia akan mendorong penyatuan kalender Islam regional dan global. Kalender adalah simbol suatu kemajuan suatu peradaban. Setiap peradaban besar mempunyai sistem kalendernya sendiri. Suku Maya punya kalender. Cina dan Jepang masing-masing punya sistem kalender yang terus digunakan. Umat Hindu, Budha, dan Kristen juga mempunyai sistem kalendernya sendiri. Basisnya bulan atau matahari, dua benda langit yang sejak awal peradaban manusia dijadikan rujukan sistem waktu. Kalender adalah produk kemajuan ilmu astronomi yang merumuskan hasil pengamatan jangka panjang menjadi formulasi matematis dalam bentuk tabel atau algoritma untuk prakiraan waktu ritual atau kegiatan sosial-ekonomi di masa depan. Kalender tidak lahir langsung sempurna. Ada proses panjang dalam merumuskan sistem kalender sehingga menjadi kalender mapan. Kalender Masehi yang kini menjadi kalender internasional memerlukan waktu hampir 2.000 tahun untuk menjadi kalender yang mapan. Kalender Islam baru 1.434 tahun, namun penyatuannya bisa dipercepat dengan bantuan kemajuan ilmu astronomi dan teknologi pendukungnya. Kalender mapan mensyaratkan tiga hal: ada otoritas yang menjaga sistem kalender tersebut, ada batas wilayah yang tegas, dan ada kriteria yang disepakati. Kalender Masehi dulu di bawah otoritas Kaisar Julius kemudian oleh pemimpin agama Paus Gregorius. Perbedaan kriteria ala Julius dan Gregorius menjadi sebab utama perbedaan penerapan kalender di berbagai negara. Negara-negara dengan mayoritas penduduk Kristen Protestan dan Kristen Ortodoks tidak mau menerima kriteria baru yang diumumkan oleh Paus Gregorius yang dianggap bernuansa Katolik. Akibatnya hari raya Natal dan Paskah bisa berbeda belasan hari. Baru pada 1792 Inggris menerima kriteria Gregorius dengan melakukan lompatan 12 hari pada kalendernya. Terakhir Yunani yang menerima kriteria Gregorius pada 1923 dengan melakukan lompatan 13 hari. Masalah kriteria pula yang menyebabkan perbedaan kalender Islam di Indonesia. Kalender adalah masalah perhitungan astronomi (hisab), tetapi terkait masalah pengamatan hilal (rukyat). Akar masalah awalnya adalah perbedaan metode rukyat yang diajarkan Rasul dan hisab yang merupakan perkembangan parameterisasi fenomena rukyat. Sekian ratus tahun perdebatan dalil hukum metode rukyat dan hisab tidak terselesaikan, karena interpretasi dalil bisa sangat beragam dan berkaitan dengan keyakinan. Namun kini metode hisab dan rukyat bisa dipersatukan dengan mencari titik temunya. Titik temu rukyat dan hisab yang diajukan para astronom adalah kriteria visibilitas hilal atau imkan rukyat (IR). Kriteria itu bisa digunakan untuk membuat kalender karena bisa digunakan sebagai batasan awal bulan dalam metode hisab. Kriteria itu juga bisa digunakan untuk memandu rukyat dan menverifikasi hasil rukyat karena didasarkan pada data rukyat jangka panjang. Kementerian Agama sejak lama sudah memfasilitasi ormas-ormas Islam untuk menyamakan kriteria. Kesepakatan pertama berhasil dirumuskan pada 1998 dan diperbarui pada 2011. Kriteria yang disepakati adalah kriteria “2-3-8” (tinggi minimal 2 derajat dan jarak bulan-matahari minimal 3 derajat atau umur hilal minimal 8 jam). Kriteria itu disepakati juga dalam pertemuan informal Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS). Kriteria itu merupakan syarat minimal untuk terlihatnya hilal dan jadi batas masuknya awal bulan. Sayangnya Muhammadiyah memisahkan diri dari kesepakatan itu dan berpegang pada kriteria wujudul hilal (WH). Akibatnya, keputusan kriteria IR akan berbeda dengan WH kalau posisi bulan rendah. Menurut kriteria IR belum masuk awal bulan, tetapi menurut kriteria WH sudah masuk. Kesalahan Pemahaman Ada kesalahan SA di Republika 5 Juli 2013 lalu dalam membaca poblem kalender Islam. SA salah dalam memahami IR. IR dan WH sama-sama kriteria yang digunakan dalam menilai hasil hisab, apakah sudah masuk awal bulan atau belum. Tetapi WH bukan jalan tengah hisab murni dan rukyat murni, karena WH bermasalah dengan posisi hilal rendah yang tidak mungkin dirukyat (diamati). Justru kriteria IR yang menjembatani hisab dan rukyat, dengan memperhitungkan keterlihatan hilal dengan syarat tertentu. Hilal terlalu rendah (seperti beberapa kasus perbedaan di Indonesia) menyebabkan perbedaan antara hasil hisab WH dan hisab IR serta perbedaan antara hisab WH dan hasil rukyat terpercaya (muktabar). Kesalahan SA lainnya adalah menyatakan bahwa IR bersumber dari pengalaman subjektif yang seolah tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Justru IR didasarkan pada data-data objektif pengamatan astronomi dan dipublikasikan di publikasi/jurnal astronomi. Kriteria “2-3-8” sebagai kriteria IR paling sederhana juga mendasarkan pada data objektif rukyat sebelumnya, walau analisisnya belum sepenuhnya mengikuti kaidah astronomi dari segi jumlah sampel data rukyat. SA juga membuat kesalahan pemahaman seolah kriteria visibilitas hilal hanya digunakan sebagai pemandu observasi. SA yang sering turut serta dalam Temu Kerja Hisab Rukyat Kementerian Agama, seolah melupakan kegiatan penyusunan Taqwim Standar Indonesia (Kalender Islam Baku) yang disusun berdasarkan kriteria IR yang disepakati di Indonesia. Jadi kriteria IR juga digunakan sebagai rujukan pembuatan kalender. Kriteria yang digunakan Indonesia (kriteria MABIMS atau kriteria “2-3-8″) adalah kriteria yang digunakan oleh Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura dalam pembuatan kalendernya. Turki menggunakan kriteria yang dikenal sebagai kriteria Istambul, yaitu tinggi minimal 5 derajat dan jarak bulan-matahari minimal 8 derajat. Jadi sangat keliru bandingan kriteria IR yang digunakan Turki dan Malaysia untuk jadi pembenaran wujudul hilal. Dalam konteks Indonesia, kriteria IR “2-3-8″ sudah digunakan pada pembuatan Taqwim Standar Indonesia, mulai Muharram – Dzulhijjah, sama seperti yang dilakukan Malaysia. Pada sisi lain, SA yang warga Muhammadiyah yang anti-rukyat tidak sadar bahwa Tim Rukyat sudah ada sejak lama. Kementerian Agama sudah mempunyai Tim Rukyat. Ormas-ormas Islam pelaksana rukyat sudah mempunyainya dan beberapa melengkapinya dengan teleskop. Para astronom amatir yang bergabung di Rukyatul Hilal Indonesia (RHI) juga melakukan pengamatan rutin dan mengkompilasi datanya. Data rukyat pun tidak harus dari Indonesia. Data rukyat internasional pun bisa digunakan dalam pembuatan kriteria IR. Kesalahan terbesar SA adalah ajakan untuk meninggalkan observasi sebagai metode untuk menentukan awal bulan qamariyah. SA menutup mata atas kenyataan adanya ummat Islam pengamal rukyat, seperti warga NU dan banyak ormas lainnya. Hak mereka juga harus dihargai, bahwa untuk menentukan awal Ramadhan dan mengakhirinya diperlukan adanya rukyat hilal, walau mereka juga pandai menghisab dan mempunyai kalender. Sangat keliru kalau dianggap para pengamal rukyat tidak mempunyai kalender. Misalnya, Lajnah Falakiyah NU membuat kalender berdasarkan kriteria IR 2 derajat, selain mempunyai fasilitas rukyat yang baik. Di Indonesia secara umum hisab sudah diterima oleh semua ormas Islam. Oleh karenanya mereka pun bersepakat menggunakan kriteria IR dalam pembuatan kalendernya dan dalam mengevaluasi hasil rukyat. Kriteria IR digunakan pada hisab agar kalender yang dihasilkannya dan hasil rukyat sama. Dengan penggunaan kriteria IR pengamal hisab dan pengamal rukyat bisa bersamaan dalam mengawali Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Hal itu tidak mungkin terjadi dengan kriteria WH, karena pada saat bulan rendah hasil hisab WH pasti berbeda dari hasil rukyat, seperti kasus Idul Fitri 1432/2011, awal Ramadhan 1433/2012, dan awal Ramadhan 1434/2013. Salah besar kalau SA menyatakan bahwa dengan observasi sebagai penentuan masuknya tanggal 1, khususnya awal Ramadhan dan Syawal, maka kita tidak akan memiliki kalender Islam yang mapan. Kalender memang hasil hisab. Tetapi tidak ada masalah dengan observasi, bahkan observasi dapat digunakan untuk menyempurnakan kriteria IR. Selangkah lagi Untuk membentuk kalender Islam yang mapan, kita sudah punya otoritas tunggal, yaitu Pemerintah yang diwakili Menteri Agama. Wilayah NKRI juga disepakati sebagai batas wilayah keberlakukan hisab dan rukyat di Indonesia. Tinggal selangkah lagi kita bisa memiliki kalender Islam yang mapan, yaitu bersepakatn pada kriteria. Kriteria yang digunakan mesti kriteria yang mewadahi pengamal hisab dan pengamal rukyat secara setara. Tidak mungkin kriteria WH yang digunakan, harus kriteria IR yang digunakan. Bila kita sudah bersepakat dengan kriteria IR, kita bisa merumuskan ulang kesepakatan kriteria itu. Kriteria “2-3-8” yang dianggap belum memenuhi kaidah astronomi harus ditinjau ulang. Data rukyat jangka panjang dari Indonesia dan data internasional bisa digunakan untuk merumuskan kriteria IR yang baru. Tujuannya agar hasil hisab dan hasil rukyat sama. Dengan demikian nantinya kalender Islam akan memberikan kepastian yang bisa diterima pengamal rukyat dan pengamal hisab, tanpa mengulang lagi perdebatan lama soal dalil. Kesepakatan bisa diperluas ke tingkat regional, seperti yang sudah terjadi dengan kriteria MABIMS. Kemudian bisa juga digalang kesepakatan antarpemerintah secara global untuk merumuskan garis batas tanggal kalender hijriyah dan kriteria IR global. Jadi, kita selangkah lagi mewujudkan kalender Islam yang mapan, dengan menggalang kesepakatan nasional, regional, dan global.
Posted on: Sun, 18 Aug 2013 16:33:01 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015