Batulaya Balanipa Mandar Menu utama Langsung ke isi - TopicsExpress



          

Batulaya Balanipa Mandar Menu utama Langsung ke isi Beranda Ekopol Gambar Kampung Layonga News Pendidikan Profil Puisi Sejarah Situs Video Web Wisata Alam Wisata Kuliner Budaya Cari Juni 12, 2013 Todilaling Peradaban Mandar Yang Terpendam Tinggalkan Komentar Oleh : Suryananda Membincang Balanipa adalah membincang sosok-sosok para aktor sejarah yang ada di dalamnya. Dan menilik sejarah Balanipa, tak bijak jika abai pada sosok I Manyambungi To dilaling.Tak sayak lagi, sosok I Manyambungi To dilaling bagi masyarakat mandar adalah nama yang sangat familiar, kendati kini begitu banyak generasi Mandar yang tidak lagi mengenal lekuk sejarahnya, termasuk sosok I Mayambungi To Dilaling ini. Image I Manyambungi To Dilaling ditaksir lahir pada abad XV di Lemo Desa pendulangan yang sekarang tergabung dalam wilayah administratif Kecamatan Limboro, Ia adalah putra To Makaka di Napo, Puang Digandrang yang menikah dengan Weappas putri dari I Taurraurra. Sedangkan I Taurraurra sendiri adalah anak dari Ta’bittoeng, anak To Pallik atau To Makaka di Lemo. To Makaka adalah sebutan dalam bagi golongan menengah strata social mandar pada abad XII yang merupakan hasil akulturasi dari kehidupan sosial dari Tanah Toraja. Kehidupan pada masa itu mengenai tiga tingkatan strata berdasarkan kekuasaan dan kekayaan yaitu puang atau mara’dia (Mandar), mo’dika (Tanah Toraja) merupakan strata tertinggi. Yakni mereka yang di anggap sebagai To Manurung atau keturunannya. Adapun versi tentang to manurung yaitu orang yang turun dari Tomala’bi dan itulah To Manurung sebagai titisan dewa, meskipun aspek lain menganggap To Manurung adalah To Maka atau orang yang pantas, To Mala atau oarng yang mampu dan To Manrang atau orang yang pintar dan berwibawah Menurut adat To Makaka (kepala suku) pada masa itu, anak yang dilahirkan pada masa orang tuanya tengah menjabat atau memangku jabatan sebagai pemimpin, maka anak itu berhak mewarisi kedudukan orang tuanya. Adapun Puang Digandrang salah satunya ayah dari I Mayambungi salah satu To Makaka yang ada di Mandar pada masa itu. Dari beberapa penutur sejarah, ditemukan sebuah kenyataan bahwa, I manyambungi dipahami lahir bersamaan adanya sebuah keris. Sehingga sebelum I mayambungi dikenal, nama yang acap melekat pada namanya adalah adalah To Rindu Gayang atau kembar keris. Selain itu sosoknya juga sebelumnya petrnah dikenal To Patula-tula yaitu pembawa keramat sebab tak ada teman bermainnya yang bisa hidup jika bermain dengannya. Utamannya saat dirinya meneriaki atau berang dan marah kepada temannya. Karenanya sosok satu ini acap pula dikenal sebagai To Mapai’ Lila atau orang yang pahit lidahnya. Sebelum menjabat sebagai Mara’dia pertama di Balanipa I Mayambungi sempat menjadi panglima perang di kerajaan Gowa pada masa pemerintahan Raja Gowa IX Daeng Matenre (Tomapa’risi’ Kallona). Awal kedatangan I Mayambungi di Gowa yaitu pada masa pemerintahan Karaeng Batara Gowa sebagai raja VII. Hal itu dilatar belakangi oleh hubungan perdagangan antar kerajaan Gowa dengan Tomakaka-tomakaka yang ada di Mandar, termasuk To Makaka Napo yang terjalin dengan baik. Dalam sejarahnya, I Mayambungi menginjakkan kakinya ke Gowa pada usia yang masih kanak-kanak. Alasan kedatangannya di Butta (tanah) Gowa di upayakan sebagai pengasingan dirinya atas hukuman yang di jalaninya dan di jatuhkan kepadanya oleh To Makaka di Appe Banua Kaiyyang (Napo, Samasundu, Mosso dan Tora-torang) setelah membunuh saudara sepupunya sendiri. Di gowa I Mayambungi lebih di kenal dengan sebutan I Billa Billami, yang kemudian menikah dengan Karaeng Surya Putri dari Karaeng Sandrabone Saudara I Reasi (putri mandar) yang merupakan istri raja Gowa VII Karaeng Batara Gowa. Dari perkawinanya itu, lahirlah To Mepayung sebagai putra sulung di susul oleh dengan kelahiran tiga orang putri lainnya. Kesyuksesan I Mayambungi sebagai panglima perang di kerajaan Gowa tersohor sampai ke Lita’ (tanah) Mandar setelah berhasil memimpin pasukan kerajan gowa menaklukkan kerajaan Lohe dan bahkan Pariaman (Sumatra Barat) yang ternasuk kerajaan terkuat pada masa itu. Gong dari lohe atau yang dikenal sebagai Ta’bilohe dan keris Pattarapang raja Pariaman yang berhasil di rebut menjadi kemenangan yang di berikan oleh Daeng Matenre pada I Mayambungi. Kenyataan ini pulalalh kemudianyang membuat sarung stera Mandar kerap kali digunakan pada setiap ritual atau upacara adat di Sumatera. Hal mana diyakini sebagai salah satu bukti kemengan I Manyambungi melalui pos penaklukan kerajan Gowa. Pada masa yang sama di Mandar terjadi perseteruan antara Appe’ Banua Kaiyyang dengan Passokkorang (biring lembang, renggeang, manu-manukang salarri). Para To Makaka dari Appe Banua Kaiyyang bersepakat mengutus Pappuangan Mosso menjemput I Mayambungi di Gowa. Nama besar I Mayambungi diharapkan dapat membantu Appe Banua Kaiyyang meninggalkan Gowa menuju Napo. Konon sepulang dari Gowa masyarakat Napo termasuk Puang Digandrang menyambut kedatangan rombongan I Mayambungi di Labuang Palippis soreang setelah menempuh perjalan selama hampir satu bulan melalui laut dengan menggunakan lopi (perahu). Dan inilah awal disandangkan gelar Todilaling (orang yang digotong). Dengan kembalinya I Manyambungi, Appe Banua Kaiyyang menyatukan diri menjadi kerajaan yang lebih besar selanjutnya kerajaan ini di beri nama kerajaan Balanipa (arajang balanipa). Para To Makaka Appe Banua Kaiyyang sepakat mengangkat sebagai Mara’dia. Sebagai Mara’dia I Mayambungi dibantu Puang Dipoyosan, Puang Soro Pa’bicara Kaiyyang yang pertama beserta Puang Puatta Isaragiang, turunan dari To Kanacca’ Raja Alu untuk menyusun strategi menaklukkan Passokkorang di bawah kepemimpinan Takkai’ Bassi dibantu Puatta Dibulo turunan Toajoan. Siasat yang di lancarkan I Manyambungi dengan mengutus Puatta Saragiang bersama Puatta Dibulo berhasil menyusup ke Passokkorang dan berhasil membantu pasukan Balanipa yang akhirnya memukul mundur pasukan Passokkorang. Passokkorang mengakui kekuasaan Balanipa melalui permintaan damai seusai perang dan pembumi hangusan Passokkorang. Kerajaan Balanipa sudah mulai mengalami pembenahan birokrasi setelah I Manyambungi mengutus keponakan Puang Dipoyosan meminta adat konstitusi dari kerajaan Gowa. Yakni adat gowa yang ditulis dalam bentuk lontar yang selanjutnya menghapus adat lama Balanipa satu diantaranya berupa adat bala batu (pagar batu) atau bala tau (yang terletak di desa tammejara nama sekarang yang di kecamatan balanipa). Sebuah adat berupa system peradilan yang masih menggunakn hukum rimba yang kuat yang menang. Atau yang benar yang menang atau hidup dan sebaliknya yang kalah akan mati atau bersalah jika ada perkara oleh dua kubu yang saling berseteru. Dengan sistem sigayang (baku tikam) di dalam satu sarung. Hal ini hampir serupa dengan kerajaan Romawi Kuno. Hanya saja, di Mandar tampaknya masih jauh mengerikan karena sigayang (baku tikam menggunakan keris) dalam satu sarung. Sedangkan perbedaan di Romawi Kuno bertarung dengan menunggani kuda berkodar. Sehingga masi ada kemungkinan untuk menghindar dan melarikan diri. Terlepas dari Romawi kita kembali ke Mandar. Penghapusang aturan lama di Mandar ini menandai berlakunya konstitusi baru yang menjadi pedoman dan sumber inspirasi dalam penyelenggaran pemerintahan Balanipa. I Manyambungi wafat setelah istri keduanya melahirkan enam orang anak dan semuanya adalah laki-laki. Upacara pemakaman yang dilaksanakan keluarga besar dan rakyat Balanipa saat wafatnya berlangsung amat sakral. Dengan mengikut sertakan semua dayang-dayang atau pelayan dan pengawal setianya hidup-hidup diiringi alunan musik gandrang (gendang) dan Gong Bilohe. Dimana setelah dikebumikan bersama-sama, sesuai penutur sejarah, warga disekitar tempat pemakaman I Manyambungi itu masih dapat menguping suara musik dan gerakan tarian dari dalam liang lahat hingga hari keempat puluh. Hingga kini diatas tempat pemakaman I Mayambungi itu tumbuh sebuah pohon besar (ponna lambe). Alhasil, kisah dan sejarah Todilaling bukan saja sebuah sejarah kisah lokal yang di persempit di wilayah Balanipa Mandar saja. Sebab kiprah I Manyambungi Todilaling tidak hanya di Balanipa saja, tetapi juga di Gowa bahkan sampai di luar, yakni Jawa dan Sumatera. Sekaligus ini menjadi penanda besar betapa sejarah sosok I Manyambungi yang telah mendedikasikan hidupnya pada dua sistem kerajaan besar yaitu Gowa dan Balanipa menjadi sebuah sejarah besar dan sekaligus salah artefak sejarah yang kini dapat ditemui pada situs besar di Mandar. Dan padanya perlu dilakukan pengkajian yang lebih mendalam. SITUS MAKAM TODILALING Kini situs sejarah makam Imayambungi Todilaling yang luas sekitar 50 x 40 meter persegi ini berbatasan dengan Gunung Tammengundur di sebelah Timur, Gunung Mengnganga di Utara, Tandassura di Barat dan Pandewulawang di Selatan. Setiap bulannya objek wisata sejarah ini dikunjungi sekitar 300 pengunjung setiap bulannya. Pengunjung mulai dari yang melakukan ziarah, nazar hingga penelitian dan bukan hanya dari wilayah Mandar-Sulbar tetapi juga tidak sedikit dari luar Sulbar, seperti Makassar, Gowa, Kalimantan, Malaysia, Parepare dan sebagian lainnya dari Jawa dan Sumatra About these ads
Posted on: Sat, 26 Oct 2013 16:01:26 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015