Cinta, Tak Semudah Kata C.I.N.T.A Tiga,,, “Chieh chieh, - TopicsExpress



          

Cinta, Tak Semudah Kata C.I.N.T.A Tiga,,, “Chieh chieh, yang baru jadian nih…” Goda Dessy yang tiba –tiba muncul dan menepuk pundakku yang sedang menikmati semangkuk bakso di ujung jalan bersama pangeranku Aim. “Wey! Kemana aja kau?! Lama gak muncul…” Sahutku bersalaman dan cipika cipiki. “Iya kemana aja?” Tanya Aim Juga. Dessy duduk disampingku. “Aku baru balik dari Jakarta.” “Koq gak kasih tahu? Kapan berangkatnya?” “Oma aku meninggal, so dadakan lah pastinya berangkat tiga hari yang lalu.” “Innalillahi wainna ilaihi roji’un.” Sahutku dan Aim bersama. “Turut duka cita ya…” Tambahnya. “Makasih…” Intro ‘Its my life, by bon jovi’ Sepenggalan music barat muncul makin keras memecah keasyikan kami. Ternyata hape Aim yang berbunyi. “Bentar ya ada Teflon…” “Teflon?! Telfon kale…!!!” Seruku dan Dessy serempak dengan tawa. Diangkat telfon itu dan pergi menceri ketenangan suara. “Aduh telpon dari siapa ya sampai menjauh gitu???” Dessy masih terus menggodaku. Aku tersenyum. “Ken Dedes, Ken Dedes! Koq kamu yang repot tuh telpon dari siapa? Biarin aja terserah siapa yang mau telpon lah…” “Lah bukannya curiga malah senyum –senyum…” “Truzz?? Gimana lagi dong? Ya udah biarin aja lah…” “Yeh! Koq gitu sih? Gak takut lepas dari jebakan ne?” “Terserahlah…” “Lho? Waktu itu katamu pengen serius deh. Koq terserah? Kalau di rampok orang gimana?” “Perhiasan kale di rampok?!!!” “Ah gimana sih…” “Masih banyak koq yang lebih kerren dan bagus dari dia. Ya kalau memang dia selingkuh dan gak serius sama aku… yaa good bye…” “Masya’ALLAH… Aku baru nemuin nih yang begini nih…” “Hahay! Aku gak buta ken, kalau memang dia jelek ya jellek aja. Bahkan kalau temen –temen dia ngatain dia ‘jelangkung’ emang iya kalli yaa???” “Jelangkung?!” “He’em…” Aku menggangguk. Aim kembali. “Sorry lama…” “Gak masalah sih kalau aku, gak tau kalau dia ya…” Dessy menyikutku. Aku dan dia hanya tersenyum malu. “Koq bisa ya?” Heran Dessy. “Apa?” “Kalian berdua jadi…” Senyumku semakin lebar saja. Aku kembali teringat masa SMP dulu, saat pertama aku punya masalah dengan dia, saat kerlingan matanya menggoyahkan konsentrasiku. Sungguh aku tak menyangga semuanya bisa berlanjut sampai sejauh ini. Aku tengok jam tanganku. Sudah tepat pukul lima. “Aku pulang ya?” pamitku dengan nada lembut padanya. “E’hm! E’hm...!” Dessy terbatuk batuk. “Aduh, kalau sama dia lembutnya…” “Ah iya deh, aku pulang dulu ya Ken Dedes…” Aku mengelus –ngelus punggungnya. “Hahay! Im! Kog gak diantar pulang sih?” “Backstreet buk,” Sahutku kilat. “Udah aku duluan ya…” Pamitku kembali pada mereka berdua. Aim yang aneh, backstreet bukanlah pilihanku untuk menjalani hubungan dengan dia, tapi itu adalah permohonan darinya. Aku ingin hubungan yang serius dengannya. Awalnya aku memang sekedar main –main. Tapi, aku selalu merasa senang dan tenang di dekatnya. Akupun tidak mau kehilangan seseorang yang sudah memberikan ketenangan dalam hidupku. Lalu kufikir hubungan seperti ini bukanlah untuk main –main. Walau aku tahu banyak pemuda –pemudi jaman sekarang hanya menjalani hubungan sekedar suka –suka dan trend saja. Sementara, dia selalu menghindar dengan jurus seribu satu alasan hingga aku bosan untuk membahasnya lagi. Aku sempat dibuatnya menangis karena aku menolak untuk backstreet. “Apa salahnya sih bang? Aku ingin hubungan kita serius…” Sementara Aim masih bersikeras dengan kemauannya sendiri. “Kalau kamu gak mau ya udah sampai disini aja.” Aku sangat kaget dengan ancamanya itu. “Kau tega bilang gitu…?” Setetes air mataku mulai jatuh. Ya, sejak itu aku mulai berasa menjadi seorang yang cengeng. “Abang sadar? Baru kemarin rasanya abang kirim aku surat merah jambu, lalu sejam kemudian Abang minta aku jadi pacar abang, dan sekarang? Abang ngancam untuk putus cuma karena aku gak mau untuk kita backstreet?!” “Maafin aku Ami. Tapi kita harus lakukan ini setidaknya sampai waktu yang tepat.” Lututnya ditekuk. “Aku mohon sama kamu Mi, aku janji sampai saatnya tepat aku pasti mau untuk datang dan menunjukkan siapa aku pada orang tuamu dan siapa kamu pada orang tua aku…” “Iya tapi kenapa?!” “Tolong Ami, jangan tanyakan itu. Aku gak bisa mengatakan alasannya sama kamu.” Aku pegang tangannya agar ia tak terus –menerus berlutut dihadapanku. Aku peluk dia dengan erat, aku tak mau kehilangan dia yang aku rasa aku mulai menyayanginya lebih dari apapun. Aku tidak tahu kenapa dia minta untuk menyembunyikan hubungan ini dari semuanya, terutama dari keluargaku. Hanya aku, Dessy dan dia sendiri yang tahu, satu lagi, tuhan pasti tahu hubungan kita ini. Entah kenapa, menyatakan cinta hanya duduk santai, tapi memohon untuk backstreet sampai berlutut. *** Aku genggam gagang kulkas dan bergerak menarik untuk membuka. Ku comot sepiring coklat cake dengan lapisan coklat leleh yang lezaat sekali. Humm! Aku suka ini. “Adin mau pesta kecil, nanti abis isya’ Ayah mau antar kita…” Kabar kakakku Emma sambil kesana kemari dengan piring suapan anaknya. “Harus ya?” Sahutku lesu. Mama mencetokkan sendok ke dahiku. “Yang benar saja kamu, itu adik kamu ya harus lah…” Aku menggosok dahiku. “Ah Mama, Ami kan cuma bercanda…” Aku rampas sendok di tangan Mama. “Kamu bercanda terus kapan seriusnya?!” “Kalau bercanda sudah dilarang, pasti Ami akan serius Mami.” Jawabku sambil berjalan meninggalkan Mama menuju kamar. “Ah Ami! Kamu diajakin ngomong bener malah aneh –aneh jawabnya!” Sambung kakakku yang lainnya lagi, Sita namanya. Aku tak perdulikan omongan Kak Sita atau yang lainnya. Aku terus berjalan sambil menikmati lezatnya cake coklat buatan aku, Mama dan ketiga kakakku tadi pagi. Haha! Lezat! Kemudian aku bergegas masuk kamar. Aku menarik gagang pintu untuk dirapatkan sedikit. “Adin ulang tahun mau ikut kak?” Tanyaku pada Kak Hani yang bersantai dengan I pad Apple-nya di atas tempat tidur. “Ya iyalah. Adik sendiri, apa kata Ayah nanti?” Jawabnya tak mengalihkan pandangannya sedikitpun. Aku duduk di bibir kasur, menatapi lesu cake coklat yang mulai terasa hambar. Itu benar, Ayah pasti marah jika tahu anak –anak dan sang Ibu tiri tercinta tak akur. Padahal terkadang sering juga mereka itu membuat kesalahan pada kami tapi itu tidak mendapat penanganan yang serius dari Ayah. Aku mengerti betapa sulitnya menjadi seorang yang harus adil pada dua keluarga. Tapi kata Mama kami semua harus mengalah demi Ayah, dan aku juga pikirkan Ayah yang akan sangat tersiksa dengan perang antara dua kubu dibawah pimpinannya. Hem… Adin, dia anak Ayah dengan ibu tiriku. Umurnya sekarang sepuluh tahun. Ah! Aku malas mau pergi malam ini, tapi aku gak punya alasan buat menghindar dan melarikan diri. “Malas ah kak…” “Sudah tahan sendiri.” “Kakak bawa hadiah?” “Enggak, aku gak punya duit.” “Kalau gitu aku juga enggak ah…” Diam sesaat, “Mau?” Aku tawarkan cake pada kak Hani. Mukanya berlaih. “Ngemil terus! Gimana mau langsing badanmu? Dikit lagi pasti dah kaya balon terbang!” Ejeknya. “Hey! badanku hanya kelebihan bobot sedikit! Dari pada kau kaya tengkorak idup!” Sahutku kesal. “Hirh!” Lekas aku habiskan cake milikku, sementara Kak Hani melepas I padnya. “Ayo, udah setengah tujuh. Entar kamu dimarahin sama Ayah…” “Bentar lagi.” Pikiranku tiba –tiba teringat pada Aim. Kalau saja orang tua aku tahu siapa kamu, mungkin aku bisa ajak kau sekalian buat kumpul sama keluargaku. Sapa tahu itu akan lebih seru. *** “Ma, Nanti kakak jadi kan makan malam disini?” Tanya Adin meletakkan tasnya di kursi. “Bhurrr!!!” Segelas air yang diteguk seketika menyembur. Mama dan Adin menolehi Aim sangat kaget. “Kamu apa –apaan?!” Dengan cepat kepalanya menggeleng. Ia sangat shock kalau ternyata acara makan malam sebentar lagi akan mendatangkan Ami. “Anaknya Om, Ma?” “Iya, Adin yang minta bang.” “Sial! Gimana kalau Ami sampai tahu kalau aku ini abangnya Adin?” Gusarnya sendiri. Kaki itu terus berjalan bolak balik di depan tempat tidur. Jantungnya berdeguk cepat, bintik –bintik air membasahi seluruh dahi dan lehernya sebesar biji jagung. Nafasnya tersengal –sengal seperti habis lari marathon saja. Setelah bertahun –tahun menghindar menyembunyikan diri dari pandangan Ami, kali ini dia tak bisa kabur kemana –mana. Kabar kedatangan Ami dan saudaranya terlambat sampai ditelinga Aim. Sekarang sudah tak punya alasan yang tepat untuk kabur menghilang lagi, karana Mami juga pasti akan marah. “Udah siap, kak?” Tanya Ami yang kali ini malah terlihat ingin cepat –cepat sampai di rumah Adin. “Bentar napa. Tadi aja males sekarang suruh ceppet.” “Iya iya..” Ami keluar dari kamar. “Udah siap?” Tanya Mama. Ami tersenyum berat pada Mama. Setiap kali kerumah Adin, berarti Mama sendirian saja dirumah. Tak mungkin Mama ikut dengan mereka kerumah Adin bukan? “Iya Ma… tenang aja Ma, kita gak bakal pulang terlalu malam koq…” “Iya iya…” Tujuh nol nol, jam dinding sudah tepat. Semua sudah siap untuk berangkat, by mobil jazz hitam milik Ayah, Ami dan yang lain langsung melaju sampai di rumah besar yang ditinggali sang ibu tiri. Tujuh menit perjalanan tak memakan waktu lama, sampai juga akhirnya. Rupanya ini pesta yang lumayan besar. Yaa walau hanya syukuran makan. Setidaknya bukan hanya Ami dan kakak –kakak tapi juga Aunty dari Ayah serta sepupu yang lain. Untung saja kedatangan mereka tak terlalu terlambat. Deretan aneka hidangan sedap menggugah selera telah tertata sangat rapih berkat bantuan helper, Ami dan kakak yang lain. Saatnya makan! Mereka semua sudah bekumpul di ruang makan. Dan Atun! Maaf, namanya Fajrin, hanya kesal dengan tingkahnya dulu jadi Ami dan kakaknya memanggil lelaki itu dengan sebutan Atun. Dia anak sulung Mami dengan suaminya yang terdahulu. Mami terlihat sedikit kesal. “Ada?” Tanya Mami pada si Atun, eh! Fajrin maksudnya. “Sebentar lagi Ma, masih sibuk katanya.” Jawab si lelaki yang tak terlalu tampan itu. “Aduh, aneh –aneh saja si Bram itu!” Kesal Mami. “Ini mau mulai tapi dia malah terlambat. Sana panggil dia lagi!” Sesuai perintah sang Ibu, Fajrin kembali menaiki tangga memanggil Adiknya yang masih bersemedi di kamar penuh kegelisahan. Ami mendekat pada kak Hani yang duduk tepat disampingnya. “Bram? Siapa?” Bisiknya pelan. “Masa gak tahu? Namanya Ibrahim anak kedua Mama.” “Ibrahim?” Kak Hani hanya menggangguk dan kembali bicara dengan Mami dan yang lainnya. Ibrahim? Sungguh persis dengan nama Aim, apa mungkin yang dimaksud benar Aim? Mukanya Atun rada mirip sama Aim. Ah! Mungkin hanya pikirku saja. Bisik Ami dalam hati. Hatinya tak berhenti gusar penuh rasa penasaran dan curiga. Selama bertahun –tahun belum pernah Ami mendengar dan melihat anak Mami yang bernama Ibrahim atau Bram itu. Yang ia tahu Mami hanya memiliki seorang anak bernama Fajrin, dari suaminya yang pertama, dan Adin anak Mami dengan Ayah. Hanya dua tak ada yang lain. TOILET! Akh! Ami mulai gelisah dengan sikap duduknya. Segera ia menemui Mami dan permisi untuk ke kamar mandi. “Yang deket dapur sedang gak ada airnya, kamu kedalam saja. Di kamar anak – anak saja.” Kata Mami. “Ah iya Ma.” Sahut Ami, terburu –buru. Ah masa mau bucil alias buang air kecil aja harus naik tangga panjang sih?! Keburu bocor nih! Aneh –aneh aja. Ini jadi pertamakalinya Ami untuk naik ke lantai dua, mana ia tahu letak kamar mandi mereka. Ami jarang sekali berkunjung kesini selain untuk mengantarkan sesuatu untuk Mami, atau sekedar bersilaturrahim yang duduk di sofa tamu. Iapun melihat Fajrin yang sedang mengetuk pintu kamar. “Bram! Ayo cepet ditunggu Mama!” Katanya sesekali menekan nadanya. “Misi Bang, kamar mandi yang bisa aku pake dimana?” Ami menyela. “Disinia aja Mi, Bentar lagi orangnya keluar koq.” Jawabnya. Tak lama pintu kamar itu terbuka. Tiba –tiba saja tubuhnya terasa seperti hendak membeku seketika. Tanpa sadar tangannya perlahan melayang menunjuk pada seorang lelaki yang tak lain adalah Aim, Ibrahim Imran kekasihnya. “Aim?” Panggil Ami kaget dengan raut yang tak jelas. Disana Aim malah tertunduk. “Iya Ami.” Itu benar pangeran Ami yang menyahut. Ami sungguh terbelak melihatnya. Selama bertahun –tahun bolak –balik kemari belum pernah Ami melihat seorang Aim ada disini. Ternyata dia adalah saudara tiri Ami seperti Fajrin?! Ya TUHAN! Kenapa jadi seperti ini? Geraknya sedikit kikuk sekarang, tapi Ami terus berusaha mencairkan shocknya. “Gak ngumpul? Dari tadi udah ditungguin, Mama sama atun. Eh! Fajrin maksudnya.” Basa –basi Ami menghindari gugup karena shock berat. “Iya sebentar lagi aku kesana.” Katanya dengan rupa berat. “Kamu mau kemana?” “Aku mau ke kamar mandi dulu.” Jawab Ami. “Udah Mi, pake aja disitu.” Suruh Fajrin. “Ada tempat lain?” Ami tak berkenan masuk ke kamar Aim, jadi ia menghidar. “Kalau kamu gak mau ya udah, kamu pakai kamar mandi yang di ujung jalan, belok kanan.” Ami manggut saja dan meninggalkan mereka. Aim?! Apa dia sudah tahu kalau aku ini memang anak dari Ayah tirinya sekarang? Apa mungkin alasan untuk backstreet adalah ini? Dan sekarang?! Tentu hatinya sangat perih dirasa, mengetahui sebuah kenyataan yang tak sanggub untuk diketahuinya. Ya Tuhan, aku tak mungkin terus berhubungan dengan dia. Itu sama saja aku pacaran dengan abangku sendiri, Aim, saudara tiriku. Argh! Sial! Dunia ini terlalu sempit buatku. Tidak adakah pilihan lelaki lain yang jauh lebih berharga di hati ku, yang halal untuk aku cintai?! Deretan makanan yang dikira sangat sedap tadi, kini tak sedikitpun bisa menembus selera makan Ami yang sudah mati kecewa. Di sana, tepat dihadapannya, Aim hanya diam tertunduk tak sedikitpun memandang Ami. Mama! Hatiku sakit, aku ingin segera berlari dari tempat ini. Aku ingin pergi jauh Ma! Teriaknya dalam hati. Air matanya jatuh juga. Bantal, guling, kasur tidur, semua terasa keras! “Belum tidur Mi?” Tanya Kak Hani di tengah sadarnya. “Belum kak…” “Ayo tidur, besok mau sekolah…” Lanjutnya kemudian tak berisik lagi. Apa yang harus aku lakukan? Bip, bip, bip! Hapenya berbunyi, ia raih ponselnya di nakas, ternyata ada sMs dari Aim. “Met bobo, jangan lupa baca do’a. besok aku tunggu di tempat biasa ya??” Katanya dalam sMs itu. Balas? Gak? Balas? Gak? Argh! Pusing, tidur aja lah… ***
Posted on: Thu, 14 Nov 2013 04:19:00 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015