DISKURSUS TAPAL BATAS TEPAT SASAR ANTARA IMAN DAN BUDAYA SEBAGAI - TopicsExpress



          

DISKURSUS TAPAL BATAS TEPAT SASAR ANTARA IMAN DAN BUDAYA SEBAGAI SEBUAH ACTUS KEBERMAKNAAN ABADIAH (Neno Yudel, Fr.) A. PENDAHULUAN Kita perlu memahami tapal batas antara iman dan budaya tetapi bukan mereduksi ketertunggalan ke dalam sebuah tataran irrelevansi. Berbicara tentang iman dan budaya alur pemikiran bisa saja langsung terarah ke inkulturalisasi. Tak dapat disangkal lagi bahwa itu telah menjadi perhatian berkekal sepanjang gereja ini ada dan berdiri dalam humanitas sosial. Seluruh pembicaraan tentang iman dan budaya bisa masuk dalam taraf pembedaan dan sekaligus pemisahan. Taraf pembedaan menekankan kekhasan tapal batas dan taraf pemisahan itulah problem yang sedang dihadapi dalam kekinian yang dalam proses disediakan strategi integral humanitas. Memami tapal batas tepat sasar antara iman dan budaya bahwasanya adalah sebuah tindakan yang bermakna abadi. Kebermaknaan abadiah itu tercapai ketika orang tidak lagi menggabungkan keduanya tanpa pemahaman kritis-logis-rational. Iman dan budaya berjalan bersama tetapi bukan digabungkan bersama. Jika digabungkan menghasilkan ketidakserasian karena memang pada hakekatnya keduanya berbeda secara serius. Diskursus tapal batas tepat sasar antara iman dan budaya mengandung arti kita harus menemukan dan memahami batasan-batasan iman dan hanya berkaitan dengan iman, serta batasan-batasan budaya dan hanya berkaitan dengan budaya. Bahwa ada inkulturasi itu adalah sebuah usaha dalam perjalanan waktu tetapi bukan menghilangkan kekhasannya masing-masing. B. IMAN DAN BUDAYA Telah dibicarakan dalam taraf pembedaannya. Iman dan budaya dalam analisis praktis menampilkan iman sebagai sebuah actus vertikal personal antara manusia dengan Allah dengan sifatnya misterius dan budaya sebagai sebuah actus horizontal sosial dengan sifatnya konsensus. Iman diejawantahkan melalui agama dan agama sekehendaknya adalah komunitas sosial yang benar-benar beriman sekaligus memiliki Rasa Kristus. Iman itu dikuatkan oleh dan dengan wahyu dan Allah menghendaki supaya kekuatan iman itu dapat pula berkekuatan sosial-integratif melalui agama dan gereja. Terhadap budaya dapat dijelaskan dengan konsep konsensus. Budaya pada arti etimologisnya adalah daya cipta budi manusia. Mungkin berlebihan dapat dikatakan bahwa setiap representasi dari budi manusia itu adalah budaya tetapi bisa juga demikian jika ditinjau secara lurus-logis dari arti etimologisnya. Budaya mulai terbentuk ketika dalam hidup bersama berhadapan dengan keadaan diferensiasi dan stratifikasi sosial. Bagaimana dapat menghasilkan suatu pedoman untuk menyatukan strategi hidup dan tujuan hidup bersama dalam ranah individual-sosial. Di sinilah ditemukan arti dari budaya yakni ketika berbicara tentang budaya dalam keseluruhan tulisan ini tentunya memaksudkan budaya sebagai sebuah kebiasaan berstandar yang diperoleh dari hasil kesepakatan bersama demi mencapai kebaikan tertinggi (summum bonum) dan kesejahteraan bersama (bonum commune). C. IMAN BERMAKNA ABADI Iman berasal dari Allah yang abadi dan tertuju kepada Allah yang abadi. Di dalam Allah yang abadi itu manusia turut mengambil bagian di dalam kekekalan Allah dan kekekalan manusia yang paling mulia adalah kekekalan terbatas di hadapan Allah. Manusia hidup kekal karena berasal dari imannya yang kekal akan Allah. Maka jika iman bermakna abadi sudah pada tentunya cara beriman pun harus abadi. Cara beriman yang abadi adalah menjunjung tinggi kerterlibatan total tanpa “sungut-sungut” dalam segala hal yang berkaitan dengan hidup rohaniah dengan keterarahan transendental pada Allah. Penjelasan ini tidak dimaksudkan sebagai penjelasan bertolak belakang dengan paham teologi rahmat dan kasih Allah yang berlaku universal dan berdayaselamat kekal. Seperti yang diungkapkan oleh St. Paulus bahwa nubuat akan berakhir, pengetahuan akan lenyap, bahasa roh akan berhenti namun kasih tidak akan berkesudahan. Senada itu juga dengan ungkapan di antara iman, harap dan kasih; kasihlah yang paling terbesar dari ketiganya. Sekali lagi penjelasan tentang iman yang abadi ini dimaksudkan kepada kita semua betapa kuatnya iman kita kepada Allah. Imanmu telah menyelamatkan engkau demikianlah potongan ungkapan dari injil yang mengisahkan tentang karya penyembuhan Yesus. Iman dalam Allah-Putera-Roh Kudus berkapasitas kekal. Kekekalan iman adalah sebuah representasi dari kekekalan trinitaris. D. BUDAYA BERMAKNA ABADI Budaya bermakna abadi karena diciptakan untuk mengayomi keabadian eksistensial humanitas sosial. Budaya abadi karena bertujuan untuk menjaga stabilitas hakekat kemanusiaan individu dan kemanusiaan kolektifitas dan memang yang abadi dari manusia yang eksistensial berbudaya adalah seluruh konteks dan teks kemanusiaanya yakni akal budi, harkat, derajat, martabat serta perilaku etis-moral lainnya. Budaya diciptakan untuk menjaga hal-hal demikian dan abadi karena dapat berlaku secara keseluruhan terhadap seluruh perbedaan. Partikularitas budaya disatukan oleh suatu keseluruhan makna akan manusia. Manusia adalah makhluk dan sekaligus sebagai pelaku budaya (culture actor). Manusia sosial terikat dengan budayanya. Keterikatan ini menunjukkan adanya sebuah prinsip keterakaran akan budaya sebagai akar hidup masyarakat. Dapat dibayangkan bagaimana eksisnya masyarakat tanpa budaya. Budaya yang dimaksudkan adalah kebiasaan-kebiasaan hidup, relasi sosial, nasehat-nasehat penting, atribut-atribut sosial serta hal-hal lainnya yang menjunjung tinggi kemanusiaan manusia. Budaya dijelaskan dengan unsur-unsur budaya meliputi sistem pengetahuan, kepercayaan, mata pencaharian, bahasa-komunikasi, permainan, kesenian, organisasi dan sistem religi. Semua sistem ini bertujuan untuk keeksisan manusia. Kedelapan unsur ini merupakan hasil kristalisasi dari semua nilai yang ada dalam suatu masyarakat. Di sini tidak dibicarakan secara spesifik tentang satu mata budaya atau dengan kata lainnya dibicarakan budaya dengan sangat umum sekali. Hal ini berdasarkan keyakinan penulis bahwa budaya manapun tentunya harus menjunjung tinggi keeksisan manusia dalam hidup individu dan hidup sosial. E. ACTUS ABADIAH DALAM SOCIAL LIFE Bagaimana menjelaskan tentang perjumpaan antara iman dan budaya berdasarkan klarifikasi distinktif yang telah dikemukan di atas? Jika iman adalah personalitas bersama Allah dan budaya adalah personalitas bersama manusia maka penjelasannya tentang iman dan budaya sebenarnya adalah sebuah personalitas antara Allah dan manusia. Iman dan budaya sama dibedakan dan itu adalah sebuah actus abadiah karena pembedaan keduanya itu adalah sekaligus sebuah penegasan kekhasan yang menjadi titik-titik pijak untuk berjalan bersama-sama. Iman memang harus tentang iman. Iman bukan budaya. Budaya memang harus tentang budaya. Budaya bukan iman. Kaca mata kulturatif menampilkan pembudayaan iman dan beriman melalui budaya itu adalah usaha dan pemahaman inkulturatif untuk dapat memberikan pemahaman kepada manusia akan iman dan budaya. Adalah sebuah kekeliruan besar jika menganggap iman sama dengan budaya. Manusia bisa menyangkal adanya iman dan budaya tetapi manusia tidak akan pernah berhasil untuk menghapuskan adanya iman dan budaya. Siapa pun dia tak dapat menyangkal kalau dirinya sedang ada dalam ruang lingkup iman dan budaya. Actus abadiah dalam sosial life mengandung arti bahwa dalam hidup bersama perlu adanya pembedaan antara iman dan budaya. Menempatkan iman dan budaya pada tempatnya masing-masing adalah sebuah tindakan mulia yang bermakna abadi. F. DISKURSUS TAPAL BATAS MENUJU TUJUAN TAK TERBATAS Kata diskursus mengandung arti ceramah, pembicaraan kritis, ajaran-pemahaman. Pembicaraan kritis tentang iman dan budaya memberikan sebuah pemahaman baru bagi kita semua. Iman dibicarakan dalam kaitannya dengan Allah-manusia dan budaya dibicarakan dalam kaitannya dengan manusia-manusia. Iman dan budaya memiliki kaitan eratnya dengan Allah (rahmat-kasih), manusia (kata-sikap-perilaku), lingkungan hidup dan alam semesta seluruhnya (pemeliharaan-pelestarian). Dalam seluruh relasi hidup manusia dalam segala aspek senantiasa berjuang untuk mencari dan menemukan sesuatu yang memperpanjang hidupnya. Melalui iman kita diantar menuju tujuan yang tak terbatas itu dan melalui budaya pun kita diantar menuju tujuan yang tak terbatas itu juga. Pencarian akan Allah memang tidak terbatas. Allah hadir melalui misteri persembunyian. Dalam kekekalan misteri persembunyian itu manusia ‘berjuang menuju’ dengan imannya dan dalam proses ini manusia dikuatkan untuk terus mencari dalam hidupnya. Iman tak terbatas karena bertujuan untuk Allah yang tak terbatas, walaupun dalam hidup ditemukan ada yang tidak beriman. Memahami tentang iman dan menghayati iman dalam hidup memang sangat membantu. Budaya menuju tujuan yang tak terbatas. Mengapa? Budaya itu sendiri dapat bersifat terbatas karena datang dari manusia dan ada dalam manusia yang terbatas. Tujuan yang terbatas itu adalah suatu pencarian akan hakekat manusia. Manusia melalui budaya senantias mencari yang baik dan yang benar bagi dirinya dan proses pencarian ini terus berkelanjutan dan tidak boleh dibatasi. Jika dibatasi maka itu adalah awal kehancuran dan akhir ‘kematian’ bagi manusia. Budaya dalam kaca mata filosofis dipertanyakan dari mana dan kepada siapa keterakarannya. Budaya ada dari manusia dan untuk manusia. Manusia dalam paham iman ada dari Allah. Dalam paham biblis manusia dan seluruhnya datang dari Allah. Allah dalam paham teologis mencurahkan rahmat dan kasih-Nya bagi umat manusia. Maka apakah kita dapat mengatakan bahwa budaya itupun bersumber dari dan bertujuan kepada Allah? Budaya memang ada dari manusia yang bersumber pada Allah karena itu dalam praktek budaya tidak boleh menyimpang dari kemausiaan manusia dan kehendak Allah. Ilmu filsafat akan menampilkan bahwa Allah, manusia dan budaya itu ada dan diantara ketiganya terdapat ada yang paling tertinggi. Allah yang diimani itu memang tertinggi karena dari sanalah manusia dan budaya ada. Tetapi tidak berarti bahwa manusia dan budaya itu terendah maka bisa dienyahkan. Manusia dan budaya ikut mengambil bagian di dalam ketertinggian Allah. Demikian pun juga iman dan budaya ikut mengambil bagian kekekalan dalam kekekalan Allah yang terbatas itu. G. PENUTUP Diskursus tapal batas tepat sasar antara iman dan budaya sebagai sebuah actus kebermaknaan abadiah. Diskursus itu pembicaraan kritis. Suatu pembicaraan yang kritis akan iman dan budaya. Pembicaraan ini akhirnya merupakan sebuah tindakan yang bermakna abadi. Mengapa karena mengenal baik perbedaan di antara keduanya sangat membantu untuk bagaimana cara dan usaha memperjumpakan iman dan budaya tanpa menghilangkan nilai-nilai orisiniilnya. Iman dan budaya itu berbeda dan berhasil dijumpakan perbedaannya sebagai usaha untuk memberikan keeksisan bagi manusia. Iman keterarahan vertikal, budaya keterarahan horizontal. Keterarahan vertikal dan keterarahan horizontal menyimbolkan banyaknya pencarian akan suatu kebaikan yang tak terbatas. PENULIS ADALAH FRATER TINGKAT II KEUSKUPAN ATAMBUA STATUS MENULIS : BIARKANLAH ENGKAU DATANG MENDAPATKAN SAYA SEDANG MENULIS.
Posted on: Tue, 27 Aug 2013 03:37:58 +0000

Trending Topics



This morning
DOWLAIS SING DYLAN We are pleased to contribute to the centenary
Three pastors met & agreed to sincerely tell each other their
Obama is a shame! ------------------------- White House
Friends of Q Society of Australia 2 hrs · Edited · As some

Recently Viewed Topics




© 2015