Danau Toba Menangis, siapa Mau Mendengar dan Peduli?? Jakarta - - TopicsExpress



          

Danau Toba Menangis, siapa Mau Mendengar dan Peduli?? Jakarta - Kerusakan hutan yang semakin parah akibat praktik illegal logging di kawasan sekitar Danau Toba dan ekosistem Gunung Leuser, Sumatera Utara, mendorong dua penyelamat lingkungan dan penerima penghargaan Kalpataru untuk mengembalikan penghargaan yang mereka terima. Keduanya, Marandus Sirait dan Hasoloan Manik. Mereka merasa frustasi karena polisi dan birokrat kehutanan berulangkali membiarkan pengrusakan hutan yang terjadi di depan mata. “Saya naik ke puncak gunung, saya katakan, Tuhan, saya sudah angkat tangan menjaga hutan Danau Toba. Terserahlah jika akhirnya rusak, yang jelas saya sudah berusaha sekuat tenaga. Bila perlu mahkota (penghargaan) yang saya terima, saya kembalikan,” tandas Marandus yang meluap-luap menyampaikan kesedihannya di Kantor Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Jakarta, Kamis (5/9). Marandus adalah penerima Kalpataru kategori Pembina Lingkungan tahun 2005. Dia melestarikan kawasan hutan milik keluarganya seluas 40 hektare di sekitar Danau Toba. Kawasan itu dijadikan ekowisata bernama “Taman Eden 100”. Akibat rasa kecewa yang dalam, dia mengembalikan Piagam Wana Lestari kepada Kementerian Kehutanan.Menurutnya, kerusakan hutan sebagai penyangga Danau Toba semakin menjadi-jadi. Bahkan, kini tidak terkendali oleh penegak hukum.“Mereka (polisi hutan) punya senjata laras panjang, pisau, dan motor yang cepat. Tapi kayu-kayu panjang yang tidak bisa jalan sendiri itu, kenapa bisa lebih cepat sampai ke kota?” ungkapnya.Marandus mengisahkan, ia hanya pria lulusan SMP. Sang ayah enggan menjual hutan milik keluarganya, sehingga dia putus sekolah.“Hutan tidak kami tebang demi Danau Toba yang kami cintai. Tapi, hutan-hutan lain milik Kementerian Kehutanan bisa ditebang seenaknya,” tandasnya. Dia juga mengritik Pesta Danau Toba yang digelar setiap tahun. Menurutnya, hajatan itu hanya buang-buang uang, karena lebih baik dananya dipakai untuk perbaikan hutan dan penananam pohon. “Danau Toba menangis, Danau Toba menjerit, siapa yang mau dengar?” katanya. Lapor KPK dan PresidenSenada dengan itu, penerima Kalpataru kategori Penyelamat Lingkungan tahun 2010, Hasoloan Manik, mengatakan sudah berulangkali melaporkan kerusakan hutan ke aparat setempat tapi selalu diabaikan. Dia pun sudah melapor ke Kapolda, Kapolri, Presiden, bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Saya usulkan ada Komisi Tindak Pidana Lingkungan Hidup, sebab pidana lingkungan hidup lebih parah, kalau dikorupsi, belum tentu dalam 100 tahun akan jadi kawasan hutan lagi,” ujarnya. Hasoloan awalnya mengembalikan Piagam Kalpataru ke kantor Sekretariat Negara (Setneg) pada Selasa (3/9), namun dia ditolak oleh petugas. Akhirnya, dia mendatangi Istana Negara tapi ditolak juga, hingga dia sempat meletakkan Piagam Kalpataru miliknya begitu saja di jalanan. “Saya baru tahu bahwa Piagam ini sebenarnya tidak ada artinya,” ungkapnya. Hasoloan sudah mengalami banyak ancama karena keberaniannya mengugat pelaku perusakan hutan, di antaranya 42 kasus diproses di pengadilan. Dia pernah ditembak bahkan dikubur hidup-hidup. Dia juga memprotes Peraturan Menteri Kehutanan yang selalu berubah. Dia umpamakan, pohon yang ditanam belum tumbuh tapi peraturan sudah berganti. “Hidup manusia adalah berkat bagi lingkungan hidup, bukan sebaliknya. Kitab Kejadian menuliskan Tuhan menciptakan alam baru manusia. Dia ciptakan manusia supaya ada yang menjaga alam,” tuturnya. Sementara itu, Deputi Bidang Komunikasi Lingkungan dan Pemberdayaan Masyarakat KLH Ilyas Assaad mengatakan pengembalian Kalpataru baru pertama kali terjadi. Dia belum bisa memastikan apakah pengembalian itu berarti mencabut nama penerima Kalpataru karena bergantung pada keputusan Dewan Pertimbangan Kalpataru.
Posted on: Fri, 13 Sep 2013 11:05:13 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015