Dangel karya : luna torashyngu part 11 ANDIKA memutuskan - TopicsExpress



          

Dangel karya : luna torashyngu part 11 ANDIKA memutuskan kembali mencari Fika. Dia sempat ditegur penjaga yang kebetulan berpapasan dengannya, tapi Andika dapat mengelabuinya. Di sebuah koridor Andika berpapasan dengan dua staf lab yang masing-masing membawa baki berisi cawan-cawan tertutup yang merupakan hasil percobaan. Curiga, Andika memerhatikan kedua staf tersebut memasuki sebuah ruangan. Setelah kedua staf itu keluar, baru dia memasuki ruangan tersebut. Ruangan yang baru dimasukinya tergolong luas, dengan suhu lebih dingin daripada ruangan lainnya, bahkan mungkin hampir mendekati nol derajat Celcius. Berbagai macam cawan dan tabung kimia berjejer dalam ruangan dan sebagian disimpan dalam lemari pendingin. Apa ini? Penasaran Andika mendekati salah satu lemari pendingin. Tertulis di situ beberapa nomor kode yang nggak ia mengerti. Tapi, melihat bentuk cairan kimia di dalam cawan dan cara penyimpanannya, otak Genoid-nya bisa menarik kesimpulan. Apa yang berada di dalam cawan-cawan tertutup itu adalah benih Genoid. Embrio Genoid yang siap untuk dikembangbiakkan. Mereka telah membuat embrio Genoid sebanyak ini! Jika aja mereka berhasil membuat Cathalyne, embrio ini akan langsung dikembangbiakkan. Dan jika itu sampai terjadi, sia-sialah usahanya selama ini. Andika ingin sekali memusnahkan embrio-embrio tersebut, tapi jika melakukannya sekarang, besar kemungkinan akan timbul keributan di lab ini. Hal itu akan mempersulit usahanya mencari Fika. Bahkan kemungkinan dia akan ketahuan. Andika pun memutuskan mencari Fika lebih dahulu. Setelah memastikan keadaan di luar ruangan aman, dia membuka pintu dan keluar. Di mana Fika? tanya Andika dalam hati. Dia nggak menyangka laboratorium Genoid akan seluas ini. Tentu butuh waktu lama dan biaya besar untuk membangunnya. Belum lagi teknologi canggih yang diterapkan di dalamnya yang nggak kalah dengan yang dimiliki proyek-proyek rahasia milik pemerintah Amerika Serikat. Dari situ Andika bisa menduga proyek ini bukan cuma proyek milik orang-orang militer dan pemerintah Indonesia. Pasti ada campur tangan dari pemerintah Amerika Serikat, atau setidaknya orang-orang penting mereka. Tapi, jika dibantu Amerika Serikat, kenapa CIA masih menginginkan Fika? Apakah proyek ini nggak resmi, atau ada kepentingan lain di dalamnya? *** BRAAKK!! Pintu kamar kos Deva didobrak dengan paksa. Deva yang masih berada di depan komputernya terkejut. Dia menoleh ke belakang. Belum sempat bereaksi, Martin udah menangkap lengannya dan memitingnya ke belakang. Deva yang hendak berontak terdiam ketika Masdi menodongkan pistol ke arah kepalanya. “Bawa dia!” perintah Masdi. *** Pintu kamar Pak Oni diketuk dari luar. Pak Oni yang udah terlelap pun terbangun. Begitu pula istrinya yang tidur di sampingnya. “Siapa?” tanya Oni. “Ini Reni, Yah. Reni ingin bicara.” Bu Oni bangkit dari tempat tidurnya dan membuka pintu kamar. “Kamu tahu ini jam berapa, Ren? Kalau mau bicara dengan Ayah besok pagi aja…” kata Bu Oni dengan nada mengantuk. “Reni tau ini udah malam, Bu, tapi Reni perlu bicara dengan Ayah sekarang…” “Ada apa, Ren?” tanya Pak Oni yang masih duduk di tempat tidurnya. Reni menyeruak masuk ke kamar. “Ini soal Fika…” “Soal Fika?” Reni menunjukkan HP-nya pada ayahnya. “Tadi malam sebelum Ayah pulang Reni mendapat SMS aneh yang ditujukan untuk Ayah. Sebaiknya Ayah baca sendiri.” Pak Oni meraih HP Reni dan membaca SMS yang tertera pada display-nya: Jk ingin tau siapa pmbnh ibu Fika & penyerbu ktr polisi di Jaksel, mlm ini pergi ke pbrk PT Venon Regen di Ckrng, tngrng. Bw pskn khusus bersnjt lngkp, mngkn akn ada perang. “Dari siapa SMS ini? Kenapa baru kasih tau Ayah sekarang?” “Reni nggak tau. Nomornya nggak Reni kenal. Lagian sebetulnya Reni pengin kasih tau Ayah dari tadi, sejak Ayah pulang. Tapi katanya Ayah capek, nggak mau diganggu.” “Mungkin cuman orang iseng, Ren. Orang yang ingin mempermainkan kamu atau Ayah…” komentar Bu Oni yang juga ikut membaca pesan tersebut. “Iya mungkin aja… Lagian kamu, baru tengah malam banget gini ngasih taunya,” tambah Pak Oni. “Tapi Reni kira nggak, Yah. Tadinya Reni juga pikir orang iseng, mau Reni abaikan aja. Tapi Reni jadi nggak bisa tidur. Apa salahnya kalau Ayah selidiki ke sana?” Pak Oni berpikir. Dia juga penasaran dengan isi SMS tersebut. “Baiklah. Besok akan Ayah selidiki…” kata Pak Oni. “Kok besok? Di SMS ini tertulis malam ini. Kenapa harus besok?” “Reni, ini jam satu malam. Tidak mungkin menyelidiki sesuatu yang belum pasti malam-malam begini. Lagi pula di sana juga tidak ada orang. Kita tidak bisa sembarangan masuk.” “Tapi bagaimana kalau bener terjadi sesuatu malam ini? Bagaimana kalo besok udah terlambat?” “Reni! Kamu kok maksa ayahmu sih?” “Maaf, Reni cuman…” “Oke, Ayah akan ke sana malam ini…” Akhirnya Pak Oni mengambil keputusan. “Ayah…” “Ayah juga sebenarnya ingin tahu apa yang terjadi. Dan jika benar apa yang tertulis dalam SMS itu, berarti di sana pasti ada orang, kan?” “Tapi katanya Ayah udah nggak lagi menyelidiki kasus ini…” Bu Oni masih keberatan suaminya pergi. “Bu… Menjaga keamanan dan ketenangan warga adalah tugas polisi. Dan walau Ayah udah nggak lagi menangani kasus ini, jika Ayah menemukan bukti baru yang berkaitan dengan itu, sebagai polisi Ayah tidak bisa diam aja. Sekarang lebih baik ibu siapkan air panas untuk Ayah. Dan kamu Reni, cepat pergi tidur. Besok kan kamu sekolah. Biar Ayah yang urus masalah ini…” Bu Oni nggak dapat lagi membantah perkataan suaminya, sementara Reni tersenyum puas. *** Andika melihat dua orang Genoid diantar seorang staf masuk ke sebuah ruangan yang pintunya lain daripada ruangan-ruangan sebelumnya. Ruangan apa itu? Andika menunggu beberapa saat, hingga akhirnya staf yang tadi mengantar Genoid keluar dari ruangan. Rasa penasarannya muncul lagi. Andika mendekati ruangan tersebut. Dia nggak langsung masuk, melainkan mengintip dulu dari kaca yang terdapat pada pintu ruangan. Setidaknya ada dua Genoid tipe B di sana, dan dia nggak mau kepergok para Genoid itu. Dari balik kaca terlihat ruangan begitu sepi. Terlihat tabung-tabung kaca raksasa seukuran manusia berstandar pada tembok ruangan yang lumayan luas. Jumlahnya mungkin sekitar sepuluh buah. Setelah dirasa aman, Andika masuk ruangan itu. Dari dekat dia dapat melihat isi tabung kaca raksasa yang tadi dilihatnya dari luar. Empat tabung yang kacanya diselimuti uap itu ternyata berisi para Genoid. Para Genoid yang semuanya tidak memakai sehelai benang pun itu tampak sedang tertidur pulas di dalam tabung kaca. Itu juga menjelaskan ke mana perginya dua Genoid yang tadi masuk. Kenapa cuma ada empat? Mana satu lagi? tanya Andika dalam hati. Dia nggak tahu tabung yang kosong seharusnya berisi Genoid tewas akibat ditabrak Andika saat membantu Fika melarikan diri dari kantor polisi. Andika lebih mendekat ke arah tabung. Beberapa selang dan kabel menempel pada tabung kaca yang bersandar di dinding dengan posisi tegak lurus itu. Itu pasti untuk menunjang kehidupan mereka. Jika dia mencabut selang-selang itu, kemungkinan para Genoid akan tewas seketika. Ini satu-satunya cara menghabisi para Genoid dengan mudah, dan tanpa menimbulkan keributan. Tapi ketika tangan Andika bergerak hendak mencabut selang yang berada di salah satu tabung kaca, dari belakang terdengar, “Kalau aku jadi kau, aku tidak akan melakukannya…” Andika menoleh ke belakang. Chiko berdiri di pintu masuk. Belum sempat Andika bereaksi, dari belakang Chiko muncul para penjaga yang segera menyebar dan menodongkan senjata ke arahnya. Jumlah mereka sekitar sepuluh orang, hingga Andika nggak mungkin melawan. “Kau tidak ingin para Genoid itu terbangun dan mengamuk, kan?” lanjut Chiko. Andika terdiam. Juga ketika salah seorang dari para penjaga melucuti senjata dan peralatan yang dibawanya. “Peralatan standar CIA. Kau orang CIA?” tanya Chiko setelah mengamati berbagai macam peralatan yang dilucuti dari tubuh Andika. Andika nggak menjawab pertanyaan itu. “Baiklah kalau kau tetap diam. Aku juga tahu apa maksudmu masuk diam-diam ke tempat ini. Kau mencari gadis itu, kan? Sungguh berani kau ke sini, kukagumi itu. Dan sebagai bentuk kekagumanku akan keberanianmu, akan kupertemukan kau dengan dia. Dengan gadis pujaanmu,” kata Chiko sambil tersenyum licik. *** Deva duduk di kursi di dalam sebuah rumah yang dia sendiri nggak tahu ada di daerah mana. Di depannya berdiri Masdi dan Martin. Cowok berkacamata itu bagaikan terdakwa yang menghadapi tuduhan berat. “Kenapa kau bantu dia?” tanya Masdi sambil mengisap rokoknya dalam-dalam. “Bantu apa?” “Jangan pura-pura. Kau menerobos jaringan komputer CIA untuk mengetahui lokasi pabrik Genoid itu, kan?” sentak Masdi. Deva kaget mendengar ucapan Masdi. Kenapa CIA berhasil melacaknya? “Kau mungkin kaget, karena mereka berhasil melacakmu. Perlu kau tahu, sistem jaringan CIA baru di-upgrade dua hari yang lalu. Sekarang cuma dalam waktu tiga puluh detik mereka bisa melacak siapa yang mencoba masuk jaringan mereka. Aku juga baru tahu tadi. Mereka sengaja tidak mengumumkannya untuk menjebak para hacker yang sering mencoba meng-hack jaringan mereka,” lanjut Masdi. Dalam hati Deva menyesali kebodohannya. Dia benar-benar nggak tahu hal itu. Seharusnya dia mengecek semuanya dulu sebelum mulai bertindak. “Besok kau akan dibawa Martin ke Singapura. Di sana akan ada agen yang menjemputmu. Maaf, aku tidak bisa membantu dalam hal ini,” lanjut Masdi. “Aku orang Indonesia, Bapak juga orang Indonesia, kenapa harus tunduk pada perintah agen asing?” tiba-tiba Deva berbicara, membuat Masdi dan Martin terenyak. “Bicara apa kau?” “Andika orang Indonesia. Walau dia tinggal lama di luar negeri, tapi rasa nasionalismenya tidak luntur. Dia coba berbuat sesuatu untuk menyelamatkan orang lain yang tidak bersalah. Orang yang menjadi korban kepentingan pihak lain demi materi.” “Demi materi?” “Ya. Andika berhasil menemukan bukti proyek Genoid bukanlah proyek milik Pemerintah dan Militer Indonesia. Proyek itu ternyata milik sekumpulan orang yang ingin mendapat keuntungan besar. Dengan mengatasnamakan pemerintahan dan militer, orang-orang itu ingin supaya proyek Genoid terlihat resmi. Dan asal Bapak tahu, orang-orang Amerika Serikat juga terlibat dalam hal ini. Mereka juga ikut andil dalam proyek Genoid.” “Tidak mungkin! Kalau Amerika Serikat terlibat, mengapa CIA menugaskan kita untuk menggagalkannya?”’ “Karena konflik kepentingan. Konflik kepentingan di antara petinggi mereka. Entah pihak mana aja, tapi yang jelas mereka bersaing untuk lebih dulu menciptakan Genoid yang sempurna. Dan ujung-ujungnya adalah keuntungan bagi mereka.” “Jangan bohong! Dari mana kau tahu semua itu?” “Andika punya buktinya! Dan dia pasti akan senang hati menunjukkan pada Bapak, jika dia bisa keluar dengan selamat.” Masdi terdiam mendengar ucapan Deva. Dia sedang berpikir apa ucapan Deva itu benar. “Kita adalah pion. Pion yang digerakkan oleh sebuah kekuatan asing untuk menghancurkan negeri kita sendiri. Sebagai seorang perwira militer, Bapak seharusnya tahu akan hal itu,” lanjut Deva. Masdi tetap diam beberapa lama, sebelum akhirnya mulai bicara. “Kalaupun benar ucapanmu, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Salah-salah kita akan celaka. Kau tahu bagaimana kuatnya jaringan CIA di Indonesia,” ujar Masdi. Tampaknya dia mulai memercayai ucapan Deva. “Secara langsung kita mungkin tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi secara tidak langsung, kita dapat membantu Andika. Setidaknya membantu dia agar dapat keluar dari tempat itu hidup-hidup.” “Bagaimana caranya?” bersambung *Wiedey*
Posted on: Wed, 30 Oct 2013 13:56:30 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015