Dasar Metafisika Kristiani dlam Buku An Elementary for Christian Metaphysics (Sebuah Pemaparan Ulang) ADA SPIRITUAL Term “ada spiritual” sebenarnya mengacu pada ADA, yang tidak brgantung pada substansi material. Ketidakbergantungannya itu berdasar pada kodratnya sebagai forma immaterial. Sebagai forma immaterial, ada spiritual memiliki kecenderungan untuk beraktualitas dalam dirinya, melalui adanya. Dengan demikian, eksistensinya tidak diperoleh dari forma material. Selain itu, ada spiritual tidak memiliki prinsip perubahan substansial dalam dirinya. Tentang ini, ada spiritual sebagai satu subsisten tidak terbuka kepada forma lain karena ia bersifat indipenden terhadap prinsip material, yang mana terbuka kepada forma lain. Ada spiritual, dalam karakternya yang demikian, merujuk pada jiwa manusia. Manusia sendiri tersusun dari jiwa dan tubuh. Jiwa mengkomunikasikan dirinya kepada tubuh sedemikian sehingga keduanya lalu membentuk satu substansi. Di satu sisi, tubuh membutuhkan jiwa untuk mengaktualisasi dirinya. Di sisi lain, jiwa pun membutuhkan tubuh untuk memberi ciri khas pada aktualitasnya, dalam mana tiap-tiap orang memiliki keunikannya sebagai “persona”. Pada titik ini, kita perlu membicarakan jiwa dan tubuh, yang masing-masing memiliki karakternya yang khas. Pertama, tubuh. Tubuh manusia dalam dirinya, merupakan prinsip material. Ia terbentuk dari materi-materi. Karena terbentuk dari materi, tubuh dalam dirnya memiliki prinsip perubahan substansi. Ia terbuka pada bentuk lain, yang mana menjadi alasan ia dapat binasa. Pada saat yang sama, ketika ia terbuka pada forma lain, tubuh sebagai prinsip material memutuskan hubungannya dengan forma awalnya, yakni jiwa. Sebagaimana telah disingggung sebelumnya, tubuh sendiri menerima aktualitasnya dari jiwa dan dengan begitu, ia menerima eksistensinya, bukan dari dirinya sendiri melainkan dari jiwa dalam susunan. Kedua, jiwa. Berbanding terbalik dengan tubuh, jiwa justru memiliki aktualitasnya-eksistensinya dari dirinya sendiri; dari adanya. Karakter eksistensialnya, dengan begitu, ditentukan oleh adanya. Dalam artian ini, jiwa manusia merupakan satu subsisten. Ia mandiri dalam dirinya karena adanya dan tidak bergantung pada prinsip material. Karena itu; karena ia dapat bereksistensi dari adanya, jiwa tidak memiliki prinsip perubahan dalam dirinya. Namun demikian, jiwa sebagai prinsip immaterial dalam substansi susunan, tidak mutlak otonom. Ia secara kodrati, harus bersatu dengan tubuh. Jiwa memang oleh adanya, dapat bereksistensinya secara terpisah dari tubuh tetapi eksistensinya, dengan begitu menjadi kurang sempurna-kurang lengkap. Aktivitas pengetahuan seperti aktivitas indrawi, dalam keterpisahan itu, menjadi samar-samar. Berdasarkan uraian di atas, jelas substansi susunan dapat binasa karena karakter prinsip materialnya; karena prinsip perubahan substansial dalam dirinya ia membuka dirinya pada forma lain, langsung kepada dirinya, dan karena itu, ia dapat binasa. Kebinasaan substansi susunan ini dalam realitas konkret, dikenal sebagai kematian. Atas alasan inilah, manusia seturut kodratnya (Bdk. pada manusia, hanya ada satu esensi, dalam mana jiwa dan tubuh merupakan satu kesatuan), dapat hancur. Meskipun demikian, jiwa manusia yang mana memiliki eksistensi dari adanya dan dengan begitu tidak terbuka pada forma lain, tetap mempertahankan dirinya. Satu-satunya kemungkinan ia dapat berhenti bereksistensi ialah pengambilan kembali adanya oleh Causa Prima, dari mana ia memperoleh adanya melalui penciptaan dari ketiadaan. Akhirnya, ADA SPIRITUAL (SPIRITUAL BEING) merupakan ADA yang perlu, dalam artian mutlak dibutuhkan, bagi substansi susunan(Composit substance; bagi Aristoteles dan kmudian dikembangkan oleh thomas Aquinas itu merujuk pada manusia sebagai kesatuan tubuh dan jiwa). karakter ADA SPIRITUAL inilah yang memungkinkan kehidupan jiwa setelah kematian. Jiwa manusia karena itu, hanya dapat binasa jika adanya diambil kembali oleh CAUSA PRIMA.
Posted on: Tue, 29 Oct 2013 15:36:25 +0000