Dear Dylan Stephanie Zen part 16 Target 25 - TopicsExpress



          

Dear Dylan Stephanie Zen part 16 Target 25 like #jacob_black dia, makeup nya selalu natural, nggak pernah menor kayak model-model lainnya. Mungkin karena dia udah cantik dari sononya kali, jadi nggak perlu didempul segala macam. “Nggak papa. Gue juga baru datang kok.” Regina menunjuk cangkir minumannya yang masih mengepulkan uap panas, menunjukkan dia belum lama menunggu. “Jadi... ada apa?” tanya gue. Kemarin malam Regina tiba-tiba menelepon HP gue, bilang dapat nomor HP gue dari Asep, dan ngajak ketemuan. Karena gue sedang jadi pengangguran yang mati gaya di rumah, gue oke-oke aja. Dan gue juga nggak peduli kalau ada wartawan yang merekam gambar gue dengan Regina di sini. Sekarang gue sudah sebodo amatlah sama wartawan. Mungkin mereka butuh berita untuk infotainment mereka, ya sudahlah... Mungkin gue dan Alice putus juga ada baiknya, karena gue sudah terlalu banyak menyakiti dia. Mungkin sudah saatnya Alice bebas menikmati hidupnya lagi. “Mmm... nggak papa sih, gue pengin ngobrol aja sama lo, nggak boleh?” jawab Regina, sementara gue terbengong-bengong sampai dongo. Dulu, sebelum jadi vokalis Skillful, gue nggak pernah nyangka cewek-cewek bakal datang dan menempel seolah gue ini magnet. Suer deh, seumur hidup gue cuma pernah pedekate duluan sama dua cewek, Karin dan Alice. Sisanya? Selalu cewek-cewek itu yang pedekate duluan ke gue. Bukannya gue GR atau apa lho, tapi kenyataannya emang begitu. Apa sekarang Regina sedang melakukan hal yang sama? * * * Gue harus mengakui gue salah. Regina bukan cuma nggak berotak kosong, enak diajak ngobrol, perhatian, dan baik banget, tapi dia juga nggak egois. Sepanjang gue ngobrol sama dia tadi, dia lebih banyak menanyakan tentang diri gue, bukannya memfokuskan pembicaraan pada dirinya. Jarang banget gue ketemu cewek yang kayak gitu. Kebanyakan cewek yan ggue kenal selalu mengoceh tentang diri mereka sendiri. Kalau menanyakan sesuatu tentang gue pun hanya untuk basa-basi. Regina is... different. Ada sesuatu yang membuat gue merasa respek sama dia: perhatian yang dia berikan ke gue waktu di Jambi kemarin. Gue nggak pernah membayangkan ada kenalan gue yang sengaja datang jauh-jauh hanya untuk tahu keadaan gue. Alice bahkan nggak menelepon atau kirim SMS untuk menanyakan kabar gue saat itu. Dia nggak peduli lagi sama gue. Tapi Regina datang... menghibur gue, mengajak gue ngobrol, merawat gue. Mungkin sejak itulah gue respek sama dia, dan menyadari dia bukan cuma top model berotak kosong yang hanya memikirkan bagaimana cara untuk membuat tubuhnya lebih kerempeng lagi. Yah, sebelum ini, gue bisa dibilang nggak kenal Regina. Satu-satunya momen ketika kami benar-benar ketemu dan mengobrol adalah waktu dia jadi model video klip Skillful beberapa bulan lalu. Lucu, waktu itu gue jengkel banget sama dia karena dia harus take adegan menampar gue berkali-kali. Gue juga jengah karena dia suka pegangpegang, sok akrab. Tapi tadi Regina cerita, dia memang orang yang... apa ya istilahnya? Pokoknya mudah memeluk dan menyentuh orang. Bukan dengan maksud tertentu, hanya karena ingin saja. Baru sekarang gue tahu, it’s fun being with her. Gue bisa untuk sementara melupakan masalah karier gue yang amburadul. Melupakan masalah hati gue yang amburadul juga. Dengan Regina, gue bisa cerita apa saja, dan dia selalu memberikan tanggapan yang oke. Dia bahkan mengusulkan supaya gue meneruskan kuliah dulu sementara Skillful “vakum” manggung. Iya juga ya? Gue kok nggak pernah mikir tentang itu sebelumnya? Gue sendiri nggak tahu sampai kapan Skillful akan seperti ini. Nggak jelas mau diapakan, nggak jelas akan sampai kapan menganggur... Apakah reputasi Skillful sudah begitu buruknya? Kalau iya, mungkin ada baiknya gue benar-benar mempertimbangkan saran Regina untuk melanjutkan kuliah. By the way, she got her bachelor degree from Singapore last year, in International Business major. Waow. Padahal dia lebih muda dari gue, tapi sudah lulus kuliah. Dari luar negeri, lagi. Kayaknya gue bener-bener harus mengubah pemikiran gue kalau cewek model itu berotak kosong. Gue jadi makin kagum sama dia. * * * “Mau nonton apa nih?” tanya gue sambil melihat poster-poster film yang dipasang di 21. Hmm... ada Get Married, Resident Evil: Extinction, Pocong 3, Sundel Bolong, Jelangkung 3... Buset, hantu-hantu pada main film semua sekarang! “Terserah lo aja deh.” Gue menoleh menatap Regina. Tadi gue kira, dia bakal ngotot nonton Get Married! Kan cewek demen banget tuh nonton film komedi romantis gitu! Apalagi kalau pilihan yang tersisa selain itu hanya Resident Evil dan film-film horor! Kalau Alice, gue jamin dia bakal dengan sepenuh hati memilih nonton Get Married, kan dia penakut, dan nggak suka film semacam Resident Evil juga. Ah, kok jadi ingat Alice lagi? “Serius nih? Lo nggak mau... nonton film drama romantis atau apa gitu?” gue mengulang tawaran gue ke Regina untuk menentukan film apa yang akan kami tonton. “Ya kalau lo mau nonton drama romantis sih gue oke-oke aja. Tapi kayaknya lo nggak suka, ya? Lo kepingin nonton Resident Evil, kan?” Kok dia bisa tahu??? “Kok lo tahu?” “Nebak aja.” Regina tersenyum. “Yuk, nonton itu aja!” Gue manggut-manggut, masih keheranan karena ada cewek yang mau mengalah dalam soal memilih film yang akan ditonton. Kayaknya sudah lamaaa banget gue nggak nonton film yang benar-benar ingin gue tonton. Setahun belakangan, film-film yang gue tonton nggak jauh dari The Devil Wears Prada, Music & Lyrics, Kangen, Because I Said So, yah... filmfilm yang “Alice banget” lah pokoknya. Tuh kan, jadi kepikiran Alice lagi! “Lho, Lan? Kok lo masih di situ? Kita jadi nonton nggak?” Gue menoleh, dan melihat Regina ternyata sudah ada di ujung antrean loket. Damn, bisa-bisanya sih gue ngelamun di saat begini! * * * “Menurut lo gimana, Tor?” “Ya nggak gimana-gimana.” Tora menguap, lalu membalikkan badannya menghadap tembok, membelakangi gue. Sialan. “Ehh... kok gue dicuekin sih? Lo dengerin cerita gue dong!” Gue menarik bahu Tora, berusaha memaksanya menghadap gue lagi. Berhasil. Ogah banget ngajak dia ngomong sementara dia menatap gue aja nggak! “Aduh, Lan, gue ngantuk nih! Banget! Tadi seharian gue presentasi ke klien, keliling dari Bintaro sampai Karawaci! Belum lagi sorenya nganter Vita ngecek contoh undangan, pegel semua badan gue!” Tora mengomel sambil ngulet-ngulet di ranjangnya. Waduh, kasihan juga dia keliling Jakarta seharian gitu! Belum lagi harus ngurus tetekbengek pernikahannya... tapi gue mau cerita sama siapa lagi kalau nggak sama Tora? Udik, Rey, Dovan, dan yang lainnya pasti bakal ngetawain gue kalau gue cerita masalah beginian di depan mereka. Bukannya Tora nggak bakal ngetawain juga sih (gue jamin, dia lah yang ngakaknya bakal paling kenceng), tapi seenggaknya kan... you know lah, dia kan abang gue. Gue ngerasa lebih enjoy aja kalau cerita ke dia. “Ntar gue pijitin!” tawar gue spontan. “Bener, ya?” “Iya! Tapi dengerin cerita gue dulu!” “Sip!” Tora duduk di atas ranjangnya, lalu memandang gue dengan tampang serius. “Nah, silakan cerita.” Siaul. Giliran ada iming-imingnya aja, baru dia mau dengerin! “Ya itu tadi... gue jalan sama Regina, dan pas kita nonton ternyata dia nggak maksain nonton film komedi romantis.” “Lho, bagus dong? Bukannya lo nggak demen nonton film begitu?” “Justru itu! Baru kali ini ada cewek yang kayak dia, ngebolehin gue nonton film yang gue mau! Kalau Alice...” “Lan, jangan bandingin sama Alice deh.” Gue sontak menutup mulut, lalu menggigit bibir. “Nggak baik banding-bandingin orang,” tambah Tora. “Itu dia, Tor... gue juga bingung. Kenapa sih gue selalu kepikiran Alice terus? Apa-apa, Alice, apa-apa Alice. Capek gue sebenernya.” “Ya, lo kan dulu juga gitu waktu sama Alice. Apa-apa Karin, apa-apa Karin, nggak habis-habisnya lo bandingin mereka berdua.” “Berarti, apa yang gue rasain wajar, kan?” Gaya bicara gue makin memelas, seolah gue kepingin membuktikan kalau gue nggak gila. Cerita sama Tora begini membuat gue merasa gue ini pasien dan Tora psikiaternya! Kadang gue heran, dulu Tora kuliahnya marketing atau masalah kejiwaan sih? “Tergantung. Dan gue kepingin tahu, sebenernya perasaan lo ke Regina gimana?” Gue speechless. Jujur aja, gue juga nggak tahu harus jawab apa. “Nggak tahu deh.” “Ih, geblek nih anak!” Tora menonyor kepala gue, tapi gue sama sekali nggak berhasrat membalas. “Yah, Gina itu enak diajak ngobrol, orangnya baik, pintar, nggak keganjenan pula. She’s nice. Padahal dulu, waktu awal kenal, gue sempat bete banget sama dia. Gue kira dia SKSD, keganjenan, tapi sekarang gue tahu dia nggak kayak gitu.” “Makanya, jangan suka sok nilai orang kalau belum kenal!” Tora menceramahi gue. “Eh, tapi berarti lo seneng jalan bareng Regina, iya?” “Ya.” “Tapi di saat yang sama, lo nggak bisa ngelupain Alice juga?” “Banget!” Gue menghela napas. “Tapi sepertinya gue sama Alice udah nggak ada jalan lagi, Tor. Dia udah nggak mau lagi ngomong sama gue. Bahkan waktu terakhir konser Skillful rusuh di Jambi pun, dia nggak kontak gue. Gue kecewa banget. Yah... gue tahu gue sama dia sudah putus, tapi nggak harus jadi diem-dieman gini, kan? Nggak harus lose contact gini, kan?” “Mungkin dia capek mengkhawatirkan lo.” Gue menelan ludah dengan susah payah. “Iya kali ya? Terus gue harus gimana?” “Bukannya tadi lo sendiri yang bilang lo sama Alice sudah nggak ada jalan lagi? Kalau memang sudah nggak ada jalan, kenapa dipaksain, Lan?” “Jadi, gue harus jadian sama Regina?” “Eh, gue nggak bilang gitu! Gue cuma nyaranin supaya lo lebih membuka pikiran lo aja. Bisa aja lo enjoy jalan sama Regina, tapi itu cuma karena dia temen ngobrol yang enak aja, bukan karena lo cinta sama dia atau apa.” Hhhh... kok Tora jadi belibet gini sih ngomongnya? Gue nggak ngerti! Curhat sama dia ternyata malah bikin pusing! “Ya deh, ntar gue mikir.” Gue bangun dari tepi ranjang Tora, menyeret kaki menuju pintu. “Eehh, tunggu dulu!” “Apa?” Gue mendongak menatap Tora. Jangan sampai dia nambah-nambahin saran yang bikin otak gue makin tersumbat! “Kan tadi udah janji mau pijit! Mana???” Duuuhh, kalau dia lagi ngebetein gini, gue berharap dia nikah besok deh, biar nggak ada lagi yang menganiaya gue di rumah! * * * Omongan Tora selalu sukses bikin gue melek semalaman. Bisa begitu karena dua kemungkinan: 1. Dia ngasih saran yang bagus tapi menohok banget, bikin gue serbasalah. 2. Saran yang dia kasih nggak jelas, dan malah bikin gue makin bingung. Dalam kasus ini, saran Tora malah bikin gue makin puyeng. Ahh... kok bisa sih gue ada dalam situasi begini? Udah diputusin, nggak punya kerjaan, kuliah belum kelar, dan gue nggak tahu harus gimana sama Regina. Maksud gue, dia kan cantik banget gitu, dan enak banget diajak ngobrol, plus dia punya semua hal yang diimpikan seorang cewek, tapi kok... kenapa ya, gue nggak ada perasaan apaapa sama dia? Nggak ada euforia berlebihan setiap kali gue ketemu dia. Nggak ada perasaan kangen kalau nggak ketemu dia. Nggak kebayang dia siang-malam. Kenapa gue nggak bisa jatuh cinta sama Regina? Orang pasti bakal mengatai gue bego, ada cewek, dan bukan cewek sembarangan, tapi top model dan bintang iklan termahal se-Indonesia, yang menaruh perhatian sama gue, tapi gue nggak punya perasaan khusus ke dia. Apa karena gue belum terbiasa, ya? Mungkin kalau lebih sering bersama Regina, gue bakal dengan sendirinya suka sama dia. Toh gue bukan pacar siapa-siapa lagi. Hhh... kalau saja Alice masih punya sedikit perhatian sama gue, mungkin gue nggak akan pusing begini. Gue pasti bakal langsung meninggalkan Regina dan memohon Alice kembali... I MISS HIM SUDAH sebulan aku dan Dylan putus. Dan sepertinya nggak ada tanda-tanda kami akan balik lagi seperti dulu. Mmm... aku sebenernya nggak mau mengakui ini, tapi... yah, aku nyesel putus sama Dylan. Nyesel banget. Satu, karena aku masih sayang sama dia. Dua, karena aku masih sayaaangg sama dia. Tiga, karena aku masih sayaaaaaanggg sama dia. Kalau bukan karena aku ingat fakta dia nyeleweng sama Regina Helmy, aku pasti sudah membuang semua gengsi nggak pentingku dan minta balik duluan. Serius deh. Setahun lebih punya pacar dan tiba-tiba menjomblo lagi bener-bener nggak enak. Apalagi kalau pacar yang dulu kupunya adalah Dylan, vokalis band terganteng dan terpopuler se-Indonesia! Dan perasaan menyesalku itu makin bertambah dengan kesadaran bahwa aku nggak akan punya pacar lagi dalam waktu dekat. Siapa sih cowok yang mau sama aku? Mungkin Dylan mengalami katarak selama setahun lebih kami pacaran, sampai-sampai dia mengabaikan semua selebritis cewek, mulai bintang sinetron, penyanyi, model, bintang iklan, bintang film, dan sejenisnya yang berseliweran di sekitarnya itu, dan malah pacaran denganku. Yah, mungkin sekarang kataraknya sudah sembuh. Dan dia pasti sedang menyesali setahun hidupnya yang disia-siakan bersamaku, sementara ada cewek macam Regina Helmy di dunia ini. Ohhh... sial! Aku selalu kepingin nangis kalau ingat Dylan! I miss him.... SHOCK! “ADA apa nih? Ada apa?” Gue masuk ke ruang rapat dengan napas ngos-ngosan karena berlari dari tempat parkir. Setengah jam yang lalu, Ernest menelepon gue, menyuruh gue datang ke kantor manajemen. SECEPATNYA, katanya. Urusan gawat darurat. Emergency! Gue sempat mengira gue mungkin akan disuruh Pak Leo menonjok artis baru Pro Music lagi, supaya mereka bisa masuk infotainment dan jadi ngetop. Lumayan bukan, pekerjaan sambilan untuk vokalis band yang nganggur karena bandnya yang selalu menyebabkan kerusuhan sedang nggak diinginkan untuk menggelar konser? Mending gue mati deh kalau harus masuk infotainment sekali lagi. “Sini, Lan, sini,” Ernest melambaikan tangannya, memberi isyarat supaya gue mendekat. Gue dengan bingung menyadari, bahwa Dudy, Dovan, Rey, Bang Budy, Tyo, Asep, dan bahkan Irvan, juga ada di ruangan ini. Ada juga dua orang yang nggak gue kenal. Tapi semua berkumpul di sekeliling Ernest, memerhatikan entah apa yang terpampang di laptop di depan mereka. Dudy memberi jalan pada gue saat gue mendekat untuk melihat apa yang terpampang di laptop. “Lihat ini,” kata Ernest sambil menunjuk monitor laptop. Gue melihat rekaman video yang di-pause di monitor. “Apa ini?” tanya gue bingung. “Rekaman konser kita di Medan. Gue baru dapat dari Z-Mild.” Ernest mengedikkan kepala pada dua orang yang nggak gue kenal itu, dan mereka mengangguk mengiyakan. Ternyata mereka dari Z-Mild, merek rokok yang menjadi sponsor utama rangkaian tur Skillful. “Tapi... untuk apa?” Gue masih nggak ngerti. Kenapa semua orang berkumpul di sini cuma untuk nonton video konser kami? Bukannya memang sudah ada di kontrak, rangkaian tur kami akan direkam dan ditampilkan di TV oleh Z-Mild? Yah... memang untuk konser kali ini gue belum melihat di TV, mungkin karena semua kerusuhan itu... Tapi kalau gue bisa milih, gue nggak mau deh disuruh nonton video itu. Gue nggak mau melihat horor kerusuhan itu berulang di depan mata gue lagi. “Tolong, Mas,” Ernest memanggil salah satu orang Z-Mild itu, yang langsung memencet beberapa tombol di laptop. Gue melihat rekaman video itu di-zoom hingga berhenti pada sekumpulan orang di kerumunan penonton. Gue masih nggak ngerti. “Tolong perhatikan. Itu yang di Medan. Lalu yang ini,” orang Z-Mild itu memencet beberapa tombol lagi, “rekaman show kalian di Pekanbaru.” Muncul gambar zoom lagi di layar, bersebelahan dengan potongan video yang pertama tadi. Mata gue mulai melebar nggak percaya. “Gila, kan?” tanya Ernest sambil menggeleng-geleng. “Kalau yang ini, rekaman show kalian di Jambi.” Beberapa tombol dipencet, dan gambar ketiga muncul, berderet dengan dua gambar lainnya. Jantung gue melonjak dengna keras melihat ketiga gambar itu. Seolah ada seember air es yang baru disiramkan di kepala gue. “Maaf, kami baru bisa memberikan rekaman video ini hari ini. Saat mengedit untuk ditampilkan di TV, editor kami melihat ada „kejanggalan‟ di tiga video show Skillful, yang tidak terdapat pada show di Batam. Kami ingin membicarakan langsung dengan Pak Budy, tapi kami harus memastikan dulu, supaya tidak salah tuduh,” jelas orang Z-Mild itu. “Sekarang, kami sudah mendapatkan bukti yang kuat untuk ditunjukkan pada Skillful dan manajemen.” Gue speechless. Sekali lagi gue mengerling monitor laptop, dan menggeleng nggak percaya. Kok bisa begini? “Mungkin masih terlalu dini, tapi sekarang kita bisa menyimpulkan, bahwa kerusuhankerusuhan yang terjadi pada show Skillful adalah disengaja,” kata orang itu lagi. “Ketiga gambar yang kami ambil dari rekaman video itu menunjukkan adanya sekumpulan orang, orang-orang yang sama, yang menghadiri tiga konser kalian yang berakhir rusuh.” “Tapi... bisa aja kan mereka cuma penonton biasa?” tanya gue bingung. Beberapa fans Skillful ada yang suka menonton tur kami dari kota ke kota. Terlalu bodoh menuduh sekumpulan orang itu sebagai penyebab rusuhnya konser kami hanya karena mereka ada dalam rekaman video di tiga konser yang berakhir rusuh. Anehnya, orang Z-Mild itu menggeleng. Dia memencet beberapa tombol lagi di laptop, hingga video-video yang terhenti sesaat itu berjalan lagi. Apa yang gue lihat berikutnya benar-benar membuat gue melongo. “Anda lihat? Merekalah, yang memulai aksi pukul di kalangan mereka sendiri. Mereka jugalah yang memulai aksi lempar batu dan botol. Penonton di sekitar mereka, yang tadinya diam saja, menjadi terpengaruh. Mungkin ada yang terkena lemparan batu juga, lalu merasa tak terima, sehingga terlibat perkelahian.” “Tapi kalau begitu... mereka sendiri bakal babak-belur!” seru gue dengan suara aneh. “Nggak mungkin mereka berkelahi dan melempar batu di tiga tempat tapi mereka baik-baik saja!” Gue menggeleng, nggak percaya ada yang segitu niatnya untuk menjatuhkan Skillful, sampai merusuh di konser-konser kami! Itu terlalu... gila. Dan gue nggak kenal kumpulan orang yang terekam di video itu! Siapa mereka? Fans band lain yang iri pada Skillful? Orangorang yang dendam pada kami? Siapa??? “Yah, mungkin mereka terkena beberapa pukulan atau lemparan batu yang mereka lakukan sendiri, tapi toh itu nggak menghalangi mereka untuk tetap ada di kota-kota selanjutnya. Mereka tetap melaksanakan niat mereka. Atau... perintah yang diberikan pada mereka.” Gue membelalak mendengar kata-kata orang Z-Mild itu. “Maksud Anda, orang-orang ini...,” gue menunjuk monitor laptop, “adalah... orang-orang suruhan? Seseorang menyuruh mereka... membayar mereka... untuk merusuh di konser-konser Skillful?” “Tepat.” Orang itu mengangguk mantap, dan gue merasakan kaki gue melemas. Ada yang membayar sekumpulan orang untuk merusuh di konser Skillful... ada yang begitu bencinya dengan band gue sehinga melakukan cara kotor seperti itu... “Asumsi saya, rencana mereka akan terus berlanjut jika rangkaian tur Skillful tetap berjalan. Untunglah, konser-konser selanjutnya sudah dibatalkan.” “Tapi...” Gue memutar otak, berusaha menyanggah. Nggak mudah menerima bahwa ada orang yang nggak suka pada band gue. “Kenapa mereka nggak merusuh juga di Batam? Kenapa?” “Saya tidak tahu.” Orang Z-Mild itu tersenyum. “Tapi seperti yang Dylan bilang tadi, mungkin saja mereka perlu memulihkan diri karena terkena lemparan batu mereka sendiri.” Gue menelan ludah. “Lalu... penonton yang meninggal itu, apa mereka juga penyebabnya?” “Bukan. Itu murni kecelakaan. Ada kabel peralatan sound yang terlepas, dan mengenai penonton itu. Sialnya, penonton itu tubuhnya basah juga karena hujan, jadi dia... tersetrum. Yah, mungkin bisa dibilang ini salah para perusuh itu juga, karena mereka menyebabkan pagar pembatas roboh hingga ada penonton yang terdesak ke panggung dan meninggal karena tersengat listrik dari peralatan sound itu,” kali ini Bang Budy yang menjawab. Gue mengerling manajer gue, dan melihat mukanya memerah menahan marah. Pasti dia geram banget mendengar kerusuhan di konser-konser kami sesuatu yang disengaja. “Tapi polisi bilang, tidak ada unsur kesengajaan pada semua kerusuhan itu!” seru gue lagi. Gue ingat betul, itu yang gue dengar sewaktu konser di Medan dan Pekanbaru rusuh. Gue makin bingung. Kalau kecurigaan orang-orang Z-Mild ini tepat, berarti... “Yah, polisi juga manusia, kan? Mereka bisa saja melakukan kesalahan. Tapi sekarang, kita bisa membenarkan kesalahan itu.” Orang Z-Mild itu mematikan laptop-nya, lalu memasukkan laptop itu ke dalam tas. Gue berjalan ke kursi terdekat, dan mengempaskan diri di sana. Gue heran, kenapa gue belum juga jadi gila setelah semua yang terjadi belakangan ini. * * * Gue memacu motor secepat mungkin menuju rumah. Gue harus cerita ke seseorang tentang apa yang gue dengar di kantor manajemen tadi, kalau nggak gue bener-bener bakal gila. Siapa pun bolehlah... Mama, Papa, atau Tora... atau kalau Mbak Vita ada di rumah juga... dia pasti punya saran untuk gue. Tadi, Bang Budy, Ernest, dan orang Z-Mild yang membawa rekaman video itu memutuskan untuk melapor ke polisi. Bang Budy bilang, kami harus membersihkan nama Skillful, yang belakangan ini selalu berembel-embel “band rusuh”. Dan tentu saja, para provokator itu harus segera ditangkap. Bang Budy luar biasanya berambisi untuk tahu siapa yang begitu brengsek sampai membayar orang untuk merusuh di konser kami. Gue jadi kepingin tahu siapa orang itu.... Gue sampai di depan rumah, lalu memarkir motor di carport. Gue hampir saja masuk ke rumah, waktu ada yang memanggil. “Dylan!” Gue menoleh, dan melongo. “Karin...?” tanya gue bingung. Gue langsung berbalik lalu membukakan pintu pagar. “Hai!” sapanya sambil tersenyum. “Apa kabar?” “Gue... baik.” Gue menatap Karin, mantan pacar gue, yang berdiri di depan gue sekarang. Dia nggak banyak berubah. Rambutnya masih panjang dan bagus seperti dulu. Wajahnya masih cantik, dan senyumnya masih menyenangkan. Bahkan wangi parfumnya pun masih sama seperti dulu. Dulu kami pacaran dua tahun lebih... “Hei! Bengong!” karin melambaikan tangannya di depan gue, dan gue............ Next
Posted on: Sun, 15 Sep 2013 04:39:39 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015