Ditulis oleh: Red PB/Ratri Dian Ariani Bisakah kitab - TopicsExpress



          

Ditulis oleh: Red PB/Ratri Dian Ariani Bisakah kitab suci disampaikan tanpa sastra? Adakah kalimat Nabi yang tidak indah? Bagaimana jadinya sembahyang tanpa rasa khusyuk? Sastra bukanlah sisi lain dari kehidupan kita, melainkan bagian dari kehidupan itu sendiri. Jangan lihat puisinya, tapi rasakan puitikanya. Inilah yang namanya rasa, satu dari sekian banyaknya lapisan-lapisan ruh. Demikian Cak Nun membuka Padhangmbulan Juli 2013 yang bertepatan dengan tanggal 23. Melalui sastra, manusia dididik untuk terus-menerus memiliki kelembutan. Sekarang begitu banyak orang beragama tanpa kelembutan. Mentang-mentang majlis taklim, seenak sendiri arak-arakan sepeda motor tanpa helm dan yang lain harus bersedia minggir. Mentang-mentang bulan puasa, warung-warung yang buka di siang hari dipaksa tutup, dipecahi gelas piringnya. Padahal manusia disuruh puasa supaya mampu menghormati sesamanya. Dan lagi, tidak semua orang berpuasa. Para musafir, wanita haid, ibu menyusui – dan Allah sendiri yang langsung menyebutkan kemurahan-Nya melekat pada ayat perintah puasa. Budaya kita tidak mengakomodasi kehendak Allah, tidak memberi ruang kepada kemauan Allah. Tidak ada harmoni strategis antara fiqih agama, moral, dan budaya. Tidak pernah ada perundingan mengenai, misalnya, kalaupun benar untuk melarang orang tidak puasa, apakah tepat untuk merusak warung-warung itu? "Kok bisa hatimu tak punya kelembutan seperti itu? Kok bisa orang Indonesia menginjak-injak copet yang tertangkap? Itulah perlunya sastra : supaya terdidik kelembutan kita.” Pertimbangan inilah yang menyebabkan Cak Nun giat mendukung penuh dan membiayai pementasan-pementasan teater, dan kini penerbitan Majalah Sastra Sabana yang dikerjakan oleh sastrawan-sastrawan senior di Jogja. Ada kira-kira 13 tulisan di edisi perdananya, belum termasuk puisi-puisi. ‘Sastra Tidak Mati di Jaman Edan’ misalnya, mencoba mengatakan bahwa tak peduli kalaupun seisi dunia habis dimakan manusia materialis, karena kekasih Allah adalah orang-orang yang memiliki langkah-langkah untuk mendekatkan diri kepada peruhanian diri. Membiayai sekolah anak, menambah seribu dua ribu untuk tukang parkir, merupakan contoh peruhanian uang karena yang terjadi adalah kasih sayang dan akhlak. Prinsip Maiyah sejak awal adalah meruhanikan setiap uang dan apa saja yang kita punyai. Ada juga satu tulisan mengenai bagaimana Pangeran Mangkubumi mengkonsep tata ruang di Jogja sedemikian rupa sehingga politik (Keraton) terletak di selatan, agama (masjid) di barat, ekonomi (Pasar Bringharjo dan mall) di utara, dan kebudayaan (Purawisata – yang sedang dialihfungsikan dari tempat dangdut menjadi pusat kebudayaan) di timur. Tulisan ini berjudul ‘Cakrawala Pangurakan’ oleh Joko Umbaran (Cak Nun sendiri, Red). "Apa saja yang kompatibel terhadap Allah, saya dukung. Kalau perlu saya bayari tanpa saya punya kepentingan pribadi di dalamnya. Kalau atas dasar kepentingan saya, itu tak ubahnya dengan jual-beli. “Sekarang musimnya manusia yang tidak punya pendidikan ruhani, moral, dan bahkan etika. Di Jogja saja, lampu merah masih 35 detik sudah diterobos. Inilah yang namanya E dhayohe teka, e gelarno klasa, e klasane bedhah, e tembelen jadah, e jadahe mambu, e pakakno asu, dan seterusnya. Terlalu banyak mengurusi ini-itu, lama-lama manusia menjadi kehilangan logika. Ini sindiran dari Mbah-Mbah kita, bagaimana pikiran kita menjadi tidak lagi sehat. Mana ada menambal tikar dengan ketan? Mana ada anjing mau makan ketan? Begitu kok khalifah.” Peragian Spiritual Cak Nun pernah menafsirkan bahwa puasa merupakan peragian spiritual. Kalau sholat, pencahayaan yang dilambangkan oleh air hujan. Hujan bisa turun karena ada proses alam dimana laut dicahayai oleh matahari, sebagian menguap menjadi awan, bergabung dengan komplikasi suhu sehingga pada posisi tertentu menjadi gumpalan cairan, terkena gaya gravitasi sehingga menjadilah hujan. Orang yang sholat adalah orang yang rajin mencari pencahayaan untuk jiwa dan pikirannya. Sementara itu zakat dilambangkan oleh air susu; menginformasikan pada manusia bahwa hidup adalah tentang berbagi. Kita butuh keberadaan penjahit untuk bisa berpakaian. Karena kita tidak membenci si tukang jahit, berarti ada silaturahmi yang baik antara kita dengannya. Kita juga butuh keberadaan pembuat pompa air, sepeda motor, mobil. Mereka rata-rata bukan Muslim, apakah berarti kita bekerja sama dengan orang kafir? Dalam logika hukum dan otoritas, yang punya hak untuk memperbolehkan dan melarang, untuk menyebut sebagai kafir atau tidak, adalah pemilik atau pemegang saham – dalam hal ini Allah. Ulama hanya boleh meneruskan informasi dari Allah, tidak berhak untuk meletakkan seseorang dengan sebutan kafir. Hanya Allah yang punya otoritas untuk mengklaim dan menjatuhkan hukuman. Kasus Budaya atau Kasus Syariat “Misalnya ada orang yang bersiul-siul ketika ada orang shalawatan di masjid. Beberapa menghakimi bahwa yang dilakukannya adalah syirik, di masjid kok bersiul. Padahal siulan itu hasil dari bunyi mulut dan lidah, kok dikafirkan? Landasannya adalah ada perjanjian budaya di Indonesia bahwa bersiul itu jangan di masjid tapi di lapangan. Ini perjanjian budaya. Jadi, klausul budaya jangan diterapkan sebagai klausul agama. Agama itu ibadah mahdloh, rukun Islam, syariat. Yang tidak boleh secara syariat itu bukan bersiulnya, melainkan kalau bersiul ketika sholat.” “Kadang-kadang kita tidak memperhitungkan faktor-faktor semacam itu dan kita nggak ngerti apakah suatu perkara merupakan urusan syariat, mahdloh, atau estetika. Masyarakat semakin tak punya pengetahuan – apalagi yang detail – mengenai pilah-pilah antara garis syariah, budaya, estetika.” Tiga Gelombang Sebagaimana di Maiyahan Pati dan Tasyakuran Nahdlatul Muhammadiyin beberapa hari lalu, Cak Nun menerangkan bahwa terdapat tiga gelombang dalam hidup ini. Gelombang pertama adalah yang mainstream dalam kehidupan modern, yang baku dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Bekerja di kantor, korupsi, menjalankan aturan-aturan negara, menentukan isi televisi berdasar rating, dan parpol yang terus dianggap sah untuk menghasilkan pemimpin meskipun sudah terbukti selalu gagal. “Anda datang ke sini searus dengan mainstream-nya negara dan masyarakat nggak? Anda ke sini mencari sesuatu yang lain kan? Ini adalah gelombang kedua yang sedang berusaha mencari gelombang ketiga.” Gelombang kedua adalah yang berada di tengah-tengah. Ada dua kemungkinan : tenggelam oleh gelombang pertama atau mencari yang lain, yakni gelombang ketiga. Di gelombang ketiga ada Allah, Rasulullah, kejujuran, kemurnian, kedalaman, ilmu sejati, Maiyah. “Coba cari di dalam dirimu sendiri berapa persen yang merupakan unsur dari gelombang pertama, dan berapa yang dari gelombang ketiga. Sebab Anda adalah pelaku gelombang kedua.” Sesi Tanya-Jawab Ketika dibuka sesi tanya-jawab, ada tiga penanya. Yang pertama mengeluhkan dirinya yang sudah tidak merasakan sensasi puasa Ramadhan, juga keadaan Indonesia yang tidak menentu. Penanya kedua mengaku pada Ramadhan kali ini jarang berpuasa, sambil meminta doa dari Cak Nun agar mendapat barokah. Penanya ketiga menyampaikan uneg-unegnya yang menolak dorongan dari masyarakat untuk mencalonkan diri sebagai lurah karena sudah tidak sepakat dengan apa yang diperebutkan. “Saya husnudzon ya,” jawab Cak Nun, “Satu benda atau peristiwa itu kan makna atau nilainya tak terbatas. Misal puasa Ramadhan, itu kan pintu saja untuk memasuki makna-makna yang bisa dionceki dari hakikat puasa – misalnya cari definisi puasa dari segi syariat, psikologi, mental, intelektual. Anda sudah mencapai tahap dimana thariqat Ramadhan tidak mencukupi untuk kadar Anda menghayati puasa. Maka Anda dikasih hal-hal yang Anda keluhkan tadi. Puasamu adalah puasa sistem, puasa sosial, puasa yang lebih luas, bukan puasa fiqih saja sebab fiqih kan hanya cara untuk melatih kita. Kita dikasih sholat untuk melatih disiplin kontinuitas komitmen kita kepada Allah. Puasa pun begitu. Ia bisa bermakna kesanggupan dan keikhlasan Anda untuk melakukan sesuatu yang tidak Anda sukai atau untuk tidak melakukan sesuatu yang Anda sukai.” “Puasa sangat penting karena Anda akan mengalami peristiwa-peristiwa dan keadaan yang hanya bisa Anda hadapi dengan metode puasa. Kalau Anda mengeluhkan ketika keluar dari Padhangmbulan Anda bertemu dengan gelombang pertama, ya di situlah puasa Anda. itulah Ramadhanmu. Anda harus puasa di tengah gelombang pertama yang menyiksa Anda. puasamu harus lebih tinggi, lebih kontekstual, dan lebih multidimensi. Yang harus dipegang oleh jamaah Maiyah adalah selalu ingat untuk memiliki multiple consciousness, multiple awareness, multiple intelligent.” “Begitu Anda mengeluh tentang suatu hal, Anda tidak akan menemukan jalan kalau cara berpikirnya mono-intelligent. Tapi begitu Anda berpikir dengan multi-intelligent, Anda akan bertemu dengan hikmah, solusi, dan kenikmatan macam-macam. Kalau puasa Ramadhan hanya Anda lihat sebagai nggak makan dari Shubuh sampai Maghrib, ya nggak misterius lagi.” “Goal-mu itu goal metode gelombang pertama atau ketiga? Maunya kan tercapai dengan gelombang pertama to? Negara makmur, presiden tepat, DPR berlaku rasional. Tapi siapa yang bilang bahwa dunia seperti itu? Kapan pernah seperti itu? Orang Indonesia berada pada posisi serba tidak ikhlas, tidak lega, tidak terima. Dan itu merupakan produk dari tidak pernahnya terpenuhi hak-hak rakyat oleh yang berkewajiban, yaitu pemeritah yang kita bayar. Dan disitulah kita hidup. Inilah puasa.” “Saya ini juga nggak karuan. Mau tanding kesengsaraan sama saya? Kalau dilihat dari cara berpikir gelombang pertama, yang saya lakukan selama ini berat, sengsara, dan tidak produktif. Tapi saya melihatnya dari cara berpikir gelombang ketiga. Saya tidak punya kepentingan lain kecuali menikmati gelombang ketiga.” Cak Nun menceritakan pengalamannya ketika diundang untuk menjadi pembicara di Masjid Agung Batu, Malang. Dari Jogja Cak Nun naik bus, numpang mandi di terminal, lalu menjelang acara ngopi-ngopi di warung sambil melihat dari jauh apakah panitia sudah datang. Sampai satu jam kemudian, tak ada tanda-tanda acara. “Saya nggak getun. Alhamdulillah saya sudah berjuang, dapat pengalaman ngebis, pengalaman mandi di terminal, seluruh ibadah yang dituntutkan kepada saya sudah selesai saya kerjakan. Malah dikurangi kewajiban saya untuk ceramah. Saya nggak pakai gelombang pertama, yaitu supaya terkenal, supaya naik karier saya, atau supaya dapat akses. Pokoknya nekat – dalam arti, masa’ Allah nggak tanggung jawab terhadap nasib saya sedangkan terhadap ayam pun Dia tanggung jawab penuh?” “Tidak masalah kalau Anda tidak mampu mengubah apapun, karena rumusnya adalah Allah diam-diam berjanji akan menegaskan perubahan itu dengan syarat manusia melakukan perubahan. Kita kan sudah revolusi diri besar-besaran. Sekarang tahap saya adalah bertanya-tanya kapan Allah akan mengubah. Saya khawatir kalau bangsa Indonesia tak mengalami perubahan signifikan dan fundamental dalam 2-3 tahun ini, kita akan mengalami kesia-siaan gelmbang pertama untuk jangka waktu yang lebih panjang dan itu bisa berakibat lebih buruk karena pelaku gelombang kedua dan ketiga tidak bisa mewariskan perjuangan kepada adik-adik dan anak-anaknya.” “Kita terkatung-katung pada tuntutan ‘seharusnya begini kok dapatnya begitu’, padahal kita tinggal melangkah satu langkah menuju hikmah. Kalau dipastikan Anda tidak bisa mengubahnya dalam jangka waktu lima tahun, ya sudah jangan pikirkan itu selama lima tahun. Orang Indonesia sangat menggemari perayaan. Ada penderitaan diraya-rayakan, dibesar-besarkan, diundhat-undhat terus.” “Allah menciptakan manusia dengan batasan-batasan, karena kalau tidak, hancurlah dia. Saya kira yang harus dicari adalah rahasia di dalam. Ada begitu banyak faktor Allah di dalam dirimu yang engkau tidak tahu. Nikmatnya hidup adalah Allah selalu memberikan misteri-misteri.” “Kalau kamu mau bergabung dengan Allah, kamu harus ikhlas dengan apapun yang dikehendaki Allah yang besok mungkin berubah. Maka Allah mengancam, ‘Barangsiapa tidak menerima ketentuan-Ku atas hidupnya, Aku persilahkan mencari Tuhan yang lain dan pindah ke sana’. Itu bukan karena Dia diktator, tapi karena Dia mengikatmu dengan cinta dalam dinamika terus-menerus supaya kamu bertanya, bertemu dengan jawaban sedikit, lalu bertanya lagi. nikmatilah proses itu.” Terhadap penanya ketiga Cak Nun menjawab, “Tidak apa-apa kalau Anda mencalonkan diri untuk jadi lurah, tapi harus Anda kuasai dulu medan perangnya, cuacanya, pelurunya, apakah peluang untuk berbuat baik banyak atau tidak. Tidak harus 100% melakukan seluruh kebaikan yang Anda niatkan karena kondisi tanahnya tandus kok, jadi tidak semua tanaman akan tumbuh. Bisa menanam sedikit sudah lumayan. Kalau saya nggak ada masalah Anda mau maju. Tapi kalau sudah awang-awangen melihat suap atau biayanya, ya nggak usah. Atau bisa juga Anda nyalon lurah bukan untuk terpilih, melainkan untuk kenal banyak orang, menjalin komunikasi. Saya tidak pernah melarang, jadi monggo-monggo saja.”
Posted on: Fri, 02 Aug 2013 16:56:02 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015