Globalisasi tidak bisa dihindari. Cepat atau lambat akan mengepung - TopicsExpress



          

Globalisasi tidak bisa dihindari. Cepat atau lambat akan mengepung bangsa kita. Tidak ada satu negara pun di dunia ini yang mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, harus menjalin kerja sama dengan negara atau kelompok negara lain. Dalam era globalisasi, masalahnya bukan pada kerja sama. Namun, bagaimana kita bisa mengelola bangsa kita dengan potensinya yang besar untuk mengambil manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Di sinilah letak tantangannya. Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) pada 1-8 Oktober 2013 di Nusa Dua, Bali, adalah bagian dari upaya Pemerintah Indonesia meningkatkan kesejahteraan rakyatnya melalui forum kerja sama itu. Bagi Indonesia, APEC memberikan manfaat ekonomi yang signifikan meski bukan satu-satunya penentu kemajuan ekonomi Indonesia. Mengacu data Kementerian Perdagangan, total nilai perdagangan Indonesia pada 2011 dalam lingkup APEC mencapai 289,3 miliar dollar AS atau naik hampir sepuluh kali lipat dibandingkan dengan 1989 dan menguasai 75 persen dari total ekspor nasional. Nilai investasi pada 2011 mencapai 10,7 miliar dollar AS. Ekonomi anggota APEC juga masuk daftar 20 investor terbesar Indonesia. Tak bisa diingkari, APEC merupakan forum kerja sama ekonomi yang strategis bagi Indonesia. Di sana bergabung kelompok ekonomi besar, seperti AS, China, dan Jepang yang merupakan negara tujuan ekspor utama Indonesia. Keberadaan forum ini sudah tepat dan kita bisa ambil bagian di dalamnya. Meski memberikan keuntungan besar bagi ekonomi Indonesia, kita tentu tidak boleh lengah dari setiap agenda ekonomi negara lain yang bisa saja ”ancaman”. Contoh paling konkret negosiasi dalam forum APEC saat ini adalah prakarsa besar kerja sama Trans-Pacific Partnership (TPP) dan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Terkait dengan TPP, sejauh ini Indonesia belum tertarik untuk masuk. Memang, menurut Direktur Jenderal Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo, ada desakan dari para pelaku usaha sektor tekstil dan garmen agar Indonesia masuk dalam skema TPP. Tujuannya untuk mendorong ekspor produk tekstil dan garmen ke AS. Mengingat sektor itu saat ini lesu akibat gempuran produk tekstil negara lain dan kenaikan upah buruh. Vietnam yang sudah lebih dulu masuk memang mendapat manfaat ekonomi yang besar dari TPP. Ekspor tekstil dan garmen Vietnam ke AS naik tajam karena mendapat pasar ekspor khusus di AS. Kondisinya lebih baik dari Indonesia. Meski sudah ada dorongan, pemerintah tidak bisa gegabah. ”Kita harus lihat secara komprehensif, tidak bisa per sektor melihatnya,” kata Iman. Sebab, banyak persyaratan yang memberatkan. Misalnya, TPP menuntut agar kewenangan BUMN dihapus dan diserahkan kepada swasta. Padahal, Indonesia masih butuh BUMN untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan di daerah-daerah. BUMN masih menjalankan fungsi sosial. Tentu saja semua upaya ini perlu negosiasi yang solid. Pencapaiannya bisa saja fenomenal. Namun, yang lebih penting dari semua itu adalah kesiapan domestik bangsa kita. Sudahkah kita siap sepenuhnya bersaing terbuka dalam perdagangan bebas? Mungkin jika iklimnya kondusif, para pelaku usaha siap, UKM juga siap, masyarakat pun siap. Namun, bagaimana dengan pemerintah? Kita tidak melihat ada iklim usaha yang dibangun secara sehat dan menguntungkan bagi tumbuhnya usaha-usaha baru yang mengandalkan ekonomi nasional. Pungutan liar di mana-mana, perizinan berbelit, jaminan bahan baku yang memble, kebijakan yang sering tidak konsisten, ekonomi berbiaya tinggi, infrastruktur dasar yang tak pernah tuntas, dan segudang masalah lainnya yang menjadi PR pemerintah. Bukan swasta, UKM, ataupun masyarakat. Globalisasi menguntungkan dengan syarat kita bisa memetik manfaatnya. Dan manfaat itu bisa didapat jika semua pemangku kepentingan siap, terutama pemerintah dengan birokrasinya yang tak jarang justru menjadi batu sandungan. (HERMAS E PRABOWO)
Posted on: Sat, 05 Oct 2013 02:39:43 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015