Hamzah Fansuri, Jasadnya Satu...Makamnya di Mana-mana * Di - TopicsExpress



          

Hamzah Fansuri, Jasadnya Satu...Makamnya di Mana-mana * Di langkawi Malaysia, Oboh Dan Juga Ujung Pancu Kec Pekan Bada? Sudah empat abad lalu dia pergi, tapi namanya masih tetap harum hingga kini. Selain disebut sebagai penyair pertama Indonesia oleh A. Teeuw, Hamzah Fansuri juga meninggalkan ajaran sufisme yang tersebar ke berbagai daerah. Lantaran ajaran sufismenya yang berkiblat ke tarekat wahdatul wujud itulah, perjalanan hidup Hamzah juga cukup berliku. Maka seperti kisah hidupnya yang kontroversial, kematiannya pun dibumbui kontroversi yang tak kalah serunya. Itulah sebabnya, jika ditanya di manakah gerangan makam Hamzah Fansuri, maka ada beberapa pendapat yang menyertainya. Yang pertama akan berkata, makamnya terletak di Desa Oboh, Kecamatan Runding, Kota Subulussalam, sekitar 14 kilometer dari Kota Subulussalam, Aceh Selatan yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Sidikalang, Sumatera Utara, atau sekitar tujuh jam perjalanan darat dari Medan. Makam satunya lagi berada di Desa Ujung Pancu, Kecamatan Pekan Bada, Kabupaten Aceh Besar. Namun menurut cerita yang diturunkan dari generasi ke generasi, Syaikh Hamzah Al Fansuri pernah tinggal di kedua tempat itu dan meninggalnya pun di klaim berada di kedua tempat itu pula. Makam lainnya, konon berada di Langkawi, Malaysia. Pendapat terakhir mengatakan, makam Hamzah Fansuri berada di Makkah. Namun, dari berbagai pendapat mengenai letak makam sang Syekh yang mashur itu, konon yang patut dipercaya adalah yang berada di Desa Oboh yang juga terkenal dengan sebutan makam Mbah Oboh. Karena, meski sama-sama tak memiliki bukti kuat berupa catatan sejarah, namun dari kisah orang-orang dulu, makam di Desa Oboh kiranya yang lebih diakui oleh pemerintah, dengan bukti pemberian anugerah kebudayaan. Penyair dan ahli tasawuf Aceh abad ke 17 tersebut, Selasa (13/8/2013) lalu mendapat anugerah Bintang Budaya Parama Dharma, yang diserahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam acara penganugerahan Bintang Maha Putera, dan Tanda Jasa di Istana Negara. Selain itu, menurut juru kunci sebelumnya, Abdullah (66), nenek moyangnya yang dulu juga juru kunci di makam tersebut tidak banyak mengetahui perihal riwayat Mbah Oboh. Selain dikenal sebagai ahli fikih dan suluk dari Barus dan pernah bekerja di Istana Kerajaan Aceh, Abdullah dan warga sekitar makam hanya mengetahui satu kisah legenda tentang Mbah Oboh. ”Mengapa memilih dikubur di sini, karena saat beliau menanam padi sekaleng, panennya pun sekaleng. Saat di Kutaraja (sekarang Banda Aceh), menanam padi sekaleng, panennya ratusan kaleng. Beliau berkesimpulan, di sinilah tanah kejujuran,” kata dia. Makamnya di Desa Oboh hanya berbentuk gundukan tanah bertabur kerikil dan dikungkung kain putih yang sebagian terlihat kusam karena terkena tanah liat. Kain putih itu dipadu kain hijau berisi kaligrafi tulisan asma Allah. Gundukan tanah tadi adalah makam Syekh Hamzah Fansuri, salah satu ulama legendaris Aceh. Makam itu terawat rapi dalam bangunan kecil. Sebuah sungai mengalir tak jauh dari sisi kiri makam. Di tempat itu, tak hanya Syekh Hamzah Fansuri yang dimakamkan. Di sekitarnya ada tiga makam lagi, yakni sahabat dan mertua Fansuri. Suasana tenang terasa di tempat ini. Sesekali angin menyeruak dari sela barisan pohon sawit di sekeliling makam. Saya nggak tahu kalau makam Syekh Hamzah Fansuri juga ada di sini. Soalnya waktu ke Langkawi, Malaysia, di sana juga ada, ujar Wakil Gubernur Aceh Muzakir Manaf saat berdiri di samping makam, beberapa waktu lalu. Hamzah nin asalnya Fansury Mendapat wujud di tanah Shahrnawi Beroleh khilafat ilmu yang ‘ali Dari abad ‘Abd al-Qadir Jilani Hamzah di negeri Melayu Tempatnya kapur di dalam kayu Asalnya manikam tiadakan layu Dengan ilmu dunia di manakan payu Hamzah Fansury di dalam Mekkah Mencapai Tuhan di Baitul Ka’bah Dari Barus terlayu payah Akhirnya dijumpa di dalam rumah Hamzah miskin orang uryani Seperti Ismail menjadi Qurbani Bukan Ajami lagi Arabi Senantiasa wasil dengan yang baqi Inilah syair yang menjadi petunjuk tentang sosok Hamzah Fansuri. Bait-bait syair di atas menjelaskan siapa dan dari mana Hamzah Fansuri berasal. Pada bait pertama nampak nyata, Hamzah berasal dari sekitar Aceh, yang terdapat padanya Fansur (Aceh Selatan), Tanah Shahrnawi (Perlak), negeri Melayu (Pasai-Malaka), Barus (Sumatra Utara). Ia yang hidup dan berpengaruh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), merupakan tokoh utama yang mengangkat bahasa Melayu dari bahasa lingua-fransca, menjadi bahasa ilmu dan sastra. Peneliti dari Malaysia, Prof Dr. Naguib Alatas dalam bukunya “The Mysticcism of Hamzah Fansuri” menyebut Hamzah Fansyuri sebagai Pujangga Melayu terbesar dalam abad XVII, penyair Sufi yang tidak ada taranya pada zaman itu. Karya-karya Hamzah Fansyuri antara lain “Syair Perahu, Syair Burung Pingai” dan lain-lain. “Syair Perahu” berisi petuah tetang kehidupan agar tetap memelihara amal kebaikan. Dalam buku Hamzah Fansuri Penyair Aceh, Prof. A. Hasymi menyebut Hamzah Fansuri hidup sampai akhir pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Tetapi, pada tulisan lainnya dalam Ruba’i Hamzah Fansuri disebutkan, “Hanya yang sudah pasti, bahwa beliau hidup dalam masa pemerintahan Sultan Alaidin Riayat Syah IV Saiyidil Mukammil (997-1011 H-1589-1604 M) sampai ke permulaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Mahkota Alam (1016-1045 H-1607-1636 M).” Kapan Syeikh Hamzah Fansuri lahir secara tepat belum dapat dipastikan. Adapun tempat kelahirannya di Barus atau Fansur sebagaimana ditulis oleh Prof. A. Hasymi, Fansur itu satu kampung yang terletak antara Kota Singkil dengan Gosong Telaga (Aceh Selatan). Dalam zaman Kerajaan Aceh Darussalam, kampung Fansur itu terkenal sebagai pusat pendidikan Islam di bagian Aceh Selatan. Pendapat lain menyebut beliau dilahirkan di Syahrun Nawi atau Ayuthia di Siam dan berhijrah serta menetap di Barus. Karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri baik yang berbentuk syair maupun berbentuk prosa banyak menarik perhatian para sarjana, termasuk Prof. Syed Muhammad Naquib yang menulis desertasinya tentang tokoh sufi ini dengan judul The Misticim of Hamzah Fansuri, 1966 dan diterbitkan Universitas of Malaya Press 1970. Ada juga Prof. A. Teeuw juga r.O Winstedt yang menyebut Syeikh Hamzah Fansuri mempunyai semangat yang luar biasa yang tidak terdapat pada orang lain. Bahkan, J. Doorenbos dan Syed Muhammad Naquib al-Attas mempelajari biografi Syeikh Hamzah Fansuri secara mendalam untuk mendapatkan Ph.D masing-masing di Universitas Leiden dan Universitas London. *** Konon, Hamzah Fansuri jualah yang menjadi salah satu musabab yang membawa nama Aceh menjadi Serambi Mekah. Hamzah Fansuri As-Singkili tercatat dalam lintasan sejarah peradaban Aceh. Dia merupakan salah seorang sufi sekaligus sastrawan terkemuka yang tiada taranya dalam menulis karya-karya monumental kesusasteraan Melayu. Buku-bukunya sering disebut dalam manuskrip kuno “Sejarah Melayu” seperti “Durrul Manzum” (Benang Mutiara) dan “Al-Saiful Qati” (Pedang Tajam). Dengan syair-syairnya yang berunsur sufistik telah memberi pengaruh luar biasa bagi cendekiawan Melayu untuk membina dan mengembangkan bahasa Melayu menjadi bahasa seni budaya, bahasa ilmu pengetahuan, bahkan bahasa antarabangsa dunia Timur. Syair-syair Hamzah Fansuri merupakan karangan mistik Islam. Tulisannya menguraikan tasawuf klasik secara eksplisit dan signifikan, dikemas dalam bahasa Melayu seperti “Asrarul Arifin Fi Bayani Ilmis Suluk wat-Tauhid”, Syaraabul Asyiqin”, dan “Al-Muntahi”. Betapa banyak pembendaharaan kosa kata Melayu yang dibuatnya, selain melakukan pembaharuan di bidang logika dan mantik yang bertalian dengan pemikiran dalam masalah bahasa. Keberhasilan Hamzah Fansuri dengan syair-syairnya yang bernuansa agama tak terlepas dari latar belakangnya sebagai seorang sufi yang telah mengelana mencari ma’rifat hingga ke Kudus, Banten, Siam, Semenanjung Melayu, India, Persia, dan Tanah Arab. Berbagai buku tasawuf dari sufi-sufi terkemuka dengan mudah ia kuasai karena kemahirannya dalam berbahasa Melayu, Urdu, Persia, dan Arab. Dan tak sedikit pula sajak-sajak para sufi terkemuka Persia seperti Ibnu Arabi, Al-Hallaj, Jalaluddin Rumi, Al-Bustami, Maghribi, Nikmatullah, Abdullah Talil, Abdul Qadir Jailani, Iraqi, Sa’di, dan lain-lain itu ia kutip dalam bahasa aslinya, lalu ia bubuhi syarah/­terjemahannya dalam bahasa Melayu. Namun kapasitas syair-syair yang dihasilkannya menunjukkan bahwa dirinya sangat terpengaruh dan terilhami oleh Ibnu Arabi, tokoh aliran wujudiyyah. Kedudukan Hamzah Fansuri begitu penting, karena dia lah penyair pertama yang menulis bentuk syair dalam bahasa Melayu empat abad silam. Sumbangan besarnya bagi bahasa Melayu adalah asas awal yang dipancangkannya­ terhadap peranan bahasa Melayu sebagai bahasa keempat di dunia Islam sesudah bahasa Arab, Persia, dan Turki Utsmani. Hamzah Fansuri banyak mendapat asupan ilmu di Zawiyah/Dayah Blang Pria Samudera/Pasai, Pusat Pendidikan Tinggi Islam yang dipimpin oleh Ulama Besar dari Persia, Syekh Al-Fansuri, nenek moyangnya Hamzah. Kemudian Hamzah Fansuri mendirikan Pusat Pendidikan Islam di pantai Barat Tanah Aceh, yaitu Dayah Oboh di Simpang kiri Rundeng, Aceh Singkil. Kedalaman ilmu yang dimiliki telah mengangkatnya ke tempat kedudukan tinggi dalam dunia sastra Nusantara. Oleh Prof Dr Naguib Al-Attas ia disebut “Jalaluddin Rumi”nya Kepulauan Nusantara, yang tidak terbawa oleh arus roda zaman. Layaknya Penyair sufi, sajak-sajak Hamzah Fansuri penuh dengan rindu-dendam, luapan emosi cinta kepada kekasihnya, Al-Khaliq, Allah Yang Maha Esa. Rindunya dengan sang Khaliq menjadikannya sebagai Insan Kamil yang tiada lagi pembatas antara dia dan Khaliqnya, karena jiwa telah menyatu ke dalam diri kekasih yang dirindukannya, seperti makna implisit dalam hadits Qudsi riwayat Thabrani: ”Hambaku selalu menghampiriKu dengan ibadah-ibadah yang sunat sehingga Aku cinta kepadanya. Bila demikian, Aku menjadi pendengarannya yang dipergunakannya­ untuk mendengar, pemandangannya yang dipergunakan untuk memandang, lisannya untuk berbicara dan hatinya untuk berpikir.” Oleh karena itu dalam karya tulis Hamzah Fansuri seakan-akan mendengar dengan telinga Khaliq nya, memandang dengan mata Khaliq nya, berbicara dengan lisan Khaliq nya. Tentu saja hal ini sangat sukar dimengerti dan dipahami oleh orang yang tidak banyak membaca dan mendalami buah pikiran dan filsafat Ulama Tasawuf atau penyair sufi. Cakrawalanya yang sejauh ufuk langit telah menghangatkan syair-syair padat dan berisi penuh dengan butir-butir filsafat, tetapi menawan hati untuk menguak makna yang terkandung. Di antara karyanya yang ekstentik itu adalah Syair Burung Perahu, Syair Burung Pingai, Syair Burung Unggas, Syair Perahu dan Bismilllahir Rahmanir Rahim. Menurut A. Hasjmy, meskipun ia menganut filsafat Tuhan (Wahdatul Wujud), ia menolak faham hulul, faham keleburan selebur-leburnya dengan Tuhan: Aho segala kita umat Rasuli Tuntut ilmu hakikat al-wusul Karena ilmu itu pada Allah qabul I’tiqad jangan ittihad dan hulul. Perhatikan juga bahasa yang terdapat dalam petikan Syair Perahunya ini: Inilah gerangan suatu madah Mengarangkan syair terlalu indah Membetuli jalan tempat berpindah Di sanalah itikad diperbetuli sudah Wahai muda kenali dirimu Ialah perahu tamsil tubuhmu Tiadalah berapa lama hidupmu Ke akhirat jua kekal diammu Hai muda arif budiman Hasilkan kemudi dengan pedoman Alat perahumu jua kerjakan Itulah jalan membetuli insan Dengan penggunaan bahasa yang indah dan dengan perumpamaan yang sederhana, Syair Perahu ini pada suatu masa menjadi sebutan orang ramai. Ia digunakan oleh ibu bapa untuk menasihati anaknya agar mentaati ajaran Islam. Dalam Ensiklopedi Umum (1973) mengatakan Hamzah Fansuri adalah seorang penyair dan ahli tasawuf yang berasal dari Barus, Sumatera. Aliran Hamzah Fansuri dalam ilmu tasawuf sangat terpengaruh sehingga ke Tanah Jawa. Hamzah Fansuri banyak terkesan dengan karya-karya serta ketokohan Ibnu Arabi, Al-Hallaj, Al-Djunaid dan Jajaludin ar-Rumi kerana nama-nama ini ada disebut dalam kebanyakkan karya Tasawwufnya. Aliran Hamzah Fansuri terkenal dengan teori Wahdatul Wujud di mana fahaman ini sangat ditentang oleh Nuruddin Ar-Raniri. Antara bentuk karangannya yang sangat terkenal adalah Syair Perahu, Syair Burung Pungai, Syair Dagang dan lain-lain (Hasan Shadily 1973: 321). Mengenai tarikh lahir Hamzah Fansuri hingga kini masih diperdebatkan. Ooi Keat Gin (2004) dalam ensklopedianya menyatakan bahwa beliau lahir pada pertengahan abad ke-16 saat kepimpinan serta kesultanan Sultan Alaudin Riayat Shah Ibn Firman Shah (1589-1604) (Ooi Keat Gin. 2004: 560). Drewes dan Brakel (1986) pun berpendapat bahwa Hamzah hidup hingga zaman kesultanan Iskandar Muda (Mahkota Alam) yaitu antara tahun 1607 hingga 1636 masehi. Berdasarkan penelitian dan kajian jelas mengatakan bahawa beliau meninggal dunia antara sebelum atau pada tahun 1590 masihi (Drewes dan Brakel 1986:3). Manakala Naquib Al-Attas dalam membicarakan mengenai tahun kelahiran Hamzah Fansuri, beliau membawakan beberapa bait syair Hamzah Fansuri yang boleh dijadikan justifikasi kepada isu ini: Sjah ‘Alam Radja jang adil Radja Qoetoeb jang sampoerna kami Wali Allah sampoerna wasil Radja arif lagi mukammil Bertambah daulat Sjah Bertambah daulat Sjah ‘Alam Makota pada sekalian Alam Karoenia ilahi Rabb al-‘alamina Menjadi radja kedoe alam. Dari keterangan dan bukti yang dikemukakan sarjana-sarjana di atas maka besar kemungkinan Hamzah Fansuri hidup semasa Sultan ‘Ala al-Din Riayat Syah (1589-1602) atau pada akhir abad ke-16 sampai abad ke-17 dan diperkirakan Hamzah Fansuri meninggal dunia sebelum atau pada 1016/1607 sesuai dengan bukti-bukti yang dikemukan oleh Naquib al-Attas (Naguib al-Attas 1970:70). Lebih tepat lagi A. Hasmy dalam kertas kerjanya mengatakan bahawa pada akhir pemerintahan Sulthan Iskandar Muda Meukuta Alam (wafat 29 Rajab 1046 H = 27 Desember 1636 M.), Syekh Hamzah Fansuri meninggal dunia di Wilayah Singkel, dekat kota kecil Rundeng. Beliau dimakamkan di Kampung Oboh Simpang Kiri Rundeng di Hulu Sungai Singkel. (A. Hasmy 1984:11). Tentang tempat kelahiran Hamzah Fansuri, kebanyakkan sarjana sepakat beliau berasal dari Fansur yang bersempena dengan nama di belakangnya yaitu Fansuri. Fansur adalah sebuah pelabuhan Pantai Barat di Utara Sumatera antara Singkil dan sibolga. Orang luar menengarai tempat ini sebagai Fansur tetapi lebih tepatnya Barus dalam bahasa setempat (Ooi Keat Gin. 2004: 561). Sementara, jika mengacu dari karya Naguib al-Attas (1970:5-8), mengatakan bahwa Hamzah pernah menulis dalam syairnya yang menerangkan dirinya lahir di Shahr Nawi (Shah r-i-Nawi) atau Ayutthaya, Thailand. Tetapi disanggah Drewes dan Brakel (1986) yang mengatakan ini hanya teori dan kemungkinan Hamzah Fansuri telah menjelajah atau bermusafir sehingga ke Ayutthaya dan menuntut ilmu bersama orang Parsi di sana (Drewes dan Brakel 1986:5). Maklumlah, Hamzah Fansuri semasa hidupnya sangat suka menjelajah atau bermusafir ke seluruh Nusantara dan Tanah Arab, antara lain: Pahang, Ayttuhaya, Mughal India, Mekah, Madinah dan juga Baghdad. Ilmu wahdatul wujud yang diserap Hamzah, menurut beberapa ahli terpengaruh oleh pandangan Ibnu Arabi yang berasal dari Sepanyol, ketika Hamzah menjelajah ke Mughal India dan juga Parsi sekitar abad ke-16. Ketika mengajarkan doktrin wahdatul wujud, Fansuri berada di Aceh di akhir abad ke-16. Aceh sendiri kala itu merupakan pusat kekuasaan, politik, dan ketentaraan serta pusat Islam yang pesat menggantikan Malaka yang ketika itu ditawan oleh Portugis pada 1511. Hamzah Fansuri banyak dikritik oleh Nuruddin al-Raniri (1658). Nuruddin mengatakan bahwa Hamzah dan Syamsuddin Sumatrani yang mengajarkan wahdatul wujud adalah sesat dan bertentangan dengan apa yang difahami oleh dirinya. Ini adalah karena di India, wahdatul wujud sangat ditentang oleh ahli aqidah di India dan situasi yang sama dibawa ke Aceh dengan mempengaruhi Sultanah Taj al-Alam Safatudin Shah (1641-1675) untuk membakar dan mengharamkan nama Hamzah Fansuri dan karyanya. Oleh karena itu, nama dan peranan Hamzah Fansuri banyak tidak kelihatan dalam karya Indonesia sebagaimana dengan Hikayat Acheh (Ooi Keat Gin. 2004: 561-562). Menurut Abdul Hadi, Hamzah Fansuri merupakan penyair yang tersohor di tanah Melayu abad ke-16 yang menjadi buah mulut kalangan sarjana di Nusantara. Hamzah Fansuri merupakan intelektual dan ahli sufi yang terkemuka dan dianggap perintis dalam pelbagai bidang keilmuan. Hamzah merintis tradisi baru dalam penulisan sastra Melayu-Indonesia, khususnya di bidang penulisan sastra yang bercorak Islam di abad ke 16 dan ke 17 (2001: 117). Dia merupakan Bapak Sastera Melayu dan orang yang pertama menulis dalam bahasa Melayu tentang banyak aspek tasawuf (Muhammad Bukhari: 123). Hingga kini, dari berbagai penelitian, belum ditemukan syair yang mendahului syair Hamzah Fansuri (Voorhoeve: 278). Mengikut Syed Naguib al-Attas, syair Hamzah Fansuri terawal yang masih wujud dianggap berasal dari seorang ahli mistik Sumatera abad ke-16 (lihat Siti Hawa Haji Saleh: 123). Hamzah Fansuri juga disebut sebagai seorang muslim yang sangat bertakwa, yang disanjungnya ialah khalik yang mencipta alam semesta dan menentukan takdir-Nya (Muhammad Naquib al-Attas, 1970: 322). Dia juga seorang ahli tasawuf, zahid dan mistik yang mencari penyatuan dengan khalik dan menemuinya di jalan isyk (cinta) (V.I Braginsky, 1994: 15)
Posted on: Sun, 03 Nov 2013 12:35:28 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015