Harimau-Harimau Mochtar Lubis episode 5 Target 14 - TopicsExpress



          

Harimau-Harimau Mochtar Lubis episode 5 Target 14 like #Jacob_Black _______________________________________________________ berwarna merah tua. Itulah warna yang disenangi ibunya. Kemudian apa lagi? Oh, dia akan memberi ibunya uang untuk membantu belanja di rumah. Sejak dia pandai mencariuang, selalu dia memberi uang pada ibunya, meskipun ibunya mengatakan, bahwa dia tak perlu memberikan uang, seperti orang membayar makan saja di rumah orang lain. Ayahmu masih cukup memberi ibu uang, kala ibunya kepadanya. Akan tetapi dia berkata, bahwa suka hati ibunyalah akan diapakan uang yang diberikannya. Dia juga akan menyimpan uang untuk membeli pakaian baru untuk hari Lebaran yang akan datang. Dia hendak membuat baju teluk belanga dari sutera kuning muda, sebuah peci beludru hitam yang baru, dan sepasang sandal kulit yang baru. Dia ingin sekali membeli sandal kulit yang berpaku-paku putih sebagai perhiasannya. Akan aku berikan uangnya pada ibu supaya disimpan, pikirnya. Dia terkejut dan terbangun dari mimpi-mimpinya, ketika mendengar bunyi berkeresek-keresek di dalam belukar di pinggir jalan. Dia berhenti, tangannya memegang hulu parang panjangnya. Belukar bergerak-gerak, dan kemudian seekor babi hutan yang besar muncul, melintas jalan dengan cepat, tanpa melihat Buyung yang berdiri dengandiam-diam dan siap untuk melompat ke pinggir jika babi hendak menyerangnya. Babi telah melintas jalan. Buyung kembali ke dalam hutan. Kini dia menyadari kembali pohon-pohon di sekelilingnya. Tombak-tombak sinar matahari yang berhasil menembus payungan tebal daun-daun hijau memiringdari langit menimpa tanah hitam di bawah, menimbulkan pola-pola cahaya dan bayangan yang bertukar-tukar amat menarik hati. Dia mendengar kembali bunyi-bunyi ratusan ragam serangga di dalam hutan. Dia mendengar kembali bunyi teriak orang hutan yang bergendang-gendang berat dari jauh. Dia mendengar ketukan tajam burungbelatuk mencari ulat dibalik kulit pohon kayu. Dia mendengar kokok ayam hutan berderaiderai merdu. Dia melihat rama-rama yang beterbangan di sinar matahari yang menembus ke dalam hutan, dan melihat kembali burung burung berwarna hijau, kuning dan merah yang beterbangan tinggi di antara cabang-cabang pohon. Dia merasa kembali kesegaran udara pagi di dalam hutan. Tiap tarikan napas yang memenuhi jantung seakan obat segar yang mempercepat jalan darah, menguatkan otot dan tulang. Menggembirakan hati. Semuanya di sekelilingnya, hutan dengan pohon dan daun, akar, serangga dan margasatwa yang dirasanya kehadirannya, langit yang dirasanya berada di atas lapisan payung hijau rimba, matahari di langit, angin yang datang berhembus, semuanya menapaskan kehidupan, dan mempertajam kesadaran dirinya. Kesadaran pada hidupnya, pada alam hidup di sekelilingnya. Dia merasa amat sangat gembira, dan tanpa diketahuinya, mulutnya lalu bersiul-siul. Kegembiraannya bertambah sempurna ketika dia tiba di tepi ladang tempat dia memasang perangkapnya, dan melihat di dalam perangkap seekor kancil yang kecil. Kancil itu berlarilari berkeliling di dalam perangkap yang sempit, ketika Buyung tiba dekat perangkap. Alangkah manisnya binatang ini, pikir Buyung, dan dia teringat pada kisah kancil yang diceritakan ibunya kepadanya di waktu kanak-kanak. Hidungnya hitam dan basah berkilauan, kakinya ramping telinganya runcing dan halus, dan matanya lembab bercahaya. Dengan cepat dia membuat sebuah keranjang dari cabangcabang kecil pohon yang liat yang tumbuh di pinggir hutan. Buyung mengumpulkan rumput kering dandengan rumput itu dialasnya keranjang, dan kemudian sang kancil ditidurkannya. Kancil amat ketakutan ketika dipegangnya.Dadanya dan perutnya turun naik karena bernapas kencang, dan dia menggeliat-geliat badannya hendak melepaskan dirinya dari pegangan si manusia yang ditakutinya. Akan tetapi Buyung berbicara padanya dengan suara yang halus dan tenang. . Kemudian dia mengumpulkan daun-daun muda dan rumput muda dan dimasukkannya ke dalam keranjang. Lalu keranjang ditutupnya dan dia menjinjing keranjang, dan melangkah kembali ke hutan. Langkahnya tertegun, dia memutar badannya, memandang ke pondok tinggi di tengah ladang sebentar terlintas dalam hatinya hendak pergi menengok Siti Rubiyah kembali, akan tetapi dia teringat pada Wak Hitam, dan hal ini menyebabkan dia kembali memutar badannya, melangkah cepat ke dalam hutan. Kemudian dia teringat, bahwa mungkin sang kancil akan haus, lalu dia membalikkan langkahnya, memintas hutan menuju sungai. Di pinggir hutan dekat sungai, dia berhenti, tertegun karena tiba-tiba dia melihat Siti Rubiyah duduk di atas batu rupanya dia baru selesai mandi. Karena dia telah berpakaian, dan sedang duduk di batu menyisir rambutnya. Tetapi sesuatu dalam gerak perempuan muda berkata kepada Buyung bahwa perempuan itu sedang gundah gulana pikirannya. Sebentarsebentar tangannya yang menyisir rambut yang hitam dan panjang terhenti, dan dia seakan termenung, duduk menatapi air yang mengalir, kepalanya tegang kaku,matanya terbuka, akan tetapi seakan tak melihat sesuatu apa. Pada saat yang demikian Buyung pun dapat ikut merasakan dalam dirinya kesepian yang dahsyat yang menawan diri si perempuan muda yang duduk sendirian di atas batu, di pinggir sungai di tengah hutan belantara. Seluruh hatinya dan dirinya berseru menyuruhnya mendekati si perempuan muda, dan memecahkan kesepian manusia yang sedang diderita Siti Rubiyah. Dengan tak berpikir lagi Buyung melangkah ke luar dari naungan atap daun rimba, dan menegur: "Rubiyah, mengapa engkau bermenung-menung sendiri?" Perempuan itu tersentak bangun dari arus pikirannya, dan separuh terkejut mengangkat badannya dari batu, berpaling cepat ke arah suara Buyung. Air mukanya seperti orang yang terkejut sekali. Ketika dia melihat Buyung seluruh air mukanya berubah, cahaya matahari kembali bersinar di dalam matanya, dan senyum menyambut terang di bibirnya. "Aduh, tersirap darahku," katanya dengan suara yang terkejut, dan kedua tangannya dilipatkan menekan dadanya, gerak dan suara yang mendentingkan tali hati Buyung. Siti Rubiyah berdiri, dan melangkah di dalam air, menuju Buyung, memegang tangan Buyung, sambil berkata: "Aduh, kakak kembali...?" Kemudian dia melihat kancil dalam keranjang, dan cepat mengerti, ketika Buyung berkata:"Ya, aku kembali ... di tengah jalan aku teringat, lupa memeriksa perangkap kancil. Aku kembali, dan benar saja ada kancil di dalamnya ..." dan dia memperlihatkan kancil kepada Siti Rubiyah. Siti Rubiyah berteriak kecil girang melihat kancil, dan mengulurkan jarinya melalui lubang anyaman keranjang. Mula-mula kancil mencoba mengelakkan kepalanya dari sentuhan jari perempuan, akan tetapi kemudian dia membiarkannya, dan memandangi Siti Rubiyah dengan matanya yang bundar. Buyung melangkah ke dalam hutan, dan meletakkan keranjang di bawah sebuah pohon kayu besar, dan mereka berdua mencangkung dekat keranjang yang berisi kancil. "Aduh bagusnya dan halusnya dia," kata Siti Rubiyah, "cantik sungguh rupanya. Untuk siapakah dia?" Buyung memandang padanya, keraguan timbul dalam hatinya, antara hendak mengatakan, bahwa kancil itu adalah untuk Zaitun, kecintaannya di kampung AirJernih, dan hasrat yang timbul pula dalam hatinya untuk dengan gagah berkata: "Jika engkau suka, bolehlah untukmu." "Belum tahu," kata Buyung kemudian, entah mengapa dia berkata demikian, dia sendiri pun tak tahu apa yang menyuruh berkata demikian. "Jangan terlalu banyak pikiran, Rubiyah," kata Buyung kemudian memberanikan hati. "Aku perhatikan engkau tadi duduk di batu sungai. Tak baik menurutkansusah hati." Mendengar kata Buyung, air muka Siti Rubiyah yang telah girang karena melihat kancil, lalu berubah,dan dia kembali teringat pada kesusahan hatinya, kembali dirinya dipeluk oleh hal-hal yang menyusahkan pikirannya. Diamembungkukkan kepalanya, dan mengais-ngais tanah di bawah pohon dengan jari-jarinya, lupa kepada kancil yang menarik hatinya mulamula tadi. "Aduh, kakak," katanya, "bagaimana aku tak bersusah hati. Aku hanya tinggal berdua dengan Wak Hitam. Penyakitnya tak hendak sembuh-sembuhnya. Panas badannya bertambah hebat saja. Dan aku..." dia tertegun, berhenti berbicara, dan memandang kepada Buyung. "Apa, apa?" tanya Buyung, penuh rasa ingin tahu, dan hasrat hendak menolong. "Malu aku sebenarnya mengatakannya, akan tetapi kepada siapa kini tempat aku mengadu, jika bukankepada kakak yang begitu baik hati padaku?" katanya kemudian, dan memandang kepada Buyung dengan matanya penuh rasa percaya dan minta bantuan, yang membuat Buyung melupakan umurnya yang muda, dan dia merasa dirinya seorang letaki yang dewasa dan gagah perkasa, dan yang sanggup membela dan melindungi perempuan muda yang tak berdosa, yang lemah dan yang sedang dalam kesusahan ini. "Katakanlah," desak Buyung, "akan aku tolong engkau." "Aduh, kak, sejak dia sakit, setiap aku ada di rumah, aku disuruhnya..." dia terhenti lagi, dan tiba-tiba mukanya merah, malu,"... aku disuruhnya tidur memeluknya, aku tak boleh berbaju, sedikit pun tak boleh - katanya supaya kesehatan diriku masuk ke badannya yang sakit — dan menyembuhkan dia — aku tak tahan lagi, tiap kali aku harus berbuat demikian, tiap kali terasa tambah berat di hatiku. -- Hatiku tambah segan dan takut — tolonglah aku kak, aku hendak lari saja, hendak pulang ke kampung. Bawalah aku pulang ke kampung, kak — atau ke mana saja sungguh aku tak tahan lagi, aku tersiksa — itu kalau dia lagi sakit — kalaudia tak sakit... aku lebih disiksanya lagi. Dia bukan manusia lagi kak, dia sudah seperti binatang, seperti setan saja — aduh, kakak tak tahu apa yang dilakukannya pada diriku, dan kudengar dia juga pada bini-bininya yang lain ..." dan tiba-tiba Rubiyah melupakan rasa malu dan segannya kepada Buyung, karena dibawa arus kemarahan dan kasihan dirinya, lalu membuka kebayanya, membalikkan punggungnya, dan memperlihatkan kepada Buyung punggungnya yang penuh dengan bekasbekas seperti cambukan atau cubitan yang mengeluarkan darah, atau juga goresan kuku yang mengenai daging, atau pula gigitan, dan kemudian dia membalikkan dadanya, memperlihatkan dadanya kepada Buyung, dan dengan terkejut Buyung melihat dadanya penuh bekas-bekas gigitan yang telah sembuh. Siti Rubiyah kemudian dengan cepat menutup kembali dadanya, menundukkan kepalanya, dan airmata mengalir dari matanya. Dia menangis terisak-isak, hingga sebentar Buyung bingung tak tahu apa yang harus dilakukannya. Perasaannya amat tergoncang sekali. Apa yang dilihatnya baru sekali itu dilihatnya, dan terasa padanya amat sangat dahsyatnya. Semua cerita yang menakutkan dan mengerikan tentang Wak Hitam kini terbukti kebenarannya. Inilah Siti Rubiyah, istrinya yang muda, yang merupakan sebuah saksi dan bukti yang terang sekali. Meskipun dia belum dapat memahami semua yang terjadi antara Wak Hitam dan Siti Rubiyah, akan tetapi hatinya merasakan sungguh nasib malang perempuan muda itu. Dia kini juga mengerti mengapa Wak Hitam suka membawa istriistrinya ke huma yang sepi itu. Jika dia berbuat demikian di kampung, tentu orang kampung akan ribut. "Tetapi kak, kakak jangan ceritakan pada siapa pun juga apa yang aku katakan ini. Wak Hitam mengancam aku, bahwa jika aku membuka rahasianya kepada siapa pun juga, maka aku mati. Aku akan diracunnya, atau ditenungnya, hingga aku mati atau jadi gila. Aku takut padanya. Diaberilmu gaib yang hebat sekali, kak." Tiba-tiba Buyung merasakan dirinya tak cukup gagah perkasa untuk dapat melindungi Siti Rubiyah dari kesetanan dan kebinatangan Wak Hitam. Apa dayanya melawan orang berilmu gaib yang hehat seperti Wak Hitam? Dia baru belajarsedikit-sedikil dari Wak Katok. Sedangkan Wak Katok sendiri mengaku guru pada Wak Hitam. Bagaimana dia, murid Wak Katok akan dapat menghadapi dan menantang Wak Hitam? Akan tetapi melihat Siti Rubiyah duduk mencangkung demikian di depannya, dan menundukkan kepala ke tanah, tak sampai hatinya untuk mengaku kalah, dan tak berbual apaapa. Dijangkaukannya tangannya memegang bahu Siti Rubiyah, dan Siti Rubiyah merebahkan kepalanya ke pangkuan Buyung, dan Buyung menghapus-hapus kening Siti Rubiyah, dan berkata: "Diamlah, diamlah Rubiyah, jangan engkaumenangis. Tenanglah." Kembali rasa letakinya timbul mengalir kuat bersama darahnya, ketika Siti Rubiyah memegang tangannya, dan kemudian memeluk pinggangnya dan menyembunyikan kepalanya ke perut Buyung, sambil berkata: "Lindungi aku, kak. Tak ada orang yang mau menolong aku, selain kakak. Kepada siapa aku akan minta tolong kini?" "Aku tolong engkau, Rubiyah," katanya kemudian. Pikirannya diputarnya dengan keras mencari jalan bagaimana menolong Siti Rubiyah. Akan dibawanya kini dengan mereka pulang ke kampung Air Jernih? Akan mereka tinggalkan Wak Hitam sendirian sakit di huma? Apa kata ibu dan ayahnya nanti di kampung? Apa kata orang kampung? Dan apa kata Zaitun sendiri? Tidakkah dia nanti akan didakwa melarikan istri orang? Besar juga perkaranya nanti. Atau akan dibawanya Siti Rubiyah kembali ke kampung Wak Hitam saja? Tetapi juga ini akan menimbulkan pertanyaan di kampung Wak Hitam. Keluarganya mungkin akan mendakwanyamelarikan istri Wak Hitam. Dan meninggalkan Wak Hitam sendiri sakit di huma tidakkah juga salah dan dosa? Kacau pikirannya. Semua jalan yang mungkin ditempuh seakan serba salah. Sedang sebenarnya halnya sudah jelas. Dia hendak menyelamatkan Siti Rubiyah yang tak tahan lagi tinggal dengan Wak Hitam. Yang terang salah dan kejam ialah Wak Hitam. Akan tetapi mengapa demikian susahnya membela yang benar dan yang menjadi korban kezaliman? Bagaimana mungkin begitu sukar menjelaskan kebenaran? Dan mengapa harus diperlukan keberanianluar biasa untuk melakukan sesuatu kejujuran biasa? Apakah tidak baik dibawanya Siti Rubiyah dahulu ke tempat kawan-kawannya bermalam, dan di sana meminta nasihat Pak Haji, Wak Katok dan Pak Balam? Akan tetapi jika dia datang begitu saja apa pula kata mereka? Mungkinmereka akan marah padanya, karena berbuat lancang demikian. Karena merasa pikirannya buntu dan tidakdapat juga mencari jalan ke luar, iba hatinya terhadap Siti Rubiyah bertambah besar, dan dengan tak disadarinya dipeluknya badan perempuan muda itu erat-erat. Dia merasa Siti Rubiyah membalas pelukannya, dan mengangkat badannya, mendekapkan dadanya, dan kemudian mata mereka berpandangan, lalu Buyung pun lupa segala masalah yang harus dipecahkannya dengan segera. Napas Buyung terasa sesak, dan mengencang. Belum pernah dia merasa apa yang dirasanya ketika badannya menempel pada badan Siti Rubiyah. Bunyi air sungai, pohonpohon di sekelilingnya, bunyi-bunyi hutan di waktu pagi, semuanya menghilang dari kesadarannya.Dia hanya tahu dia memeluk seorang perempuan muda, seluruh tubuhnya dipanasi oleh darahnya yang mengalir kencang dan kuat. Dan perempuan muda yang telah berpengalaman itu menolong tangan Buyung menemukan yang dicari-carinya dengan kekakuan kebujangan letakinya, dan mendorong kepalanya ke bawah, dan membawa mulutnya mencari-cari buah dada yang muda, yang mengeras di antara kedua bibirnya, dan Buyung mengerang dan kemudian mereka dihempaskan tinggi ke atas oleh ledakan yang besar yang memenuhi seluruh tubuh mereka .... Buyung tak hendak pergi. Dia belum hendak melepaskan perempuan muda dari pelukannya. Dia belum hendak berpisah dari kenikmatan baru yang belum pernah dirasakannya selama ini. Dan tak lama kemudian mereka kembali menaiki arus panas yang membawa mereka ke puncak-puncak yang tinggi, lepas dari daya tarik bumi... 0oo0 Hari telah hampir magrib ketika Buyung tiba di tempat mereka bermalam yang pertama dalam perjalanan pulang dari ladang Wak Hitam menuju ke kampung AirJernih. Mereka sedang mendirikan sebuah pondok yang hanya diberi atap daun-daun pisang hutan dan tak berdinding. Di depan pondok telah menyala api unggun. Rupanya mereka pun belum lama tiba. Lega juga hati Buyung, jika demikian mereka tidak akan terlalu bertanya mengapa dia begitu lambat baru tiba. Dari jauh dia telah berteriak memanggil, dan dia mendengar suara Sutan menyahut, dan melihat Sutan melambaikan parang panjang yang dipakainya memotong daun pisang hutan. "Aduh, kalian juga baru tiba?" tanya Buyung. "Ya, kami dibawa Wak Katok berburu rusa,tapi tak dapat," kala Talib. "Sedang jejaknya masih segar sekali," kataWak Katok, "tetapi ketika kami melihatnya dan kutembak, bedil tak meletus. Celaka." "Tak diulang?" tanya Buyung. "Rusanya lari mendengar denting pelatuk, masuk ke rimba," kata Sutan. "Barangkali besok pagi kita coba lagi," kata Wak Katok. "Ya, enak juga dapat membawa dendeng rusa pulang," kata Pak Haji. "Tetapi bagaimana dengan kancilmu?" tanya Sutan. "Dapat," kata Buyung. Dan tiba-tiba dia merasa menyesal mengatakan dapat, karena kancil tak dibawanya, dan tentu mereka akan bertanya mana kancilnya? Coba dikatakannya tak dapat, mereka tidak akan bertanya lagi. Tetapi, katanya dalamhati cepat, jika aku katakan tak dapat, dan tiga bulan kemudian kami bermalam lagi di huma Wak Hilam dan mereka mendengar dari Siti Rubiyah bahwa aku berikan kancil padanya, pasti mereka akan syak ada hubungan apa-apa antara aku dengan Siti Rubiyah. Karena itu hatinya senang kembali, dia telah menjawab dengan terus terang, bahwa dia mendapatkancil. "Tetapi aku tinggalkan pada Siti Rubiyah," katanya, "terlalu berat untuk membawanya sekali ini bersama dengan damar yang kita dapat begitu banyak. Lain kali saja, aku bawa pulang." "Nah, sedikitnya Buyung dapat kancil," kata Pak Haji. "Asal sungguh dia hanya dapat kancil," Sutan menyindir mengganggu. Muka Buyung jadi merah malu dan terkejut, serta takutnya kembali, akan tetapi dalam samar-samar senja tak ada mereka yang melihat perubahan air mukanya. Buyung memperbaiki perasaannya, dan tertawa kecil. "Apa pula lain dari kancil yang dapat ditangkap di sana?" katanya. Dan segera dia menyadari kealpaannya berkata demikian, karena Sutan dengan cepat berkata: "Ho-ho-ho, dengar dia itu, Talib. Tak tahu dia ada lain dari kancil yang dapat ditangkap di sana. Tak engkau lihat rusa muda di sana?" Bersambung
Posted on: Tue, 03 Sep 2013 00:11:36 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015