I Found You 2 Ada sensasi hangat melayang di tubuhmu yang tidak - TopicsExpress



          

I Found You 2 Ada sensasi hangat melayang di tubuhmu yang tidak ada kaitannya dengan sebotol bir yang kauminum tadi. Oke. Kauangkat tanganmu, menarik perhatian seorang pelayan yang langsung menuju ke mejamu. Minta bonnya. Baik. Terpisah atau... Dean membuka dompetnya dan meletakkan sebuah kartu kredit di atas meja, bersamaan dengan katamu, Terpisah. Tidak apa-apa, Dean meyakinkanmu. Biar aku yang bayar. Kaukeluarkan kartu kreditmu sendiri dan menukas, Kamu tidak mengajakku kencan jadi kamu tidak wajib mentraktirku. Kau menambahkan, Tak bermaksud menyinggungmu. Oh, sama sekali tidak. Kalau kamu berkeras, Dean berpaling pada si pelayan, buatkan bon terpisah. Si pelayan mengangguk, mengambil kedua kartu kredit dan mengurus pembayaran. Tidak lama pelayan itu kembali dengan dua carik bon yang ditindih kartu kredit si pembayar. Kaumasukkan kartu kredit ke dompetmu, meraih tas selempang yang kausampirkan di kursi dan bangkit. Kaulihat Dean mengenakan jaket kulitnya, kembali ke penampilannya seperti waktu dia pertama masuk. Kalian berjalan berdampingan menuju pintu keluar kafe. Dia membukakan pintu untukmu dan membiarkan kau melewatinya, menimbulkan rasa seolah kau adalah perempuan terhormat sebelum zaman revolusi feminisme digaungkan. Tiga langkah dan kau merasakan ada tatapan di bagaian posteriormu. Kau menoleh, telengkan kepala dan berolok-olok, Koreksi jika aku salah, tapi apa kamu bukakan pintu supaya aku jalan duluan dan kamu bisa memandangi bokongku? Wow, dia tersenyum, tak tampak malu karena ketahuan, cantik, pirang dan cerdas. Suatu kombinasi yang jarang. Aku sangat beruntung, balasnya. Standarkulah yang rendah, kelakarmu. Dia menjajari langkahmu, kau mengikutinya karena tentu saja kau tak tahu kendaraannya ditaruh di mana. Sempat kalian berdiskusi soal musik dan hasilnya adalah bahwa selera kalian sama-sama musik rock, cuma Dean gemar lagu-lagu rock lawas sedangkan musik favoritmu terlalu emo untuknya. Namun, kau berhasil mengesankannya dengan menyebut beberapa judul album Led Zeppelin yang kaumiliki di rumah. Kalian tiba di deretan mobil yang diparkir di tepi jalan dan dia menggamit lenganmu menuju ke sebuah mobil yang terlihat tua. Inilah dia, Dean berkata dan kau baru tahu seberapa banyak rasa bangga yang dapat disusupkan ke dalam dua kata itu. Kau mengamati mobil itu, tidak ingin buru-buru memberi penilaian hanya karena tampang mobil itu sebenarnya cocok buat masuk museum. Baiklah, jika pria seperti Dean dapat membanggakan mobilnya dan menyebut benda itu dengan kata ganti orang pertama wanita tunggal, pasti ada sesuatu yang bagus padanya. Mobil itu berjenis sedan, berukuran cukup besar yang kauyakin pasti melahap bensin dengan rakus. Desain bodinya tampak kaku, tak semanis model-model keluaran tahun terbaru. Kau mencari-cari sisi positifnya dan kau membatin, setidaknya mobil ini terlihat dirawat dengan baik. Kau dapat melihat pantulan lampu di cat hitamnya yang mulus kemilau. Mungkin malam menyembunyikan beberapa goresan, tapi bisa juga tidak. Yang jelas, mobil ini tepat sekali buat pemuda seperti Dean. Kau sukar membayangkan dia mengemudikan sebuah Porsche atau Mercedes-Benz, merek favorit keluargamu, dan kau cukup senang dengan itu. Keren juga, ucapmu, sadar Dean menanti reaksimu. Sedikit bohong putih tidak akan menyakitkan. Mobil terkeren di dunia, kilah Dean dan kau mengangguk saja. Chevrolet Impala tahun 1967, tahun terbaik untuk jenisnya. Dean mendesah, Mereka tidak membuat yang seperti ini lagi. Syukurlah, pikirmu, tetapi kau kirimkan ekspresi simpati padanya. Dean berjalan ke sisi penumpang, membukakan pintu untukmu dan melambaikan tangan mempersilakanmu masuk. Kau tengah dalam proses menjejakkan sebelah kakimu ke lantai mobil, ketika tiada angin tiada hujan, momen itu terjadi. Kau tidak ingat siapa yang memulai dan bagaimana, itu tidaklah penting. Yang jelas, tiba-tiba saja bibirnya sudah parkir di atas bibirmu dan kau terpejam, bulu matanya yang panjang menyentuh pipimu. Pintu mobil menyekat kalian berdua, tetapi itu tidak menghentikan Dean untuk melayangkan kecupan-kecupan hangat, merangsek ke dalam mulutmu, menautkan lidahnya dengan milikmu, jemarinya membelai rambut pirangmu yang lolos dari ikatan. Kau dapat mencecap cita rasa makan malam kalian di mulutnya. Gurih, asam, asin, pedas, berpadu dengan rasa yang khas dia. Kau mengerang pelan, tanganmu berpegang pada bagian atas pintu mobil agar kau tidak jatuh tunggang langgang di tempat. Demi Tuhan, pemuda ini adalah pencium terbaik yang pernah kaucicipi. Pemuda ini membuat lututmu lemas dan penuh energi sekaligus. Kupu-kupu beterbangan di perutmu, kau merasa tubuhmu ringan laksana mengapung di udara dan untuk menjadikan trilogi klise ini lengkap, bintang-bintang bertebaran di pelupuk matamu. Kalian baru berpisah ketika kebutuhan untuk bernafas memaksa. Terengah, kalian saling tatap dan di bawah sinar lampu kausaksikan matanya menggelap oleh gairah. Kau yakin dia juga melihat hal yang sama pada dirimu, jika sensasi menggelitik di antara pahamu dapat menjadi indikator. Nafasmu tercekat sejenak mengkhayalkan apa yang akan terjadi bila pintu mobil tidak menjadi penghalang di antara kalian dan kaurasakan jantungmu berdegup dengan irama mars. Dean memandangmu lekat-lekat sambil berkata, Masuklah. Ada tremor di suaranya yang sebelum ini senantiasa terdengar mantap. Kalian berdua memasuki mobil, kauberitahukan alamatmu padanya dan Dean tancap gas. Perjalanan itu diisi dengan lantunan garang Metallica dari pemutar kaset di mobil dan kalian tidak berbicara sepatah kata pun. Saling melirik juga tidak. Barangkali khawatir jika sampai saling pandang maka adegan barusan akan terulang lagi dan kalian tidak akan berhenti, atau perlu menenangkan diri setelah ciuman yang demikian intens. Dengan heran, kaudapati dirimu di tengah perjalanan beringsut merapat ke arah Dean yang serius memegang kemudi. Sekilas dia melayangkan pandang dari sudut matanya, tetapi fokusnya kembali ke jalan aspal yang sedang dilalui dan lalu-lalang kendaraan, jemarinya mengetuk lingkaran setir seirama dengan dentum drum dari pengeras suara, seolah mencoba mengalihkan pikiran darimu, untuk sementara. Namun, kau akan memastikan dirimu bertahta di benaknya, tentu. Kau galibnya bukan perempuan gatal, cewek murahan yang gemar menggoda pria, mengawali suatu percumbuan. Namun, malam ini dengan pemuda ini di sini, kau ingin jadi seseorang yang berbeda. Kepalamu kaumajukan sampai kau yakin betul dia dapat merasakan hembusan nafasmu di sisi wajah dan lehernya. Beberapa lama kauposisikan dirimu seperti itu, cukup dekat agar dia merasai kehadiranmu, cukup jauh untuk membuatnya frustrasi. Kerlingan matanya ke arahmu kian kerap dan buku-buku jarinya memutih di lingkaran kemudi. Perlahan, bagai ular melata, kauusapkan telapak tanganmu di dadanya, menuruni ototnya yang pejal dan berhenti tepat di atas organ padat di balik jinsnya. Dalam waktu yang bersamaan, bibirmu ikut beraksi dengan mengecupi sisi leher dan wajahnya yang terjangkau olehmu, menggigit pelan daun telinganya. Dean memaki tertahan, tetapi kau tahu bahwa dia mengapresiasi tindakanmu. Amat sangat. Sebelah tangan masih mengendalikan mobil, Dean membebaskan tangan yang satu lagi untuk merangkul tubuhmu, membawamu lebih erat kepadanya. Dia mencuri-curi menciummu singkat, melekatkan bibirnya dengan cepat. Mulanya di setiap kali berhenti kena lampu merah, kemudian pada saat dilihatnya situasi jalan agak sepi, lalu bahkan di waktu jalan sedang ramai dan akhirnya... Persetan, Dean menggerung, setir di tangannya dibanting sampai mobil menikung tajam dan berhenti di tepi jalan. Klakson panjang dari mobil di belakang kalian meraung, tetapi kalian jauh dari peduli. Kau tak sempat merasa terkejut lantaran detik berikutnya kaudapati dia menyerbumu. Kehangatan bibirnya dan kemahirannya mengeksplorasi liang mulutmu melenakanmu. Dagunya yang agak kasar menggesekmu. Kedua belah tangannya kini leluasa meremas, menjamah apa yang dia ingini dari tubuhmu. Rambut, wajah, tengkuk, leher, bahu, dada dan turun ke... Sebelum tangannya sampai di sana kau sudah menggeletar. Dean tersenyum dalam ciumannya, tampak bangga dan kau jadi ingin membalasnya. Tanganmu yang satu memang merangkum rahangnya, tetapi tangan yang lain aktif bekerja di atas selangkangannya, puas hatimu merasakan reaksi normal yang terjadi di sana dan erangan dalam Dean yang mengkonfirmasi. Giliranmu untuk tersenyum menang. Bangku depan mobilnya memang cukup lebar, tetapi tetap saja perlu manuver yang cerdas agar Dean dapat memangku tubuhmu. Dia melakukannya dengan gampang, sepertinya telah terbiasa dan kau tidak heran. Tahu-tahu kau sudah berada di atas tubuhnya, wajahnya tersembunyi di antara buah dadamu dan kautarik rambutnya yang pendek. Nafasmu menjadi pendek-pendek dan kau tahu dia pun demikian. Pikiran iseng yang terlintas adalah bagaimana kaca jendela terlihat dari luar, pastinya jadi kabur oleh uap dan panas. Kalian berdua masih seru merujak bibir, menyentuh satu sama lain ketika sorot cahaya yang amat terang menyeruak dengan mengganggu ke dalam kabin mobil. Tersentak kaget, kalian buru-buru melepaskan diri, mengejapkan mata menghadapi intrusi yang semena-mena itu, menudungi penglihatan. Kaca jendela diketuk dan Dean membukanya separuh. Seraut wajah tegas muncul di sana. Selamat malam, Pak. Dapatkah Anda perlihatkan SIM dan STNK? suara yang mengiringi wajah itu sama kasarnya. Bagus, dari semua hal yang mungkin terjadi, kalian memancing perhatian petugas kepolisian. Dean merogoh saku celana untuk mengambil dompet, dengan kecewa kaurasai gairahnya padam dalam sekejap. Dia mengeluarkan sehelai SIM dari situ, mengulurkan tangan untuk membuka laci di depan lututmu, sempat-sempatnya membelai pahamu waktu melakukan itu. Dean menyerahkan STNK yang diraihnya dari dalam laci beserta SIM pada si polisi yang masih mengarahkan senter berkekuatan lumayan ke arah kalian berdua, seolah kalian diduga menyelundupkan ganja atau apa. Si polisi membaca data di surat-surat yang ada di tangannya dan berkata, Tuan Dean Winchester? Yep. Dean terlihat sudah siap dengan tuduhan entah apa yang akan diarahkan padanya. Kau punya sangkaan bahwa ini bukan kali pertama dia dicegat polisi dan ditanyai macam-macam. Apakah Anda mengetahui bahwa Anda menghentikan mobil Anda di zona larangan parkir? tanya polisi itu, terdengar puas seperti pemburu berhasil menjebak mangsa. Dean menunduk dan menghela nafas. Tentu saja dia tidak melihat rambu dilarang parkir di tepi jalan, sebab yang merajalela di otaknya cuma tanda silakan parkir yang berpendar di sekujur tubuhmu. Dengan nada yang makin gembira, si polisi memerintahkan, Mohon turun dari mobil dan ikuti saya. Dean melempar pandang ke arahmu, dia mengangguk dan tangannya meremas tanganmu sekilas. Tunggu sebentar, semua akan baik-baik saja, ucapnya dan kau mempercayainya. Polisi itu melongok ke arahmu dan tatapan gasangnya membuat bulu kudukmu berdiri. Diam-diam kau mulai mengingat-ingat pelajaran bela diri untuk wanita yang pernah kauikuti. Hm, ada poin tentang tonjokan di hidung bisa jadi amat menyakitkan, kalau tidak keliru. Dean keluar dari mobil dan kau memutar kepala agar dapat melihat ke mana dia dan si polisi pergi. Mereka berdua melangkah sampai ke dekat mobil patroli yang lampu merah-birunya bersorot berputar-putar menimbulkan permainan cahaya aneh. Daerah di sekitarmu remang-remang sebenarnya, lokasi perkantoran yang di malam hari seperti ini pastinya sepi. Jika tidak memperhatikan, orang bisa dengan gampang mengabaikan rambu dengan hurup P dicoret yang terletak beberapa yard di belakang mobilmu. Dasar si polisi itu saja yang cari perkara. Kaca jendela mobil semuanya tertutup sehingga kau tak dapat mendengar apa yang dibicarakan oleh polisi itu dan Dean. Namun, dari sikap mereka kau mengetahui bahwa Dean mengerahkan kemampuan persuasifnya untuk mengelakkan tuduhan si polisi dan prospek kena tilang, sementara polisi itu berkeras. Keningmu berkerut sewaktu Dean mengubah taktik. Ekspresi ganjil muncul di wajahnya ketika dia menunjuk ke arahmu, tampangnya jadi sama bejatnya dengan air muka si polisi waktu memandangimu dan kau yakin tidak mengingini kata-katanya tentangmu mampir di telingamu. Strategi itu, toh berhasil. Polisi itu menanggapi ucapannya dengan seringai dan kaulihat dia menerima selembar uang yang diselipkan Dean ke tangannya, Dean segera putar balik ke mobilnya tanpa menoleh lagi. Mukanya bersungut kala dia menduduki kursi pengemudi. Habis berapa duit? tanyamu. Dua puluh dollar paling tidak bermanfaat yang pernah kuhabiskan, sahutnya, menyalakan kembali mesin dan melaju dari situ dengan kecepatan tepat pada ambang batas legal. Selama sisa perjalanan menuju ke apartemenmu, lagi-lagi bunyi yang mengisi di antara kalian berdua cuma lantunan dendang dari kaset, kali ini salah satu album lama Bon Jovi, pilihan Dean yang mendapat anggukan apresiatif darimu. Sekali-dua kau menyela dengan menunjukkan arah, belok ke sini, masuk jalur ini, putar di sana. Dean mengarahkan mobil mengikuti komandomu tanpa bertanya. Mobilnya dihentikan di pelataran depan bangunan apartemenmu yang buatmu muncul dengan begitu mendadak di hadapanmu, singkat terasa perjalanan ke sana. Dean mematikan mesin dan kalian berdua turun dari mobil. Kau sangat mengerti apa yang diharapkannya darimu, tetapi dasar perempuan, kau tidak bisa mengelakkan keinginan untuk bertanya sok santun, Mau mampir? Aku bisa membuatkanmu kopi atau yang lain. Sudut bibir Dean terangkat, dari atas atap mobil dia memandangimu dengan mata yang seolah menelanjangi dan suara beratnya mengalun, Cantik, aku cuma ingin kau. Caranya mengatakan itu membikin ego perempuanmu bersorak dan kau mengejapkan mata genit padanya. Kaulangkahkan kaki memasuki gedung, melambai memberi isyarat agar dia mengekor, meski kau tahu kau tak perlu berbuat itu. Apartemenmu terletak di lantai tiga dan lift di gedung ini punya karakter suka-suka alias tidak dapat diandalkan. Kau pilih mendaki tangga, menjawab tatapan bertanya Dean waktu dia melihat pintu lift dengan, Kamu sungguh tidak akan mau terjebak di dalamnya, percayalah. Dia mengedikkan bahu dan melangkah di sisimu, menaiki tangga demi tangga sampai akhirnya kalian temukan angka 3 besar terpampang di tembok. Ke sini, katamu, kautarik tangannya dan kendati dia tidak tampak seperti pemuda yang suka bergandengan tangan sambil jalan dengan seorang gadis, dia membiarkanmu. Kau merasakan permukaan telapak tangannya yang kapalan, tangan seorang pekerja keras. Genggamannya yang kuat berkelindan dengan jemarimu yang ramping, begitu tepat, saling komplemen dan kau berpikir bagaimana jika yang berpadu adalah tubuh kalian. Kasar dan halus dan saling mengisi. Ya, kaukira kau akan segera tahu. Tiba di depan pintumu, kau dengan agak menyesal melepaskan tangannya guna mengaduk-aduk tasmu mencari kunci. Namun, toh sebentar lagi kau bakal mencicipi keseluruhan darinya, pemikiran itu membuatmu tersenyum dalam hati. Kaucolokkan kunci ke dalam lubangnya, kauputar dan pintu membuka, kalian melangkah memasuki ruang tamu apartemenmu yang mungil dengan pintu tertutup di belakang kalian. Kemudian, semua terjadi begitu deras dan dahsyat seperti dam jebol. Tak terhentikan. Punggungmu membentur dinding saat dia menyergapmu seperti macan menerkam kijang. Belum habis kagetmu, Dean menunduk sedikit untuk menekankan bibirnya ke bibirmu, berhasil menguasai mulutmu hanya dengan satu kecupan panjang. Dia menciummu tepat seperti yang kaukehendaki, menyeretmu dalam pusaran gairah, lengannya menguncimu rapat seakan kau tidak dibolehkan untuk lari. Kau memang tidak ingin, kau cuma mau tetap di sini, dilingkupi rengkuhannya. Kau hanya dapat bergelayut pasrah padanya, jika dia melepaskanmu sekarang kau pasti bakal terkulai lemas seperti selada layu. Kaupeluk lehernya, menyukai rasa rambutnya di sela jarimu, membiarkannya mendominasi dirimu untuk sementara. Sampai kemudian dia menarik bibirnya sejenak untuk bernafas, bunyi plop terdengar dan kali ini ganti kau yang mengejutkannya dengan melumat bibirnya yang kian merah setelah beradu denganmu. Giliranmu untuk mengeksplorasi kedalaman mulutnya, kelenturan lidahnya yang berkejaran dengan lidahmu, saling mengait bak sulur tanaman rambat. Baku cium itu berlanjut. Kau bersandar ke dinding, tanganmu lincah melepasi satu demi satu kancing blus yang kaukenakan. Dean sendiri membuka jaketnya dengan sebelah tangan saja, tangannya yang satu masih menekan tengkukmu agar jalinan bibir kalian tidak bercerai. Ke kamar, bisikmu di antara nafas menderu dan Dean mengumamkan persetujuan sebelum kembali merasai bibirmu yang basah. Masih hampir tanpa melepaskan kecupan dan sambil berjalan seorang maju seorang mundur menuju kamar tidurmu, kalian masing-masing melucuti pakaian hingga yang tersisa cuma penutup aurat paling dasar. Setiap potong pakaian yang terlucuti membentuk jejak pendek yang mengarah ke kamarmu. Mulanya blusmu, lalu jaketnya. Sepatumu, disusul boot miliknya. Kemudian dia menarik dirinya sejenak, merenggut kausnya sampai lepas dari tubuhnya dan matamu disuguhi pemandangan menakjubkan berupa otot dada dan abdomen yang membentuk lekuk-lekuk indah, betul-betul bagaikan diukir dengan presisi tinggi. Kaueluskan tanganmu di sana untuk beberapa lama, mengagumi dengan sentuhan, sebelum Dean mengangkat sebelah alisnya seakan menantangmu untuk mengenyahkan sepotong lagi kain dari tubuhmu. Tak masalah. Retsleting celanamu kaubuka dan kaukibaskan benda itu dari kakimu. Dean mengecup pucuk hidungmu, membuatmu terkikik, perhatianmu teralihkan sementara dia mencopot jinsnya. Terjadi adegan komikal waktu dia berupaya meloloskan benda itu dari tungkainya tanpa melepaskanmu, sempat terserimpet pipa celana dia. Untungnya Dean tak sampai jatuh dan dengan bibir dan tubuh melekat, kalian tiba juga di kamar tidurmu. Dean merebahkanmu dengan hati-hati di atas tempat tidurmu, kasurmu berderit pelan sewaktu bobotnya menyusul menindihmu. Kau sempat berpikir, seandainya kaupasang seprai satin tentu rasanya akan lebih sensual, tapi satin bukanlah bahan yang cocok untuk jadi alas tidur di California yang panas. Kau harus puas dengan seprai katun. Dengan satu gerakan yang bahkan mencengangkan bagimu, kaubalik posisi kalian. Kau berguling sampai kaulah yang berada di atas tubuh Dean dan kausaksikan matanya bersorot apresiatif. Hm, dia menyukai perempuan yang dapat mengambil alih rupanya. Di mata yang terlihat kian gelap itu kaubaca tantangan tak terucapnya: coba lakukan apa yang kaubisa dan buat aku gila karena menginginkanmu. Oh, baiklah. Lututmu terpentang mengapit pinggulnya dan kaucondongkan tubuhmu, menempatkan dadamu yang ranum pas di depan matanya, sementara bibirmu menelusuri garis wajahnya. Kau mengabaikan bibirnya, kau malah menuju ke sisi lehernya, naik sedikit untuk menyapu daun telinganya, kemudian berlanjut ke tulang belikatnya. Kaukecupi dadanya, agak lama di daerah jantungnya, denyutnya yang berpacu terasa di bibirmu. Kauisap zona yang kauterka adalah daerah sensitifnya dan tangannya yang ada di bokongmu berubah dari memegang menjadi mencengkeram. Jessica... dia merintih, belum pernah namamu terdengar seindah itu. Kepalanya terdongak dan lehernya terekspos di depanmu, kau akhirnya mendapat kesempatan untuk memberikan tanda di sana. Tepat di atas garis kerah. Dasar kau gadis nakal, gerutunya, tetapi sewaktu kau mengecap bagian lehernya yang lain, dia sama sekali tak tampak keberatan. Diamlah, katamu dan kausumbat mulutnya dengan bibirmu untuk beberapa lama sebelum kauteruskan perjalananmu ke selatan. Pemuda ini pasti gemar berolahraga, batinmu ketika kau merabai bagian dada dan perutnya yang impresif, dengan tangan dan mulutmu. Tubuh seliat ini berada di bawahmu, memberikanmu kendali meski hanya sementara, membuatmu merasa amat beruntung. Kau bersenandung pelan seraya merayap turun... dan turun... Kau berhenti tepat di bawah pinggangnya, kaulirik dia dari balik bulu matamu. Dia balik menatap dan kauterjemahkan sorot matanya sebagai: tunggu apa lagi? Tidak segampang itu. Kau menunduk seakan berancang-ancang hendak mematuknya dan pinggulnya otomatis naik mengantisipasi kontak, tetapi kauangkat kembali kepalamu dan kaugumamkan, Hm... kau benar-benar ingin ya? Dean memutar bola mata, antara gemas, terangsang dan terhibur. Sebagai gantinya, kau beringsut naik dan menciumnya, dalam dan hangat dan menggoda. Saking larut dirimu diciumnya, kau tidak sadar sama sekali bahwa pengait kutangmu sudah copot dan talinya merosot dari bahumu. Kau melepaskan diri dan menyingkirkan benda itu, terkesan pada kerja jarinya yang cekatan di punggungmu. Dia pastilah sudah kerap berlatih melakukan ini pada cewek percobaan yang berbeda-beda. Giliranku, dengusnya dan dalam sekejap dia membalikmu seolah kau cuma sepotong pancake. Dia menjadikan kau terjebak di antara tubuh kekarnya dan kasur empukmu. Kau menyeringai kala mendapati ada gundukan keras yang menekan di antara pahamu. Oh yeah. Kilat di matanya dan senyum predatornya menjanjikan siksaan sensual yang panjang dan eksekusinya benar-benar membuatmu kewalahan. Dia mulai manuvernya dengan memagut bibirmu, mengajakmu bermain duel memperebutkan dominasi dengan cara yang manis. Anggota tubuhmu yang menjadi sasaran berikutnya adalah lehermu dan kau tahu dia sengaja membalasmu ketika dia menandaimu seperti yang kaulakukan padanya. Satu, dua, tiga dan kau tidak menghitung lagi. Kau sampai lupa menarik nafas ketika Dean mulai menjelajahi dadamu yang terbuka. Rasa pusing yang menyergapmulah yang mengingatkanmu untuk menghirup udara. Pemuda ini sungguh tahu cara membuatmu menggelepar, merintih meminta lebih. Dia memperlakukanmu seolah kau adalah perempuan yang paling istimewa, seakan kau adalah putri raja dan dia cuma pelayan yang sigap melaksanakan titah. Bibirnya menyisir tubuhmu yang terpampang pasrah di hadapannya bak sebuah persembahan. Mengecup, mengulum, mengisap, sementara lidahnya sesekali menjilati kulitmu dan jemarinya berdansa di atas tubuhmu. Dia meninggalkan jejak-jejak panas memerah di tubuhmu, gelenyar di setiap wilayah yang didatanginya dan kaurasakan darah mengalir ke daerah hangat di sela pahamu. Semua dilakukannya padamu dengan kelembutan yang mencengangkan. Dia membikinmu frustrasi dengan serangan-serangannya yang disetel lambat dan teratur. Kelembutannya malah membuatmu makin lapar, makin ingin segera mencicipi puncak permainan, seluruh dirinya, luar dalam. Sialnya, dia tetap saja melanjutkan eksplorasinya dengan lamban, sepertinya tahu dengan cara itu dia mampu membuatmu bertekuk lutut total, bergairah tujuh keliling menginginkan dia. Kepalanya kini berada di perutmu, lidahnya melingkari sisi pusarmu, kau menggeliat geli dan kaurasakan dia menuruni bagian bawah perutmu... Uh-huh, kautarik bahunya. Cium saja aku. Dia mematuhimu dan untuk kesekian kalinya kalian memadu bibir, milikmu sudah agak bengkak lantaran sejak tadi bolak-balik dilumatnya. Tiba-tiba dia menarik diri dan kau mengeluh, Ada apa? Punya karet? Tentu saja kaupaham apa yang diminta dan yah, kau memang biasanya tidak membawa pria asing pulang ke rumah, maka kaugelengkan kepalamu. Tunggu sebentar, katanya. Dia mengecup keningmu sekilas lalu beranjak ke luar kamar, kau mengangkat sedikit kepalamu agar bokongnya yang kencang terlihat olehmu. Dari pintu kamar kau dapat menyaksikan apa yang dilakukannya. Dean berjongkok di lokasi tempat dia menjatuhkan jinsnya ke lantai, merogohi setiap saku dan semua lekuk di dompetnya. Ekspresinya agak muram sewaktu dia melangkah kembali ke kamar dengan tangan kosong. Sial, gerutunya. Aku sedang tidak punya. Kaunaikkan alismu. Jadi? Dia memandangi tubuh mulusmu yang terbaring nyaris tanpa busana di atas ranjang, menelan ludah dan meringis ketika berkata, Aku bisa pergi sebentar ke toko terdekat, kalau kamu beri tahu di mana... Matamu tertumbuk pada daerah depan panggulnya. Benar-benar seorang kesatria tulen. Dia sama bergairahnya denganmu dan dia mau menunda ini untuk beli alat kontrasepsi? Aku butuh kau, sahutmu. Segala pertimbangan rasional terbang sudah dari otakmu. Orang bilang perempuan itu makhluk yang irasional, kan? Nah, kaupenuhi kata-kata mereka. Tapi... Sekarang juga, tegasmu. Tidak pakai nanti-nanti. Dean tampak bimbang dan bertanya, Apa kamu yakin? Kautatap matanya yang gelap dan kausaksikan ketulusan dan tanggung jawab di sana. Dia tidak sekedar basa-basi. Dia bakal berkeliaran mencari toko yang buka pada larut malam seperti ini bila kau menghendaki proteksi. Kau terharu, terkesan dan terangsang sekaligus dan kaugenggam tangannya erat, menariknya perlahan untuk kembali ke atas tubuhmu. Tempat di mana seharusnya dia berada. Yakin. Positif. Seratus persen. Aku takkan menyesali ini, ucapmu, kaumasukkan semua kemantapan di sana. Untuk meyakinkan dia dan juga dirimu sendiri. Dean menghembuskan nafas lega. Manusiawi, pikirmu. Sebaik apapun seorang pria, menahan gairah yang sudah siap dimuntahkan tentu saja menyiksa. Wajar dia lega lantaran kau tidak memaksanya berada dalam situasi demikian. Dia kelak akan menunjukkan rasa terima kasihnya dengan melambungkan dirimu ke langit kesembilan lewat cumbuannya yang begitu dahsyat. Jempol kakimu sampai menekuk karenanya. Kau melucuti satu-satunya kain yang tertinggal di tubuhmu, menyukai sinar penuh harap yang melumuri matanya. Kau sengaja menarik pakaian dalammu itu ke bawah dengan lamban, kausentuh dirimu dengan sebelah tangan sembari melakukannya, di bawah tatapan seorang audiens yang terpukau dengan segala gerak-gerikmu. Ketika akhirnya tubuhmu telah polos, ganti kau yang terpesona dan menonton Dean memelorotkan pakaian dalamnya, penuh antisipasi kauawasi apa yang tersibak di baliknya. Tidak mengecewakan, nilaimu. Justru sebaliknya, sangat menjanjikan. Kau bergeser ke atas untuk memberi Dean ruang naik ke kasur, kaurenggangkan kakimu, membukanya selebar kau bisa untuk mengakomodasi tubuhnya di antara kedua pahamu. Untuk sesaat, sewaktu dia berlutut di hadapanmu dan kau mendongak, sosoknya terlihat bagaikan dewa di matamu. Menjulang, tegap, bertenaga, menimbulkan selintas rasa gentar di hatimu. Detik itu juga kaubisikkan niat untuk sepenuhnya menyerahkan dirimu padanya. Kau paham benar bahwa malam ini bukan tentang cinta, relasi saja tidak. Ini hanya nafsu, tapi jika itulah yang bisa kauperoleh, kau sudah cukup puas. Dean perlahan-lahan membawa tubuhnya turun ke arahmu, konsentrasi di dahinya. Detik-detik berlalu dengan lambat bagimu saat itu dan kau menatapnya, terpesona pada kendali dirinya yang tidak main jejal begitu saja, melainkan membenamkan diri ke dalam kehangatanmu dengan demikian lembut. Inci demi inci dan kau menggigit bibir, menahan diri untuk tidak menggesanya. Dia memasukimu dengan sempurna dan kau sudah siap menerimanya dan seperti ada dirigennya kalian sama-sama melepaskan erangan panjang. Tubuh kalian bersatu, berkolaborasi, saling melengkapi. Itu terasa begitu tepat, begitu nyata dan seperti mimpi sekaligus. Kemudian, insting dan kebutuhan dasar kalian yang mengambil alih. Dia melesakkan dirinya sementara kau menyambutnya dengan suka cita dan kalian bertemu di tengah jalan. Kalian sama-sama rakus, berupaya meraup apapun yang diberikan oleh masing-masing, seakan tidak ada puasnya menikmati tubuh yang ada dalam pelukan, seperti esok tidak ada hari saja. Dia memberikan semua kemampuan yang dimilikinya dan kau mereguknya, berusaha mengimbangi sebagai tanda penghargaanmu padanya. Kalian bergumul, saling merambah, menjelajah, menyentuh, meraba, memijat, menjamah, meremas, mencoba menguasai silih berganti, haus akan satu sama lain. Kulit kalian licin dan lembab dan berkilat oleh keringat dan ketika kauendus, tubuhnya menguarkan aroma alami memabukkan yang membikin gairahmu kian melonjak. Suara yang terdengar saat itu hanya lenguhan nikmat yang berpadu antara vokal femininmu dengan gerungannya yang bariton, suku-suku kata yang gagal diucapkan dalam bentuk kata sepenuhnya, bunyi daging bertemu dan deru nafas berat kalian yang saling meningkahi. Pertemuan tubuh kalian berlangsung seperti musik klasik. Diawali dengan tempo lambat terkendali, hampir santai, memberi kalian kesempatan untuk mengeksploitasi, mengenali tubuh lawan sepuas-puasnya. Kemudian entah berapa kali kau merasa semuanya berakselerasi untuk kemudian menurun kecepatannya. Kau berpikir, tampaknya dia sengaja berbuat begitu untuk menggodamu dan kau harus mengakui dengan cara seperti itu kau tereduksi menjadi segumpal tubuh yang merintih di bawah tubuhnya, menggelinjang, dengan pemikiran yang terpusat pada sensasi yang ditimbulkannya padamu. Langit boleh runtuh saat ini dan kau takkan peduli, sepanjang dia masih ada di dalam dirimu. Namun, setiap repertoar, toh pasti akan ada momen puncaknya, pucuk bukit tertinggi yang dicapai setelah mendaki ke sana perlahan-lahan. Kau merasa menggapai ke sana ketika gerakan tubuhmu dan dia semakin liar. Gelenyar panas dan sensasi yang menjanjikan kenikmatan merebak dari wilayah di mana kedua pahamu bertemu, seperti batu yang dicemplungkan ke dalam air, gelombangnya melingkar, menyebar sampai ke sekujur tubuhmu, setiap saraf dan pembuluh dan titik darah yang melintasinya. Klimaks datang menghantam dirimu seperti guncangan gempa atau hempasan ombak, bagai seorang diva yang menahan sebuah not tinggi di panggung opera, laksana kembang api yang meledak di dalam dirimu. Kau lepas landas, melambung begitu tinggi sampai kau tidak ingin turun lagi. Kau meracau, tubuhmu berkedut lepas kendali, kau tak begitu ingat lagi apa yang kaulakukan. Semua terfokus hanya pada dirimu dan rasa yang demikian nikmat ini. Begitu indah, menakjubkan, tak cukup dilukiskan dengan kata, biar penyair atau sastrawan piawai sekalipun. Dan kau tidak mau mencoba, kau cuma ingin merasainya. Kau bahkan hampir tak menyadari Dean menyurukkan kepalanya di atas bahumu, wajahnya terbenam dalam ikal rambutmu ketika dia juga mencapai titik kulminasi, tertanam jauh di dalam dirimu. Tubuhnya berguncang dan kau memeluknya, ikut terbawa setiap getaran. Dia telah mengantarmu ke sana dan ganti kaulah yang mengajaknya ikut serta. Jessica... serak dia mendesiskan namamu, terdengar takzim di puncak permainan nafsu. Hm, ironisnya. Tanganmu masih memeluk erat tubuhnya sewaktu akhirnya kau menemukan suaramu kembali. Oh, Tuhanku... Itu tadi sangat hebat. Bukan main hebat. Dean mengangkat kepala dan bergumam tepat di telingamu, Aku cemburu, tahu. Apa? Kau pascabercinta bukanlah orang paling koheren di dunia dan otakmu belumlah kembali ke level berfungsi yang normal. Aku yang memberimu kepuasan dan kamu menyebut nama Tuhan, ucapnya dan kau tidak yakin itu serius atau bercanda. Dia mengangkat sedikit tubuhnya, bertopang pada siku agar tidak menggencetmu, tetapi kulit kalian masih bersentuhan. Kau dapat melihat sinar nakal di matanya dan mau tak mau kau tersenyum. Baiklah. Lain kali aku akan sebut namamu, bagaimana? tawarmu. Lain kali? Alis Dean terangkat jenaka. Itu juga kalau kamu mau. Dean meringis memikirkan itu dan kaubaca gairah yang masih menyala di matanya. Yah... beri aku waktu untuk... menarik nafas. Dengan itu dia berguling ke sampingmu dan untuk beberapa lama kalian berbaring telentang bersisian, memulihkan diri, mengatur nafas dan menurunkan temperatur tubuh. Dia tampaknya bukan jenis pria yang suka memeluk perempuan yang baru saja ditidurinya dan itu tak jadi soal buatmu. Kau malah lebih suka begini, mendinginkan suasana dengan mengosongkan pikiran, mengambil jarak dari sosok orang asing yang baru saja memetakan seluruh wilayah tubuhmu, menggali sampai ke bagian yang paling intim. Keheningan yang nyaman itu berlangsung beberapa belas menit. Kau mulai merasa kantuk merayapimu dan kaupikir Dean tidak akan melakukan apa-apa lagi padamu. Baru saja kaupejamkan mata, bersiap menyusup ke balik selimut ketika ada jemari kasar yang merambati bagian dalam pahamu dan kau memiringkan badan untuk menemukan Dean merapat padamu, kau nyaris menabrak tubuhnya yang kokoh. Hilang sudah niatmu untuk tidur, terutama sewaktu dia mengecupmu dengan lembut sementara tangannya berkeliaran di permukaan kulitmu. Diperlakukan demikian, kau luluh dan berpikir, malam ini akan jadi satu malam yang senantiasa kaukenang dalam hidupmu. *** Tujuh jam kemudian kau terjaga dari lelap tidurmu oleh kejamnya panas mentari yang mengusap wajahmu. Kau membuka matamu dengan malas, kantuk masih menggelayut, tetapi kau merasa lebih segar. Keletihanmu telah terobati. Kauarahkan pandangan ke sisi tempat tidurmu dan kau sama sekali tidak terkejut mendapati daerah itu kosong. Dia pasti telah lama pergi. Yang menjadi penanda bahwa pernah ada seseorang di sana hanya seprai yang berantakan dan lekuk di tengah bantal. Lebih baik begini, batinmu, ketimbang harus terbangun dan terpaksa melewatkan satu pagi yang sangat canggung dengan orang asing di sampingmu. Tak dapat kembali tidur, kau bangkit dari ranjang, melangkah menuju dapur. Kau ingin sesuatu buat menyegarkan dahaga kerongkonganmu. Setiba di dapur kecilmu, dengan heran kautemukan mesin kopimu telah dihidupkan dan hampir penuh dengan cairan hitam hangat, persis seperti yang kausukai. Kau berbalik dan kejutan kedua menyambutmu: satu piring berisi sosis goreng dan omelet bertengger di meja makan. Ada sehelai kertas yang tertindih oleh piring itu dan kau memungutnya. Cuma ada kata trims yang tertera. *** Dua bulan kemudian kau terduduk gelisah di atas kloset, sebuah batangan plastik kecil di tanganmu. Kau tak sabar menunggu kemunculan garis tunggal di atas benda itu, tetapi rasa mual yang menggelitik kerongkonganmu membuatmu hampir yakin bahwa yang akan tampak adalah dua buah garis. Ketika dua buah garis biru samar-samar mulai terbentuk, kau menghela nafas. Kau tidak tahu apakah ini berkah atau musibah dan yang paling kauinginkan saat ini hanyalah menangis. Menangis untuk masa depan yang telah ditentukan buatmu, untuk seluruh kesempatan yang mungkin bakal tiada terjangkau, untuk semua yang tak dapat kembali lagi. *** Sembilan bulan kemudian kau tergeletak lemas di ranjang rumah sakit. Kau baru saja melewati lima belas jam paling panjang dan menyakitkan dalam hidupmu, tempo yang terasa bagaikan selamanya. Lima belas jam di mana ibumu mendampingi setiap menitnya sementara ayahmu mengutuki setiap detiknya. Kemudian, kau melihat ke samping, ke arah manusia mungil yang terbaring di sisimu. Kausentuh dia dan kaudapati betapa lembut kulitnya. Dia menolehkan kepala kepadamu dan kau menemukan sepasang mata hazel-hijau yang indah di sana, memberimu tatapan yang laksana deja vu. Matamu sendiri mengabur oleh air mata dan kau berpikir bahwa ini berkah. *** Satu tahun kemudian kau menggendong bayimu, berdiri di depan pintu kamar motel yang penampilannya membuatmu ingin selekasnya pergi dari situ. Kau mengecek sekali lagi lembaran kertas di tanganmu yang bebas, berisi informasi yang kauperoleh dari pamanmu yang anggota kepolisian. Merasa lebih yakin, kauketuk pintu itu, jantungmu seperti berdansa tango dan bayimu merasakannya, dia mulai rewel. Pintu terbuka dan kau mendapati sosok pria itu, setiap incinya masih setan tampan dan seksi yang kaukenal. Dia memandangmu dan bayi di gendonganmu. Kilas terpana di matanya. Dean, ucapmu kering, kita perlu bicara.
Posted on: Tue, 22 Oct 2013 09:00:57 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015