Ini lagi kenang2an tulisan saya menjelang Arab Srping, ttng - TopicsExpress



          

Ini lagi kenang2an tulisan saya menjelang Arab Srping, ttng demokratisasi di Timteng, yg dimuat dalam Gatra, 16 maret 2011, hal.58-59...smoga bermanfaat.... EKONOMI POLITIK “DEMOKRATISASI DI TIMUR TENGAH” Oleh : Didin S Damanhuri Guru Besar Ekonomi-politik IPB Jika kita pilah tanggapan publik Internasional maupun nasional terhadap Revolusi di Timur Tengah (terutama pasca tumbangnya rezim Otoriter di Tunsia dan Mesir dan menusul di Libya), maka dapat dikategorikan ada tiga pandangan, yakni yang pesimis, optimis dan historis. Yang pesimis berpandangan, toch meskipun terjadi perubahan tetap saja kontrol Negara Adidaya akan tetap bercokol dan negara-negara tersebut sulit keluar dari ketergantungan terhadap Barat. Yang optimis berpandangan dengan mengaitkan bangkitnya ”Revolusi Rakyat” yang tanpa preseden dalam sejarah Timur Tengah yang akan memberikan harapan baru bagi rakyatnya untuk lebih sejahtera di masa depan. Juga proses pembangunan yang akan berjalan lebih bercorak kepada kepentingan rakyatnya serta bukan sekedar ”menjadi pasar bagi kalangan Investor” dan ”jangkar Israel demi hegemoni Barat” seperti yang terjadi sebelum Revolusi. Sementara bagi yang berpandangan lebih ”historis struktural” melihat, bahwa revolusi di Timur tengah merupakan kompleksitas akibat perubahan geo-politik dan geo-ekonomi global dimana dunia kini makin bersifat Multipolar karena telah terjadi pergeseran kekuatan ekonomi dan politik yang lebih menyebar. Antara lain pasca trespass Jepang terhadap kekuatan ekonomi-politik Barat, kini China dan India telah siap menggeser kutub ekonomi, politik dan bahkan militer di masa depan. Dengan demikian perubahan dramatis di Timur Tengah, tak terlepas dari perubahan geo-ekonomi-politik secara global. Belum lagi globalisasi ekonomi dengan adagium boderless-wold-nya, berkat revolusi teknologi informasi, rakyat yang selama ini termarginalisasi bisa bangkit dengan solidaritas yang teritegrasikan secara global lewat jejaring sosial seperti Feace-Book, Twitter, Youtube, dst. Hal itu terbukti yang menjadi faktor penting jatuhnya rezim Tiran di Tunisia dan Mesir dan menyusul di Libya serta seluruh Timur Tengah. Yang menjadi pertanyaan mendasar, akankan Revolusi di Timteng ini menghasilkan ”the real democracy” yang pada gilirannya mensejahterakan rakyat di Timteng ? Hal ini perlu studi yang seksama berhubung banyak negara yang mengalami proses demokrasi ”transisional” (dari rezim Otoritarian menjadi Demokrasi), tapi stagnan di persimpangan jalan dalam tahapan ”demokrasi prosedural”. Misalnya seperti terjadi di banyak negara-negara Amerika latin dan Afrika serta di negeri kita tercita ini, demokrasi politik yang prosedural belum menciptakan demokrasi yang nyata. Antara lain belum melahirkan: kualitas Pemimpin yang bersih dan Kompeten (di legislatif, Judikatif dan Eksekutif), kualitas bagus pemerintahan (dengan bebasnya dari Korupsi sistemik) dan kualitas luhurnya masyarakat (dengan menurunnya kemiskinan dan ketimpangan secara signifikan sekaligus meningkatnya kesejahteraan) yang mana mekanisme hubungan kesemuanya berjalan dalam perspektif supremasi hukum yang adil serta dalam hubungan internasional yang berdaulat. Ekonomi-politik Timur Tengah Secara umum Timur Tengah yang secara etnis sebagian besar adalah bangsa Arab dan mayoritas beragama Islam ---jumlah negaranya sekitar 20an negara dengan penduduknya sekitar 420 juta-an--- memiliki memori kolektif sebagai negara yang pernah mengalami ”kegemilangan masa lampau”, yakni sekitar 7 abad (7-14 masehi). Atau apa yang sering disebut sebagai ”masa keemasan Islam atau Arab”. Masa itu telah melahirkan pelopor keilmuan dimana praktis para ilmuwan Arab/Islam telah tercatat menjadi pelopor keilmuan modern di dunia. Sebut saja nama-nama Jabir, Khawarizmi, Razi, Masuki, Wafa Biruni, Ibnu Sina, Ibnul Haitham, Umar Khayam, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun, Al Kindi, Nasiruddin, Tusi, Ibnu Nafis adalah di antara sebagian para pelopor keilmuan modern itu. Jadi bagi kalangan bangsa Arab, memiliki kepercayaan diri yang besar karena masa lalu. Hal itu karena kemajuan Barat seperti yang disaksikan dewasa ini tak akan pernah tercapai tanpa berguru kepada para ilmuwan Islam dan Arab. Namun kemudian mereka mangalami psikologi ”orang kalah” (tertindas, terhina dan terjajah) terutama sejak dikalahkan dalam ”Perang Salib” oleh bangsa Eropah yang kemudian bangsa Arab mangalami masa kegelapan. Yakni dengan penjajahan oleh Inggris dan Prancis sehingga menjadikan bangsa-bangsa Arab jatuh menjadi negara-negara yang miskin secara ekonomi, terbelakang secara iptek dan terbelenggu secara kultural serta (masih) terjajah secara militer, politik dan keuangan hingga kini, dengan adanya ”imperalisme baru”, terutama oleh AS dan Eropah. Terlebih lagi setelah adanya ”proyek Israel-Zionis” di Timteng dimana dibelakangnya terdapat kekuatan Negara Adidaya AS dan hampir semua penguasa Arab umumnya bersifat otoritarian sekaligus ”boneka AS”. Maka rakyat Arab mengalami tekanan luar biasa dan berlapis-lapis. Dengan demikian, ketika terjadi dunia lebih datar berkat teknologi informasi dan terjadinya gelombang demokratisasi, ”even jatuhnya rezim otoriter Tunisia” menjadikan semacam ”titik masuk” bangkitnya harapan baru bagi rakyat Timteng untuk keluar dari ketertindasan, keterhinaan dan kerterjajahan pertama-tama oleh Penguasa Tiran sekaligus Boneka Barat di dalam negeri. Inilah kiranya yang terjadi fenomena yang komplex yang dapat menjelaskan Revolusi Timteng yang akan berjalan seperti ”efek domino” yang menjalar ke seluruh negara-negara Timteng Arab, terutama yang kurang mensejahterakan rakyatnya. Ekonomi-politik ”demokratisasi”: Kasus Mesir Dalam tulisan saya sebulan setengah sebelum Revolusi di Mesir, saya menggambarkan Mesir terakhir dalam kekuasaan Husni Mubarraq tengah terjadi proses pembangunan ekonomi yang relatif booming (Gatra, 15 Des.2010). Dengan income per capita sekitar 6000 USD (dua kali Indonesia) hasil dari industrialisasi, pembangunan pertanian modern, Pariwisata (dengan sekitar 13 juta kunjungan wisata asing), infrastruktur social (pendidikan, kesehatan, perlindungan tenaga kerja, jaminan social, dst) dan ekonomi (pariwisata, tol, IT, subway, jalan layang, dst.), perdagangan luar negeri, termasuk pengiriman 8 juta tenaga semi dan full-skilled Mesir di luar negeri yang mendatangkan devisa yang besar, mengundang Investor Asing (AS, Eropah, Asia termasuk dari Indonesia). Dengan incentive yang menarik termasuk kesempatan asing memiliki lahan tak terbatas waktu dengan syarat investasi di bidang Industri manufaktur maupun Agro. Jika kita melakukan perjalanan dari Cairo ke Alexandria dengan Highway yang lebar, maka kita akan menyaksikan bentangan perkebunan buah-buahan, sayuran, dll, factory pelbagai industri manufaktur termasuk “Smart City” (semacam lembah Siliconnya AS). Yang menjadi persoalan besar adalah tingkat ketimpangan sosial yang buruk, korupsi merajalela, represi politik dan pembungkaman kebebasan. Crucial point of history Mesir adalah karena proses demokratisasi yang makin kencang lajunya tapi trend ini diberangus, maka ini membuat “api dalam sekam”. Dan ternyata, dalam pemilu legislatif awal tahun 2011, semua calon-calon dari Ichwanul Muslimin dan Oposisi lainnya direkayasa dan Pemilunyapun curang sehingga tak satupun kalangan oposisi masuk ke Parlemen. Mesir kembali menjadi Totaliter. Inilah awal pemicu kekecewaan besar sehingga ketika Revolusi di Tunisia mampu menjungkalkan Presidennya yang Tiran, maka rakyat Mesirpun berrevolusi hingga Mubarraqpun tumbang. Meskipun demikian Menhan Tontowilah yang Militer ahirnya yang pegang kekuasaan sampai Pemilu September 2011. Pertanyaan menarik: akankah di Mesir terjadi real democracy seperti telah dijelaskan di atas, apalagi Militer masih mengendalikan proses reformasi ? Yang terjadi kemungkinan adalah ”Evolusi demokratis yang dipercepat”. Apa ini lebih memberi pengharapan ? Seandainnya Revolusi Rakyat secara total termasuk militer tak mengendalikan di Mesir, maka kemungkinan akan terjadi perubahan radikal dimana perubahan bersifat ”big-bang” beserta kegaduhan yang tak berkesudahan karena euphoria massa pasca pembungkaman. Pers akan sangat bebas, menjamurnya ratusan Parpol, semua orang berexpresi sangat bebas termasuk menihilkan segala macam hasil masa lalu. Maka hasil-hasil positif pembangunan ekonomipun kemungkinan besar akan dicampakan. Maka penduduk yang berjumlah sekitar 80an juta akan sekedar menjadi pasar yang besar bagi kalangan Korporasi Mutinasional. Tak mustahil dalam pembuatan per-undang-undanganpun akan masuk kepentingan asing secara sistematik lewat Parlemen sehingga kepentingan Negara-Negara Maju secara ekonomi dan politik dilegitimasi lewat Perundang-undangan yang formal. Ini skenario demokratisasi yang hanya cenderung menguntungkan Negara-Negara Maju dan rakyatnya akan jatuh lagi ke dalam kemiskinan ekonomi dan politik karena bentuk-bentuk neo-imperialisme dari pihak Asing. Tampaknya pilihan Evolusi demokratis yang gradual tapi dipercepat akan lebih memungkinkan proses selektif berdemokrasi di Mesir dan Negara Timteng lainnya yang lebih kondusif untuk kepentingan rakyatnya. Hal itu ketimbang revolusi total yang tak terkendali yang pada akhirnya lebih menguntungkan pihak asing seperti pengalaman di banyak negara lain. Sekarang tengah terjadi evolusi demokratis dengan pengawasan pihak-pihak oposisi, misalnya pembatasan jabatan Presiden yang hanya dua kali masa jabatan. Tuntutan mundur Perdana Menteri yang ditunjuk Mubarraq dan pelbagai macam mobilisasi intelektual dan aktivis untuk mengisi agenda reformasi sebelum Pemilu dilaksanakan September 2010. Bahkan pihak oposisi lebih memilih Pemilu ditunda satu tahun sambil menuntaskan konsep-konsep dan agenda besar perubahan yang menguntungkan rakyatnya. Ini kemungkinan lebih berpengharapan....Wallahu’alam...
Posted on: Tue, 20 Aug 2013 00:27:45 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015