Islam agama pembebasan Dalam beberapa literatur yang tak - TopicsExpress



          

Islam agama pembebasan Dalam beberapa literatur yang tak diragukan,Istilah Tauhid vertikal (membersihkan kepercayaan) dan Tauhid sosial (berjihad menghentikan penghisapan manusia antar manusia ) dua sisi mata uang yang tak bisa dilepas dalam ajaran agama Islam. Kedua areana itu sangat relevan digunakan sebagai konsep menegakkan keadilan sosial, politik kesejahteraan, dan pembumian memanusiakan manusia. apalagi setelah peranan kekayaan diklaim milik pribadi ansich. Potret yang tak bisa dipungkiri dari masa feodalisme, sampai hari ini ketimpangan dan kesenjangan sosial semakin terasa dan perbedaan kelompok kaya dan miskin juga kian lebar. Bahkan menyeret potret penghisapan antar klas terjadi. Akibatnya Jarak antara yang kuat dan kaya dengan yang lemah dan miskin semakin menyolok mata. Kaum dhuafa (lemah dan miskin) terhimpit oleh struktur ekonomi, sosial, politik dan hidup tanpa masa depan. Amien Rais menambahkan dilihat dari kacamata tauhid, setiap gejala eksploitasi manusia atas manusia pengingkaran terhadap persamaan derajat manusia di depan Allah. Jurang yang menganga lebar antara lapisan kaya dan miskin, yang selalu disertai kehidupan yang eksploitatif merupakan fenomena anti tauhid. Tegasnya mempertajam tauhid sosial, berarti mempertajam perjuangan menentang eksploitasi manusia atas manusia, sampai pada tingkat perang pembebasan kaum yang teraniaya, seperti yang diperingatkan surat Annisa 75. Gerakan Membumikan Isi Al Quran Tujuan dari gerakan membumikan Al-Quran meminjam istilah Quraish Shehab , tak lain hendak memanusiaan manusia pada fitrahnya. Sehingga tidak terdapat lagi manusia mengeksploitasi manusia, telah terdapat keadilan sosial dan menuju masyarakat tauhidi, masyar“agama pembebasan”,akat tanpa kelas. Hal ini karena makna terpenting dari ajaran islam adalah ia sebagai agama pembebasan. Sehingga gerakan membum ikan Al-Quran tak lain dari gerakan : a. Memerangi Kapitalisme Islam cukup jelas menentang adanya manusia mengeksploitasi manusia lain. Itu tercermin dari surat Al An’am ayat 145 yang mengatakan haram hukumnya “memakan darah yang mengalir”. Memakan darah yang mengalir, bukan hanya secara harafiah, yaitu melukai kulit seseorang, kemudian menghirup darah dari tempat yang dilukai, tetapi yang hakiki ialah para tuan memeras tenaga para budaknya, tuan tanah memeras tenaga hamba taninya, kaum kapitalis “mencuri” tenaga kerja kaum buruh. Budak, tani hamba, buruh tidak akan dapat diperas, bila darah tidak megnalir lagi dalam tubuh mereka. Begitu juga surat Al Baqarah ayat 188 dengan tegas mengatakan: walaa ta’kuluu amwaalakum baenakum bi al-bathil “janganlah sebagian kamu memakan harta orang lain dengan batil (menindas, menghisap, merampas) dan (jangan) kamu bawa kepada hakim (pembenaran melalui kebijakan, pengadilan, atas nama kekuasaan), supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang dengan berdosa (tidak adil), sedang kamu mengetahuinya. Dan yang lebih tegas lagi adalah ayat 1-4 surat Al Humazah. Yang jelas-jelas mengutuk orang-orang yang menumpuk-numpuk harta. Dan orang-orang yang menumpuk harta tersebut ialah kaum kapitalis. “Menghisap keringatnya orang-orang yang bekerja, memakan hasil pekerjaan orang lain, tidak memberikan keuntungan yang semestinnya, memakan keuntungan sepihak adalah dilarang sekeras-kerasnya oleh agama Islam, karena itulah perbuatan memakan ‘riba’ belaka. Dengan begitu agama Islam memerangi kapitalisme sampai pada ‘akarnya’. b. Mewujudkan keadilan sosial Islam hendak menegakkan keadilan sosial, . Lihatlah surat Al Qashash ayat 5-6. Di sana dengan gamblang dikemukakan janji Tuhan yang akan menjadikan kaum tertindas dan miskin (mustadafhin atau dhuafa) sebagai pemimpin di bumi dan mewarisi bumi. Bila kaum tertindas telah menjadi pemimpin di bumi dan mewarisi bumi, tidak ada tempat lagi bagi kaum mustakbirin (para tiran, bangsawan,priyayi, angkuh dan kaya) untuk melakukan penindasan dan penghisapan terhadap kaum mustadafhin. Keadilan sosial tegak. Masyarakat yang berkeadilan sosial, adalah masyarakat transisi menuju masyarakat Tauhidi, “umat yang satu” seperti yang dikemukakan surat Al Mukminun ayat 52. Umat yang satu, yang dimaksud surat Al Mukminun ayat 52 ini, tentu umat yang tidak terpecah lagi dalam kaum-kaum tertindas dan miskin (mustadafhin atau dhuafa) dan kaum mustakbirin (para tiran, angkuh dan kaya). Tentu bukan umat yang satu bila sementara lain hidup dengan melimpah-ruah, sedang jutaan orang hidup serba kekurangan. Umat yang satu, baru ada, bila setiap orang mendapat menurut kebutuhannya, bukan lagi menurut prestasi kerjanya, apalagi mendapat menurut “kontrak kerja” seperti yang berlaku dalam sistem kapitalis. Mengenai masyarakat Tauhidi ini, Asghar Ali Engineer melalui bukunya “Islam dan Pembebasan” mengemukakan bahwa Tauhid tidak hanya menyatakan keesaan Allah, tetapi juga kesatuan manusia dalam semua hal. Suatu masyarakat jami’-i tawhid yang Islami, tidak akan membenarkan diskriminasi dalam bentuk apapun, entah itu didasarkan pada ras, agama, kasta maupun kelas. Masyarakat tauhid yang sejati menjamin kesatuan sempurna diantara manusia dan untuk mencapai ini, perlu untuk membentuk masyarakat tanpa kelas. Keesaan Allah mengharuskan kesatuan masyarakat dengan sempurna dan masyarakat demikian tidak mentolerir perbedaan dalam bentuk apapun, bahkan perbedaan kelas sekalipun. Tidak akan terjadi solidaritas imam sejati, kecuali segala bentuk perbedaan ras, bangsa, kasta, kelas dihilangkan. Pembagian kelas menegaskan secara tidak langsung dominasi yang kuat atas yang lemah dan dominasi ini merupakan pengingkaran terhadap pembentukan masyarakat yang adil (hal: 94). c. Pertentangan Kelas dan Perjuangan Kelas Tentang sejarah semua sususan masyarakat yang ada hingga sekarang adalah sejarah pertentangan kelas dan perjuangan kelas, itu telah dikemukakan Al Quran melalui surat Al Mukminun (53), Al Qashash (5-6) dan Ar Ra’du (11): Al Mukminun 53: Mereka terpecah-belah sesamanya tentang urusannya, menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan gembira dengan yang ada pada mereka. Al Qashash: 5-6: Dan kami hendak memberikan karunia kepada orang-orang yang tertindas (mustadahin atau dhuafa) di bumi dan hendak menjadikan mereka sebagai pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi. Dan kami tegakkan kedudukan mereka di bumi. Ar Ra’du 11: Sesungguhnya Allah tiada akan mengubah keadaan suatu kaum, kecuali mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Ketiga surat-surat di atas mengandung petunjuk bahwa masyarakat manusia tidak satu lagi, tetapi telah terpecah-pecah dalam yang menindas dan yang tertindas. Tuhan dalam hal ini terang-terangan memihak kepada kaum yang tertindas. Itu tercermin dari janji Tuhan dalam Al Qashash (5-6). Melalui surat Ar Ra’du 11 cukup jelas dikemukakan, bahwa keadaan mereka yang tertindas dan miskin tetap akan tertindas dan miskin, bila mereka sendiri tidak bangkit melemparkan belenggu yang dililitkan kaum penindas atas leher mereka. Usaha kaum atau perjuangan kelas dari kaum tertindas sendirilah yang menentukan terjadinya perubahan. Bantuan dari luar berupa sedekah, infak, zakat bukan faktor yang menentukan untuk terjadinya perubahan yang mendasar. Perjuangan kelas seperti yang dikemukakan surat Ar Ra’du 11 itu untuk membebaskan kaum yang tertindas dari penindasan yang mereka alami, lebih dipertegas tentang pentingnya pembebasan mereka itu dalam surat An Nisa ayat 75. Mengapa tiada kamu mau berperang pada sabilillah dan untuk (membebaskan) orang-orang yang lemah di antara laki-laki, perempuan-perempuan dan anak-anak, sedang mereka itu berdoa: Ya, Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yagn aniaya penduduknya dan adakanlah untuk kami seorang Wali dari sisiMu dan adakanlah untuk kami yang mengurus pekerjaan dari kamu. Imbauan berperang untuk membebaskan orang-orang yang teraniaya dari surat Annisa 75, menunjukkan Tuhan mengizinkan jalan kekerasan guna menegakkan keadilan sosial, kemanusiaan . Malah dalam surat Al Hajji ayat 39 dengan tegas dikatakan: “Telah diizinkan (berperang) kepada orang-orang yang diperangi, disebabkan mereka teraniaya. Sesungguhnya Allah mahakuasa menolong mereka itu. Islam menentang kekerasan yang tidak adil. Seperti kekerasan untuk menjajah negeri lain, untuk merampas harta orang lain, atau yang menimbulkan bencana pada orang lain. Hadis Nabi Muhammad Saw juga mengatakan: Bila engkau melihat kemungkaran ubahlah dengan tangan (kekuatan, kekerasan), dan bila tidak mampu, ubahlah dengan lidah (kritik, nasehat) dan bila tidak mampu juga, ubahlah dalam hati dan itulah selemah-lemahnya iman. Bagi yang imannya kuat, kemungkaran harus diubah dengan tangan. Islam dan keadilan sosial Dengan mencermati ayat-ayat yang terdapat dalam Al Quran di atas, cukup jelas menunjukkan bahwa Islam memerangi kapitalisme, Islam hendak menegakkan keadilan sosial, Islam bertujuan terwujudnya masyarakat tanpa kelas. Dan untuk memenangkan perjuangan mengalahkan kapitalisme, memenangkan keadilan sosial dan kemudian terwujudnya masyarakat tanpa kelas, Islam memberikan petunjuk harus dengan melalui perjuangan kelas. Ini sesuai dengan surat Al Kahfi 29, yang mengatakan: Kebenaran datang dari Tuhanmu. Barangsiapa yang mau (beriman) berimanlah, dan barangsiapa yang tidak mau (kufur) kufurlah. Dalam surat Al Qomar 19 dikatakan: seseorang di akhirat akan menerima apa yang diusahakannya.
Posted on: Tue, 02 Jul 2013 00:47:58 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015