JURNAL FB IMPULSE: SERI DEMOKRASI Etnis Tionghoa Dalam - TopicsExpress



          

JURNAL FB IMPULSE: SERI DEMOKRASI Etnis Tionghoa Dalam Demokrasi Oleh Doni Febriando, Mahasiswa Komunikasi UGM, Alumni Sekolah Kritik Ideologi IMPULSE Pendahuluan Jokowi-Ahok memang sebuah fenomena demokrasi Indonesia saat ini. Seolah menabrak banyak pakem tak tertulis corak demokrasi Indonesia pasca reformasi 1998, Jokowi-Ahok berhasil memenangi sebuah pesta demokrasi, bahkan di level ibukota negara. Jokowi-Ahok kini berhasil menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta periode 2012-2017. Bukan hal yang mudah bagi pasangan Jokowi-Ahok untuk bisa memenangi Pilgub DKI Jakarta 2012 lalu. Terlalu banyak tembok penghalang bagi mereka berdua untuk bisa menjadi pemimpin daerah ibukota negara. Terlalu banyak sekaligus besar ujian yang harus dihadapi, sampai-sampai Jokowi dalam suatu kesempatan pernah mengandaikan dirinya dan Ahok seperti semut yang sedang melawan kawanan gajah. Ungkapan tersebut memang wajar adanya, mengingat lawan politik terkuatnya adalah seorang petahana yang didukung kekuatan gabungan beberapa partai politik. Awalnya memang hampir tiap partai politik mengajukan calon gubernur sendiri, tapi saat putaran kedua yang hanya tinggal menyisakan dua kandidat, otomatis Jokowi-Ahok jadi dikeroyok semua partai politik di Tanah Air, kecuali partai pengusung mereka sendiri; PDI Perjuangan dan Gerindra. Sudah menjadi rahasia umum bahwa penegakan hukum di negara kita sangat lemah. Terkait Pilgub DKI Jakarta 2012 kemarin, rakyat Indonesia—melalui pemberitaan media massa yang gencar—dapat melihat betapa telanjangnya penggunaan berbagai fasilitas jabatan digunakan kandidat petahana untuk mempertahankan jabatannya. Begitu juga penegakan hukum terhadap para politisi yang menggunakan isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Aliran) untuk menyerang kandidat Jokowi-Ahok. Mulai dari isu bahwa ibunda Jokowi bukanlah seorang muslimah, hingga serangan rasis pada Ahok. Sekali lagi, tidak ada yang diberi sanksi. Double Kafir Terlepas dari berpasangan dengan Jokowi yang memang sudah sangat populer, sosok Ahok—panggilan akrab Basuki Tjahaja Purnama—menjadi salah satu magnet terbesar dalam gelaran pesta demokrasi Pilgub DKI Jakarta periode 2012 lalu. Pasalnya, kalau memakai cara pandang masyarakat semasa Orde Baru, Ahok adalah seorang non-pribumi dan beragama non-Islam; harus dibenci. Secara pakem politik semasa Orde Baru, Ahok tidak boleh jadi pejabat. Akibatnya, dalam masa kampanye Pilgub DKI Jakarta 2012 lalu, rakyat Indonesia dapat melihat sebagian masyarakat Jakarta ingin menghabisi karir politik Ahok melalui aneka serangan berbau SARA. Ketika ditanyai responnya terhadap aneka serangan SARA tersebut, Ahok menuturkan bahwa dirinya sudah terbiasa. “Dulu, waktu kampanye di Belitung, saya malah pernah disebut double kafir. Sudah nasrani, cina lagi,” jelas Ahok sambil terkekeh. Sepertinya aturan-aturan tidak tertulis warisan Orde Baru masih tersisa di alam demokrasi Jakarta (atau bahkan Indonesia?), meski belasan tahun peristiwa Reformasi 1998 sudah berlalu. Buktinya, di wilayah Indonesia yang konon paling modern dan paling berpendidikan, Ahok tampak mustahil menang di pilkada Ibukota Indonesia, bila tidak didongkrak popularitas seorang Jokowi. Fenomena tersebut terlihat dari prilaku oknum-oknum penceramah agama yang sering menyerang Ahok dari sudut keagamaan di masjid semasa kampanye pilgub. Bukan tidak mungkin fenomena tersebut sebenarnya wujud representasi mentalitas rakyat Jakarta secara umum yang masih anti cina. Bukan lagi soal agama. Sebab, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sendiri tidak pernah mempermasalahkan tentang adanya pemimpin dari kalangan non-muslim. Cina atau Tionghoa? Basuki Tjahaja Purnama hanyalah sampel diskriminasi politik masyarakat Indonesia terhadap etnis Tionghoa. Sebenarnya, salah besar bila dikatakan etnis Tionghoa termarjinalkan saat Orde Baru, karena justru para pengusaha yang sangat dekat dengan Pak Harto kebanyakan orang-orang keturunan etnis Tionghoa. Hanya saja, seperti lazimnya watak Orde Baru, orang-orang keturunan etnis Tionghoa sudah dikapling untuk berjaya di bidang ekonomi saja. Bidang pemerintahan, apalagi panggung politik nasional, sudah dikapling jadi lahan orang-orang pribumi, khususnya suku Jawa. Namun, di kemudian hari, tepatnya dalam masa-masa senja Orde Baru, anak macan telah menjelma jadi seekor macan dewasa. Dalam masa tersebut, taraf hidup orang pribumi berada jauh di bawah kalangan non pribumi, terutama di kota-kota besar. Sampai-sampai ada anekdot, 3% penduduk Indonesia menguasai 70% aset ekonomi nasional. Ya, 3% itu adalah orang cina. Etnis Tionghoa adalah market dominant minority. Puncaknya, saat badai krisis moneter yang menerpa rezim Orde Baru, kesenjangan ekonomi nasional jadi nampak jelas menjadi-jadi. Ditambah rezim Orde Baru sedang digempur banyak serangan politik dari kaum reformis, maka pecahlah isu SARA yang selama ini bagai api dalam sekam dan jelas menembak kalangan etnis keturunan Tionghoa. Huru-hara saat Reformasi 1998, khususnya konteks diskriminasi dan intimidasi terhadap etnis Tionghoa, kemudian seperti “saudara kembar” peristiwa huru-hara di Kenya. Pernah terjadi penjarahan terhadap toko-toko milik orang India, juga perkosaan atas perempuan-perempuan India. Pasalnya, kelompok orang India menguasai industri, korporasi besar, hotel, dan bank. Konon, tidak satupun orang Afrika pun--termasuk suku Kikuyu—mampu menembus lingkaran satu ekonomi nasional negara Kenya. Sampai-sampai ada anekdot, yang tinggal di wilayah paling elit di Nairobi tentu adalah orang India, dan kecuali orang hitam Kenya yang berprofesi sebagai supir mobil mewah. Persis seperti di Indonesia, bukan? Konsep demokrasi di satu sisi memang baik, tapi di sisi lain mengandung bahaya dijadikan alat pihak mayoritas yang menyiksa market dominant minority, jika tidak ada kearifan dan moralitas yang menyertai.
Posted on: Tue, 29 Oct 2013 01:13:14 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015