Jadian 6 Bulan By. Rhein Fathia Part 17 Sendhi mengampiri - TopicsExpress



          

Jadian 6 Bulan By. Rhein Fathia Part 17 Sendhi mengampiri papanya yang sedang duduk merenung di ruang tengah. “mau kubuatkan kopi, Pa?” teguran itu membuat Om Priyono menoleh. “oh, tidak perlu. Terima kasih,” jawabnya datar, lalu kembali melamun. Sendhi duduk di sebelah papanya. Mereka berdua larut dalam diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Hanya suara detik jarum jam yang terdengar mencekam di ruangan itu. Yoga dan Tiara masih menemani Rio di kamarnya, sedangkan Inggar sudah pulang sejak magrib tadi. Mungkin, inilah saat yang tepat bagi Sendhi untuk bicara empat mata dengan papa dan mengungkapkan semua yang dipendamnya semenjak empat tahun silam. Tentang kesepiannya dan Rio, tentang kebutuhan mereka akan kasih sayang dari seorang ayah. Namun saat ia hendak mengungkapkan itu semua… “papa minta maaf.” Sendhi terkejut mendengar pernyataaan barusan. “maafkan papa yang selama ini telah menelantarkan kalian,” lanjutnya. Sendhi menarik napas panjang. “kami mengerti perasaan papa yang sangat kehilangan mama. Tapi yang kehilangan mama bukan hanya papa, kami juga merasa kehilangan.” Ia berusaha agar nada suaranya tidak meninggi. “Dan yang membuat kami semakin sedih kami juga harus kehilangan papa yang dulu begitu hangat dan sangat kami cintai.” Lanjutnya. “papa memang jahat. Papa kira sibuk mengurus pekerjaan bisa membuat papa lupa akan kesedihan karena kehilangan mama. Tapi, ternyata…,” Om Priyono tidak melanjutkan kalimatnya. Tampak air mata menggenang di pelupuk matanya. “empat tahun. Empat tahun papa menelantarkan kalian! Ya Allah…, maafkan hamba tidak bisa menjadi seorang ayah yang baik,” ujarnya. “papa rela jika kalian marah. Papa rela jika kalian tidak memaafkan papa. Karena itu memang pantas…” Sendhi dapat melihat jelas guratan penyesalan dari wajah pria berumur hampir lima puluh tahun itu. Pandangan matanya yang kosong, menyiratkan betapa ia sangat menyesal telah menelantarkan putra-putranya selama ini. “papa…” Sendhi memeluk papanya. Mereka berdua larut dalam tangis. “papa tidak salah. Maafkan kami juga yang terlalu banyak menuntut kasih sayang di tengah kesibukan dan kesedihan yang Papa alami. Maafkan kami…” Om Priyono mengelus rambut putranya. Ah…, sudah berapa lama ia meninggalkan mereka? Putra-putra yang sangat ia banggakan. Kini mereka telah dewasa. Menjadi remaja tangguh yang siap menghadapi kerasnya hidup. Sendhi melepaskan pelukannya. “jangan tinggalkan kami lagi…” “ya. Papa tidak akan melakukan kesalahan yang sama. Cukup semua kejadian yang Rio alami, menjadikan Papa untuk bisa lebih bijaksana.” “terima kasih, Pa. rio pasti senang mendengar berita ini. “tapi sepertinya dia belum bisa menerima Papa.” “pasti bisa, Pa…sebenarnya, Rio-lah yang paling membutuhkan Papa dalam hidupnya.” Om Priyono mengangguk. “kita mulai lagi dari awal.” Mereka berdua tersenyum bahagia. Akhirnya setelah empat tahun berada dalam suasana keluarga yang dingin, Sendhi bisa kembali merasakan kehangatan kasih sayang dari papanya. “kalau Papa pikir-pikir, Tiara itu mirip mamamu ya?” Sendhi hanya tersenyum menanggapi. “pantas saja kedua anak papa naksir padanya,” lanjut Om Priyono sembari tersenyum. “maksud Papa, Rio kali yang naksir Tiara…,” ralat Sendhi. Om Priyono tertawa. “kau kira papa tidak tahu, Sen? Jangan coba-coba membohongi Papa. Dari tatapan matamu saja sudah terlihat jelas kalau kau pun menyukai gadis itu.” Sendhi tersenyum. “ya, aku memang pernah jatuh cinta padanya. Tapi untuk saat ini biarlah Rio merasakan kasih sayang yang diberikan Tiara. Karena aku memang mencintai keduanya.” Pandangan Om Priyono menerawang jauh. “ternyata kita memiliki selera yang sama dalam hal wanita.” Ia memejamkan mata, membayangkan wajah istrinya yang sedang tersenyum. Betapa ia merindukan wanita itu. Wahai Allah, izinkan aku bertemu kembali dengan Sani di akhirat nanti. ***** “kurang apa, Yo?” bisik Tiara. Saat ini, ia dan Inggar sedang makan malam di rumah Rio. Om Priyono yang mengundang mereka. Sebagai ungkapan terima asih karena telah menolong Rio dan mengembalikan keharmonisan keluarganya. “kurang ini.” Rio menempelkan telunjuk di pipinya. “maksudnya?” tanya Tiara tak mengerti. “kalau ditambah sun dipipi, pasti makanannya terasa lebih enak,” goda Rio. Tiara geleng-geleng kepala. Om Priyono hanya tersenyum melihat tingkah anaknya. Inggar langsung melotot. “lo mau disun apa disundul, Yo?” tanya Inggar tajam meskipun dengan nada yang halus. “sori… sori… bercanda kok. Iya kan, Ra?” Tiara tersenyum. “lagian siapa juga yang mau ngesun kamu?” Rio nyengir. “iya juga sih. Dan lagi takut nanti ada yang cemburu.” Matanya melirik sendhi. Tapi kakaknya itu tidak menanggapi dan tetap makan dengan tenang. Selain diundang makan malam, Tiara juga diminta untuk memasak hidangannya. Karena ia sangat pintar memasak. Ternyata memang benar makan malam hari ini sangat lezat. Rio yang baru kembali seperti biasanya sampai nambah dua kali. Begitu pula dengan Om Priyono yang memuji kalau Tiara pasti bisa menjadi istri yang membahagiakan suaminya kelak. Sebenarnya masakan Tiara biasa saja. Ia hanya membuat rending, sayur sop, sambal, dan kentang, plus krupuk udang. Namun resep rahasia turun-temurun dari keluarga ibunyalah yang membuat masakan Tiara menjadi lebih lezat. Setelah selesai makan Sendhi yang akan mengantar Tiara dan Inggar pulang. Dan saat mereka berada di depan pintu, ia berbisik pada Rio.” Tenang saja, aku tidak akan merebutnya darimu.” Rio tersenyum. “thanks, Kak.” ***** Hari-harii selanjutnya adalah hari-hari menjelang ulangan kenaikan kelas. Mereka yang kelas satu akan naik ke kelas dua. Begitu pula dengan siswa-siswi kelas dua, mereka akan naik ke kelas tiga, dan harus lebih serius dalam belajar karena setahun kemudian mereka akan melanjutkan ke perguruan tinggi. Bukankah untuk meyongsong masa depan, harus dipersiapkan sejak dini? Hm…masa depan. Sebuah kehidupan yang tak seorang pun mengetahuinya, meskipun itu milik diri sendiri. Karena ia trertutup oleh tirai-tirai tipis yang harus kita sibak. Rio harus mengejar ketertinggalan pelajarannya selama ia berada di rumah sakit. Bukanlah si Jenius Rio namanya, jika tidak mampu melakukan itu. Hanya dengan membaca buku pelajaran dan catatan yang dipinjamkan oleh Inggar beberapa waktu lalu ia sudah bisa menguasai materi. Bahkan ia juga mengajari Tiara yang memang agak lemah dalam pelajaran matematika. “huff…, aku ini ingin jadi astronom. Tapi hitung-menghitung dan menghafal rumus saja sulit,” keluh Tiara saat Rio datang ke rumahnya untuk belajar bersama. Dan kali ini mereka ditemani oleh Indra, yang kebetulan sedang pulang ke Bogor. “memangnya matematika itu syarat mutlak untuk jadi astronom?” tanya Rio. ‘paling tidak, matematika dasar untuk perhitungan-perhitungan dalam Astronomi.” “kalau begitu pelajari saja dengan serius.” “kamu yang jenius sih gampang bilang begitu. Otakku kan pas-pasan.” “Nah ini deh, yang namanya putus asa atas Rahmat Allah,” ujar Rio. “kamu tahu kan, Allah menciptakan semua bayi yang lahir ke dunia dengan jumlah sel yang sama dalam otaknya. Termasuk otak Eistein sekalipun. Kalau Eistein bisa menjadi ilmuwan yang dikenang sepanjang masa, kenapa kita tidak? Allah itu adil kan? Dia menciptakan setiap bayi dengan istimewa. Termasuk juga kamu!” “iya deh, Pak Ustadz…” “kamu itu diajarin kok malah ngeledek.” Tiara tersenyum senang. Ternyata sekarang Rio sudah pandai menasihati secara Islami. “iya juga ya. Mungkin selama ini aku kurang berusaha. Tapi kok kamu malah ngomongin bayi sih? Umurku kan enam belas tahun bukan bayi lagi!” “yah…, untuk persiapan nantilah!” “persiapan apa?” “persiapan untuk anak kita nanti…,” jawab Rio dengan senyum jailnya. Tiara hanya menatap Rio bingung. Anak kita? ***** Ulangan umum yang “hanya” berlangsung selama seminggu itu, cukup membuat otak siswa-siswi SMANSA jadi “berasap”. Mereka yang biasa belajar rutin setiap harinya mungkin hanya tinggal mengulang pelajaran yang lalu. Namun tidak sedikit yang masih menggunakan trik belajar dadakan. Apalagi kalau bukan sistem SKS alias Sistem Kebut Semalam. Tetapi yang pasti semua siswa sibuk belajar. Demi mendapat nilai baik yang nantinya bisa dipertanggung jawabkan kepada orangtua. Mereka rela begadang dan mengurangi waktu bermain hanya untuk belajar…belajar…dan belajar…dan setelah satu minggu penuh “tantangan” itu berakhir, mereka yang kurang beruntung masih tetap sibuk menambal nilai-nilai yang kurang di mata pelajaran tertentu alias harus REMIDIAL! Tiara harus puas dengan nilai matematika yang benar-benar pas; tujuh. Ia tidak bisa meminta remidial pada guru karena batas nilai untuk mengikuti remedial adalah enam. Padahal ia belum puas dengan nilainya itu. Tapi di mata pelajaran lain…, Alhamdulillah nilainya meningkat dibandingkan sementer lalu. Lain Tiara, lain pula dengan Rio. Sang juara kelas itu santai-santai saja tanpa harus sibuk menambal nilai-nilainya. Ia mendapat nilai-nilai yang baik di setiap mata pelajaran. Nilai terendah yang ia dapat adalah delapan, itu juga hanya dua mata pelajaran hafalan. Selebihnya, Sembilan! “nilai kamu kan sudah lebih baik dari semester lalu.” Tiara menarik napas panjang. Ia masih murung dengan nilai matematikanya. “ya sudah, sekarang terima saja. Toh, ulangan sudah lewat. Untuk ke depan bisa belajar lebih baik kan?” ujar Rio saat mereka duduk di bangku depan secretariat DKM. Tampak beberapa siswa berlalu-lalang dan saling menanyakan nilai. Melihat Tiara yang masih juga murung, Rio jadi bingung sendiri. “Tiara…” panggil Rio lembut “kamu sering bilang, kalau rencana Allah itu selalu indah kan? Aku yakin, ada rahasia di balik nilai matematikamu yang kurang baik ini. Rahasia yang mungkin kita sendiri tidak mengerti. Tapi yang pasti itu untuk kebaikanmu. Kita harus bersyukur kan, Ra? Atas semua yang kita dapatkan meskipun tak seindah yang kita harapkan.” Ia masih mencoba menghibur kekasihnya. Tiara menatap Rio dalam-dalam. Ia ingin menangis. Entah menangis sedih atas nilai matematikanya atau menangis haru karena kata-kata yang barusan Rio ucapkan. Subhanallah… Mahasuci Allah yang bisa mengubah seorang Rio menjadi lebih bijaksana. Terima kasih ya Allah…terima kasih…, bisiknya dalam hati. Air mata bening itu mengalir di pipinya. “kok kamu malah nangis sih, Ra?” tanya Rio panic. ***** Bersambung… @LDF
Posted on: Fri, 26 Jul 2013 06:35:15 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015