Jangan biarkan Indonesia dijajah pada sektor pangan -> Pemerintah - TopicsExpress



          

Jangan biarkan Indonesia dijajah pada sektor pangan -> Pemerintah Wajib Perkuat Petani Negara-negara maju gigih memperjuangkan kepentingan petani mereka, termasuk dalam pertemuan World Trade Organization (WTO) di Bali. Tidak hanya itu. Amerika Serikat (AS), misalnya, membayar subsidi US$ 20 miliar (Rp 237,72 triliun) tiap tahun untuk petani dan pemilik lahan. Uni Eropa juga mengguyur subsidi sekitar 57 miliar euro atau Rp 921,88 triliun per tahun. Pembayaran subsidi langsung kepada petani AS mencapai US$ 40.000 per orang atau US$ 80.000 per pasangan setahun. Hasil panennya juga mendapat jaminan dibeli pada floor price atau harga dasar yang menguntungkan. Usaha mereka pun masih mendapat subsidi asuransi dan bencana alam, plus subsidi konservasi pertanian. Tak heran, pendapatan petani Negeri Paman Sam ini lebih tinggi dari rata-rata pekerja sektor lain. Selain itu, tersedia dana subsidi ekspor besar-besaran. Importir bisa mendatangkan barang lebih dulu dengan mendapatkan kredit lunak alias bunga superrendah. Alhasil, komoditas pertanian AS membanjiri pasar negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Tak hanya gandum dan kapas AS membanjiri Indonesia, kedelai dan jagung impor juga merangsek dan menggusur para petani di Tanah Air. Produksi dan lahan kedelai petani lokal terus menyusut dalam tiga tahun terakhir. Jika panen kedelai nasional tahun 2011 masih 851.286 ton, tahun ini tinggal 807.568 ton. Akibatnya, impor kedelai kian melonjak dan diperkirakan mencapai 2,2 juta ton tahun ini. Jumlah itu sudah lebih dari 70 persen total konsumsi Indonesia setahun dan importir pun terus mempermainkan harga. Bukan sekali-dua kali para perajin tahu-tempe menjerit karena lonjakan harga, hingga tak sedikit yang akhirnya gulung tikar. Fenomena yang sama terjadi di hampir semua komoditas pangan Indonesia. Negeri agraris ini makin bergantung pada pasokan pangan impor, mulai dari bawang putih, susu, hingga daging sapi. Akibatnya, inflasi Indonesia melejit tinggi karena gejolak harga-harga komoditas pangan yang terus berulang. Di samping faktor musiman bulan puasa dan Lebaran, isu lain seperti penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi ditunggangi untuk mendongkrak harga pangan. Akibatnya, inflasi lepas kendali dari target pemerintah 7,2 persen tahun ini, diperkirakan mencapai 8,5 persen pada pengujung tahun. Otomatis, bunga acuan Bank Indonesia (BI rate) terbang, dari 5,75 persen menjadi 7,5 persen hanya dalam waktu enam bulan. Suku bunga kredit melejit, pertumbuhan kredit melambat, dan laju pertumbuhan ekonomi turun. Hal ini ikut menekan nilai tukar rupiah dan akhirnya mengguncang ekonomi kita. Kondisi memprihatinkan ini harus menyadarkan Pemerintah Indonesia bahwa pertarungan pembangunan pertanian adalah pertarungan masa depan bangsa. Ketahanan pangan dan energilah yang akan menjadi pertarungan global. Hanya dengan berdaulat pangan dan energilah, negeri ini bisa tumbuh berkelanjutan. Untuk itu, petani dan pertanian Indonesia tak bisa dibiarkan bertarung langsung dengan kekuatan negara-negara besar, yang ingin terus memonopoli penguasaan pangan. Pertama-tama, sebagaimana di negara maju, pemerintah harus memberikan lahan luas kepada petani, minimal 10 hektare misalnya. Jika untuk pengusaha asing ratusan ribu hektare lahan perkebunan, kehutanan, dan pertambangan bisa diberikan pemerintah, kenapa untuk petani tidak kunjung diberi? Lihat saja. Sebanyak 26,14 juta rumah tangga (RT) petani, 44 persen dari total keluarga Indonesia sebanyak 60 juta, dibiarkan hidup terlunta-lunta. Pasalnya, lahan rata-rata hanya 0,89 hektare. Padahal, untuk memenuhi kebutuhan hidup, dibutuhkan lahan minimal dua hektare. Tak heran, mayoritas penduduk miskin negeri ini adalah petani dan angka kemiskinan sulit turun. Mayoritas penduduk pun hanya lulusan sekolah dasar (SD), jauh tertinggal dari negeri jiran Malaysia yang rata-rata tamat sekolah menengah atas (SMA). Kesenjangan pendapatan pun meningkat. Untuk itu, program reforma agraria harus segera dilaksanakan secara komprehensif dan dibangun lahan pertanian abadi yang tidak boleh dialihfungsikan. Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus segera menjalankan pembebasan 4,8 juta hektare lahan telantar untuk pertanian, yang sudah ditugaskan tahun lalu. Selain petani mendapat lahan 10 hektare dengan infrastruktur pertanian lengkap hingga jalan lebar menuju pelabuhan, kredit bunga murah harus disediakan. Selain itu, semua bibit unggul, pupuk, pestisida, hingga teknologi pengolahan pascapanen disediakan lewat kerja sama dengan BUMN terkait. Perum Bulog juga harus menjamin pembelian hasil panen petani dengan jaminan harga dasar yang menguntungkan. Petani pun dibimbing untuk menggunakan sistem resi gudang yang bisa menjadi agunan, sehingga panen bisa dijual saat harga bagus dan ada stok pangan nasional. Bersamaan dengan itu, pemerintah harus berjuang di berbagai forum internasional untuk melindungi petani dan ketahanan pangan nasional. Uji kesungguhan pemerintah ada di hadapan kita sekarang, yakni dalam Konferensi Tingkat Menteri WTO IX yang digelar di Bali hingga 6 Desember mendatang. Indonesia tak hanya harus berhasil memperjuangkan peningkatan batas subsidi pertanian untuk negara berkembang, dari semula 5-10 persen dari total produksi setahun menjadi 15 persen. Lebih dari itu, pemerintah harus segera mewujudkan subsidi pertanian 15 persen langsung untuk petani. Subsidi komoditas seperti pupuk, benih, hingga pembelian beras yang sering diselewengkan harus diakhiri. Subsidi barang ini hanya menguntungkan pabrik pupuk dan perusahaan BUMN lain, selain jadi ajang korupsi dan penyelewengan untuk dana politik. Subsidi ini harus segera diberikan langsung untuk memperkuat petani. brt.st/1FZ9 ”
Posted on: Thu, 05 Dec 2013 03:12:38 +0000

Trending Topics



18212791547754">EBOLA NOTICe For all of you calling me to put salt or pepper
VIVENDO E APRENDENDO VIII "Justiça significa dar a cada um o que

Recently Viewed Topics




© 2015