KEMAKSUMAN PARA NABI DALAM QURAN DAN HADIS bagian pertama - TopicsExpress



          

KEMAKSUMAN PARA NABI DALAM QURAN DAN HADIS bagian pertama Siapakah yang Menghina Orang Buta? Surah ke 80 (Abasa): Dengan nama Allah Maha Pengasih Maha Penyayang Dia (seorang pemimpin Bani Umayah tertentu) bermuka masam dan berpaling (ketika ia sedang bersama Nabi), Karena telah datang seorang buta (Ibnu Ummi Maktum) kepadanya, Tahukah kamu mungkin ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa) Atau dia ingin mendapatkan pelajaran, sehingga pelajaran itu memberi rnanfaat kepadanya (orang buta)? Adapun orang yang merasa dirinya (pemimpin Bani Umayah) serba cukup, Maka kamu melayaninya? Padahal tiada (celaan) atasmu jika dia tidak membersihkan diri (beriman) Dan adapun orang yang datarvg kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran) Sedang ia takut (kepada Allah dalam hatinya) Maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah satu peringatan. Sebab turunnya surah ini merupakan peristiwa sejarah yang terjadi. Suatu ketika Nabi Muhammad SAW tengah bersama sejumlah orang kaya Quraisy dari suku Umayah, di antaranya Utsman bin Affan, yang bela¬kangan menduduki tampuk kekhalifahan. Ketika Rasulullah SAW tengah mengajari mereka, Abdullah bin Ummi Maktum, seorang buta dan termasuk salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, datang kepadanya. Nabi Muhammad SAW menyambutnya dengan penuh hormat dan memberikan tempat duduk yang paling dekat dengan dirinya. Bagaimanapun, Nabi tidak menjawab pertanyaan orang buta itu dengan segera mengingat ia berada di tengah-tengah pembicaraan dengan suku Quraisy. Karena Abdullah miskin dan buta, para pembesar Quraisy merendah¬kannya dan mereka tidak suka penghormatan dan penghargaan yang ditujukan kepadanya oleh Nabi Muhammad SAW. Mereka juga tidak suka kehadiran orang buta di tengah-tengah mereka sendiri dan perkataannya yang menyela perbincangan mereka dengan Nabi Muhammad SAW. Akhirnya, salah seorang kaya dari Bani Umayah (yakni Utsman bin Affan) bermuka masam dan berpaling kepadanya. Perbuatan pembesar Quraisy ini tidak diridhai oleh Allah SWT dan pada gilirannya Dia menurunkan Surah Abasa (80) melalui malaikat Jibril di waktu yang sama. Surah ini memuji kedudukan Abdullah kendati ia papa dan buta. Dan dalam ayat-ayat belakangan Allah ‘mengingatkan’ Nabi-Nya SAW bahwa mengajari seorang kafir tidaklah penting andai kata orang kafir itu tidak cenderung untuk menyucikan dirinya dan menyakiti seorang mukmin hanya karena ia tidak kaya dan sehat. Sekelompok mufasir Sunni yang bersama Nabi Muhammad SAW sepanjang standar aturan-aturan moral biasa menuduh beliau menghina Abdullah, dan dengan itu, mereka mencoba mengatakan bahwa beliau tidak bebas dari kelemahan karakter dan perilaku. Ini terjadi ketika orang yang menghina si miskin tadi adalah seorang kaya dari Bani Umayah yang masih non-Muslim, atau baru masuk Islam (yakni Utsman). Namun sebagian orang demi membersihkan wajah Utsman dari perilaku buruk semacam itu tidak segan dan sungkan menuduh Nabi Muhammad SAW berbuat seperti itu (bermuka masam) dan mengritik Nabi Muhammad SAW demi membela Utsman. Ulangan peristiwa yang sama dilakukan oleh Umayah selama kekuasaan mereka melalui (lisan dan tulisan) para perawi bayaran. Terkenal dalam sejarah bahwa Umayah adalah musuh paling sengit terhadap keluarga Nabi Muhammad SAW dan Islam. Seperti telah dikatakan, itu tidak sesuai bagi mereka dimana pemimpin mereka,Utsman, diperingatkan Quran. Demikianlah, para ulama yang bekerja untuk Umayah dipaksa menulis bahwa ayat ini diperintahkan untuk menegur Nabi Muhammad SAW, bukannya Utsman. Omong kosong semacam itu adalah untuk menjaga wibawa dan kehormatan Utsman dengan harga menghinakan Nabi Muhammad SAW sebagai penghulu para Nabi. Berikut ini merupakan mendapat sejumlah mufasir Sunni. Disebutkan bahwa ayat-ayat ini turun sekaitan dengan Abdullah bin Ummi Maktum, yakni Abdullah bin Syarih bin Malik bin Rabi’ah Fihri dari (kabilah) Bani Amir bin Luay. Dia datang kepada Rasulullah SAW ketika beliau tengah mencoba memasukkan orang-orang ini kepada Islam Utbah bin Rabi’ah, Abu Jahal bin Hisyam, Abbas bin Abdul Muththalib, Ubay dan Umayah bin Khalaf. Orang buta itu berkata, “Wahai Rasulullah, bacakanlah kepadaku kepadaku dan ajari aku sesuatu yang Allah ajarkan kepadamu!” Dia terus menyeru Nabi dan mengulang-ulang permohonannya, tidak mengetahui bahwa Nabi Muhammad SAW tpngah sibuk menghadapi orang lain, sampai kegusaran tampak pada wajah Nabi karena disela. Nabi Muhammad SAW berkata kepada dirinya sendirinya bahwa orang – orang (pembesar Quraisy) ini akan mengatakan bahwa para pengikutnya (Muhammad) hanyalah orang buta dan para budak, maka beliau berpaling darinya dan bersitatap dengan orang-orang yang ia ajak bicara. Maka ayat-ayat selanjutnya pun diturunkan. Setelah itu Rasulullah SAW pun bersikap baik kepadanya. Dan apabila ia memandang orang buta, ia biasa berkata, “Selamat datang orang yang kepadanya Tuhanku menegurku karenanya!” Beliau biasa meminta Abdullah bin Ummi Maktum jika beliau membutuhkan sesuatu dan menjadikannya sebagai wakil di Madinah dua kali selama peperangan. Tafsir Sunni di atas juga telah disebutkan dalam al-Durr al-Mantsur oleh Suyuthi, dengan sedikit perbedaan. Abul A’la Maududi seorang mufasir Quran lainnya memiliki pandangan yang lebih moderat. Berikut ini tafsirannya atas Surah Abasa ayat 17: Di sini kebinasaan telah diungkapkan secara langsung bagi orang-orang kafir yang tidak memperhatikan pesan kebenaran. Sebelum ini, dari permulaan surah hingga ayat 16, sesungguhnya ia ditujukan untuk menegur orang-orang kafir kendati seolah-olah ia ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW.’ Bagaimanapun, faktanya adalah Quran tidak memberikan keterangan apapun bahwa orang yang bermuka masam kepada orang buta adalah Nabi Muhammad SAW dan juga tidak memastikan siapa yang dituju (oleh ayat tersebut). Dalam ayat-ayat di atas Allah SWT tidak mengalamatkan kepada Nabi Muhammad SAW entah oleh nama atau julukannya (yakni wahai Muhammad, atau wahai Nabi, atau wahai Rasulullah). Lebih dari itu, terjadi perubahan kata benda dari `dia’ dalam dua ayat pertama kepada ‘engkau’ dalam ayat-ayat terakhir dalam surah tersebut. Allah tidak menyatakan, ‘Engkau bermuka masam dan berpaling’. Alih-alih, Yang Maha Kuasa menyatakan, Dia bermuka dan berpaling (ketika ia tengah bersama Nabi). Karena telah datang kepadanya seorang yang buta. Tahukah kamu bahwa ia (orang buta tersebut) ingin membersihkan dirinya dari dosa (QS. 80:1-3). Kendatipun kita mengandaikan bahwa ‘engkau’ dalam ayat ke tiga tertuju kepada Nabi Muhammad SAW, maka nyatalah dari tiga ayat di atas bahwa kata-kata ‘dia’ (orang yang bermuka masam) dan ‘kamu’ tertuju pada dua orang yang berbeda. Dua ayat selanjutnya mendukung gagasan ini; Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya (QS. 80: 5-6). Dengan demikian, orang yang bermuka masam bukanlah Nabi Muhammad SAW karena ada perbedaan antara `dia’ dan ‘kamu’. Dalam surah 80:6 Allah berfirman kepada Nabi-Nya SAW dengan mengatakan bahwa mendakwahi orang-orang yang sombong dari bangsa Quraisy yang bermuka masam kepada seorang buta tidaklah pantas dan tidaklah apa¬apa untuk lebih mendahulukan mendakwahi seorang yang buta, sekalipun orang buta datang belakangan. Alasannya, mendakwahi siapapun yang tidak bermaksud untuk menyucikan dirinya (sampai ke tingkat ia bermuka masam kepada seorang mukmin) tidaklah berguna. Lebih dari itu, bermuka masam bukanlah perilaku yang berasal dari Nabi Muhammad SAW terhadap musuh-musuhnya yang nyata, apalagi (bermuka masam) terhadap orang beriman yang mencari petunjuk! Satu pertanyaan yang muncul adalah: Bagaimana bisa seorang Nabi Muhammad SAW yang diutus sebagai rahmat untuk umat manusia berbuat tidak senonoh ketika seorang mukmin awam tidak berbuat seperti itu? Dakwaan ini juga berlawanan dengan pujian Allah SWT sendiri atas moral luhur dan etika mulia dari Nabi Muhammad SAW, Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung (QS. al-Qalam 68 : 4). Seseorang yang menghina orang lain tidaklah pantas menerima pujian semacam itu. Disepakati bahwa Surah Al-Qalam turun sebelum Surah Abasa. Ia bahkan diturunkan segera setelah Surah Iqra (96-surah pertama yang diwahyukan). Bagaimana bisa masuk akal bahwa Allah SWT melimpahkan kebesaran pada makhluk-Nya di permulaan keNabiannya, menyatakan bahwa ia berada dalam budi pekerti yang agung, dan setelah itu balik menegur dan mengecamnya atas keraguan yang tampak pada tindakan¬tindakan moralnya. Allah SWT berfiman, Dan berilah peringatan kepada kerabat¬ kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman (QS. as-Syu’ara : 214-5). Masyhur diketahui bahwa ayat-ayat ini merupakan wahyu Mekkah awal. Kata-kata yang sama bisa ditemukan di ujung Surah al-Hijr ayat 88. Allah Yang Maha Mulia lebih jauh berfirman, Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu), dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik! (QS. 15:94). Beliau diperintahkan untuk berpaling dari orang-orang musyrik dalam ayat ini yang diketahui telah diturunkan pada permulaan ‘seruan terbuka kepada Islam’ (setelah periode sembunyi-sembunyi). Bagaimana bisa dibayangkan bahwa setelah semua perintah ini, Rasul agung dan mulia berbuat salah dengan cara sedemikian yang akan membutuhkan pelarangan yang dinyatakan? Para mufasir Quran dari madrasah Ahlulbait lebih jauh menegaskan bahwa bahkan dalam pertanyaan ayat ketiga dan ke empat surah tersebut mengenai keraguan apakah Abdullah mendapatkan manfaat dengan berbicara dengan Nabi Muhammad SAW ataukah tidak, telah tertanam dalam minda orang yang belum memeluk Islam, dan tidak menyadari jiwa Islam. Hal ini tidak pernah terdapat dalam minda Nabi Muhammad SAW yang telah diutus untuk mengajarkan keimanan kepada setiap orang dan semuanya, tanpa memandang kedudukan duniawi apapun. Itulah sebabnya mereka menyimpulkan bahwa kata ‘kamu’ dalam ayat ke tiga tetap tidak berlaku bagi Nabi Muhammad SAW. Alih-alih ia berlaku bagi salah seorang yang hadir dari Umayah, dan bahwa tak satu pun dari ayat pertama surah ini (80:1-4) tertuju kepada Nabi Muhammad SAW kendatipun ayat-ayat terakhir ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW. Mereka yang memahami bahasa Quran dan membaca bahasa Arab Quran yang orisinal menyadari lompatan konstan antara gaya penulisan Quran orang pertama, kedua, dan ketiga. Dalam banyak ayat Quran, Allah mengubah objek pembicara (sasaran) secara tajam, dan dengan sendirinya, adalah tidak selalu mudah untuk melukiskan siapakah yang dituju ketika nama sasaran pembicaraan tidak diungkapkan. Itulah sebabnya Nabi Muhammad SAW memerintahkan kita untuk merujuk pada Ahlulbait as dalam hal penafsiran ayat-ayat Quran karena mereka adalah ‘orang-orang yang mendalam ilmunya’ (QS. 3:7), ‘ahli zikir’ (QS. 16:43; 21:7), dan ‘orang-¬orang yang disucikan yang telah menyentuh pengertian al-Quran (lihat 56:79). Diriwayatkan bahwa Imam Shadiq as berkata, “Ia diturunkan sekaitan dengan seorang lelaki dari Bani Umayah. Ia tengah berada di majelis Nabi Muhammad SAW, kemudian Ibnu Ummi Maktum datang. Ketika ia melihat Ibnu Ummi Maktum ia merasa kesal kepadanya, bermuka masam, dan berpaling darinya. Maka Allah SWT mengatakan apa yang Dia sebut sebagai ketidak sukaan atas perbuatannya.” Demikian juga dikatakan bahwa Imam Shadiq as berkata, “Setiap kali Rasulullah SAW melihat Abdullah bin Ummi Maktum, beliau berkata, ‘ Selamat datang, selamat datang, demi Allah, engkau tidak akan mendapati Allah menegurku terhadapmu’ (80:5-11), ini karena rasa malu.” Dalam tafsir Sayid Syubbar dilaporkan dari Qummi bahwa ayat tersebut diturunkan tentang Utsman dan Ibnu Ummu Maktum, seorang yang buta. Ia datang kepada Rasulullah SAW ketika beliau sedang bersama para sahabat. Di saat itu, ada Utsman. Rasulullah SAW mengenalkannya kepada Utsman, dan Utsman bermuka masam dan memalingkan wajahnya darinya. Allah Yang Maha Kuasa berfirman dalam Quran tentang Nabi Muhammad SAW, ...dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah hanyalah wahyu yang diturunkan kepadanya (QS. 53: 3-4). Maka bagaimana bisa Nabi Muhammad SAW mengatakan sesuatu v.-ang menyerang jika ucapan-ucapannya adalah wahyu atau ilham? Nabi Muhammad SAW tidak berbicara berdasarkan keinginan sendirinya. Secara menarik, kaum Sunni membenarkan bahwa Surah Abasa diturunkan segera setelah Surah an-Najm dimana ia menyatakan Nabi Muhammad SAW tidak berbicara karena keinginannya sendiri. Juga dalam Surah al-Ahzab ayat 33 membenarkan bahwa Ahlulbait itu suci tidak berdosa. Kita semua mafhum bahwa keutamaan Nabi lebih tinggi ketimbang keutamaan keluarganya. Beliau juga terhitung sebagai Ahlulbait. Lantas, bagaimana mungkin ia menyakiti hati seorang mukmin namun tetap menjaga kesucian secara sempurna ? Perhatikan juga firman Allah berikut! Padahal tiada (celaan) atasmu (untuk mengajari kepala kabilah yang sombong) jika dia tidak membersihkan diri (beriman) (QS. Abasa : 7). Hal di atas tidak berarti bahwa apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW merupakan suatu kesalahan, karena Allah menggunakan frase `padahal tiada celaan atasmu’. Ini artinya pilihan Nabi tidaklah galat, melainkan itu bukan sesuatu yang tercela untuk dilakukan. Juga ketika Allah menyatakan, mengajarinya tidak penting jika orang Quraisy itu tidak menyucikan dirinya. Nah, Nabi Muhammad SAW tidak mengetahui sebelumnya bahwa orang Quraisy itu akan bermuka masam kepada orang mukmin yang buta tersebut, dengan demikian, syarat jika tidak terpenuhi. Karena itu, apa yang Nabi Muhammad SAW lakukan adalah tepat sebelum ketika orang tersebut bermuka masam (karena Nabi Muhammad SAW berada di tengah-tengah pembicaraannya dengan orang-orang Quraisy itu ketika Ibnu Ummi Maktum datang). Dan begitu orang Quraisy itu bermuka masam, Nabi menghentikan pembicaraan dan kemudian ayat tersebut diturunkan. Sebagaimana bisa kita saksikan, apa yang Nabi SAW lakukan merupakan tugasnya detik demi detik. Teguran tersebut untuk masa depan, sebagaimana dalam kasus ayat Quran lainnya dimana Allah mengingatkan Nabi-Nya bahwa tidak layak baginya untuk mempersulit diri sendiri guna memandu orang-orang karena sebagian dari mereka tidak pernah bisa diberi petunjuk, dan tidak seyogianya Nabi sedih atas mereka. Kesimpulannya, kami menyediakan bukti dan keterangan dari Quran, hadis, sejarah, dan tata bahasa Arab, untuk mendukung fakta bahwa ayat¬-ayat sebelumnya dari surah ini tidak merujuk Nabi Muhammad SAW dan sesungguhnya orang yang bermuka masam kepada orangbuta itu bukanlah Nabi Muhammad SAW. Kami sebutkan juga bahwa Surah Abasa ayat 5¬11 hanyalah pengingat untuk masa depan Nabi Muhammad SAW bahwa mendakwahi seorang kafir tidaklah berhasil sekiranya orang kafir tersebut tidak mencoba untuk menyucikan dirinya sendiri dan ketika seorang kafir tersebut menyakiti dan melukai seorang mukmin hanya gara-gara orang mukmin itu miskin dan buta (tidak sehat jasmaninya). Komentar Balik Seorang Sunni berkata bahwa para ulama tafsir menulis ayat-ayat dari Surah Abasa diturunkan setelah Nabi Muhammad SAW tengah mencoba meyakinkan empat pemuka Quraisy yang terpandang untuk memeluk Islam, yakni Utbah bin Rabi’ah Abu Jahal (Amru bin Hisyam), Umayah bin Khalaf, dan saudaranya, Ubay (tidak menyebutkan Utsman bin Affan). Selain itu, Qurthubi menyebutkan dalam tafsirnya bahwa ayat-ayat ini merupakan ayat-ayat Madaniyyah (diturunkan di Madinah) yang artinya Utsman telah menjadi seorang Muslim pada saat itu. Tanggapan kami adalah sebagai berikut: Kaum Muslim sepakat bahwa Surah Abasa diturunkan di Mekkah jauh sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Niadinah. Lebih menarik lagi, mereka setuju bahwa Surah Abasa diturunkan segera setelah Surah an N’ajm dimana Allah berfirman bahwa Nabi Muhammad SAW tidak berbicara berdasarkan keinginannya! Sekali lagi, berdasarkan pendapat Sunni, Surah : An-Najm merupakan surah Quran ke 23 yang diturunkan, sementara Surah Al-basa merupakan surah Quran ke 24 yang diturunkan. Keduanya ini merupakan wahyu Mekkah yang awal. Barangkali apa yang telah Qurthubi natakan semata-mata untuk mengalihkan pembaca dari masalah Utsman yang dituju oleh surah tersebut. Dengan demikian, menjaga integritas Utsman dengan ongkos berupa menuduh Nabi Muhammad SAW. Kesalahan lain dalam riwayat di atas adalah bahwa anda mengatakan salah seorang Quraisy itu yang kepadanya Nabi Muhammad SAW berbicara adalah Abu Jahl? Apa yang Abu Jahl lakukan di Madinah? Saudara, apakah anda mengetahui bahwa Abu Jahal tinggal di Mekkah, dan salah seorang musuh terbesar Nabi Muhammad SAW, dan tidak pernah hijrah ke Madinah untuk menemui Nabi dan termasuk orang yang terbunuh dalam Perang Badar (perang pertama)? Orang lain yang disebutkan dalam riwayat di atas Utbah dan Umayah juga terbunuh bersama pemimpin mereka, Abu Jahal, dalam Perang Badar. Tak seorang pun dari mereka berkesempatan menemui Nabi (setelah hijrahnya Nabi) kecuali dalam medan Perang Badar dimana jenazah dibawa ke sumur terkenal itu! Penolakan Artikel ini berkaitan dengan argument apakah para Nabi dan Rasulullah itu maksum (suci dari dosa) ataukah tidak. Pada bagian pertama, kami akan memindai perspektif Sunni dan baru setelah itu kami akan menyajikan pendapat Syi’ah tentang masalah tersebut dengan mengacu pada ayat-¬ayat Quran. Sedangkan pada bagian ke dua, kami akan memberikan argumen logis di balik isu kemaksuman. Sebagai tambahan, kami melihat sejumlah hadis Sunni yang otentik yang mendukung kemaksuman. Di bagian ketiga, kami menanggapi argumen-argumen dari para penentang dalam hal ini. Apakah mungkin bagi seorang manusia menjadi maksum? Apakah realistis untuk meyakini bahwa Allah SWT, Maha Pencipta dan Maha Pemelihara alam semesta, akan mengutus seorang manusia pendosa untuk membimbing umat manusia? Bagaimana halnya dengan Quran, informasi dan keterangan mengenai masalah tersebut tersedia? Inilah beberapa pertanyaan di antara berbagai pertanyaan lain yang berusaha untuk dijawab dalam bab ini. Syi’ah Imamiyah tidak berpendapat manusia manapun, entah ia seorang Rasul atau seorang imam, sebagai Tuhan. Kita tidak menyembah manusia ataupun mengakui kebiasaan semacam itu. Allah SWT tidak pernah berkompromi dalam teologi ataupun filsafat Syi’ah! Semua tuduhan negatif yang kalian mungkin dengar tentang kami adalah murni propaganda dengan motif-motif politik. Allah Yang Maha Mulia di atas segala sesuatu yang menggores martabat dan keadilan. Kami berpendapat bahwa Allah SWT sebagai Pencipta Yang Maha Adil, yang tidak pernah melakukan kezaliman terhadap ciptaan-Nya. Allah SWT tidak bisa dibagi¬-bagi dan Dia tidak menyerahkan keagungan-Nya dan kedaulatannya kepada siapapun. Tak seorang pun diizinkan untuk mencampuri kehendak-Nya, kecuali dengan izin-Nya. Ini merupakan akidah ‘Syi’ah Dua Belas Imam’ yang otentik dan segala sesuatu yang lainnya yang sifatnya negatif dan dinisbatkan kepada Syi’ah adalah omong kosong. Kemaksuman Menurut Ahlussunnah Para ulama Ahlussunnah tidak berbicara dalam satu suara tentang subjek ini. Sebagian Sunni mengklaim bahwa Nabi Muhammad SAW itu rxaksum atau tidak berdosa hanya dalam penyampaian risalah Allah. Selain dari itu, Nabi Muhammad SAW sebagaimana orang lain berdosa dan melakukan kesalahan-kesalahan dalam banyak hal. Faksi Sunni ini mendasarkan pendapat mereka pada hadis-hadis yang diriwayatkan dalam kitab-kitab mereka tentang bagaimana Nabi Muhammad SAW tertidur dan lupa akan waktu salat, dan bahkan lupa melakukan wudhu untuk shalat.’ Lebih jauh, mereka mengklaim bahwa beliau biasa duduk bersama Aisyah dan menonton sebuah tarian yang diiringi dengan musik. Mereka juga mendakwa bahwa beliau dipengaruhi oleh mantra sihir yang menimbulkan episode halusinasi pedih di pihaknya’ Inilah sebagian kecil dari tindakan-tindakan yang paling keji ulama-ulama’ Bani Umayah itu. Perhatikan bahwa menurut kaum Syi’ah, hadis-hadis ini tidaklah otentik, atau bukan merupakan satu kebenaran apapun. Lagi pula, hadis-¬hadis ini disisipkan ke dalam kitab-kitab mereka oleh Bani Umayah, di antara yang lainnya, untuk membenarkan penyimpangan dan kekejian mereka. harena ketika Nabi Muhammad SAW berdosa sedemikian keji sebagaimana mereka menggambarkan beliau dalam hadis-hadis di atas kita tidak bisa lagi menyalahkan Utsman, atau Muawiyah, Yazid, atau Amr bin Ash, di antara yang lainnya, ketika mereka berdosa. Adalah untuk kepentingan mereka sendiri, mereka menggambarkan Nabi Muhammad SAW sebagai seorang manusia yang mendengarkan musik dan tarian bersama istrinya, untuk membenarkan tarian dan musik yang liar di istana-istana mereka. Keadaan umat sekarang tidaklah demikian disebabkan sebagian kecil dari mereka tidak melakukan salat ataupun puasa. Hal ini karena sejumlah Yang telah mengubah dan merusak agama Allah SWT untuk membenarkan hawa nafsu mereka, sebagaimana yang dilakukan oleh golongan Kristen dan Yahudi. Itulah yang secara tepat kita alami. Kita berdosa, kemudian kita katakan, “Nabi Muhammad SAW sendiri adalah seorang pendosa!” Sungguh para Nabi dan Rasulullah suci dari watak dosa semacam itu! Demi Allah, mengatakan hal semacam itu lebih merupakan suatu penghinaan kepada Allah SWT, ketimbang kepada Nabi dan para Rasul. Karena ketika kita menandaskan bahwa Allah SWT mengutus orang-orang yang berdosa, kita tengah mendakwa bahwa Allah SWT sendiri mengakui dosa; atau mengapa, kemudian, Dia mengutus seorang manusia pendosa? Padahal, di sisi lain, Allah SWT melarang kita dari perbuatan jalan! Logika macam apa ini? Mahasuci Allah dari hinaan semacam ini! Kemaksuman Menurut Syi ah Di sisi lain, Syi’ah, menyatakan bahwa seluruh Nabi dan Rasulullah, tanpa kecuali, maksum adanya. Bahkan jauh-jauh hari sebelum mereka menjadi para Nabi dan Rasul. Misalnya, kendatipun Nabi Muhammad SAW menjadi Rasul pada usia 40 tahun, Syi’ ah menegaskan bahwa bahkan dalam 40 tahun dalam kehidupannya, beliau sudah maksum-sebuah penegasan bahwa sejarah membenarkan juga. Pertama-tama, mari kita definisikan konsep kemaksuman! Menurut Muhammad Jawad Mughniyyah dalam al-Islam wa al-Aql, konsep ishmah (kemaksuman) sangat sering disalah pahami. Apa yang kita maksudkan dengan konsep tersebut adalah bahwa seorang Nabi, karena keNabiannya, mempunyai jiwa yang suci. Sebagaimana Quran katakan, Sesungguhnya nafsu (manusia) itu selalu menyuruh kepada kejahatan, keeurali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku (QS. Yusuf : 53). Secara gamblang, Allah SWT telah melakukan suatu pengecualian (dengan menggunakan istilah ‘kecuali’ kepada jiwa manusia yang cenderung kepada kejahatan. Kita bisa memahami, berdasarkan filsafat Syiah, bahwa keterpautan jiwa (nafs) kepada Wujud laksana sebuah hubungan kendali dengan pengendalian. Oleh sebab itu, jiwa bisa cenderung pada kejahatan. Sekiranya individu tersebut menerima ajakan kepada kejahatan, ia menjadi bertanggung jawab atas kejahatan yang ia lakukan. Ini merupakan uraian yang disederhanakan, namun memenuhi tujuan yang dimaksud. Sekarang, para Nabi atau Rasul termasuk pada pengecualian sebagai¬mana Allah SWT telah isyaratkan. Yakni, ada sesuatu dalam jiwa dari manusia-manusia mulia ini yang mencegah kecendrungan pada kejahatan, dan karenanya mereka tidak pernah melakukannya. Keutamaan mereka sedemikian tinggi sehingga mereka tidak pernah berpikir melakukan dosa sekalipun. Bukan berarti jika seorang Nabi atau Rasul ingin melakukan dosa, ia tidak bisa. Sebaliknya adalah rahmat, yang disebutkan dalam ayat di atas, yang dilimpahkan kepadanya dari Allah SWT yang mencegahnya dari melakukan demikian. Dengan demikian, ia maksum kendatipun mereka memiliki kemampuan penuh melakukan setiap jenis dosa apapun. Ketika setan menolak bersujud kepada Adam, dia terusir dan menjadi seorang makhluk terkutuk. Quran menyatakan bahwa seketika itu juga Iblis berkata, “Ya Tuhanku, karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan memandang baik (perbuatan rnaksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka. “ Allah berfirman, “Ini. adalah jalan yang lurus. Kewajiban Akulah menjaganya. Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikuti kamu, yaitu orang-orang yang sesat. Dan sesungguhnya jahanam itu benar-benar tempat yang telah diancamkan kepada mereka (pengikut¬-pengikut setan) semtcanya (QS. al-Hijr : 39). Nyatalah dari dialog di atas Allah SWT telah menjanjikan bahwa dan tidak punya cara menjerumuskan hamba-hamba Tuhan yang ikhlas. Para pelaku kejahatan yang akan mengikuti setan. Dengan demikian Hamba -hamba Allah SWT yang ikhlas bukanlah para pelaku dosa dan tidak dan terperdaya. Allah juga membenarkan bahwa jalan hamba-hamba¬ yang ikhlas merupakan suatu jalan yang mengantarkan kepada¬-Nya. Semua fakta ini membuktikan bahwa para hamba Allah yang ikhlas tidak akan pernah terjerembab ke dalam perangkap setan, dan dengan sendirinya mereka maksum, berkat rahmat Allah. Yang perlu diperhatikan di sini bahwa tidak ada penyebutan Nabi atau Rasul dalam ayat-ayat di atas. Dalam madah lain, hamba-hamba Allah yang ikhlas yang maksum tidak mesti para Nabi ataupun Rasul. Adapun tema kemaksuman para imam akan dikupas dalam bab tersendiri. Quran Membicarakan Para Nabi Pertama, kiranya membantu untuk melihat sekilas perintah menaati Rasul, untuk melihat bagaimana perintah ini serba meliputi dan serba mencakup, dan betapa besarnya otoritas Rasulullah SAW. Allah SWT berfirman dalam Quran, Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah (QS. an-Nisa : 64). Nabi atau utusan Tuhan ditaati dan diikuti. Para pengikutnya tidak diharapkan untuk memeriksa setiap perintah Nabi guna memutuskan apa yang harus ditaati dan apa yang tidak perlu ditaati. Tidak ada jalan memeriksa perintah-perintahnya, karena ia sendiri memberi kita semua aturan dan hukum-hukum Ilahi dalam bentuk kitab dan Sunnahnya (ucapan/perbuatan/pembenaran). Apabila kita merasa ragu atas sejumlah perbuatan Nabi, keraguan ini bisa menyebabkan semua perintah dan hukumnya yang telah ia sampaikan dipertanyakan. Ini menunjukkan bahwa para Nabi dan Rasul bebas dari kesalahan dan dosa. Jika tidak, niscaya Allah SWT tidak akan memerintahkan manusia untuk mematuhi mereka tanpa syarat. Banyak ayat yang mengandung perintah Allah SWT kepada kita untuk menaati Nabi. Di antaranya, Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan janganlah kalian merusak amal perbuatanmu (dengan mendurhakainya) (QS.Muhammad:33), dan Barang siapa menaati Rasul, sesungguhnya ia telah menaati Allah (QS. an-Nisa : 80). Dalam ayat-ayat di atas juga banyak ayat lainnya, ketaatan kepada Allah SWT disejajarkan dengan ketaatan kepada para Nabi. Penegasan semacam ini niscaya mustahil untuk diterima sekiranya para Nabi itu tidak maksum. Sekarang, perhatikanlah ayat berikut! Janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka! (QS. al-Insan : 24). Gambaran tersebut begitu sempurna. Para Nabi ditaati dan para, pendosa tidak ditaati. Satu-satunya kesimpulan adalah bahwa para Nabi bukanlah para pendosa ataupun para pelaku kejahatan. Dalam madah lain, mereka maksum dan suci dari dosa. Secara khusus memandang Nabi Muhammad SAW, Allah SWT memerintahkan kepada kita, Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia! Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah! (QS. al-Hasyr : 7). Ini merupakan petunjuk lain bahwa apa saja yang Nabi Muhammad SAW berikan haruslah diterima tanpa syarat dan tanpa ragu. Ini artinya bahwa izin ataupun larangan dari Nabi Muhammad SAW senantiasa selaras dengan kehendak Allah SWT dan senantiasa diberkati olehnya. Hal ini membuktikan bahwa Nabi Muhammad SAW terjaga dari dosa (maksum). Tak seorang pun bisa sedemikian yakin ihwal perintah-perintah seorang manusia yang tidak maksum. Sekarang, jika Nabi Muhammad SAW adalah seorang pendosa bagaimana sebagian orang katakan secara keliru, maka bagaimana bisa Allah SWT memerintahkan kita untuk menerima (menaati) orang-orang yang berdosa? Untuk orang-orang yang mendalil bahwa ayat di atas Maka khusus untuk perintah-perintah agama, dan Nabi Muhammad SAW hanya maksum dalam masalah itu, kami katakan bahwa pengakuan semacam itu tidak beralasan. Ini merupakan satu aturan umum bahwa sampai waktu itu tidak ada larangan atau syarat atau pengkhususan (particularization) yang telah disebutkan bersama suatu teks Quran. Ia mencakup semua aspek. Kedua, segala sesuatu yang Nabi Muhammad SAW bicarakan berkaitan dengan Allah SWT dan agama-Nya. Lantas, bagaimana bisa anda mengklaim bahwa Allah SWT melakukan suatu pemisahan? Apakah anda belum mendengar apa yang Aisyah katakan ketika ia ditanya perihal perilaku Nabi Muhammad SAW? Ia berkata, “Hidupnya adalah quran, khususnya sepuluh ayat pertama Surah Nur (cahaya).” Sekarang, apabila kehidupan Nabi Muhammad SAW adalah Quran secara perkata, bagaimana mungkin beliau seorang pendosa ? Itu artinya bahwa Quran penuh dengan perkara – perkara dosa ? Maha suci Allah dari menurunkan Kita seperti ini ! Dalam ayat lain Allah SWT berfirman, (Wahai Nabi) Katakanlah (kepada manusia), “]ika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian! (QS. Ali Imran : 31). Di sini cinta kepada Allah SWT disejalankan dengan mengikuti perintah¬perintah Nabi Muhammad SAW. Kedua sisi cinta termasuk dalamnya. Jika kalian mencintai Allah, ikutilah Nabi, jika kalian mengikuti Nabi, niscaya Allah menrintai kalian. Bukankah ini menunjukkan bahwa Nabi bebas dari setiap jenis kekurangan secara mutlak? Bukan saja perintah-perintah Nabi, namun juga semua keputusannya terjaga dari kesalahan karena Allah bersabda kepada Nabi-Nya, Maka demi Tiahanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikun kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya (QS. an-Nisa : 65). Jika semua keputusan Nabi Muhammad SAW harus diterima tanpa syarat, maka sudah tentu Nabi Muhammad SAW harus terjaga dari kesalahan dalam semua keputusannya. Selain perbuatan-perbuatan dan keputusan-keputusannya, bahkan setiap satu kata pun dari pembicaraannya merupakan titah Tuhan. Dalam hal ini Allah SWT berfirman, Demi bintang ketika terbenam. kawanmu (Nabi) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Yang Maha Kuasa telah mengajarinya (QS. an-Najm :1-5). Ayat-ayat di atas bukan saja membuktikan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak berbuat kesalahan atau dosa, namun juga menandaskan bahwa semua ucapannya merupakan wahyu (baik secara langsung maupun tidak). Ayat-ayat ini secara terbuka membersihkan Rasulullah SAW dari ucapan apapun yang keluar hawa nafsunya. Hal tersebut meliputi hadisnya dan Quran. Bagi orang-orang yang mendalilkan sebaliknya, janganlah lupa bahwa hadis tersebut digunakan dalam setiap penafsiran Quran, masalah – masalah fikih dan ranah – ranah keilmuan lainnya. Apabila Hadis tersebut menyimpang karena kalian mengklaim bahwa Nabi Muhammau SAW adalah seorang pendosa (semoga Allah memaafkan kita!), maka penafsiran Quran pun salah! Takutlah terhadap Allah SWT dalam penalaranmu! Bagi orang – orang yang mengklaim bahwa Nabi Muhammad SAW maksum dalam penyampaian risalah, dan itu mencakup hadis, maka kalian telah mengakui apa yang dikatakan Syi’ah! Disepakati secara bulat bahwa Sunnah Nabi meliputi perkataan, perbuatan, dan pembenaran (taqrir) Nabi. Karena Sunnah merupakan refleksi dari perbuatan Nabi, maka ia, dengan demikian, maksum dalam perbuatan juga. Allah SWT berfirman, Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu, dan Kami telah menghilangkan darimu bebanmu yang memberatkan punggungmu, dan Knmi tinggikan bagimu sebutan (nama)mu? (QS. al-Insyirah : 1-4). Secara pribadi kami tidak akan mengomentari ayat di atas, namun disini akan kami kutipkan komentar Abdullah Yusuf Ali, seorang mufasir Sunni, tentang ayat tersebut dalam catatan kakinya: (Ini pun merupakan) doa Musa ketika meminta kelapangan. Secara simbolis dada merupakan wadah pengetahuan dan perasaan tertinggi dari cinta dan kasih sayang, gudang yang dalamnya disimpan permata-permata laksana karakter insan yang mendekat kepada Yang Ilahi. Watak manusia Nabi suci telah disucikan, dilapangkan, dan ditinggikan, sehingga ia menjadi rahmat bagi semua makhluk. Watak semacam itu bisa mengabaikan motif¬-motif rendah kemanusiaan umum yang menyebabkan serangan¬serangan memalukan yang ditimpakan kepadanya. Kekuatan Hon keberaniannya bisa juga memikul beban dari pekerjaan yang menyakitkan hati yang itu harus dilakukan dalam rangka mencela dosa, menaklukkannya, dan memelihara makhluk-makhluk Allah dari penindasannya. Hal ini sesungguhnya merupakan sebuah beban yang menyedih¬knn dan menyakitkan bagi seorang manusia untuk berjuang sendirian melawan dosa. Akan tetapi Allah mengirim keagungan dan bantuannya dan beban tersebut diangkat atau diubah ke dalam kebahagiaannya dan kejayaan dalam melayani Tuhan Yang Maha Besar. Keutamaan Nabi, kemurahan karakternya, dan kecintaannya terhadap umat manusia sepenuhnya dikenal dalam masa hidup¬nya, dan namanya menempati kedudukan puncak di antara para pemimpin heroik umat manusia. Frase tersebut digunakan di sini lebih komprehensif dalam pengertian yang digunakan untuk para Nabi.
Posted on: Thu, 03 Oct 2013 09:15:16 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015