Kemelut Demokrasi Dalam pikiran dan harapan kita, demokrasi - TopicsExpress



          

Kemelut Demokrasi Dalam pikiran dan harapan kita, demokrasi akan membuka pintu kesejahteraan dan kemakmuran bagi bangsa ini, namun sejarah membuktikan negara kita kian terperosok dalam kegagalan dan keterpurukan ekonomi. Di atas kertas, ekonomi kita tumbuh hingga 6 persen lebih. Tetapi fakta menunjukkan pertumbuhan tersebut tidak dinikmati oleh mayoritas rakyat Indonesia. Dari sekitar 250 juta rakyat Indonesia, jika parameter kemiskinan dua dolar AS (versi Bank Dunia), 49 persennya hidup dalam garis kemiskinan. Nyaris setengah penduduk Indonesia hidup dalam dekapan kemiskinan. Fenomena kemiskinan ini umumnya berpusat di daerah-daerah yang belum terlalu tersentuh dan minim pembangunan. Tingginya angka kemiskinan di tanah air menyiratkan adanya persoalan besar yang melilit negara ini sehingga sulit membebaskan diri dari masalah kemiskinan. Masalah tidak lain, karena para pemimpin kita dalam menjalankan system ekonomi politik bangsa telah terseret dalam jebakan paradigma neoliberalisme (Neolib). Sehingga system politik yang dibangun sesuai paham neoliberalisme adalah model demokrasi liberal. Bukan demokrasi sosial atau demokrasi Pancasila (Baca Kemelut Demokrasi 1). Demokrasi liberal adalah anak kandung Neolib yang berjalan di gelanggang politik. Dalam system demokrasi liberal, panggung politik hanya menjadi medan dan tunggangan kekuasaan kaum bermodal. Kedaulatan politik yang sejatinya berada di tangan rakyat beralih tangan menjadi milik kedaulatan kaum pemodal/kapitalis (asing). Kaum kapitalis, dalam system demokrasi liberal adalah penguasa di balik panggung politik. Mereka adalah sponsor yang mendanai dan mengongkosi biaya politik para elite politik dan penguasa negeri. Mereka membangun relasi mutualisme dengan elite politik dan penguasa. Dengan begitu mereka bisa mengendalikan serta mengontrol jalannya system ekonomi politik negara yang dijalankan oleh elite politik atau pemimpin kita. Sehingga sistem ekonomi politik negara hanya akan melayani kepentingan kaum kapitalis tersebut. Hal itu terbukti, banyak UU negara yang telah dibuat oleh pemerintah pasca reformasi hanya mendukung kepentingan kapitalis asing. Diantaranya Undang-Undang nomor 22 tahun 2001 tentang Migas, Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN, Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang nomor 30 tahun 2007 tentang Energi, Undang-Undang nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil. Semua Undang-Undang tersebut disusun hanya untuk melapangkan usaha dan bisnis kaum kapitalis yang beroperasi di nusantara. Maka tidak heran kalau sumber-sumber ekonomi nasional yang menguasai hajat hidup orang banyak sudah dikuasai asing. Tambang minyak dan gas (migas), misalnya, 80 persennya dikelola dan dikuasai oleh korporasi asing. Pemerintah hanya menjadi penonton yang mengharap pajak dari proses pengerukan migas tersebut. Pemerintah sama sekali tidak mendapatkan keuntungan bagi hasil dari usaha migas. Pihak korporasi asinglah yang meraup semua keuntungan bisnis migas tersebut. Besarnya penguasaan korporasi asing dalam pengelolaan sumber daya alam ini adalah indikasi bahwa system politik negara benar-benar berada dalam genggaman dan kekuasaan kaum kapitalis (asing). Karena ketika sistem politik negara telah dikuasai, maka tidak ada satu pun kebijakan politik negara atau pemerintah yang bisa mengganggu kepentingan ekonomi kaum kapitalis. Malah, kebijakan politik yang dihasilkan negara hanya akan mengabdi pada kepentingan ekonomi kapitalis, bukan pada kepentingan rakyat. Karena itulah, dalam system demokrasi liberal sekarang, kita amat sulit mengharapkan adanya perubahan kebijakan ekonomi politik yang sungguh membebaskan rakyat dari persoalan kemiskinan. Program-program pengentasan kemiskinan seperti PNPM Mandiri dan sebagainya yang digalakkan oleh pemerintah hanyalah pemanis belaka untuk meninabobokan rakyat. Pengentasan kemiskinan bukan sekedar menghadirkan program-program kerakyatan dalam bentuk penyediaan atau pemberian dana segar pada rakyat. Tetapi yang terpenting dan utama adalah bagaimana membuka akses sumber-sumber ekonomi pada rakyat. Sumber-sumber ekonomi nasional berupa tambang migas, tembaga, batubara dan emas tidak boleh dikuasai oleh pihak korporasi asing. Pemerintah harus mengambil alih seluruh sumber-sumber ekonomi nasional untuk dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Besarnya sumber-sumber kekayaan alam nasional sejatinya mampu memakmurkan dan menyejahterakan rakyat. Namun karena semua sumber kekayaan alam nasional tersebut dalam penguasaan korporasi asing maka kekayaan alam tersebut tidak memberikan keuntungan apa-apa bagi kehidupan ekonomi rakyat. Karena itulah dalam system ekonomi politik bangsa, pemerintah harus menasionalisasi semua sumber-sumber kekayaan nasional. Langkah itu dilakukan untuk membuka akses sumber-sumber ekonomi bagi rakyat Indonesia. Hanya saja, mungkinkah nasionalisasi kekayaan bangsa terjadi dalam system politik demokrasi liberal sekarang? Kebijakan nasionalisasi kekayaan tambang nampaknya tidak masuk akal dalam konteks demokrasi liberal saat ini. Sistem demokrasi liberal sesungguhnya hanya mengukuhkan posisi dan kekuasaan kaum kapitalis. Pemimpin-pemimpin bangsa yang lahir dari system demokrasi liberal adalah komprador-komprador asing yang bekerja bukan untuk kepentingan rakyat. Demokrasi liberal yang seiring dan sejalan dengan kapitalisme global tidak akan pernah melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa yang berani bersikap tegas terhadap kaum kapitalis. Pemimpin-pemimpin bangsa yang lahir dari demokrasi liberal adalah pemimpin-pemimpin inlander yang rela dijajah negerinya asal kehidupan diri dan keluarganya tetap kaya serta lebih kaya raya. Maka dari itu, kita sangat sulit mengharap model demokrasi liberal yang kita jalankan sekarang akan membuka pintu kesejahteraan bagi seluruh rakyat dan bangsa ini. Langkah yang paling moderat bagi pemerintah adalah mere-negosiasikan kembali semua kepemilikan sumber-sumber tambang nasional untuk diambil alih secara bertahap oleh pemerintah. Namun upaya re-negosiasi seringkali hanya menjadi wacana yang dilontarkan oleh para elite politik dan pemimpin bangsa. Realisasi re-negosiasi kekayaan tambang masih jauh panggang dari api. Pemerintah belum sepenuhnya berkeinginan mere-negosiasikan kepemilikan sumber-sumber kekayaan nasional. Sebaliknya, pemerintah masih saja melakukan privatisasi pada sumber-sumber kekayaan alam nasional. Padahal kalau pemerintah punya itikad untuk menjadikan kekayaan alam nasional sebagai sumber kemakmuran bangsa, pemerintah sejatinya mengusahakan sendiri pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam tersebut. Bukan malah diserahkan pada korporasi asing pengelolaannya. . Melihat kecenderungan pemerintah yang kian berpihak pada kaum kapitalis, nampaknya kita hanya bisa bermimpi pemerintah bisa mengambil alih kembali sumber-sumber kekayaan nasional untuk dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sebab dalam sistem demokrasi liberal, tidak akan pernah ada pengambil alihan kekayaan nasional dari tangan kaum kapitalis dan pemodal. Dalam konteks demokrasi liberal, kaum kapitalis dan pemodal adalah penguasa sejati yang kerap “bermesraan†dengan para elite politik dan penguasa. Relasi kapitalis/pemodal dan elite politik atau penguasa nampaknya merupakan fenomena demokrasi liberal yang amat sulit diharapkan untuk memihak pada kaum miskin papa. Perubahan kesejahteraan dan kemakmuran kaum papa dalam sistem demokrasi liberal akhirnya hanya mitos. Sebuah mitos yang dibangun untuk melanggengkan rezim demokrasi liberal. Rezim yang hanya memuliakan kaum-kaum kapitalis/pemodal. Bukan rezim yang bekerja dan memuliakan rakyat atau masyarakat kecil. Lantas, masihkah kita mendukung dan melanjutkan rezim demokrasi liberal saat ini? Sabah, 18 September 2013
Posted on: Wed, 18 Sep 2013 15:34:23 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015