Keterkaitan Kejadian dan Lamanya Rontok Bulu terhadap Produksi - TopicsExpress



          

Keterkaitan Kejadian dan Lamanya Rontok Bulu terhadap Produksi Telur Itik Hasil Persilangan Peking dengan Alabio TRIANA SUSANTI1, R.R. NOOR2, P.S. HARDJOSWORO2 dan L.H. PRASETYO1 1Balai Penelitian Ternak, Bogor 2Dep. Ilmu dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor (Diterima 13 April 2012; .disetujui 12 Juni 2012) ABSTRACT SUSANTI, T., R.R. NOOR, P.S. HARDJOSWORO dan L.H. PRASETYO. 2012. Relationship of molting trait and egg production on crossbred Peking and Alabio ducks. JITV 17(2): 112-119. Selection program through 6 months egg production record as criterion of selection can improve number of egg in a year.However the selected population has still showed molting which is influenced the cessation of egg production, so that its production has not optimal yet. The research has conducted to further learn about the relationship between molting and egg production. This study used 90 females AP ducks (the crossbred of Alabio ♂ and Peking ♀) and 90 females PA ducks (thecrossbred of Peking ♂ and Alabio ♀). Observed variables were onset of molting, the length of molting periode and the egg production for 48 weeks. The collected data were analyzed by analysis of variance, correlation and regression. The results showed that based on the starting time of molting the ducks can be categorized into two group i.e (a) molting duck group and (b) non-molting duck group. There were 63 PA ducks characterized non-molting and 21 molting, and there were 42 non-molting and 45 molting in AP ducks. The egg production of these two groups was significantly different (P < 0.01). Since the molting was negatively correlated to the 48 weeks egg production (r = -0.896 for PA and -0.553 for AP), then this trait can be used as the selection criterion for egg production.The linear regression equation for PA of 48 weeks egg production = 80.7-0.369 molting duration, and for AP of 48 weeks egg production = 84 - 0.299 molting duration. ABSTRAK SUSANTI, T., R.R. NOOR, P.S. HARDJOSWORO dan L.H. PRASETYO. 2012. Keterkaitan kejadian dan lamanya rontok bulu terhadap produksi telur itik hasil persilangan Peking dengan Alabio. JITV 17(2): 112-119. Program seleksi dengan kriteria produksi 6 bulan dapat meningkatkan jumlah telur itik dalam satu tahun, namun belum mampu mengendalikan rontok bulu yang muncul selama periode produksi. Sifat rontok bulu berkaitan dengan berhentinya bertelur, sehingga kemunculannya menyebabkan produksi telur tidak optimal. Penelitian secara mendalam telah dilakukan untuk mempelajari keterkaitan rontok bulu dengan produksi telur dalam upaya memperoleh populasi bibit itik dengan produksi telur tinggi dan sifat rontok bulunya sudah terkendali. Materi yang digunakan adalah 90 ekor itik betina AP (hasil persilangan Alabio jantan dengan Peking betina) dan 90 itik betina PA (hasil persilangan Peking jantan dan Alabio betina). Itik-itik tersebut ditempatkan dalam kandang individu di Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor. Peubah yang diamati adalah waktu mulai terjadinya rontok bulu, lamanya berhenti bertelur akibat proses rontok bulu dan produksi telur selama 48 minggu. Data-data yang terkumpul dianalisis dengan ANOVA, korelasi dan regresi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa berdasarkan peubah waktu mulai terjadinya rontok bulu dapat terbentuk dua kelompok itik yaitu (a) itik sudah rontok dan (b) itik belum rontok sampai 48 minggu. Kedua kelompok mempunyai tingkat produksi telur yang berbeda sangat nyata (P < 0,01) yaitu 62,18 vs 86,48% pada itik AP dan 63,86 vs 73,17% pada itik PA. Pada kelompok (a) yaitu itik-itik yang mengalami rontok bulu masih dapat dipertahankan dan diperbanyak melalui seleksi dengan kriteria lamanya berhenti bertelur kurang dari 60 hari. Nilai korelasi lamanya berhenti bertelur dengan produksi selama 48 minggu adalah -0,896 pada itik PA dan -0,553 pada itik AP. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kejadian rontok bulu mempengaruhi produksi telur dan lamanya berhenti bertelur akibat proses rontok berkaitan sangat erat dengan produksi telur. Persamaan regresi yang diperoleh pada itik PA adalah produksi telur 48 minggu = 80,7-0,369 lamanya berhenti bertelur, dan itik AP adalah produksi telur 48 minggu = 84,0-0,299 lamanya berhenti bertelur. KEJADIAN RONTOK BULU Pemanfaatan itik sebagai penghasil telur maupun daging memerlukan bibit yang berproduksi telur tinggi untuk memperbanyak populasi. Saat ini kemampuan produksi telur pada itik lokal masih bervariasi tinggi, sehingga sifat produksi telur selalu dijadikan sebagai kriteria seleksi ketika dilakukan pemilihan bibit itik unggul. Program pemuliaan melalui seleksi berdasarkan kriteria produksi telur 6 bulan dapat meningkatkan produksi telur selama satu tahun. Namun peningkatan produksi tersebut belum optimal, karena masih munculnya sifat rontok bulu yang terjadi selama periode produksi telur. Hampir semua jenis unggas dewasa akan mengalami rontok bulu yaitu proses lepasnya bulu-bulu lama dan tumbuhnya bulu-bulu baru selama dalam masa produksi telur. Hal ini dilakukan oleh ternak untuk meremajakan atau regenerasi jaringan organ reproduksinya (BRAKE dan THAXTON, 1979; PARK et al., 2004). Biasanya hewan liar mengatur sendiri untuk mengambil masa istirahat bertelur pada musim-musim tertentu terutama ketika kurangnya ketersediaan pakan, sehingga kejadian rontok bulunya hanya satu kali dalam setahun. Namun pada ternak domestik, banyak hal pemicu munculnya sifat rontok bulu. SETIOKO (2005) mengungkapkan faktor-faktor penyebab rontok bulu adalah kurangnya ketersediaan pakan, perubahan susunan ransum pada itik yang dikandangkan, perpindahan kandang, adanya hewan pengganggu, dan lingkungan yang tidak nyaman; dapat menyebabkan itik mengalami rontok bulu. Banyaknya faktor pemicu tersebut mengakibatkan munculnya rontok bulu dapat terjadi setiap saat secara spontan bersama-sama atau bersifat sporadis. Hal tersebut mengindikasikan bahwa munculnya rontok bulu adalah akibat stres dan kejadiannya tergantung pada ketahanan masing-masing individu terhadap stres tersebut (HERYANTO et al., 1997). Dalam penelitian ini dilakukan persilangan resiprokal antara itik Alabio dengan itik Peking. Pertimbangannya bahwa itik Alabio, merupakan keturunan Indian runner yang diketahui memiliki potensi produksi telur tinggi. Namun juga memiliki sifat rontok bulu yang muncul pada periode produksi telur bahkan pada saat puncak produksi (PURBA et al., 2005). Sehingga pada kejadian rontok bulu yang besar yaitu rontoknya bulu sayap akan diikuti dengan berhentinya produksi telur. Hal ini tentu saja menyebabkan tingkat produksi telur pada itik Alabio menjadi rendah. Di sisi lain, saat ini di Indonesia terdapat itik Peking yang berasal dari daratan China dan ternyata mampu beradaptasi dengan baik, sehingga populasinya semakin banyak. Berdasarkan postur dan bobot badannya, itik Peking merupakan jenis pedaging sehingga potensi produksi telurnya menjadi rendah (ROUVIER, 1999; TAI et al., 1999). Namun apabila dibandingkan dengan itikitik lokal di Indonesia, itik Peking memiliki produksi telur yang hampir sama dengan itik Alabio sebagai tipe petelur. Hal ini karena itik Peking tetap mampu berproduksi telur meskipun sedang mengalami rontok bulu. Kejadian rontok bulu pada itik Peking tidak menyebabkan berhenti bertelur, karena hanya mengalami rontok bulu halus, sedangkan rontok bulu sayap primer yang menyebabkan berhentinya produksi telur muncul setelah satu periode produksi yaitu 40 minggu dan dalam rentang waktu yang relatif pendek yaitu 6-8 minggu (CHERRY dan MORRIS, 2008). Berdasarkan potensi produksi dan sifat rontok bulu pada itik Alabio dan itik Peking tersebut, maka dilakukan persilangan resiprokal dengan tujuan untuk memahami kejadian rontok bulu yang berkaitan dengan produksi telur secara genetis. Peubah yang dapat diamati sehubungan dengan sifat rontok bulu adalah waktu mulai munculnya rontok bulu dan lamanya berhenti bertelur akibat rontok bulu (PURBA et al., 2005). Berdasarkan waktu munculnya rontok bulu selama periode produksi, terdapat dua kelompok ternak yaitu (a) kelompok ternak dengan waktu mulai rontok yang lambat yaitu telah melewati periode puncak produksi atau disebut late molting dan (b) kelompok ternak yang mengalami rontok bulu lebih awal bahkan pada periode puncak produksi, biasanya 3 sampai 6 bulan masa produksi atau disebut early molting. Rontok bulu besar yaitu lepasnya bulu sayap baik primer maupun sekunder. ANDREWS et al. (1987) dan HERREMANS et al. (1988) menyatakan bahwa rontoknya bulu sayap primer berpengaruh terhadap penampilan reproduksi setelah molting. Hilangnya bulu sayap primer dengan jelas disebabkan oleh tidak adanya pengaruh oestrogenic pada papilla bulu (PECZELY, 1992). Oleh karena itu, produksi estrogen mencapai titik paling rendah selama terjadinya rontok bulu sayap primer (PARK et al., 2004). Sedangkan menurut SETIOKO (2005) rontok bulu besar ditandai dengan lepasnya bulu sayap sekunder ke-12, 13 dan 14. Dalam penelitian ini digunakan kategori rontok bulu sayap primer dan sekunder, karena rontoknya kedua jenis bulu tersebut berkaitan dengan berhenti bertelur. Sehingga lamanya berhenti bertelur akibat rontok bulu dapat digunakan sebagai salah satu peubah ketika melakukan pengamatan sifat rontok bulu. Itik-itik yang mengalami berhenti bertelur akibat rontok dalam rentang waktu pendek lebih baik daripada itik-itik dengan lamanya berhenti bertelur yang panjang. Berdasarkan kriteria tersebut, maka seleksi dapat dilakukan terhadap itik-itik dengan waktu mulai munculnya rontok yang lambat (late molting) atau itik-itik dengan masa berhenti bertelur akibat rontok yang pendek. BERRY (2003) menyatakan, bahwa kejadian mengeram tampaknya merupakan faktor utama yang menginisiasi rontok bulu secara alami. Hampir semua unggas mengalami penurunan konsumsi pakan dan bobot badan selama masa mengeram (SHERRY et al., 1980). Berkurangnya keinginan untuk mengkonsumsi pakan akan menyebabkan menurunnya bobot badan, akibat menurunnya bobot otot, jaringan adipose dan hati. Perubahan fisiologis ini menyebabkan ovarium unggas mengalami pengecilan (regress) dan mengganggu sistem reproduksi, sehingga akan menghentikan produksi telur (PARK et al., 2004). Namun seberapa jauh hubungan rontok bulu yang menyebabkan berhentinya bertelur terhadap total produksi telur belum banyak diketahui, sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara waktu mulai munculnya rontok bulu yang menyebabkan berhentinya bertelur dan lamanya berhenti bertelur dengan produksi telur. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar kriteria seleksi ketika melakukan seleksi untuk meningkatkan produksi telur itik lokal.
Posted on: Sat, 29 Nov 2014 02:34:59 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015