Kisah Kino 16 (2) Gadis seperti Andang adalah gadis yang bebas, - TopicsExpress



          

Kisah Kino 16 (2) Gadis seperti Andang adalah gadis yang bebas, dan Kino telah tahu itu sejak petualangannya dengan Sang Troubadour dulu. Tetapi melihat dan mengunjungi Moolite Night alias Orifice membuat segala pengalaman gila-gilaan dengan kelompok eksentrik itu jadi hambar. Jadi, pikir Kino, inilah sebuah dunia buatan -artificial sphere- yang khusus dirancang untuk membebaskan manusia dari kegelisahan-kegelisahan mereka. Ini lah sesungguhnya panggung itu ... seperti halnya panggung tempat Mbak Rien menari. Tempat di mana manusia-manusia merancang dan menemukan dirinya sendiri, terlepas dari kenyataan yang mungkin menyakitkan. Selama mereka duduk-duduk dan berbincang, Buwana --sang pemilik dan pengurus klab-- bulak-balik bertandang. Kino kagum melihat kelincahan orang yang terlalu gemuk ini, walaupun terkadang terlihat susah bernafas setiap kali ia harus bergerak. Di pergelangannya, yang mungkin sama besarnya dengan betis Kino, melingkar dua macam rantai. Satu terbuat dari emas yang berkilau-kilauan, dan satu lagi dari serangkaian batu permata. Setiap kali tangan Buwana bergerak --dan ini selalu ia lakukan setiap berbicara-- gelang emas menimbulkan suara gemerincing, sementara gelang permata menimbulkan kilauan berkerejap aneka warna. Kadang-kadang sulit bagi Kino untuk berkonsentrasi kepada apa yang si gemuk ucapkan, karena pada saat yang sama matanya terpaut pada gelang-gelang itu. Ini gelang keberuntungan! ucap Buwana ketika melihat pandangan Kino selalu mengarah kepada gelangnya, Kamu punya gelang? Kino menggeleng cepat-cepat. Andang menyela, Dia nggak perlu gelang, Buwana! Dia perlu banyak buku bacaan. Aiiiiihhhhh... yaaaaaaa! Buwana berseru dengan gayanya yang kemayu, Anak kampussss... rajin belajar, dong! Kino tersenyum kikuk, tak biasa menanggapi reaksi-reaksi semacam ini. Baginya, reaksi itu terlalu artifisial pula. Ah, tapi mungkin reaksi yang dibuat-buat seperti ini memang cocok untuk suasana yang juga artifisial di klab ini. Andang ini pacar kamu yaaa...?! tiba-tiba Buwana bertanya, sambil mengerdipkan satu matanya. Kino cepat-cepat menggeleng. Andang kembali menyela, Pacar sementara... hahaha...! Buwana tertawa dengan gayanya yang kemayu. Kino ikut tertawa, sekedar sopan santun. Andang menepuk punggung tangan Kino, Hush! Kamu ikut tertawa, padahal kamu nggak ngerti! Kino tersipu. Ya... memang aku tidak mengerti. Tetapi tidak enak kalau tidak ikut tertawa. Buwana terbahak. Andang terpingkal. Kino bingung, apa yang lucu dari semua percakapan ini? Lalu Buwana permisi untuk menyambut tamu lain. Kino bernafas lega. Andang tersenyum melihat tingkah laku pemuda itu. Relaks, Kino... kata gadis itu, Di sini kita bisa tertawa walaupun tidak ada alasan untuk tertawa. Kino mengidarkan pandangannya lagi. Ya, memang seringsekali terdengar tawa. Macam-macam tawa. Ada yang wajar saja, lepas dan menerawang ke seantero ruangan seperti angin sepoi-sepoi. Ada yang cekikikan seperti pemiliknya sedang kegelian digelitiki seribu ulat bulu. Ada yang terbahak-bahak seakan-akan tidak ada lagi waktu untuk tertawa besok. Tetapi tak sedikit pula Kino mendengar tawa-tawa artifisial. Tawa yang seperti tak seharusnya keluar dari mulut pemiliknya. Kenapa mereka selalu tertawa? tanya Kino. Gembira... mungkin, jawab Andang santai, Atau mungkin juga karena pengaruh obat bius. Menurut Andang, di klab ini orang juga bisa mengkonsumsi obat bius dengan leluasa. Kino pernah mendengar tentang tablet-tablet yang bisa membawa orang ke alam hayal. Duh, pikirnya... belum cukup mengurung diri dalam dunia artifisial yang penuh kaca dan cahaya, orang-orang itu juga perlu menjauh dari pikiran mereka sendiri! Perlu menjelajah alam hayal dengan bantuan bahan-bahan kimia itu! Narkotik sama saja dengan kehancuran, Andang. ucap Kino. Andang mencibir, Tahu apa sih kamu tentang narkotik... nggak pernah nyobain kok bisa ngomong! Kino tersenyum mengakui, Begitu kata orang-orang... Yang ngomong gitu kan orang-orang yang tidak memakai narkotika, sergah Andang. Tetapi orang kan bisa mati kalau overdosis, ucap Kino, teringat cerita Mira tentang kakaknya yang tewas oleh narkotika. Lebih banyak lagi yang mati ketabrak mobil di Jakarta, sambar Andang. Itu, kan, kecelakaan. Kalau overdosis itu sama dengan bunuh diri, kata Kino tak mau kalah. Ah, sama saja. Sama-sama mati. Apa bedanya, Neraka dan surga. Itu bedanya, Pernah ke sana? Kino tertawa lepas. Bicara dengan Andang selalu harus berdasarkan pernah... bicara tentang seks, harus pernah... bicara tentang kebebasan, harus pernah... bicara tentang Jakarta, harus pernah... Aku emang sudah terlanjur brengsek, Kino... sergah Andang sambil menyalakan rokoknya yang kelima, Jangan terlalu serius, dong... Aku suka berbincang sama kamu, ucap Kino tak menjawab langsung peringatan gadis di depannya, Tetapi nggak harus setuju, kan? Justru kadang-kadang aku takut kamu keseret, ucap Andang serius. Kino tertawa, Lho... kamu sudah nyeret aku ke sini! Andang ikut tertawa, Iya juga ya... Tidak apa-apa. Aku nggak gampang terpengaruh, kok! ucap Kino sambil meneguk minuman dingin yang barusan dipesan dari si minim Yuni. Andang tersenyum, memandang pemuda di depannya dengan pandangan lembut, Itu yang aku suka dari kamu. Kino membalas pandangan gadis di depannya, Kenapa suka? Karena aku pernah jatuh cinta sama orang seperti kamu, kata Andang berubah serius. Dia persis seperti kamu. Tegar dan tidak gampang menyerah, sambung gadis itu melihat Kino diam saja, Aku pertama-tama ingin sekali menghancurkan dia. Membuatnya rusak. Kino mengernyitkan keningnya. Ya... memang aku jahat sekali waktu pertama kenal sama dia, ujar Andang tanpa menunggu reaksi Kino, Aku sedang kecewa kepada semua yang ada di dunia ini. Kamu kan tahu cerita keluargaku... Tentu saja Kino tahu. (baca Sang Troubador - pen.) Dia tiba-tiba muncul, entah dari mana. Aku kenal lewat seorang teman yang profesinya gadis panggilan. Temanku itu bilang, cowok ini anak baik-baik dan suka kepadaku. Aku kaget juga. Kok ada yang suka kepada cewek seperti ini... rusak dan nggak perawan lagi... Kino menyimak setiap ucapan Andang. Musik lembut berubah menjadi latar belakang yang menguatkan nuansa cerita gadis itu. Aku tanya sama temanku, kenapa bukan dia saja yang jadi pacarnya. Tetapi temanku bilang dia cuma mau denganku. Ya... iseng-iseng aku terima undangannya makan malam. Cerita punya cerita, kami pun pacaran. Tapi pacarannya sopan sekali... cuman pegang-pegang tangan. Kino tertawa kecil. Aku berusaha menariknya ke duniaku. Aku ajak dia ngumpul dengan Obenk dan teman-teman. Aku ajak dia ke sini, nonton striptease. Dia pertama-tama nggak mau. Tetapi akhirnya mau saja menemani aku ke mana-mana. Cuma anehnya, dia nggak berubah. Tetap saja alim dan nggak mau lebih dari mencium pipiku. Aku sempat frustrasi, dan akhirnya marah, lalu aku putusin dia. Sebuah piring terdengar jauh pecah berderai, seakan-akan memberi sound effect kepada ucapan Andang. Sejenak para pelayan sibuk menuju meja tempat terjadinya kecelakaan, tetapi lalu suasana berubah lagi seperti semula dengan cepatnya. Tahu nggak apa yang terjadi dengan dia setelah aku putusin? Kino menggeleng. Dia menjadi aktif di gereja, dan sekarang jadi pastur! Hah? akhirnya Kino bersuara. Andang tertawa kecil, Asyik kan ceritanya? Kino berdecak, Itu kisah sungguhan atau cuma karangan kamu? Andang tertawa lebih keras, Kino... apa sih bedanya antara kisah dan kenyataan? *** Mereka meninggalkan Moonlite Night alias Orifice ketika jam menunjukkan pukul 5 sore. Pengunjung klab semakin banyak, dan beberapa di antara mereka tampaknya baru pulang dari kerja. Lengkap dengan tas kulit buatan luar negeri, setelan jas Hugo Boss atau yang lebih mahal dari itu, dasi sutra, dan minyak wangi yang tetap semerbak walau sudah disemprotkan sejak tadi pagi. Cerita tentang diri Andang sebenarnya panjang. Tetapi gadis itu menolak melanjutkan kisah pribadinya. Kino tidak mendesak, dan melirik ke arlojinya karena tiba-tiba teringat akan janji kepada Mbak Rien untuk merancang panggung. Andang mengerti isyarat yang diberikan Kino. Gadis itu memanggil Yuni Yuanita, membayar semua bon walaupun Kino mendesak untuk ikut membayar, dan memberikan tip yang lumayan besar. Si minim Yuni tersenyum lebar melihat dua lebar uang yang diselipkan ke ikat pinggangnya oleh Andang. Lalu Andang mengantar Kino sampai di gerbang Sanggar Pelangi. Mau mampir dulu, nDang? tanya Kino sebelum turun dari mobil. Andang tersenyum manis, Ini bukan rumah kamu, bego... jangan sok menawarkan mampir! Kino tertawa, Aku juga cuma basa-basi... Tetapi mungkin lain kali aku mau dikenalin ke Mbak Rien, sambung Andang sambil mendorong Kino keluar dari mobil. Dengan suara ban agak berderit, mobil Peugeot Andang meninggalkan Kino. Pemuda itu berdiri sejenak di gerbang memandang mobil hilang di tikungan, sebelum akhirnya melangkah masuk dan mengucap salam ke seorang Satpam yang sudah mengenalnya. *** Rancangan Lubuk Hati Rumah besar yang menjadi markas Rainbow Enterprise itu terasa lenggang dan semakin asri ketika Kino masuk dan mengucap salam. Mbak Rien dan gang-nya ternyata belum pulang. Bi Iyem yang membuka pintu dan terbungkuk-bungkuk menyilahkan pemuda itu masuk. Sehari ini sudah berkali-kali Kino menghadapi orang yang membungkuk-bungkuk menyatakan hormat, dan ia rikuh. Ia sungguh tidak biasa. Di B atau di kota kelahirannya, Kino jarang berhadapan dengan para pembantu. Kalaupun ada pembantu di kota kecil tempat ia dilahirkan, mereka tidaklah se-semangat bi Iyem dalam menyambut tamu atau tuan rumah. Mau minum kopi, den? tawar Iyem, padahal Kino belum lagi lima kali melangkah dari pintu depan menuju kamar tempatnya menginap. Kino tersenyum dan menjawab sopan, Terimakasih, bi Iyem... nanti saya buat sendiri selesai mandi. Iyem tersipu mendengar jawaban sopan itu, dan kembali terbungkuk-bungkuk menawarkan jasanya yang lain, Nanti saya siapkan perlengkapan mandi, dan handuk baru. Tidak usah, bi Iyem, sela Kino cepat-cepat, Handuk yang kemarin masih bisa dipakai, bi Iyem bisa mengerjakan yang lain. Eh... tapi, ujar Iyem ragu-ragu, Tapi tadi tuan putri telpon untuk menyiapkan handuk baru. Kino tersenyum lagi, Ah, tidak perlu. Nanti bilang saja ke Mbak Rien bahwa saya tidak perlu handuk baru. Dengan wajah kuatir, Iyem akhirnya mengundurkan diri, dan Kino merasa sangat tidak enak karena telah menyebabkan pembantu yang setia itu merasa bersalah. Tetapi pemuda itu bersikeras pula untuk tidak terlalu merepotkan perempuan setengah baya yang latah dan selalu tampak kuatir itu. Kino memutuskan untuk segera mandi dan mencuci rambutnya. Udara Jakarta, dan debu-debu yang menyertainya, telah membuatnya gerah dan merasa dekil sekali. Padahal sebelum berangkat tadi dia sudah keramas, dan padahal dia lebih banyak naik mobil katimbang di luar mobil. Tetapi tetap saja badan terasa lengket dan jorok. Selesai mandi, ia mencari Iyem dan menanyakan di mana bisa mendapatkan beberapa helai kertas serta perlengkapan tulis. Tergopoh-gopoh, pembantu itu menuju kamar besar yang tampaknya adalah ruang kerja Mbak Rien. Lalu ia muncul lagi dengan beberapa kertas dan sekotak pensil serta sebuah karet penghapus yang harumnya seperti permen. Kino menuju beranda belakang, memilih sebuah tempat duduk yang dekat dengan sebuah meja bundar. Iyem muncul lagi, membungkuk-bungkuk lagi, menawarkan apakah Kino mau kopi dan pisang goreng atau kue-kue lainnya. Kino merasa tidak enak juga, sehingga ia mengiyakan tawaran perempuan setengah baya itu, sambil mengatakan bahwa ia tidak terlalu lapar sehingga tidak perlu pisang goreng atau yang lainnya. Lalu Kino mulai bekerja. Menumpahkan imajinasinya dalam coret-coretan awal. Sejak di kamar mandi tadi ia sudah berusaha mengkonsepsikan idenya tentang tarian-tarian Mba Rien. Pemuda itu sudah melihat beberapa sequence tarian, dan sudah mendengar cerita panjanglebar tentang skenario yang ingin ditampilkan Mbak Rien di panggung. Dari apa yang dilihatnya, dan dari penjelasan sang maestro, Kino memutuskan bahwa latarbelakang yang cocok adalah tampilan bergaya deconstructivism. Dari kuliahnya, Kino tahu bahwa deconstructive architecture berupaya menampilkan bentuk-bentuk asli dari imajinasi dan kreativitas manusia yang tidak dikukung oleh aturan-aturan tentang stabilitas atau kewajaran. Selama ini arsitektur konon dianggap sebagai displin yang kaku dan konservatif, serba penuh aturan. Gaya dekonstruktiv berupaya melawan semua itu dan tidak takut menampilkan garis, lengkung, atau tataran yang tidak harmonis. Tidak ada stabilitas atau keseimbangan. Semuanya tampil seenaknya, sangat ekspresif, menantang dan melawan. Kino mengenang karya-karya awal aliran ini dari Bernard Tschumi, Frank Gehry dan Peter Eisenman di Amerika Serikat; atau Daniel Libeskind di Italia, Rem Koolhaas di Belanda, Zaha Hadid di Inggris, dan Coop Himmelblau di Austria. Cepat sekali tangan Kino bergerak mencoret-coret. Kadang-kadang menimbulkan suara derit yang membuat pendengarnya ngilu. Kalau sudah menggambar begini, pemuda itu memang seperti kesetanan. Dahinya berkerut serius, telinganya seakan tidak mendengar apa-apa, matanya tak pernah diangkat dari kertas di depannya, dan tangannya bergerak cepat seakan-akan punya energi tersendiri. Tetapi apa yang telah ia corat-coret tidak selamanya memuaskan. Sebab itu, setidaknya sudah 5 lembar kertas A-4 ia remas dengan marah, dan ia singkirkan ke pinggir meja. Setidaknya satu pensil sudah patah karena ia kelewat semangat menggurat dan menekan. Iyem yang datang dengan kopinya seperti hantu saja bagi Kino : tak terlihat sama sekali. Suara-suara alam yang sedang menyambut malam hilang sebelum sampai ke telinganya. Seakan-akan ada sebuah kubah maya yang mengukung pemuda itu, mencegahnya dari gangguan-gangguan. Pada kertas ke tujuh, Kino baru bisa tersenyum kecil. Ia menjauhkan kertasnya sepanjang rentangan tangan, menelengkan kepalanya untuk memeriksa apa yang telah ia buat. Hmm... pikirnya, apa yang kugambar ini sudah cukup revolusioner dan pasti mengganggu pemandangan. Justru kesan menganggu itu yang ia ingin tampilkan! Apa yang digambarnya adalah bagian tengah atas dari latarbelakang panggung. Ada garis lurus dan lengkung yang tidak harmonis, diperkuat di sana-sini oleh bentuk-bentuk yang mewakili alam, seperti pohon, air, batu. Tetapi semua bentuk itu tampil tidak beraturan dan cenderung melawan kewajaran. Misalnya, Kino membiarkan gambar batu menggantung sembarangan di dekat sebuah garis berkelok yang terpotong oleh segitiga. Pohon ia buat tanpa gambar daun yang rinci, melainkan berupa lembaran-lembaran lebar yang kokoh seperti hendak menyatakan ketegaran melawan angin. Setelah puas dengan bagian itu, Kino mulai memikirkan bagian-bagian lainnya. Kini gerakan tangannya semakin pasti dan tidak lagi mencoba-coba. Ia sudah berhasil membuat core idea dari keseluruhan bangunan latarbelakang. Kini tinggal melanjutkan percabangan-percabangannya saja. *** Tak kurang dari dua jam Kino menggambar sendirian di beranda belakang. Begitu seriusnya ia menggambar, suara mobil yang masuk halaman depan tidak terdengar. Ia juga tidak menyadari, Mbak Rien melepas kedua sepatunya, berjingkat-jingkat di belakangnya, meletakkan telunjuk di bibirnya agar Iyem tidak mengucap salam. Dari tempatnya berdiri, perempuan cantik itu melongok menjulurkan lehernya. Ia bisa melihat sebagian gambar yang sudah dibuat Kino. Kurang puas dengan apa yang dilihatnya, Rien melangkah perlahan lebih dekat. Sejenak ia mengernyitkan dahi. Lalu pelan-pelan bibirnya membentuk huruf O tapi tak ada suara yang keluar. Apa yang dilihatnya menimbulkan kesan mengganggu tetapi sekaligus mencengangkan. Biar bagaimana pun, Rien adalah seorang seniman. Ia tahu apa yang membedakan seni dan gambar anak-anak TK. Gambar Kino sekaligus menyatakan bahwa ketidak-teraturan anak-anak TK adalah seni pula! Sejenak Rien termangu dan membelalakkan matanya yang indah itu. Oh, adikku yang ganteng ini ternyata punya bakat hebat, sergahnya dalam hati. Tak kurang dari tiga menit maestro tari itu mencermati karya-karya Kino yang berserakan di meja. Lalu, dengan tanpa menimbulkan suara, Rien melangkah surut pelan-pelan. Setelah agak jauh dari Kino, perempuan itu berlari cepat ke kamarnya untuk mandi dan berganti baju. Ia ingin segera mendiskusikan apa yang telah dilihatnya, dan ingin merasa segar-bugar setelah rehearsal yang melelahkan. Untuk berdiskusi tentang sesuatu yang begitu revolusioner dari tangan anak muda yang tahu-tahu muncul setelah lama menghilang, diperlukan badan segar dan pikiran jernih !! Dari telpon di kamar mandinya, sambil melepas semua baju, Rien mengontak Tiyar yang masih di studio musik. Pria itu sedang mengurus rekaman musik pengiring tarian Rien dan mengatakan tidak akan pulang malam ini. Rien tidak sabar, ingin mengabarkan apa yang barusan di lihatnya di beranda belakang. Gila, honey... seru Rien di telpon, Anak itu punya bakat gede... kamu musti lihat sendiri! Oh ya? suara Tiyar kedengaran tidak bersemangat mendengar pacarnya sekali lagi memuji pemuda kutu-buku itu. Bener... sangat orisinal dan ekspresif! seru Rien bersemangat sambil melemparkan behanya ke lantai. Kedua payudaranya yang indah terbebas dari kukungan. Tapi aku masih sibuk nih, Rien... jawab Tiyar malas. Iya, aku tahu... terusin saja, tapi kamu musti segera lihat besok. Kita musti pikirkan bagaimana caranya mengganti latar belakang dalam seminggu! Hah? Apa tidak terlalu riskan? sahut Tiyar, kali ini agak terganggu karena mengubah latar belakang panggung tidak sama dengan mengganti ban mobil yang kempes. Ah, kita bisa akalin... sergah Rien cepat sambil meloloskan celana nilon tipis dari tubuhnya yang kini telanjang bulat. Thomas pasti ngomel kalau kamu suruh gonta-ganti latar belakang! gerutu Tiyar. Nanti aku telpon dia, supaya besok ikut diskusi! potong Rien sambil mengatakan goodbye dan meletakkan gagang telpon lalu masuk ke shower. Di seberang sana, Tiyar termangu sejenak memandang gagang telepon di tangannya. Huh .. anak itu ternyata bisa menyita perhatian Rien yang terkenal cerewet, pikirnya. Betulkah anak itu cuma bagian dari masa lampau atau... Ah, pikiran gila! sergah Tiyar dalam hati lalu kembali ke ruangan monitor soundsystem untuk melanjutkan kerjanya. *** Gambar terakhir, yakni bagian paling kanan dari latarbelakang panggung, selesai pada saat malam sudah benar-benar menghalau hari. Langit sudah gelap, dan segerombolan nyamuk muncul di beranda belakang yang halamannya memang penuh tumbuh-tumbuhan itu. Kali ini barulah Kino merasakan gangguan dari mahluk-mahluk yang berdenging itu. Sambil mengumpulkan semua gambar-gambarnya, pemuda itu mengusir nyamuk yang mengitari kepalanya. Kopinya sudah lama dingin, ia hirup dengan sekali tegukan untuk menghabiskannya. Lalu sambil menggeliat merenggangkan pinggangnya yang kini terasa penat, Kino bangkit untuk masuk ke dalam untuk menemui Mbak Rien-nya. Dalam hati ia bertanya-tanya, apakah dia sudah pulang? Belum sempat ia membalikkan tubuh, sepasang tangan harum menutup kedua matanya dari belakang. Kino tersenyum, mengenali tangan itu walaupun tak melihat orangnya. Kino juga agak tersentak, karena pemilik tangan itu bukan cuma menutup telinganya, tetapi juga menempelkan tubuhnya. Tentu saja, ia kenal tubuh itu! Nggak nyangka... kamu ternyata berbakat seniman juga! bisik Rien tanpa melepaskan takupan kedua tangannya. Kino tersenyum dan me-relaks-an tubuhnya setelah pasti bahwa yang memeluk dari belakang adalah Mbak Rien-nya. Sejenak tadi ia sempat juga kuatir, jangan-jangan ada mahluk halus yang menyelinap ke sanggar. Kenapa sih kamu ngga bilang dari dulu bahwa kamu seniman? bisik Rien lagi, mempererat pelukannya. Aku memang bukan seniman, mbak, sahut Kino, Maunya sih jadi arsitek saja. Rien tertawa kecil, Ya, sama aja... arsitek itu juga seniman. Mbak juga baru sadar, kamu kan dari dulu ingin jadi arsitek beneran! Ini baru coba-coba lho, Mbak... ujar Kino sambil mengangkat tangannya yang memegang kertas-kertas berisi gambar rancangannya, Belum tentu bagus. Rien melepaskan takupan tangan dan pelukannya, sehingga pemuda itu kini bisa berbalik sempurna. Sekarang kamu musti jelasin, se-detil-detilnya... apa saja ide kamu tentang panggung Mbak Rien! ucap perempuan cantik yang kini berdiri dekat sekali di depan Kino. Keharuman yang lembut memancar dari seluruh tubuhnya yang terbungkus daster mewah. Di sini? tanya Kino lucu. Rien mencubit ujung hidung pemuda itu, Nyamuk-nyamuk di sini nggak ngerti arsitektur, Kino! Kino tertawa, membiarkan Rien menyeret tangannya masuk. Kita ngobrol di studio ya... ucap Rien tanpa menunggu reaksi Kino, lalu ia berteriak seenaknya, Iyeeem... tolong belikan soto ayam Pak Saidi untuk makan malam! Terdengar suara Iyem menyahut dari belakang. Kino tertatih-tatih diseret Rien masuk ke sebuah ruangan yang pintunya terbuat dari kayu seperti pintu-pintu rumah Bali. Inilah studio sang maestro tari itu: sebuah kamar luas yang berisi seperangkat stereo, beberapa poster pertunjukan, sebuah meja dan sebuah sofa panjang. Salah satu dindingnya tertutup total oleh cermin, sehingga ketika lampu dinyalakan Kino sempat menyangka bahwa ruangan itu dua kali lebih luas dari sesungguhnya. Rien menyeret Kino ke sofa, menghenyakkan tubuhnya dan membawa serta tubuh pemuda itu ke sebelahnya. Okay... ujar Rien selayaknya boss di mana-mana, Sekarang kamu yang ngomong dan Mbak Rien yang pasang kuping. OK, boss, ucap Kino sambil meletakkan gambar-gambarnya dalam urutan yang benar, dari kiri ke kanan. Ada tujuh gambar yang Kino selesaikan. Setelah menarik nafas panjang, pemuda itu mulai menjelaskan dengan suara pelan dan teratur. Kamu kok seperti sedang menghadapi ujian, sih?! sela Rien sambil merengkuh bahu Kino. Kino tertawa, Katanya harus se-detil-detilnya... OK.. OK.. teruskan, ucap Rien cepat. Kalau saya nggak salah, pada umumnya penari muncul dari sebelah kiri. Betul, mbak? kata Kino. Ya... betul... sahut Rien. OK... mudah-mudahan Mbak bisa melihat bahwa latar belakang yang saya buat ini menimbulkan kesan mengalir ke kanan. Rien memiringkan kepalanya, pipinya mengusap bahu Kino lembut, Hmm... yaa... ya... kira-kira begitu. Memang sih tidak langsung terlihat mengalir ... karena penarinya tidak ada, dan tidak ada gerakan. Sebab itu, sewaktu pembukaan nanti mungkin perlu permainan lampu. kata Kino sambil menggerakkan tangannya menggambarkan gerakan lampu sorot dari kiri ke kanan. Boleh juga... di mana sih kamu belajar tentang panggung? sela Rien sambil memeluk pinggang Kino, sehingga kini mereka duduk seperti sepasang kekasih di bangku taman bunga. Sejenak Kino tidak menjawab. Bukan karena tidak punya jawaban, tetapi karena tiba-tiba kenangan tentang sebuah sanggar sederhana tempat seorang gadis mengajarkan tarian kepada serombongan anak-anak kecil muncul perlahan... Hei! sergah Rien, Ditanya kok diam. Kino tersenyum, Belajar dari Mbak Rien sendiri. Hah?! seru Rien, Kapan kamu belajar dari Mbak Rien... kita terakhir ketemu 5 atau 6 tahun yang lalu, kan? Ingat waktu Mbak menari di kota kita dulu? tanya Kino. Hmm... hmmm... gumam Rien meng-iya-kan. Saya kan selalu nonton... dan selalu ingat bagaimana Mbak menari dengan bagus sekali. Sejak itu saya suka memperhatikan panggung dan berpikir-pikir tentang dekorasi panggung, ucap Kino. Rien tertawa kecil, lalu berucap setengah berbisik, Sejak dulu kamu memang suka sama Mbak Rien... Kino terdiam. Keduanya terdiam. Ruang studio terasa sangat lengang. Sebuah perasaan sayang yang entah datang dari mana, menyelinap perlahan ke diri Rien. Juga ada sedikit rasa hangat di kedua matanya. Sebelum kehangatan itu berubah menjadi air mata, perempuan itu buru-buru memecah keheningan, Eh, kok jadi bengong... ayo teruskan, Kino! Kino tersentak, kembali dari sebuah perjalanan pendek yang melenakan ke masa lampau. Sorry... Mbak terlalu banyak bertanya ya? kata Rien sambil merenggangkan pelukannya. Kino ingin mengatakan, teruskan peluk saya... tetapi mulutnya berucap lain, Ah, nggak apa-apa, Mbak... saya cuma tiba-tiba inget masa lalu... Terdengar Rien menghela nafas lalu berucap pelan, Memang, masa lampau bisa datang tiba-tiba... tetapi mendingan kita sekarang ngomongin masa kini... Kino tertawa, OK, boss... saya lanjutkan... ini bagian tengah yang menggambarkan inti dari tarian Mbak Rien. Intinya adalah... Rien menyela dan membiarkan ucapannya mengambang. Pemberontakan, sahut Kino cepat. Revolusi, sambung Rien. Terpendam... sambung Kino. OK... revolusi yang terpendam... revolusi perasaan... kata Rien seperti sedang menyimpulkan sebuah diskusi panjang. Revolusi perasaan yang terpendam? tanya Kino. Perasaan memang selalu terpendam, Kino. kata Rien, Sedangkan apa yang kita sampaikan ke dunia luar itu adalah wakil dari perasaan kita. Hmm... gumam Kino sambil merapikan gambar-gambarnya yang sempat tergeser-geser karena gerakan tangan. Ngerti apa nggak? sergah Rien sambil merangkul Kino lagi dengan rasa sayang seorang kakak kepada adiknya. Nggak! sahut Kino sambil tertawa lepas. Ya sudah! rajuk Rien sambil menyandarkan pipinya ke bahu pemuda itu, Nggak usah terlalu ngerti... asal sekarang bisa jelasin bagaimana caranya membuat latar belakang yang morat-marit kayak gitu... Ini namanya dekonstruktif, Mbak... bukan morat-marit. kata Kino sambil tertawa. Terserah kamu, lah... kata Rien sambil mempererat pelukan di pinggang pemuda itu, Bagi Mbak Rien, tetap saja morat-marit... Belum sempat Kino memprotes, Rien sudah menyambung lagi, Tapi Mbak suka! Suka sekali! Apakah kira-kira penonton nanti mengerti, Mbak? tanya Kino agak kuatir, karena kesan morat-marit itu kini semakin kentara setelah Rien mempersoalkannya. Rien tertawa renyai, dadanya berguncang menimbulkan desakan-desakan lembut di lengan Kino, Setengah dari penonton tarian Mbak adalah mereka yang kelebihan duit, Kino... sepertiganya adalah mereka yang pengen nonton Mbak Rien... sepertiganya lagi yang nggak tahu kenapa menonton... sisanya adalah sesama seniman, kritikus, wartawan. Jadi... mereka nggak peduli... begitukah? sela Kino agak kecewa. Mereka suka sensasi, Kino. ujar Rien sabar mendengar kekecewaan di ucapan pemuda itu, Justru rancangan kamu yang gila-gilaan ini bisa menimbulkan sensasi... Mbak nggak peduli apakah mereka mengerti atau tidak? desak Kino masih kecewa. Rien memperbaiki duduknya, kini menghadap Kino di sebelahnya. Satu kakinya ia naikkan ke sofa seenaknya. Lalu dengan kedua tangannya ia memutar wajah Kino agar menghadapnya. Dengar, adikku yang cakep... ujar Rien pelan sambil memandang dengan matanya yang indah itu, Mbak menari untuk menyampaikan sesuatu. Mbak tidak bisa terlalu peduli, apakah yang Mbak sampaikan itu bisa diterima atau tidak. Kalau setiap kali mau menari, Mbak harus mikirin itu... kapan bisa menari, dong? Kino diam, menyimak setiap kata maestro tari di depannya, yang kini kembali menjadi kakak perempuannya yang molek dari sebuah kota kecil dengan hutan kenari, kali yang bening, dan pantai yang ramah. Kamu juga harus begitu, Kino... sambung Rien lembut, satu tangannya seakan tak sengaja mengusap-usap pipi pemuda itu, Kalau kamu mau jadi arsitek beneran, kamu harus berani menyampaikan sesuatu kepada dunia. Apa yang kamu gambar ini bener-bener ekspresif... Jadi jangan mikir yang nggak-nggak. Pokoknya, kamu sampaikan dulu kepada penonton. Terserah, mereka mau ngerti atau nggak! Kino mengangguk, tetapi gerakannya terbatas karena Rien masih memegang kedua pipinya. Rien tersenyum dengan seluruh wajahnya, membinarkan kelembutan yang selalu bisa ditimba oleh Kino. Pemuda itu tiba-tiba merasa bersyukur bertemu lagi dengan seseorang yang begitu penuh percaya diri di tengah kegalauan yang selalu menimbulkan keraguan ini. Ingat waktu kamu masih SMA? bisik Rien. Kino menelan ludah, merasakan tenggorokannya terlalu kering. Bagaimana ia bisa lupa masa indah itu? Ingat yang mana? tanya Rien agak serak. kedua matanya berbinar menggoda. Kino tersenyum kecut, Ingat semuanya... ucapnya pelan. Rien tertawa kecil, Ingat kenakalan-kenakalan Mbak Rien dengan kamu? Kino mengangguk, menggeser sedikit tubuhnya sehingga kini mereka berdua berhadapan. Ah... pemuda itu tiba-tiba ingat pula ketika mereka duduk di pasir, berhadapan seperti ini. Ketika itu Mbak Rien membiarkan Kino merasakan untuk pertama kalinya bagaimana menyentuh tubuh wanita sebagai lelaki dewasa... bukan sebagai anak-anak, atau remaja. Coba deh kamu pikir-pikir, bisik Rien, Semua yang indah itu terjadi dengan begitu saja, kan? Tidak ada rencana, tidak ada sebelumnya atau sesudahnya. Semuanya tau-tau terjadi. Kino menunduk, tak sengaja memandang tubuh di depannya yang tak terlalu sempurna tertutup daster. Sudah lama Mbak pengin ngomong sama kamu, Kino... tetapi ngga pernah ada waktu. ujar Rien sambil menarik leher pemuda itu, membawanya ke pelukan. Kino tadinya agak kikuk, tetapi lalu membiarkan tubuhnya dipeluk Rien. Dengan kemanjaan yang kentara, wanita itu menyandarkan kepalanya ke pipi Kino, dan mereka sejenak terdiam seperti sepasang kekasih yang tidak tahu, hendak berpisah atau baru berjumpa? Apa yang Mbak ingin sampaikan? bisik Kino sambil kini balas memeluk. Ia merasakan kehangatan yang berbeda dari pelukan seorang wanita. Apa bedanya, ia sendiri tidak tahu. Ia hanya tahu bahwa pelukan ini berbeda ... Rien tertawa kecil, Sebetulnya barusan sudah Mbak sampaikan, semua apa yang Mbak ingin katakan sejak 5 tahun lalu. Oooo... gumam Kino. Rien tertawa lebih keras, Kayaknya kamu tidak terlalu ngerti... Kino ikut tertawa, Ngerti sedikit, tetapi lebih banyak nggak ngerti-nya. Tangan Rien mengacak-acak rambut Kino. Ia selalu begitu kepadaku, pikir pemuda itu. Ia selalu menunjukkan sayang dengan caranya yang khusus. Tidak usah mengerti, Kino. ucap Rien lembut, Tidak usah... biar saja jadi misteri sampai kapan pun. Lalu mereka melepaskan pelukannya masing-masing, seperti ada komando dari seorang sutradara film yang tidak tampak. Dan Kino melihat ada air bening samar mengambang di kedua mata Mbak Rien. Mbak menangis? tanya Kino lugu. Hampir, jawab Rien sambil tersenyum manis sekali. Kino mengernyitkan keningnya, berpikir : apakah menangis adalah bagian dari misteri wanita? Sejenak hening lagi. Mereka saling pandang. Lalu Rien memajukan wajahnya... dan Kino mengangkat satu tangannya untuk menyentuh pipi perempuan yang dulu mengundangnya ke dunia penuh misteri menakjubkan itu. Lalu Rien memejamkan matanya yang indah, membuka bibirnya yang selalu basah, menawarkan sebuah ciuman yang tak mungkin bisa ditolak oleh Kino. Bagi seorang pria, apakah rasanya bibir seorang wanita? Ada yang bilang seperti mentega lembut yang bisa dilahap perlahan, mencair oleh kehangatan nafas kita. Ada yang bilang seperti beledru yang membasah setelah dikulum beberapa lama. Ada yang bilang seperti gulali, permen kapas yang dijual orang di pasar malam itu. Tetapi buat Kino, ciuman ini adalah sungai, pantai, dan hutan kecil... adalah angin sepoi-sepoi yang membawa keharuman tanah basah dan daun-daun yang berguguran... adalah aliran air yang menyelinap di balik batu-batu tempat bersembunyinya ikan-ikan kecil... adalah lidah-lidah ombak yang menjilat pantai tanpa kenal letih ... Rien mengerang pelan, menghamburkan nafas hangat ke sekujur wajah Kino. Mulutnya membuka lebih lebar, memberikan keleluasaan bagi lidah Kino untuk menyentuh lidahnya sendiri yang hangat dan basah. Ketika sentuhan itu benar-benar terjadi, tubuh keduanya bagai tersengat listrik. Ciuman mereka terlepas. Rien menarik wajahnya. Kino menurunkan tangannya. Lalu Rien bangkit cepat-cepat dan keluar meninggalkan studio. Kino tetap duduk, menunduk. Nafasnya tidak teratur. Pikirannya buntu. *** Terdengar Iyem mengetuk pintu studio. Kino tersentak dari lamunan yang entah sudah berapa lama. Makan malam sudah siap, den... Ibu Rien sudah menunggu di meja makan, kata pembantu itu dengan sopannya. Iya, bi Iyem... saya segera kesana, ucap Kino cepat. Lalu ia membereskan gambar-gambar di meja. Menumpuknya dalam urutan yang benar. Pikirannya masih bingung. Ada apa tadi dengan Mbak Rien? Terlebih-lebih lagi, ada apa dengan diriku sendiri? Kenapa itu terjadi lagi? Ciuman tadi begitu lembut tetapi juga sekaligus begitu membiuskan. Padahal awalnya adalah sebuah pelukan ke-ibu-an. Awalnya adalah sebuah kewajaran tentang kenangan-kenangan manis... Dengan sangat kikuk, Kino menemui Mbak Rien-nya di meja makan. Perempuan itu tersenyum manis, seakan-akan tidak ada apa-apa 10 menit yang lalu. Mbak lapar sekali... dan ada soto kesayangan Mbak Rien, ujarnya santai sambil menepuk kursi di sebelahnya, menandakan bahwa Kino harus duduk di sana. Kino duduk dengan hati-hati, seakan-akan takut gerakannya menimbulkan gempa bumi. Rien menakupkan telapak-tangannya ke tangan Kino setelah pemuda itu duduk, lalu berucap pelan, Maaf, tadi Mbak Rien keterusan... senyumnya merebak manis, kedua matanya menyebarkan keteduhan seakan-akan menyiramkan air sejuk ke sekujur tubuh Kino. Saya juga minta maaf, ucap Kino serak. OK, jawab Rien cepat, tetap tersenyum dengan senyumnya yang indah dan penuh percaya diri, Kita sama-sama minta maaf. Lupakan ciuman tadi, sekarang kamu musti makan. Soto ini enaaaaaaaaaaak sekali! Kino tersenyum, menghela nafas panjang merasakan kekakuannya mencair dengan cepat seperti es disiram air panas. Ia menyendok nasi, menumpahkan kuah soto ayam ke nasinya, dan mulai makan dengan lahap. Ia memang lapar. Sekarang kamu ceritakan, apa sih dekonstroktusi itu... ucap Rien di antara suapannya. Lalu Kino pun bercerita tentang seseorang bernama Jacques Derrida yang mendefinisikan dekonstruksi sebagai pola pikir baru di kalangan filsuf Barat. Ide tentang sesuatu yang tidak mapan ini lalu menyebar, termasuk ke arsitektur lewat tangan-tangan tokoh semacam Bernard Tschumi dan Peter Eisenman. Apa sih yang membedakan arsitektur dekonstruktif dari lainnya? tanya Rien penuh ingin tahu. Ia memang tertarik pada pandangan-pandangan baru dalam seni dan budaya. Dekonstruksi menjauh dari pikiran dasar arsitektur yang membedakan antara struktur dengan dekorasi ... abstraksi dengan figurasi ... figur dengan latarbelakang ... dan seterusnya. jawab Kino meniru dosennya. Maksudnya? desak Rien sambil menambahkan sambal ke nasi sotonya. Dekonstruksi justru ingin lepas dari perbedaan-perbedaan itu. Misalnya, kan, tidak harus struktur berbeda dari dekorasinya. Kan bisa saja dekorasi itu struktur ... jawab Kino bersemangat. Jadi struktur itu nggak harus kaku, gitu? tanya Rien. Ya... struktur bisa saja dekoratif, lemah-gemulai, tidak harus selalu tegak lurus. Makanya bangunan-bangunan yang dekonstruktif bisa saja mencang-mencong atau meliuk-liuk, sahut Kino. Lalu Rien mengatakan bahwa dalam seni tari juga ada pemikiran-pemikiran yang anarkis seperti itu. Langsung saja pembicaraan kedua orang di meja makan ini bersambung-sambung. Baru kali ini Kino menemukan lawan bicara yang satu minat dalam soal seni. Pemuda itu semakin bersemangat, sehingga tak kurang dari satu jam mereka berbincang-bincang di meja makan. Tidak cukup dengan itu, mereka pindah ke depan televisi. Walaupun televisi menyala dan menyiarkan sebuah film, Rien dan Kino tak peduli, karena kini asyik berdiskusi tentang segala hal di bidang seni. Juga, Rien mulai mengajak Kino untuk membicarakan lagi rancangan latarbelakang yang ia buat. Beberapa bagian dari gambar Kino mendapat kritik tajam dari Rien, dan pemuda itu terkadang perlu berdebat untuk mempertahankan pendiriannya. Tetapi akhirnya memang ada beberapa bagian yang perlu diganti. Rien juga mengingatkan bahwa rancangan di kertas gambar belum tentu bisa sepenuhnya diterjemahkan ke dekorasi panggung yang sesungguhnya. Bagaimana membuat garis melengkung yang begini panjang dari ujung kiri sampai hampir ke tengah? sergah Rien sambil menunjuk ke gambar Kino. Bambu, Mbak Rien... gunakan bambu, sahut Kino. Mana ada bambu segitu panjang, Kino ... apalagi di Jakarta! ucap Rien sengit. Disambung-sambung, sahut Kino cepat. Pake apa nyambungnya, cah bagussss??? Nanti patah di tengah-tengah! sergah Rien sambil mengacak-acak rambut Kino. Kino terdiam, ia memang belum memikirkan semua aspek teknis dari rancangannya. Bagaimana kalau garis itu diperpendek, usul Rien. Ngga lucu jadinya, Mbak. protes Kino, Justru garis lengkung ini ingin mencari perhatian. Kalau pendek, mana ada yang memperhatikan. Ganti dengan garis yang tidak terlalu melengkung, desak Rien. Tambah nggak lucu... seperti dipaksakan, sahut Kino tak mau kalah. Mereka terdiam. Sama-sama berpikir keras tentang bagaimana menampilkan sebuah garis melengkung, hampir setengah panggung, tapi tidak terlalu besar. Ketika jam menunjukkan pukul 1 dini hari, dan belum ada kesepakatan tentang beberapa hal, Rien akhirnya menyerah. Ya sudah... ujar Rien sambil menguap lebar dan merentangkan kedua tangannya meregangkan tubuh yang pegal, Besok pagi kamu musti ngomong sama Thomas. Siapa itu? tanya Kino sambil membereskan kertas-kertas yang berantakan. Thomas itu ahli dekorasi panggung. Dia memang bukan seniman, tetapi teknisi yang banyak akal. Kalau dia tidak ngomel besok pagi, kita bisa bujuk dia untuk mencari bambu yang kuat. jawab Rien sambil bangkit dari duduknya. Mbak Rien mau bobo dulu... ucap Rien sambil menguap lagi, See you tomorrow. OK, Mbak... saya beresin dulu gambar-gambar ini, sahut Kino. Rien tidak berkata apa-apa lagi, berjalan gontai ke kamar tidurnya. Lalu Kino mendengar pintu ditutup, dan akhirnya sepi pun meraja di rumah besar itu.
Posted on: Tue, 03 Dec 2013 15:33:14 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015